Assalamu’alaikum warahmatullahi wabarakatuh.

Dear Culture Enthusiasts,

We cordially invite you to join the International Cultural Festival conducted on 26 October – 6 November 2021. This program is a collaborative activity between the University of Economics and Human Sciences in Warsaw, Institut Francais Indonesia, Youngsan University, Nur Mubarak University, Nanjing Xiaozhuang University, and Universitas Islam Indonesia.

This program will provide you knowledge of culture in some countries.

More details are available on the poster.

Registration: https://bit.ly/ICFRegistration

Thank you very much.

Wassalamu’alaikum warahmatullahi wabarakatuh.

Author: Ayunita Nur Rohanawati, S.H., M.H.
Lecture in Faculty of Law, Universitas Islam Indonesia, Departement of Public Administration Law

Pandemi covid-19 dan globalisasi mewarnai kondisi bangsa saat ini. Saat globalisasi dahsyat menjalar ke seluruh masyarakat dunia, pandemi hadir dan semakin mengobrak abrik kondisi masyarakat dunia, termasuk Indonesia. Dampak dari pandemi yang terjadi bagi masyarakat Indonesia, khusunya pekerja di sektor swasta sangat besar, terutama bagi pekerja yang bekerja di perusahaan yang tidak mampu mempertahankan hingga harus melakukan pemutusan hubungan kerja dengan pekerjanya. Selain itu juga muncul berbagai permasalahan terkait disahkannya Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja, selanjutnya disebut UUCK, di mana salah satu ketentuan yang diatur di dalamnya ialah diperbolehkannya melakukan kesepakatan upah antara pemberi kerja dan pekerja.

Hukum Ketenagakerjaan lahir dalam posisi di antara hukum publik dan hukum privat. Hal ini terlihat dari hukum ketenagakerjaan yang di dalamnya memuat tentang hubungan kerja di mana hubungan tersebut didasarkan pada sebuah perjanjian kerja antara pekerja dan pengusaha. Relasi yang terjalin antara pengusaha dan pekerja tersebut merupakan relasi yang sifatnya privat, namun dalam relasi yang terjalin ini perlu diketahui bahwasanya ada ketimpangan kedudukan antara dua belah pihak yang terlibat dalam perjanjian kerja ini. Adanya ketimpangan tersebut perlu dinetralisir dengan hadirnya pemerintah dalam relasi privat yang terjalin. Kehadiran pemerintah ini menjadi salah satu bentuk proteksi bagi pekerja yang memiliki kedudukan yang lebih rentan dalam sebuah relasi kerja.

Seiring dengan permasalahan globalisasi dan pandemi covid-19 yang berdatangan, memunculkan berbagai macam regulasi baru yang menyesuaikan kondisi tersebut, dalam bidang ketenagakerjaan muncul permasalahan baru yang meresahkan pekerja terkait adanya sebuah “kesepakatan upah”. Mengapa sebuah kesepakatan upah menjadi sebuah masalah baru? Jika dikupas dari sudut pandang hukum ketenagakerjaan, upah adalah salah satu unsur yang disepakati dalam sebuah perjanjian kerja, selain pekerjaan dan perintah. Hal tersebut sebagaimana yang disebutkan dalam Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan, atau yang dikenal dengan UUK.

Hanya saja yang perlu diingat bahwasanya, upah yang disepakati sebagaimana dimaksud dalam UUK bukan tanpa batasan dan bukan murni dari kehendak para pihak dalam hubungan kerja seperti layaknya perjanjian biasa. Dalam sebuah perjanjian kerja, upah adalah hal inti yang menjadi tujuan pekerja dalam bekerja, demi mencapai kesejahteraan pekerja dan keluarganya. Oleh karena itu, terdapat pengaturan terkait upah minimum. Tujuan dari upah minimum ini ialah untuk memberikan batas bawah dari jumlah pemberian upah yang dilakukan oleh pengusaha pada pekerja, atau disebut sebagai jaring pengaman.

Peraturan Pemerintah Nomor 36 Tahun 2021 tentang Pengupahan mengatur tentang kesepakatan upah ini berlaku bagi pelaku usaha mikro kecil yang tidak lagi diwajibkan menerapkan upah minimum sebagai batasan pengupahan yaitu dengan batasan 50% dari rata-rata konsumsi masyarakat di tingkat provinsi dan nilai upah yang disepakati paling sedikit 25% di atas garis kemiskinan di tingkat provinsi. Lebih lanjut disebutkan data-data sebagaimana dimaksudkan di atas adalah data yang bersumber dari lembaga yang berwenang di bidang statistik.

Lalu bagaimanakah pengukuran yang dapat dilakukan dengan gambaran yang diberikan pasal dalam PP Pengupahan terbaru tersebut? Hal tersebut masih menjadi tanda tanya besar. Pemerintah sebagai pihak yang dapat memberikan rasa aman bagi pekerja dalam menjalin sebuah hubungan kerja dengan pengusaha, hendaknya dalam hal ini perlu memberikan sebuah gambaran teknis yang tegas yang dapat dilaksanakan terkait dengan penerapan regulasi tersebut dalam wujud regulasi yang dapat dipaksakan pelaksanaannya dan terdapat sanksi jika ada pelanggaran atas regulasi pengupahan tersebut. Jika sebuah aturan tentang upah tidak diimbangi dengan keberadaan sanksi maka akan membuka peluang terjadinya pelanggaran yang berakibat tidak terpenuhinya hak pekerja yang paling fundamental dan tentunya berpengaruh terhadap kesejahteraan pekerja dan keluarga yang ingin dicapai.

