Mens Rea dalam Sorotan: Apakah Tom Lembong Beritikad Jahat?
Oleh: Dhanindra Hanif Trisnanda – 23410395
Mahasiswa Program Studi Hukum Program Sarjana Reguler Fakultas Hukum Universitas Islam Indonesia
Thomas Trikasih Lembong atau yang lebih dikenal dengan nama Tom Lembong adalah mantan Menteri Perdagangan Indonesia dan Kepala BKPM di era pemerintahan Presiden Joko Widodo. Pada tahun 2024, Tom Lembong terjerat namanya dalam kasus korupsi. Tom ditetapkan sebagai tersangka dan ditahan oleh Kejaksaan Agung pada tanggal 29 Oktober 2024 atas dugaan tindak pidana korupsi kegiatan importasi gula (Hukumonline, 2025). Kasus ini langsung mendapat atensi dari masyarakat luas. Banyak yang menilai bahwa Tom Lembong sebenarnya tidak bersalah dan kasus ini merupakan kriminalisasi politik mengingat sebelumnya Tom adalah bagian dari tim pemenangan pasangan Anies Baswedan dan Muhaimin Iskandar (Kompas.com, 2025). Publik juga menilai proses peradilan dari Tom memiliki banyak kejanggalan. Ari Yusuf Amir selaku penasehat hukum Tom mengungkap setidaknya ada 27 kejanggalan yang terjadi dalam proses peradilan ini (Hukumonline, 2025). Salah satu kejanggalan yang paling disorot oleh publik adalah tidak adanya atau tidak dapat dibuktikannya itikad jahat atau mens rea yang dimiliki oleh Tom Lembong.
Kasus korupsi Tom Lembong bermula saat Tom yang saat itu menjabat sebagai Menteri Perdagangan menerbitkan izin impor gula pada bulan Oktober 2015. Tom menerbitkan izin tersebut untuk mengganti gula yang dipinjam dari PT Angels Products yang digunakan untuk operasi pasar. Operasi pasar tersebut diperintahkan langsung oleh Presiden karena menipisnya stok dan kenaikan harga di daerah. Masalah lain muncul ketika Tom mengizinkan impor gula mentah (GKM) kepada PT PPI yang kemudian PT PPI bekerja sama dengan delapan perusahaan rafinasi swasta untuk kemudian mengolah gula kristal mentah tersebut menjadi gula kristal putih (GKM). Pemberian izin-izin tersebutlah yang menyebabkan terseretnya nama Tom Lembong ke dalam kasus ini. Jaksa menilai kebijakan pemberian izin tersebut telah menyebabkan kerugian negara dan telah memperkaya pihak lain. Dalam pandangan jaksa, izin tersebut dikeluarkan pada saat kondisi negara sedang surplus gula merujuk pada rapat koordinasi pada Mei 2015 (Hukumonline, 2025).
Namun dalam faktanya, surplus gula yang disebut pada bulan Mei tersebut hanya bersifat sementara dan hanya cukup untuk tiga bulan. Tom Lembong sebagai Menteri Perdagangan saat itu menerbitkan izin-izin tersebut sebagai bentuk kebijakan untuk mengantisipasi krisis gula yang akan datang. Dengan kata lain, Tom dalam membuat kebijakan impor gula ini hanya menjalan tugasnya sebagai Menteri Perdagangan saat itu (Novel Baswedan, 2025). Tidak ada niat dari diri Tom untuk menguntungkan diri pribadi maupun pihak lain dalam pembuatan kebijakan tersebut. Tim kuasa hukum Tom Lembong, Zaid Mushafi, dalam podcast di kanal YouTube milik Novel baswedan menjelaskan bahwa PT PPI, sebuah badan usaha milik negara, yang memilih delapan perusahaan kilang gula swasta untuk bekerja sama. Tom sama sekali tidak ikut campur dalam pemilihan delapan perusahaan itu dan tidak pernah sekalipun berkomunikasi dengan perusahaan-perusahaan tersebut baik itu secara langsung maupun tidak langsung. Selain itu, tidak pula ditemukan fakta bahwa Tom menerima keuntungan pribadi dari kebijakan yang telah dibuatnya tersebut (Novel Baswedan, 2025).
