The Entire Civitas Academia of the Faculty of Law Universitas Islam Indonesia Mourned the Death of One of Our Alumnae. Tommy Apriando was former student of Faculty of Law UII Year 2007. His path as a journalist, social activist, and alumnae may give great inspiration toward the younger students after him. Rest in Peace. May Allah give him Jannah.

Kepada Yth. Mahasiswa yang mengambil MK Hukum dan Hubungan Internasional kelas A silahkan kerjakan kasus berikut dan jawab pertanyaannya. Dikarenakan google classroom belum terkoneksi dengan akun Bapak Dodik Setiawan, PhD, maka dipersilahkan mengumpulkan tugas ini menggunakan kertas responsi. Bagi yang mengerjakan mendapatkan nilai tugas dan dianggap hadir kuliah.

Bacalah deskripsi kasus berikut ini:

Meningkatnya persaingan bisnis di era globalisasi saat ini menyebabkan banyak perusahaan transnasional berdiri di berbagai negara dengan tujuan meningkatkan produksi dengan biaya murah dan mencoba mempeluas pasaran dengan maksud agar mendapatkan keuntungan yang semakin besar.

Singkat cerita, di Negara X berdirilah perusahaan transnasional yang bernama Xanata Oil Corporation (XOC). Perusahaan ini didirikan menurut hukum Negara X. Dari total saham XOC, 35% sahamnya dimiliki oleh Negara X, 25% pengusaha berkewarganegaraan negara Y (negara tetangga), dan sisanya dimiliki oleh pengusaha yang berkewarganegaraan negara Z (negara tetangga). Perusahaan ini dikenal bergerak dibidang eksplorasi minyak di beberapa wilayah kaya minyak di Negara X.

Suatu ketika, berdasarkan laporan riset perusahaan, salah satu wilayah di negara X, tepatnya di kabupaten Xununu, dilaporkan memiliki sumber daya minyak sebesar 976 ribu barrel per hari. Namun, Kabupaten Xununu ini tak hanya kaya minyak, tetapi juga kaya akan situs-situs budaya kuno Etnis Xunian. Kabupaten Xununu ini seluruhnya didiami oleh penduduk asli yang sering dikenal dengan Etnis Xunian dengan jumlah penduduk kurang lebih 8.675 jiwa.

Atas laporan riset tersebut, rapat direksi XOC memutuskan untuk mengeksplorasi wilayah kabupaten Xununu. Ijin eksplorasi sendiri telah dikeluarkan oleh Pemerintah Negara X bulan Maret 2010. Pada saat memulai pembangunan kilang minyak di awal bulan April 2010, sebagian besar masyarakat etnis Xunian melakukan demonstrasi dan menolak pemindahan dari wilayah asalnya. Masyarakat Xunian sendiri beranggapan bahwa wilayah Xununu adalah wilayah suci bagi mereka yang merupakan warisan tradisi dan budaya secara turun temurun dari nenek moyang mereka. Di wilayah Xununu itulah etnis Xunian secara turun temurun menyelenggarakan ritual peribadatan mereka, hidup dan bercocok tanam, mempertahankan sistem kekuasaan yang dipimpin langsung oleh Kepala Suku etnis Xunian, serta rutinitas budaya dan kebiasaan lainnya yang diajarkan oleh nenek moyang Xunian.

Melihat kenyataan tersebut, direksi XOC mengadakan rapat dan memutuskan untuk memindahkan penduduk Xunian secara paksa dengan dasar telah diberikannya ijin eksplorasi dari Pemerintah Negara X. Kemudian, XOC membentuk suatu Tim yang berisi puluhan anggota militer dari negara X dibawah komando Jenderal Xavron. Tim yang disebut TimOX (Team Operation for Xununu) ini bertugas untuk meyakinkan dan memaksa penduduk Xunian agar pindah ke wilayah yang sudah disediakan perusahaan XOC (diluar wilayah Kabupaten Xununu).
Beberapa saat setelah TimOX melakukan tugasnya (April 2010), diketahui bahwa TimOX ini melakukan intimidasi dan bahkan melakukan perkosaan, penganiayaan serta pembunuhan terhadap pimpinan etnis Xunian. Menurut keterangan salah satu personel TimOX, tindakan tersebut dilakukan berdasarkan perintah langsung dari Direksi perusahaan XOC serta telah mendapatkan ijin khusus dari Presiden Xantiago Xagara (Presiden Negara X). Akibat tindakan tersebut, menurut data yang berkembang di media massa, sejumlah 4.000 orang dinyatakan tewas mengenaskan, 430 wanita dilaporkan telah diperkosa secara amoral, 458 anak hilang, serta ratusan lainnya dinyatakan mengalami gangguan mental dan kerusakan fisik.