This article have been published in rubric Analisis KR, of Kedaulatan Rakyat newspaper, 08 October 2021.

 

Assalamualaikum warohmatullahi wabarokatuh,

Dear all,

We proudly announce that the International Program of Undergraduate Study Program in Law, Faculty of Law, Universitas Islam Indonesia in collaboration with the Juridical Council of International Program (JCI) will be hosting the International Student Colloquium 2021.  The conference is scheduled for December 15th, 2021, under the theme “The Interface between Law and Technology in the time of Pandemic” There will be several events such as the international paper competition, international seminars, gala ceremony, and awards that will be conducted by the student of International Program of Undergraduate Study Program in Law, Faculty of Law, Universitas Islam Indonesia. We are working hard to make this conference an event that everyone will enjoy and remember. There are several important issues and dates that we would like to bring to your attention:

The Events

There will be two events in the International Student Colloquium 2021, namely: The International Conference and the International Paper Competition.

The International Conference is open for lecturers, students, or others, and will be conducted online. There will be magnificent professors from all over the world who will speak about the role and challenges of Cyber Law from their countries’ perspective.

The International Paper Competition is open for undergraduate Law students from any university around the world. The selected papers will be presented at the International Student’s Colloquium and be given several awards, namely: 1st Best Paper, 2nd Best Paper, 3rd Best Paper, and 4th Best Paper. For presentation: 1st Best Presenter, 2nd Best Presenter, and 3rd Best Presenter. For Participant: 1st Best Participant and 2nd Best Participant. Also, other extraordinary awards from the students will be announced during the event

Registration

To join the International Conference please click on:
https://bit.ly/ISC2021InternationalConference

To register for the International Paper Competition please click on:
https://bit.ly/ISC2021InternationalPaperSubmission

Technical for International Paper Competition

The submission for International Paper will be opened due November 30th, 2021. The submitted papers will be selected through two selection processes. The Preliminary Selection will be conducted to select the 15 best papers from all. The result of the Preliminary Selection will be announced via Instagram @jci_uii and will be contacted by Email and Whatsapp on December 8th, 2021. The selected papers will be presented during the Final Round on December 15th, 2021, which will be conducted online. For further information about the International Paper Competition, please read the guidelines on  https://bit.ly/ISC2021GuidebookforPaper.

 

Awards
Best paper 1 ( Voucher @ IDR 1.000.000 + Backpack + Merchandise + medal)
Best paper 2 ( Voucher @ IDR 800.000 + Backpack + Merchandise + medal)
Best paper 3 ( Voucher @ IDR 600.000 + Backpack + Merchandise + medal)
Best paper ( Voucher @ IDR 400.000 + Backpack + medal)

Best presenter 1 ( Voucher @ IDR 500.000 + Merchandise + medal)
Best presenter 2 ( Voucher @ IDR 300.000 + Merchandise + medal)
Best presenter 3 ( Voucher @ IDR 200.000 + Merchandise + medal)

Best participant:
Best participant 1 ( Backpack + Merchandise)
Best participant 2 ( Merchandise)

 

If you have any questions regarding the conference or the paper competition, please feel free to contact us:

M. Agastya Mahendra Ma’ruf ([email protected])

Tata Angelia ([email protected])

Thank you for your participation and we look forward to seeing you.

Wassalamualaikum warohmatullahi wabarokatuh,

 

Sincerely,

The Committee of the International Students Colloquium 2021

The Juridical Council of International Program (JCI) Faculty of Law, Islamic University of Indonesia on Wednesday, September 29, 2021 held an actual study with the theme “Effectiveness in Enforcement of Criminal Sanctions against Child Violence” which was presented directly by Mr. Ari Wibowo, S.H.I., S.H.M.H. as Lecturer of Criminal Law, Faculty of Law UII. The activity was carried out online via Zoom and was attended by approximately 50 participants

On the occasion of this study, Mr. Ari Wibowo discussed the legal instruments that regulate the protection of children and how effective the impact of the law is in society. When the criminal threat is too light so that it is considered ineffective, the legislators have tried to amend and strengthen the existing Child Protection Law by adding a weighting of the criminal threat as much as 1/3 of the previous criminal sanction. This change is expected to have a deterrent effect for perpetrators so as not to repeat their actions in the future and provide a warning to the public not to commit similar acts.

He also added about his response to why Indonesia chose chemical castration as a punishment, while overseas chemical castration is a common thing, such as someone who doesn’t want to get married and to reduce their lust, they will go to the doctor for the chemical injection. Whereas in Indonesia it is used as a deterrent effect? In answering this question, according to Mr. Ari Wibowo, the policy of penal punishment in the form of chemical castration as a sanction for action in Perpu No.1 of 2016 has indirectly presented that the purpose of punishment is not merely a means of retaliation or deterrence, but as a form of rehabilitation or recovery. condition of the perpetrator so as not to repeat the same mistake.

Mr. Dodik Setiawan Nur Heriyanto, S.H.,M,H.,LL.M.,Ph.D who is the secretary of the law study program for the IP undergraduate program was also present. He admitted that there was a lot of new knowledge gained from the material presentation session. It is hoped that with this theme, participants will be more concerned about the issue of violence against children.

Author: Dr. Jamaludin Ghafur, S.H., M.H.