Dalam hukum pidana dikenal dua unsur utama tindak pidana, yaitu actus reus dan mens rea (Moeljatno, 2009). Actus reus adalah tindakan atau perbuatan nyata yang melanggar hukum, yang menjadi syarat utama dalam pembuktian tindak pidana selain unsur niat (mens rea). Actus reus tidak cukup untuk menjerat seseorang dalam hukum pidana tanpa adanya mens rea, yaitu sikap batin atau niat jahat. Keduanya harus ada secara bersamaan untuk memenuhi unsur suatu tindak pidana (Hakim, 2020). Mens rea merupakan istilah dari hukum pidana yang berasal dari bahasa Latin yang berarti “pikiran yang bersalah.” Dengan kata lain, mens rea adalah kondisi mental, niat, atau sikap batin seseorang ketika melakukan suatu tindak pidana (Qadlawoffice.com, n.d.). Pembuktian adanya Mens Rea pada pelaku pelanggaran tindak pidana sangat penting dalam proses peradilan (Aris Munandar, n.d.). Mens rea merupakan unsur batiniah (subjektif) dalam suatu tindak pidana, yang membedakannya dari actus reus sebagai unsur lahiriah (objektif). Unsur subjektif inilah yang menentukan apakah suatu perbuatan tergolong dilakukan dengan sengaja, karena kelalaian (culpa), atau tanpa adanya niat jahat sama sekali. Tanpa adanya pembuktian unsur mens rea, sistem hukum berpotensi menjatuhkan hukuman kepada individu yang sebenarnya tidak memiliki niat atau kesadaran untuk melakukan tindak pidana. Ketidakhadiran mens rea dapat menjadi alasan seseorang tidak dapat dimintai pertanggungjawaban pidana karena tidak terdapat unsur kesengajaan atau kesalahan dalam perbuatannya.
Dalam hukum pidana, terdapat asas geen straf zonder schuld yang artinya tiada pidana tanpa kesalahan (Moeljatno, 2009). Dengan kata lain seseorang tidak mungkin dijatuhi pidana jika dia tidak melakukan tindak pidana. Untuk membuktikan kesalahan itu sendiri, perlu dibuktikan adanya perbuatan melawan hukum (actus reus) yang dibersamai dengan niat jahat (mens rea). Jika demikian, maka menurut asas ini Tom Lembong seharusnya tidak dapat dipidana karena mens rea dari Tom tidak dapat dibuktikan di persidangan, mengingat tidak ada keuntungan pribadi yang diambil oleh Tom dalam membuat kebijakan impor gula ini dan Tom juga tidak berniat untuk menguntungkan pihak lain. Tom murni hanya menjalankan tugasnya sebagai Menteri Perdagangan saat itu dalam membuat kebijakan impor gula tersebut. Dengan demikian, jika unsur kesalahan tidak dapat dibuktikan di pengadilan, terutama dalam bentuk niat jahat atau kepentingan pribadi, maka pemidanaan terhadap Tom Lembong akan bertentangan dengan asas geen straf zonder schuld.
Dalam putusannya, majelis hakim telah memutuskan bahwa Tom terbukti bersalah dan menjatuhkan pidana penjara 4,5 tahun dan denda Rp 750 juta. Namun, dalam pertimbangannya hakim mengakui tidak terdapat bukti langsung mengenai keuntungan pribadi yang diperoleh Tom. Hakim lebih menekankan pada adanya kelalaian dan keputusan yang dianggap merugikan keuangan negara. Jika dianalisis dari sudut pandang dualisme actus reus dan mens rea, perbuatan mengeluarkan izin impor gula dapat dikategorikan sebagai actus reus. Namun, apakah terdapat mens rea? Bukti di persidangan menunjukkan Tom tidak menerima gratifikasi atau keuntungan langsung, sehingga sulit dibuktikan adanya niat jahat. Jika demikian, maka pemidanaan lebih dekat pada penilaian terhadap kebijakan yang salah (policy fault), yang secara teoretis lebih tepat dikualifikasikan sebagai pelanggaran administratif, bukan tindak pidana korupsi.
Oleh sebab itu, penulis berpendapat bahwa Tom Lembong sebenarnya tidak dapat dipidana atas kasus tindak pidana korupsi karena unsur actus reus tidak dibersamai dengan adanya unsur mens rea yang bahkan pada akhirnya unsur mens rea tersebut tidak dapat dibuktikan. Pemidanaan terhadap Tom justru menimbulkan pertanyaan dalam penerapan asas hukum pidana, khususnya asas geen straf zonder schuld. Jika terdapat kesalahan dalam kebijakan, semestinya hal tersebut dikategorikan sebagai pelanggaran administratif, bukan pidana korupsi.








Leave a Reply
Want to join the discussion?Feel free to contribute!