Pada Juli 2010, kasus tersebut telah diajukan di Pengadilan Nasional Negara X. Namun, akibat kondisi politik yang memanas di negara X, Pengadilan Nasional Negara X memutuskan untuk menghentikan dan menutup kasus ini. Salah satu hakim Pengadilan Negara X beranggapan bahwa Pengadilan Nasional Negara X tidak akan mampu (unable) menyelesaikan kasus ini karena susahnya menjerat para pelaku, khususnya pelaku yang masih mempunyai kedudukan penting di pemerintahan. Perlu diketahui, Negara X sendiri merupakan peserta Statuta Roma dan telah meratifikasinya pada tahun 2008.

Perintah Soal:
1. Siapa saja yang bertanggungjawab atas kejahatan yang terjadi di wilyah kabupaten Xununu tersebut? Sebutkan minimal tiga siapa saja pelakunya dan berikan dasar hukumnya!
2. Apakah kasus tersebut dapat diajukan melalui Mahkamah Pidana Internasional? Jelaskan pendapat anda!
3. Apakah kasus tersebut dapat diajukan melalui Mahkamah Internasional? Jelaskan pendapat anda!

Tugas dikerjakan secara tulis tangan diatas kertas responsi! (khusus kelas A)
Tugas yang plagiat dan terlambat dikumpulkan TIDAK DINILAI.
Deadline: 18 Desember 2019 pukul 15.00 WIB

People with disabilities (PwDs) and special needs have been disproportionately affected by the deterioration in living conditions in the Gaza Strip since March 2017. This situation is driven by a worsening energy crisis, which has resulted in outages of 18-20 hours a day, and an exacerbation of the salary crisis in the public sector, both of which are linked to an escalation in internal Palestinian divisions. The Palestinian Ministry of Social Development estimates that over 49,000 individuals in the Gaza Strip (or 2.4 per cent of the population) suffer from some type of disability, a third of them children. More than 1,100 of these people, including about 300 children, became disabled as a result of injuries incurred during the 2014 hostilities, including approximately 100 amputees.

Responding to that issue, on Wednesday, 22nd of May 2019, Faculty of Law, Universitas Islam Indonesia collaborated with National Center of Community Rehabilitation (NCCR) Palestine conducting guest lecture concerning the “Diplomatic Relations between Republic of Indonesia and Palestine”. The event which was held in the multipurpose room invited Fatma A. Al Ghussain as the NCCR director as a speaker in this occasion. As a moderator, Dodik Setiawan Nur Heriyanto S.H., M.H., LL.M., Ph.D, gave an introduction regarding the brief profile of the NCCR and the current situation in Gaza. In this guest lecture, Fatma explained that there were many victims who suffered from disability because of the attacks carried out by the Israeli government against the Palestinian people, “we need to know that all of these victims are not only Muslims but Christians, Catholics and Jews” she said.

During the event, the participants seemed enthusiastic and gave their attention to the latest issues that occurred in Palestine. Many of the participants asked questions regarding the efforts made by the NCCR and also related to the Palestinian situation, especially the latest gaza. The event was closed with the hand-over of souvenirs from the moderator to the speaker.

Welcome to WordPress. This is your first post. Edit or delete it, then start writing!

Author: Prof. Dr. Moh. Mahfud MD, S.H., S.U.

Lecturer in Faculty of Law, Universitas Islam Indonesia, Departement of Constitutional Law

 

Dalam perjalanan bangsa yang telah mengukuhkan Pancasila sebagai dasar negara terkadang masih ada yang agak usil, ingin memberlakukan hukum aga ma tertentu sebagai hukum negara, padahal Indonesia bukan negara agama.

Dasar dan bangunan ne. gara Indonesia merupalcanjalan tengah (prismatika) antaTa paham negara Islam dan paham negara kebangsaan. Istilah prismatika bisa diarti kan sebagai jalan tengah antara dua paham yang sebenarnya saling bertentangan, tetapi diambil unsur-unsurnya yang baik untuk dipertemu kan dalam satu konsepsi.