Lecturer in Faculty of Law, Universitas Islam Indonesia, Departement of Constitutional Law

“Membiarkan AD/ART yang tak bisa tersentuh oleh hukum sebagaimana yang terjadi selama ini telah terbukti memberi kesempatan dan peluang bagi penguasa parpol untuk memperlakukan parpol sesuai dengan selera para elitenya”

Advokat kondang Yusril Ihza Mahen dra membuat sebuah gebrakan dengan mengajukan permohonan pengujian peraturan (judicial review ) ke Mahkamah Agung. Adapun objek yang diuji adalah Anggaran Dasar dan Anggaran Rumah Tangga (AD/ART) Partai Demokrat.

Langkah ini boleh dibilang cukup radikal dan revolusioner mengingat berdasarkan hukum positif yang saat ini berlaku, AD/ART partai bukan merupakan salah satu jenis peraturan perundang-undangan karena tidak dibuat oleh lembaga ataupejabat negara.

Sebagaimana termaktub dalam UU Nomor 12 Tahun 2011, yang dimaksud dengan peraturan perundang-udangan adalah peraturan tertulis yang memuat norma hukum yang mengikat secara umum dan di bentuk atau ditetapkan oleh lembaga negara atau pejabat yang berwenang melalui prosedur yang ditetapkan dalam peraturan perundang-undangan. Namun apakah sebuah peraturan yang tidak dibuat oleh pejabat dan lembaga negara secara otomatis akan serta merta dapat dilabeli sebagai bukan peraturan perundang-undangan?

AD/ART Partai sebagai “Peraturan Perundang-Undangan”

Secara teori dan praktik, undang-undang (UU) sebagai produk kesepakatan bersamaan tara Presiden dan DPR sudah pasti tidak akan mungkin mengatur satu hal dengan sangat terperinci dan detail karena hal itu akan menyebabkan terlalu tebalnya produk sebuah UU sehingga akan sulit menyesuaikan dengan perkembangan kebutuhan hukum masyarakat.

Selain itu parlemen sebagai lembaga legislatif utama tidak punya cukup banyak waktu untuk secara detail memberikan perhatian atas segala urusan teknis mengenai materi muatan suatu UU.

Pada umumnya UU hanya berisi kerangka dan garis besar kebijakan yang penting-penting sebagai parameter. Sementara hal-hal yang bersifat lebih teknis-operasional biasanya akan diperintahkan untuk diatur lebih lanjut dengan instrumen peraturan di bawahnya.

Dalam perspektif teori perundang-undangan, pelimpahan kekuasaan atau kewenangan dari pembentuk UU kepada lembaga lain untuk mengatur lebih lanjut suatu materi muatan UU tertentu disebut dengan delegasi (delegation of the rule making power).

Dalam konteks ini, salah satu alasan pembentukan AD/ART parpol karena hal tersebut merupakan perintah dari UU. Ada banyak materi muatan dalam UU Parpol yang aturan terperincinya didelegasikan untuk diatur lebih lanjut dalam AD/ART.  Sebagai contoh, Pasal 15 ayat (1) UU Parpol berbunyi: “Kedaulatan Partai Politik berada di tangan anggota yang dilaksanakan menurut AD dan ART”. Pasal 22 berbunyi, “Kepengurus n partai politik di setiap tingkatan dipilih secara demokratis melalui musyawarah sesuai dengan AD dan ART.” Sementara Pasal 29 mengamanatkan agar rekrutmen anggota parpol, bakal calon anggota DPR dan DPRD, bakal calon presiden dan wakil presiden serta bakal calon kepala daerah dan wakil kepala daerah dilakukan secara demokratis dan terbuka sesuai dengan AD dan ART.

Oleh karena fungsi dari AD/ART parpol adalah menerjemahkan dan mengelaborasi lebih detail ketentuan-ketentuan yang ada dalam UU, sudah selayaknya untuk memperlakukan dan memposisikan AD/ART sebagai bagian dari peraturan perundang-undangan di bidang ke partaian dalam arti luas. Ten tang hal ini, Kennet Janda (2005), seorang ilmuwan parpol kenamaan asal Amerika Serikat, menyatakan bahwa yang dimaksud dengan hukum kepartaian adalah peraturan hukum baik yang ditetapkan oleh pemerintah (external rules) maupun peraturan yang dibuat oleh parpol (internal rules).

Kebutuhan Pengujian

Parpol sejatinya adalah instrumen penting dalam negara demokrasi. Begitu sakralnya peran parpol sampai-sampai ada yang berpendapat bahwa demokrasi kontemporer adalah demokrasi partai (Katz: 1980).

Namun kehadiran parpol hanya akan memberi kontribusi positif bagi pelembagaan demokrasi apabila parpol dikelola secara demokratis dan profesional. Salah satu ciri pe nge lolaan parpol yang profesional ditandai dengan terjadinya de personalisasi dalam arti urusan pribadi para pengurusnya tidak dicampuradukkan de ngan urusan parpol sebagai organisasi.

Sayangnya yang terjadi di Indonesia saat ini adalah parpol hanya diposisikan sebagai sarana pemuas ambisi dan ke pentingan politik para elite dan pemimpinnya, bukan menjadi instrumen atau alat demokratisasi. Parpol dikelola secara oligarkis dan bahkan personalistik dengan melanggengkan suksesi kepemimpinannya berdasarkan sistem warisan.