Untuk konteks Indonesia, misalnya, ada jalan tengah antara negara kapitalisme dan komunisme dan jalan tengah antara paham negara agama dan pahamnegara sekuler. Itulah negara Pancasila. Pada mulanya memang ada dua kelompok utama di kalangan pendiri Negara Indonesia yang meng hendaki dasar negara yang berbeda. Kelompok yang pertama adalah kelompok yang menginginkan Indonesia menjadi negara kebangsaan sekuler, sedangkan kelompok yang satunya adalah kelompok yang mengehendaki Indone sia menjadi negara Islam.

Kelompok yang menghendaki Indonesiadijadikan negara Islam berargumen bahwa mayoritas rakyat Indonesia adalah orang-orang Islam, sedangkan kelompok yang menghendaki negara kebangsaan sekuler beralasan bahwa penduduk Indonesia ini tidak semuanya Islam Harus diketahui, kelompok pendukung negara sekulersebagian besar juga beragama Islam, bahkan juga tercatat seba. gai orang-orang Islam yangtaat, seperti Soekarno Hatta, Yamin. Mereka adalah penganutpenganut Islam yang taat, tetapi dalam hal paham bernegara mereka memilih jalur inkusif.

Setelah melalui perdebatan yang panjang dan penuh retorik, akhirnya disepakat bahwa Indonesia didirikan bukan sebagai negara agama dan bukan pula negara sekuler, Indonesia disepakati sebagai negara kebangsaan yang berketuhanan (religious nation state). Dida – lam negara Pancasila yang berpaham “religious nation state ini, negara tidak memberlakukan hukum agama tertentu, tetapi harus memberikan perlindungan (proteksi) terhadap warga negara yang ingin ber ibadah menurut ajaran agamanya masing-masing

Artinya, dalam masalah hubungan antara negara dan agama dapat dirumuskan bahwa “negara tidak memberlakukan hukum agama, tetapi melin dungi warganya yang ingin beribadah menurut agamanya masing-masing Dari sudut hukum, Pancasila sebagai dasar ideologi negara menjadi sumberdari segala sumber hukum yang kemudian melahirkan hukum-hukum nasional. Hukum nasional Indonesia tidak didasarkan pada satu agama tertentu, tetapi merupakan produk eklektisasi (pencampuran) dari nilai-nilai berbagai agama dan kultur yang kemudi an dijadikan hukum nasional.

Hukum nasional adalah pro duk kesepakatan bersama yang diolah melalui lembaga legislatif baik legislatif nasional maupun legislatif daerah-daerah Hulumnasional yang berlaku sama bagi semua warga negara dan diberlakukan oleh negara ini adalahbidang bidanghukum publik seperti hukum tata negara, hukum pidana, hukum lingkungan. Ada bidang hukum perdata dan peribadatan mahdhah (ritual) berlaku hukum agama masing-masing bagi para peme lulinya secara sukarela berdasar kan kesadaran hukumnya.

Masalah keperdataan tertentu dalam hukum agama bisa saja dijadikan hukum nasional sepanjang disahkanlebih duludi lembaga legislatif Itu pun bulan memberlakukan hukumnya secara mutlak, melainkan mengaturproses perlindungan nya bagi mereka yang mau melaksanakannya dengan sulare La Contoh yang bisa disebut da lam hal ini adalah adanya UU tentang Haji, UU tentang Zakat, Ekonomi Syariah, dan sebagai nya. Semua itu bukanlah memberlakukan hukumnya melainkan memberikan mekanisme perlindungan bagi yang ingin melaksanakan ibadah menurut agamanya masing-masing

Dengan demikian, penegakan hukum agama dalam bidang perdata dan peribadatan di Indonesia tidak dapat dilakukan dengan paksaan oleh aparat ne gara melalui ancaman sanksi heteronom, tetapi boleh sepe nuhnya dilaksanakan berdasar kan kesukarelaan sendiri, Hukum-hukum perdata Islam yang sudah menjadi fiqh als lamicjurisprudence) dan fatwa ulama boleh ditaati karena diyakini benar dan baik oleh kaum muslimin, tetapi pelaksanaan nya tidak bisa dilalculan aparat penegak hukum negara.

Sanksi yang berlaku bagi pe langgaran bukum agama ha nyalah sanksi otonom, yakni sanksi dalam bentuk deritaba tin seperti merasa berdosa, ma lu, gelisah, merasa mendapat karma, dan sebagainya, yang datangdarihatimasing masing yang dalam konsep agama disebut sebagai dosa

Hukum Islam di Indonesia tidak harus menjadi hukum formal yang resmi diberlalu kan oleh negara, tetapi bisa menjadi hukum yang hidup (living law). Hukum yang hidup mempunyai dua arti, yale ni norma-norma yang ditaati meskipun tidak diberlakukan secara resmi oleh negara dan hukum-hukum yang bersifat kenyal (fleksibel) sehingga se lalu bisa diaktualkan dengan perkernbangiin zaman.

Seperi dikemukakan di atas, terkadang, seperti yang terjadi belakangan ini, ada gerakan yangingin menggantikan negara Pancasila dengan negara Islamdalam apa yang disebut khi lafah sebagai sistem pemerintahan Islam. Alasannya, Indonesia telah gagal membangun kesejahteraan masyarakat, gagal memberantas kemiskinan dan kesenjangan sosial, gagal memberantas korupsi, dan ga gal menegakkan hukum danke adilan, dan sebagainya.

Berdasarkan jelajah atas se jarah pemikiran dan praktik bernegara di kalangan kaum muslimin, saya berpendapat sistem pemerintahan di Indonesia berdasarkan Pancasila adalah sistem yang secara syar’i tidak bertentangan dengan isLam, karena ia merupakan produk ijtibad dari ulama-ulama Indonesia setelah berjuang secara maksimaluntuk ikutmer muskan dasar dan konstitusi negara Negara Indonesia berdasarkan Pancasila adalah produkkesepakatan luhur yang da Tam istilah agamanya disebut mietsaqon ghliedza atau modues vivendi yang harus ditaati.

Adapun masalah ketidak puasan atas fakta tentang kesenjangan sosial dan ekonomi, korupsi, dan ketidakadilan hukumtidak bisa dijadilan alasan untuk mengganti dasar dan sistempemerintahan, sebabituse mua lebih disebabkan olehinte gritas moral penyelenggara negara. Di negara-negara kaum muslimin atau di dalam khilafah yang pernah ada sekalipun, banyak juga pelanggaran moral dan kegagalan pemerintahan dalam menegakkan hukum, ke adilan, dan kesejahteraan sosial. Jadi, masalah kita terletak padaintegritasmoral yang tampaknya sedang terserang oleh penyakit mental yang kronis sekaligus akut.

 

This article have been pubslihed in SINDO, 21 April 2018.

Author: Prof. Dr. Moh. Mahfud MD, S.H., S.U.

Lecturer in Faculty of Law, Universitas Islam Indonesia, Departement of Constitutional Law

“Apa dasarnya, orang yang sudah memenuhi syarat untuk dijadikan tersangka, kok, harus ditunda sampai selesai pilkada?”

Itulah pertanyaan yang disodorkan beberapa orang Indonesia dalam kunjungan saya ke Taipei, Taiwan, sejak Jumat (16-03-2018) pelan lalu. Memang, permintaan Menko Polhukam Wiranto yang kemudiandiluruskan menjadi imbauan”kepada penegak hukum (terutama Komisi Pemberantasan Korupsi/KPK) agarmenundapenetapan calon kepala daerah (cakada) untuk disidik (dijadikan tersangka) mengagetkan.

Bukan hanya bagi kita yang tinggal di Indonesia, tetapi juga bagi WNI yang ada di mancanegara. Itu bisa dilihat dari reaksi kerasyanglangsung menggema dimana-mana. Perbincangandi kampus-kampus dan di kedaikedai banyak mengupas haltersebut sebagai hal yang serius. Televisi-televisi membedahnya melalui dialog interaktif, media konvensional maupun online terus mendiskusikannya sampai sekarang.

Masa, sih, penersangkaan atas terjadinya pelanggaran hukum, tepatnya dugaan dilakukannya korupsi, oleh seorang cakada yang sedang berkontestasi dalam pemilihan kepala daerah (pilkada) harus ditunda sampai selesainya pilkada? Da lam pandangan hukum, secara prinsip, hal itu sangat tidak dibolehkan. Saduran adagiumnya, “kebenaran, hukum, dan keadilan harus secepatnya ditegakkan meskipun besok pagilangitakan runtuh”. Apalagi hanya karena pilkada yang pemungutan suaranya masih akan berlangsungpada 27 Juni 2018, hampirempat bulan lagi, itu.