Implikasinya, banyak ke pemimpinan dalam parpol yang kemudian menampilkan karakter yang tidak demokratis dan diktator yang sering kali melakukan intimidasi politik terhadap anggota dan para kadernya dengan memanfaatkan otoritas dan pengaruhnya yang sangat besar. Sebagian dari para pemimpin parpol telah menjadi simbol dari otoritarianisme itu sendiri, sesuatu yang sebenarnya ingin dikikis habis oleh gerakan reformasi.

Semua ini terjadi karena AD/ART sebagai konstitusi parpol yang seharusnya berfungsi secara maksimal dalam memberikan perlindungan dan jaminan hukum atas hak-hak anggota justru hanya berisi hal-hal yang mengakomodasi kepentingan penguasa partai. Akibatnya para kader dan ang gota menjadi tidak berdaya di hadapan elite dan ketua umum. Padahal, menurut UU, anggota adalah pemegang kedaulatan dalam partai.

Untuk memastikan bahwa anggota benar-benar berdaulat, berbagai ketentuan yang membelenggu dan merugikan kader dan anggota yang termuat dalam AD/ ART parpol harus diakhiri. Caranya adalah de ngan mem buka peluang bagi siapapun yang merasa dirugikan hak-haknya untuk mengujinya ke muka pengadilan, yaitu di Mahkamah Agung.

Dibukanya peluang untuk men-judicial review AD/ART partai merupakan upaya untuk memberi perlindungan yang maksimal terhadap kepentingan anggota, masyarakat, dan bahkan demi menjaga kepentingan bangsa dan negara yang lebih luas, yaitu dalam rangka meningkatkan dan memperkuat kualitas demokrasi.

Membiarkan AD/ART yang tak bisa tersentuh oleh hukum sebagaimana yang terjadi selama ini telah terbukti memberi kesempatan dan peluang bagi penguasa parpol untuk memperlakukan parpol sesuai dengan selera para elitenya sehingga cita-cita untuk me lembagakan parpol menjadi jauh panggang dari api. Jika hal ini terus dibiarkan, harapan masyarakat terhadap semakin membaiknya proses beremokrasi hanya akan menjadi mimpi di siang bolong.

 

This article have been published in OPINI rubric, of SINDO newspaper, 28 September 2021.

Author: Dr. Siti Anisah, S.H., M.Hum.

Dosen Fakultas Hukum Universitas Islam Indonesia (FH UII), Departemen Hukum Perdata

Pemerintah dan Otoritas Jasa Keuangan(OJK) telah menerbitkan sejumlah peraturan untuk mengatasi persoalan dampak ekonomi akibat pandemic covid-19. Namun secara umum persoalan perekonomian masih belum dapat teratasi secara menyeluruh.

Masih terdapat debitur yang gagal bayar dan menjadikan para pihak (khususnya kreditur) lebih memilih melakukan penyelesaian hukum melalui Kepailitan dan PKPU. Hal ini tampak dari naiknya jumlah permohonan pernyataan pailit dan PKPU pada tahun 2020 yakni total 642 perkara jika dibandingkan tahun 2019 yakni 459 perkara. Pilihan kreditur ini antara lain didorong oleh keberadaan pranata hukum Kepailitan dan PKPU yang memberikan kemudahan bagi kreditur untuk menyelesaikan persoalan piutang mereka dengan waktu yang cepat dan syarat yang relatif mudah.

Celah Hukum UU Kepailitan dan PKPU

Perkembangan penerapan Undang-Undang  No. 37 Tahun 2004 tentang Kepailitan dan PKPU (selanjutnya disebut UU Kepailitan dan PKPU) di Lembaga Jasa Keuangan (LJK) pada masa Pandemi Covid-19 ini telah menimbulkan tren jumlah perkara kepailitan dan PKPU yang cenderung meningkat signifikan. Data Sistem Informasi Penelusuran Perkara (SIPP) pada seluruh Pengadilan Niaga (Jakarta Pusat, Semarang, Surabaya, Makassar, dan Medan) menunjukkankenaikan jumlah perkara kepailitan dan PKPU.

Selain disebabkan oleh pandemi Covid-19 yang mempengaruhi kemampuan debitur untuk membayar utang, kenaikan perkara itu juga akibat ketidakpastian pengaturan mengenai kepailitan dan PKPU di LJK. Bentuk ketidakpastian itu berupa tumpang tindih antar peraturan yang satu dengan peraturan lainnya, dan terdapat aturan yang membuka peluang pailit lebih mudah. Celah hukum ini menjadikan pernyataan pailit dan PKPU selama pandemi covid-19 sebagai jalan pintas (short-cut) untuk menagih utang.

Secara khusus permasalahan hukum Kepailitan dan PKPU di  LJK berkenaan dengan isu legal standing dari pemohon pernyataan pailit dan PKPU. Isu legal standing terjadi karena adanya perbedaan penafsiran mengenai pihak yang dapat mengajukan permohonan pernyataan paili dan PKPU untuk LJK. Satu sisi, ada pendapat yang berhak untuk mengajukan permohonan pernyataan pailit dan PKPU adalah OJK, sedangkan sisi lainnya pihakyang mengajukannya adalah kreditor.

Kewenangan OJK tersebut lahir tidak dari UU Kepailitan dan PKPU. Dalam UU Kepailitan dan PKPU kewenangan OJK itu melekat pada Bank Indonesia, Menteri Keuangan, dan BAPEPAM. Sejak 31 Desember 2012 melalui ketentuan peralihan UU No. 21 Tahun 2011 tentang OJK, pihak yang berhak mengajukan permohonan pernyataan pailit dan PKPU LJK beralih kepada OJK.