Harus diingat bahwa Indonesia memang merupakan ne gara demokrasi (berkedaulatan rakyat) danpilkadaadalah salah satu cara untuk melaksanakan demokrasi tersebut. Tapi harus diingat pula bahwa Indonesia adalah negara nomokrasi (ber kedaulatan hukum) yang me niscayakan hukum mengawa dan meluruskansecara seketika pelaksanaan demokrasi danpenyelenggaraan negara pada umumnya. Pasal 1 ayat (2) UUD 1945 menegaskan bahwa “ke daulatan berada di tangan rakyat”(demokrasi), tetapi dalam satu tarikan napas frasa itu langsung disambung dengan trasa dan dilaksanakan me nurut Undang-Undang Dasar (nemokrasi).

Bahkan posisi hukum yang seperti itu dikuatkan lagi di da lam Pasal 1 ayat (3) yang mene gaskan, “Indonesia adalah nega ra hukum” yang berarti negara menomorsatukan supremasi hukum. Jadi prinsip demokrasi dan nomokrasi harus ditegak kan sepertidua sisi dari sekeping mata uang, keduanya sama penting. Ada adagium, “demokrasi tanpa hukum bisa liar dan me nimbulkan anarki, sedangkan hukum tanpa demokrasi bisa zalim serta sewenang-wenang.” Makna dari adagium itu, demo krasi harus senantiasa dikawal oleh hukum agar berjalan tertib dan tidak menimbulkan kekacauan atau anarkistis karena se muanya bisa bertindak sendirisendiri berdasar kekuatannya.

Namun hukum pun harus dibuat secara demokratis agar dapat menampung dan men cerminkan aspirasi masyarakat dalam memberikan perlindungan terhadap hak hak asasi manusia pada umumnya dan hak-hak warga negara pada khususnya. Dalam hubungan antara demokrasi dan hukum yang seperti itulah, dari perspektif politik hukum, didalilkan bahwahukumdibuat secara demokratis melalui proses-proses politik, tetapi kemudian politik harus tunduk pada hukum, politik tidak boleh mengintervensi hukum

Berdasar konsep dasar yang seperti itu, di dalam struktur ketatanegaraan kita dibentuk lembaga-lembaga demokrasi dan lembaga-lembaga nomokrasi. Lembaga demokrasi seperti DPR dan Presiden bertugas, antara lain, menampung aspirasi rakyat untuk memben tuk hukum, sedangkan lembaga nomokrasi, yakri Mahkamah Agung (MA) dan Mahka mah Konstitusi (MK), mengawal penegakan hukum itu terhadap siapa pun, termasuk terhadap pemerintah sekalipun. Jika ada kontes politik untuk melaksanakan demokrasi yang kemudian ternyata melanggar hukum (misalnya kecurangan yang signifikan), nomokrasiharus beraksi untuk meluruskan nya. Nomokrasi harus ditegakkan tanpa harus menunggu se lesainya satuagenda politik

Kita memahami perminta an Menko Polhukam itu bertujuan baik, yakni agar pilkada yang memang rawan konflikti dak menjadi kisruh karena ada cakada yang sedang bertarung dijadikan tersangka. Di dalam hukum memang ada asas opor tunitas (kemanfaatan) yang memungkinkan hukum tidak dilaksanakan demi kemanfaatan umum. Gustav Radburg, misalnya, menyebut adanya tiga asas yang juga jadi tajuan hulum, yakni kepastian, keadilan, dan kemanfaatan.

Untuk tujuan kemanfaatan, hukum tidak harus ditegakkan secara apa adanyajika tidakbermanfaat, apalagi sampai mem bahayakan kelangsungan nega ra. Tapi dalam konteks yang dikemukakan Menko Polhukam itu, masalahnya mana yang lebih bermanfaatantara menjadikan tersangka atau menundanya sampai selesai pilkada bagi cakada yang sudah memenuhi syarat untuk dipersangkalan? Public common sense (akal sehat publik) lebih cenderung mengatakan bahwa justru akan lebih bermanfaat bagi bangsa dan ne gara ini jika cakada yang meme nuhisyarat hukumuntuk ditersangkakan segera dijadikan tersangka.