Praktiknya ini menyisakan ketidakpastian. Misalnya kewenangan pengaturan dan pengawasan perbankan masih ada di BI dan OJK. Selanjutnya untuk mengajukan permohonan pernyataan pailit dan PKPU LJK oleh kreditur terjadi karena pemberlakuan Undang-Undang Administrasi Pemerintahan yang menyatakan bahwa apabila masyarakat atau kreditur meminta persetujuan kepada OJK dan dalam waktu sepuluh hari tidak memberikan jawaban, maka OJK dianggap setuju untuk mengajukan permohonan pernyataan pailit dan PKPU LJK.

Optimalisasi LAPS-LJK untuk Penyelesaian Utang Piutang

Banyak perusahaan LJK yang terdampak pandemi covid-19 harus berjuang untuk dapat mempertahankan going concern perusahaan. Ini semakin berat bila memiliki utang atau kewajiban terhadap pihak lain. Pihak lain pun akan kesulitan bila ia tidak segera menerima pembayaran atas piutangnya. Bila mengandalkan bekerjanyan UU Kepailitan dan PKPU sebagai primum remedium, ini menjadi kontraproduktif. Mempertahankan going concern perusahaan LJK seharusnya masih menjadi prioritas. Mengingat halangan berprestasi yang dihadapi oleh debitur pada saat pandemi disebabkan oleh adanya kejadian di luar kemampuan debitur (change of circumstances) dan masih ada potensi kondisi perusahaan LJK dapat diperbaiki setelah pandemi covid-19 terlewati. Dengan demikian, seharusnya upaya hukum kepailitan ini hanya ditempuh sebagai upaya terakhir (ultimum remedium) terhadap debitur dalam hal ada ketidakmampuan untuk pemenuhan prestasi.

Pandemi covid-19 tidak kunjung berakhir, dan upaya penanggulangannya pun belum optimal, sementara itu dampak nyata terhadap kesulitan atau kemampuan membayar debitur sudah terjadi. Untuk itu upaya penyelesaian utang piutang seyogiyanya ditempuh melalui musyawarah mufakat, atau alternatif penyelesaian sengketa lainnya, sebagai media sharing the pain untuk memperoleh win-win solution. 

Upaya preventif yang dapat dilakukan oleh Otoritas Jasa Keuangan untuk dapat ikut menjaga kelangsungan usaha di LJK dari ancaman permohonan pernyataan pailit adalah dengan cara memaksimalkan upaya penyelesaian sengketa dengan memaksimalkan peran dari Lembaga Alternatif Penyelesaian Sengketa (LAPS). OJK telah menerbitkan Peraturan OJK Nomor 1/2014 tentang Lembaga Alternatif Penyelesaian Sengketa di Sektor Jasa Keuangan (POJK LAPS).

Peraturan OJK tersebut disusul keluarnya Keputusan OJK Nomor Kep-01/D.07/2016 tanggal 21 Januari 2016 yang mengesahkan pembentukan 6 (enam) Lembaga APS yaitu:Lembaga Alternatif Penyelesaian Sengketa Perbankan Indonesia (LAPSPI); Badan Arbitrase Pasar Modal Indonesia (BAPMI); Badan Mediasi dan Arbitrase Asuransi Indonesia (BMAI); Badan Arbitrase dan Mediasi Perusahaan Penjaminan Indonesia (BAMPPI); Badan Mediasi Pembiayaan dan Pegadaian Indonesia (BMPPI); Badan Mediasi Dana Pensiun (BMDP).

Salah satu persyaratan sengketa yang dapat diselesaikan oleh LAPS adalah sengketa perdata yang timbul di antara para pihak sehubungan dengan kegiatan di sektor industri jasa keuangan. Dengan memaksimalkan peran LAPS untuk menyelesaikan sengketa keperdataan tentunya dapat mengurangi potensi adanya permohonan pernyataan pailit dan PKPU LJK.POJK LAPS mengamanatkan adanya suatu sistem penyelesaian sengketa (khususnya antara konsumen dengan LJK), yang terdiri dari penyelesaian sengketa secara internal di LJK, penyelesaian melalui lembaga peradilan umum (pengadilan), serta melalui LAPS dengan suatu prosedur tertentu.

Prosedur penyelesaian sengketa melalui LAPS LJK melalui 2 (dua) tahapan yaitu penyelesaian pengaduan yang dilakukan oleh LJK (internal dispute resolution) dan penyelesaian sengketa melalui lembaga peradilan atau lembaga di luar peradilan (external dispute resolution). Pasal 2 POJK LAPS menentukan bahwa pada dasarnya penyelesaian pengaduan wajib diselesaikan dahulu oleh LJK melalui unit pengaduan konsumen di tiap-tiap LJK.

Penyelesaian di luar pengadilan dapat dilaksanakan apabila tidak tercapai kesepakatan penyelesaian pengaduan melalui LAPS. Apabila para pihak memilih penyelesaian pengaduan sengketa dilaksanakan di luar pengadilan, maka penyelesaian pengaduan sengketa akan diselesaikan melalui LAPS yang dimuat dalam daftar LAPS yang ditetapkan OJK.

Efektifitas berlakukan LAPS-LJK akan terjadi bila OJK melakukan beberapa hal, yaitu: pertama, OJK perlu mengoptimalkan peran dan fungsinya dalam pengawasan LJK agar praktik-praktik penyalahgunaan LJK dapat dicegah dari awal. Kedua, OJK perlu segera bekerjasama dengan Mahkamah Agung untuk melakukan tindakan proaktif antara lain sosialisasi dan edukasi mengenai pranata hukum kepailitan dan PKPU LJK kepada para penegak hukum dan pihak-pihak lain yang berkepentingan atas LJK secara berkelanjutan.