Itulah sebabnya banyak yang memprotes dan memper tanyakan pernyataan Menko Polhukam itu. Untungnya Pak Wiranto segera meluruskan bahwa apa yang disampaikannya itu bukanlah intervensi, melainkan sekadar imbauan. “Kalau imbauan itu tidak mau diikuti, ya, tidak apa-apa,” kata Prik Wiranto. Nah, tinggallah kini KPK merasa rikuh atau tidak untuk tidak mengikuti imbauan seperti itu. Supremasi hukum itu menghendaki ketegasan penindakan, tidak boleh dipengaruhi oleh kerikuhan atau dipengaruhi politik, dan harus ditegakkan meskipun bumi dan langit sedang berge muruh. Pokoknya demokrasi tidak boleh menabrak nomokrasi dan keduanya harus bersinergi membangun NKRI.

This article have been publsihed in SINDO newspaper, 24 Maret 2018.

Author: Prof. Dr. Moh. Mahfud MD, S.H., S.U.

Lecturer in Faculty of Law, Universitas Islam Indonesia, Departement of Constitutional Law

Kamis, 22 Desember 2016 K duahariyang lalu, selama I seharian saya berdiskusi melalui Twitter dengan sangat banyak netizen tentang fatwa. Diskusitersebut dipicu oleh per nyataan Kapolri Tito Karnavian bahwa fatwa MUI bukan hukum positif. Pekanlalu Majelis Ulama Indonesia (MUI) memang mengeluarkan Fatwa No.56 Tahun 2016 yang menyatakan “haram” bagi kaum muslimin memakai atribut-atribut agama lain, termasuk atribut Natal.

Diberitakan, ada dua kapolres yang merespons dengan cepat dan bermaksud memberlakukan Fatwa MUI tersebut dilapangan. Namun, Kapolri Tito Karnavian menegur keduanya dan menyatakan bahwa Polriti dak bisa menegakkan fatwatersebut dalam posisinya sebagai penegak hukum, karena fatwa bukanlah hukum positif.

Atas pertanyaan seorang netizen, saya mengatakan bahwa “Kapolri benar, fatwa bukan hukum positif sehingga penegakannya tidak bisa menggunakan Polri sebagai aparat penegak hukum”. Ternyata banyak netizen yang belum paham arti fatwa dan arti hukum, bahkan tidak paham perbedaan antara norma hukum dan norma yang bukan hukum. Akun Twitter saya pun dibanjiri berbagai respons.

Selain yang sependapat dengan saya, ada juganetizenyang tidak setuju dan menyatakan fatwa MUI adalah hukum Islam yang mengikat bagi umat Islam. Bahkan ada juga yang mempertanyakan keislaman saya dengan tudingan, saya anti-MUI atau antihukum Islam. Saya sendiri tak terganggu sedikit pun dengan tudingan tersebut.

Pendapat saya bahwa fatwa bukan hukum positif dan tidak mengikat merupakan dalil yapg tidak perlu persetujuan darf alapa pun. Kalaurada yang tidak setuju put, dalil itu tetap berlake fatwaddakmengikat. Jangankan nya fatwa MUI, Fatwa Mahkamah Agung (MA) yang merupakan lembagayudikatif tertinggi pun tidak mengikat, tidak haruralikuti. Fatwa hanyalah pendapat hukum (legal opinion) dan bukan hukum itu sendiri.

Soal identitas keislaman, saya nyatakan bahwa justru karena saya Islam maka saya berpendirian bahwa fatwa keagamaan tidak mengikat dalam arti hukum, boleh diikuti dan boleh tidak. Saya juga sama sekali tidak anti-MUI karena saya tidak termasuk orang ikut berteriak agar MUI dibubarkan. Bagi saya, MUI sangat penting keberadaannya sebagai pembimbing umat yang sekaligus menjadi jembatan antara umat Islam dan pemerintah.

Saya menyatakan pendapat saya tentang fatwa sebagai pembelajar hukum, termasuk hukum Islam. Oleh sebab itu, masalah kedudukan fatwa yang tidak mengikat itu bisa saya jelaskan baik dari hukum nasional maupun dari hukum Islam sendiri. Dari sudut hukum nasional fatwa itu, meskipun berisi fatwa tentang hukum islam, tetapi tidak mengikat. Dalam hukum nasional yang mengikat adalah yang sudah dijadikan norma hukum, yakni ditatapkan keberlakuannya oleh negara

Didalam masyarakat, banyak sekali norma atau kaidah sebagai pedoman bertingkah laku, tetapi tidak semua norma menjadi hukum. Pada hari pertamamahasiswabelajardifakul tas hukum, misalnya, yang di ajaran adalah doktrin dan dalil utarnabahwa di dalam masyarakat ada empat macam norma ataukaidah yaitu norma keagamaan, norma kesusilaan, norma kesopanan dari norma hukum.

Norma yang mengikat dan bisa dipaksakan keberlakuannya melalui aparat negara adalah norma kukum, yakni norma yang diberlakukan secara resmi oleh negara melalul pemberlakuan oleh lembaga yang berwenang, misalnya, dijadikan UU. atau perda oleh lembaga legislatif. Orang memerkosa, misalnya, harus diadili dan dihukum karena yang bersangkutan melanggar norma yang sudah dijadikan UU, bukan karena melanggar hukum agama.

Namun, orang melanggar norma kesopanan seperti hanya memakai kaus ketika menghadap rektor atau melanggar norma agama seperti tidak mau berpuasa bulan Ramadan tidaklah dapat dihukum karena hal-hal tersebut bukan norma hukum. Kalau begitu, bisakah norma agama dijadikan hukum? Tentu saja bisa, sepanjang disahkan sebagai hukum oleh lembaga yang berwenang, misalnya dijadikan UU atau diberi bentuk peraturan perundangundangan lainnya dan bukan hanya berbentuk fatwa.

Dalam bidang keperdataan, misalnya, sudah ada norma agama Islam yang dijadikan hukum seperti di bidang perkawinan, pewarisan, dan ekonomi syariah yang bisa ditegakkan melalui ke kuatan negara. Hukum pidana islam (jinayat) yang mengenal qishas (Sanksi huklunan yang sama dengan pidana yang dilakukán) atauhad (jenis hukuman tertentu seperti cambuk dan potong tangan) sejatinya bukan hukum di Indonesia karena hal tersebut tidak diberlakukan.

Jadi, benarlah pendapat hukum atau fatwa Kapolri bahwa fatwa MUI tentang atribut Natal tak bisa ditegakkan oleh negara karena ia dalam konteks Indonesia, bukanlah hukum positif. Lebih dari itu, dikalang an internal umat Islam sendiri sebenarnya fatwa itu juga tidak mengikat karena ia hanya per dapat hukum dan belum tentu sama dengan hukum itu sendiri.

Itulah sebabnya setiap ulama bisa membuat fatwanya sendiri sendiri. Hasil penelitian dosen UIN Jakarta Rumadi yang sudah diterbitkan dalam bentuk buku, “Fatwa Hubungan Antar Agama di Indonesia menguraikan adanya beberapa fatwa yang berbeda dalam isu yang sama antara tiga lembaga yakni MUI(Komisi Patwa): NU (Lembaga Bahtsul Mail), dan Muhammadiyah (Majelis Tarjih).

Dalam hal mengucapkan se lamat Natal, pemimpin perempuan, ataubungabank, misalnya, ketiga lembaga tersebut menge luarkan fatwa yang berbedabeda. Keberbedaan tersebut bisa saja terjadi karena fatwa itu hanyalah pendapat hukurn dan bukan hukuin itu sendiri. Makanya fatwa tidak mengikat, kita boleh ikut salah satunya, boleh juga tidak diikuti ketiganya karena kita mengikuti fatwa yang lain lagi.

Kalau begitu, apakattfatwa itu penting? Tentu penting sebagai rujukan karena fatwa itu hanya boleh dibuat oleh orang atau lembaga yang berkompeten dalam bidang agama. Apakah fatwa itu baik? Tentu pada umumnya fatwa-fatwa itu baik karena bisa menjadi tuntunan bagi umat yang membutuhkan bimbingan. Tetapi terlepas dari soal penting dan baik, fatwa bukanlah hukum dan penegakannya tidak bisa menggunakan aparatur hukum negara.

 

This article have been published in SINDO newspaper, 24 December 2016