This article have been published in REPUBLIKA,  04 June 2021.

The International Program of the Faculty of Law, Universitas Islam Indonesia held a Gala Ceremony for the Juridical Council of International Program (JCI) and the Student Association of International Law (SAIL) on Wednesday, (22/09/2021). The event was carried out in a hybrid manner by combining online and offline systems. The Gala Ceremony was attended by the Secretary of the International Undergraduate Study Program in Law of Faculty of Law of the Universitas Islam Indonesia (IP Faculty of Law) as well as JCI and SAIL board of managements.

The event was held to give appreciation to the previous management of the two organizations, as well as the symbolic handover of the organization’s relay to the new management of the organization. Secretary of the IP Faculty of Law, Dodik Setiawan Nur Heriyanto, S.H., M.H., LLM., Ph.D., in his speech appreciated the continuation of scientific activities that have been held by these two organizations. Dodik Setiawan appreciated JCI for holding several webinars that were relevant to actual legal issues, and to the SAIL that was actively making achievements on competitions at the international level. In addition, Dodik Setiawan also hopes that the next JCI and SAIL management will be able to increase the number of organizational members. Recalling that, human resources are one of the most important things in the implementation of activities.

Dodik Setiawan also reminded the students to keep the spirit in organizing. He also shared how JCI and SAIL have had a long history and outstanding alumni. Dodik Setiawan also shared how he was involved in the founding of JCI and SAIL when he was a student of the IP Faculty of Law. “SAIL is, like my child. JCI is also (like) my own child. So, I hope that all of us can build these organizations to be wider and bring good impact for the academic community of the Faculty of Law of the Universitas Islam Indonesia.”

Dodik Setiawan gave awards to the previous chairman of JCI and SAIL. These awards are given as a form of appreciation from the IP Faculty of Law, for the dedication and hard work of the students in running the organization. The previous chairman of JCI, Akhiruddin Syahputra Lubis, and the President of SAIL, Arief Hasanul Husnan Nasution, received plaques and souvenirs as a symbol of appreciation given by the IP Faculty of Law. In addition, souvenirs were also given for the chairman of JCI for the period 2021-2022, Muhammad Rifaldi Rizmawan. “So that he is not being burned out when carrying out the mandate as the JCI Chairman,” said Dodik Setiawan while symbolically putting a cap on Rifaldi.

According to Rifaldi, the momentum of this Gala Ceremony is the first step for the new JCI management to continue to build good relations and work programs with the faculty. “JCI as a student organization has a significant role in building the ‘horizons’ of IP students. JCI takes the spirit of collaboration and is progressive in welcoming this new period.” (Tazkia)

The International Program of the Undergraduate Study Program in Law, Faculty of Law of the Universitas Islam Indonesia collaborate with the Juridical Council of International Program of the Faculty of Law of the Universitas Islam Indonesia (JCI) implementing the second dose vaccination program for 21 students, on Wednesday, September 15, 2021. This event was the follow up on the for the first dose vaccination program that was given on Tuesday, June 22, 2021. This vactionation program was held at Universitas Islam Indonesia Hospital (RS UII) in Bantul.

The Secretary of the International Undergraduate Study Program, Dodik Setiawan Nur Heriyanto, S.H., M.H., LL.M., Ph.D., accompanying students who were got the second shot. Furthermore, he stated that vaccination is an effort to deal with the COVID-19 pandemic situation which has not shown any sign of ending. He also added that the implementation of the vaccination has become the starting point for the implementation of Facultys programs such as the hybrid lecture system that will conduct next semester.

Dodik Setiawan Nur Heriyanto, S.H., M.H., LL.M., Ph.D. hopes that the pandemic can end soon so that teaching and learning activities at the Faculty of Law, especially in the International Program, can run normally and can maximize the various programs that have been launched. In addition, he also asked for cooperation from all students who received the second shot to always communicate with each other in case of any Post-Immunization Adverse Events (AEFI) experienced by them.

 

              

 

Author: M. Syafi’ie, S.H., M.H.

Lecturer in Faculty of Law,  Universitas Islam Indonesia, Departement of Constitutional Law

Suatu saat penulis bertanya kepada seorang guru, dimana posisi hukum dalam agama Islam? Beliau menjawab bahwa hukum merupakan bagian dari Islam. Ajaran hukum lebih kecil dibanding dengan ajaran Islam yang luas antara lain  terkait aqidah, akhlaq, dan ilmu pengetahuan. Sedangkan hukum umumnya dikaitkan dengan ibadah dan muamalah yang menjadi domain fiqh.

Muhammad Adnan mengatakan, agama diterjemahkan dari bahasa Arab Ad-Din, Asy-syari’ah at-Thoriqoh, dan Millah yang diartikan sebagai peraturan dari Allah untuk manusia berakal, untuk mencari keyakinan, mencapai jalan bahagia lahir bathin, dunia akhirat, bersandar kepada wahyu-wahyu ilahi yang terhimpun dalam Kitab Suci yang diterima oleh Nabi Muhammad.

Islam menurut A. Gaffar Ismail ialah nama agama yang dibawa oleh Nabi Muhammad yang berisi kelengkapan dari pelajaran-pelejaran yang meliputi : (a) kepercayaan; (b) seremoni-peribadahan; (c) tata tertib kehidupan pribadi; (d) tata tertib pergaulan hidup; (e) peraturan-peraturan Tuhan; (f) bangunan budi pekerti yang utama, dan menjelaskan rahasia kehidupan yang akhirat.

Hukum sendiri berasal dari bahasa arab hakama-yahkumu-hukman (masdar) yang dalam Kamus Arab-Indonesia Mahmud Junus diartikan dengan menghukum dan memerintah. Hukum juga diartikan dengan memutuskan, menetapkan, dan menyelesaikan setiap permasalahan. Menurut Muhammad Daud Ali, hukum dapat dimaknai dengan norma, kaidah, ukuran, tolak ukur, pedoman yang digunakan untuk menilai dan melihat tingkah laku manusia dengan lingkungan sekitarnya.

Dalam ushul fiqh, hukum syar’i diartikan dengan khitab (kalam) Allah yang berkaitan dengan semua perbuatan mukallaf, baik berupa iqtidha’ (perintah, larangan, anjuran untuk melakukan atau meninggalkan), takhyir (memilih antara melakukan dan tidak melakukan), atau wadh’i (ketentuan yang menetapkan sesuatu sebagai sebab, syarat, atau penghalang/mani’)

Maksud dari khitabullah ialah semua bentuk dalil-dalil hukum yang bersumber dari Qur’an, Sunnah serta ijma’ dan qiyas. Menurut Abdul Wahab Khalaf, yang dimaksud dengan dengan dalil hanya Qur’an dan Sunnah, sedangkan ijma’ dan qiyas merupakan upaya ijtihadi untuk menyingkap hukum dari Qur’an dan Sunnah. Kita tahu, ada banyak metode ijtihad untuk menggali hukum syar’i, antara lain : qiyas, istihsan, maslahah mursalah, istishab, al-‘adah, dan fathu ad-dzari’ah dan sadd al-dzari’ah.

Hukum Islam secara umum dapat dibagi menjadi dua, pertama, hukum taklifi yang terdiri dari al-wujub (wajib), an-nadbu (sunnat), al-ibahah (mubah), al-karoheh (makruh), dan al-haromah (haram). Contohnya, wajib puasa bulan Romadhan, haramnya minum khamar, mubahnya makan minum, serta makruhnya merokok. Kedua, hukum wadh’iy yang didalamnya ada sebab, syarat, mani’, sah-batal, rukhsoh-‘azimah. Contohnya, waktu matahari tergelincir di tengah hari menjadi sebab wajibnya seorang mukallaf menunaikan sholat dzuhur, wudhu’ menjadi syarat sahnya sholat, haid menjadi penghalang (mani’) seorang perempuan melakukan kewajiban sholat atau puasa.

Pemikiran di atas memperlihatkan bahwa ada perbedaan antara Islam sebagai agama, dan hukum sebagai bagian dari agama Islam. Perbedaan tersebut sangat kecil, karena itu ada tiga konsep yang wajib diketahui dan dipahami oleh seorang muslim, yaitu syari’ah, fiqh, dan qonun. Mengetahui ketiganya akan mengantarkan kepada seorang muslim untuk mengerti mana wilayah yang tidak mungkin berubah dan tunggal, serta mana wilayah yang bisa berubah dan berbeda-beda tafsirnya.

Menurut Hasbi As-Shiddieqy, syariat berarti jalan tempat keluarnya sumber mata air atau jalan yang dilalui air terjun yang diasosiakan oleh orang Arab sebagai at-thhariqah al-mustaqimah. Secara terminologi, syariat berarti tata aturan atau hukum-hukum yang disyariatkan Allah kepada hamba-Nya untuk diikuti (Qs. Al-Jasiyah : 18). Fiqh menurut Fathurrman Djamil ialah dugaan kuat yang dicapai oleh seorang mujtahid dalam usahanya menemukan hukum Allah. Fiqh memiliki keterkaitan dengan hukum-hukum syara’ yang bersifat praktis yang bersumber pada dalil-dalil yang terperinci. Sedangkan qonun biasa diartikan dengan Undang-Undang. Ulama’ salaf mendefinisikannya sebagai kaidah-kaidah yang bersifat kully (menyeluruh) yang didalamnya tercakup hukum-hukum juz’iyyah (bagian-bagiannya). Qonun umumnya dibuat oleh pemerintah yang berkuasa.

Syari’ah, fiqh dan qonun berbeda. Ajaran syari’at tedapat dalam Qur’an dan hadist yang tidak mungkin berubah teksnya, bersifat fundamental, abadi karena merupakan ketetapan Allah dan Nabi Muhammad, tunggal yang meperlihatkan konsep kesatuan Islam. Sedangkan fiqh dan qonun merupakan produk pemahaman manusia yang menggali hukum dalam Qur’an dan hadist, bersifat instrumental, mengalami perubahan sesuai waktu, zaman serta keadaan. Realitasnya seperti yang kita ketahui saat ini, dimana produk hukum fiqh dan qonun cenderung berbeda-beda sesuai madzhab yang sangat beragam. Kita bisa lihat perbedaan-perbedaan tersebut dalam kitab-kitab fiqh perbandingan.

Uraian di atas memperlihatkan kepada kita bahwa saat kita memeluk agama Islam kita satu, syariatnya tunggal yaitu Al-Qur’an dan Hadist, tetapi saat bersamaan kita umumnya mengikuti ‘hukum’ atau ‘qonun’ madzhab tertentu, disitulah beberapa praktik keagamaan umat Islam berbeda-beda. Dalam konteks ini, biar tidak kagetan dan apalagi sampai mengkafirkan, umat Islam dituntut untuk belajar ilmu-llmu yang menjadi basis hukum dalam Islam seperti ilmu Ushul Fiqh, Qowaidul Fiqh, Perbadingan Madzhab, Maqosid Syari’ah, Ulumul Qur’an, Ulumul Hadist, Ulumul al- Tafsir, dan Ilmu Mantiq (Logika).

 

This article have been published in  UII News edisi Maret 2021.

Coronavirus Disease 2019 atau yang sering biasa disebut Covid-19 merupakan sebuah pandemi yang tak pelak usai hingga saat ini wabah ini sudah mengakibatkan sejumlah perbuahan besar dalam berbagai sektor salah diantaranya yaitu sektor ekonomi. Kasus kematian Covid-19 kian hari kian meningkat.

Data Kementerian Kesehatan Republik Indonesia per 3 April menyebutkan kasus positif Covid-19 sejumlah 1.821.703 jiwa, sembuh sejumlah 1.669.119 jiwa, dan meninggal sejumlah 50.578 jiwa. betapa sangat membahayakannya Covid-19 ini.

Namun disamping itu berbagai regulasi sudah diterapkan diantaranya diberlakukannya Social Distancing untuk segala bentuk kegiatan, Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB) sebagaimana terdapat dalam Peraturan Pemerintah Nomor 21 Tahun 2020, Karantina Kesehatan, Bahkan sampai dilakukannya Pemberlakuan Pembatasan Kegiatan Masyarakat (PPKM) sebagiamana terdapat dalam Instruksi Menteri Dalam Negeri Nomor 1 Tahun 2021 tentang PPKM Jawa-Bali, serta upaya pemerintah yang sedang diberlakukan sekarang yaitu program vaksinasi.

Namun dalam program vaksinasi Covid-19 ini memunculkan polemik baru dimana tak sedikit masyarakat yang menerima dengan begitu saja adanya program vaksinasi ini. banyak pro kontra untuk program vasinasi Covid-19 yang diberlakukan pemerintah. Lalu apa saja yang menjadikan permasalahan yang muncul dari program vaksinasi ini serta apa saja alasan pro dan kontra dari adanya program vaksinasi. Untuk itu kiranya isu ini akan menjadi suatu hal yang menarik untuk kita kaji Bersama terkait dengan vaksinasi merupakan sebuah kewajiban atau Hak setiap warga negara

Vaksinasi Covid-19 merupakan salah satu dari sekian banyak program pemerintah dalam menanggulangi wabah Covid-19 ini. sebagaimana tercantum dalam Keputuisan Presiden No.12 Tahun 2020 tentang Pentapan Bencana Nonalam Penyebaran Corona Virus Disease 2019 (COVID19) sebagai Bencana Nasional.

Tetapi program pemerintah terkait dengan vaksinasi ini menuai pro dan kontra terlebih dengan adanya berita bahwasannya setiap orang yang menolak vaksinasi akan dikenakan sanksi adminstrasi bahkan sanksi pidana. Adapun regulasi yang sudah dikeluarkan oleh pemerintah terkait dengan snaksi yang diberikan bagi seseorang yang menolak vaksinasi yaitu dalam Keputusan Presiden No.14 Tahun 2021 tentang Perubahan atas Peraturan Presiden Nomor 99 Tahun 2020 tentenag Pengadaan Vaksin dan  Pelaksanaan Vaksinasi dalam Rangka Penanggulangan Pandemi Corona Virus Disease 2019 (Covid-19).

Sebagaimana tercantum dalam Pasal 13A ayat (4) sanksi yang diberikan bagi setiap orang yang telah ditetapkan sebagai sasaran penerima vaksin Covid-19 yang tidak mengikuti Vaksinasi Covid-19 sebagaimana dimaksud pada ayat 2 dikenakan sanksi administratif berupa penundaan atau penghentian pemberian jaminan sosial atau bantuan sosial, penundaan atau penghentian pemberian administrasi pemerintahan dan denda. Hal ini tentu bertentangan dengan konstitusi terkait hak warga negara sebagaimana tercantum dalam Pasal 28H ayat (3) yang berbunyi “Setiap orang berhak atas jaminan sosial yang memungkinkan pengembangan dirinya secara utuh sebagai manusia yahng bermartabat”

Adapaun produk hukum lainnya yang dikeluarkan pemerintah terkiat dengan sanksi seseorang yang menolak vaksinasi yaitu terdapat pada Peraturan Daerah Provinsi Daerah Khusus Ibu Kota Jakarta Nomor 2 Tahun 2020 tentang Penanggulangan Corona Virus Disease 2019. Sebagaiamana tercantum dalam Pasal 30 Perda DKI Jakarta seseorang yang menolak Vakasinasi dikenakan Pidana Denda sebesar 5 Juta Rupiah.

Peraturan daerah ini bertentangan dengan Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan. Dalam Pasal 5 ayat (30) yang menyatakan dengan tegas bahwa setiap orang berhak secara mandiri dan bertanggung jawab menentukan pelayanan Kesehatan yang diperlukan dirinya.

Adapun sanksi pidana sebagaiman merujuk pada Pasal 9 Jo Pasal 93 Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2018 tentang Kekarantinaan Kesehatan. Pasal 9 ayat (1) UU Kekarantinaan Kesehatan menyebutkan, “Setiap Orang wajib mematuhi penyelenggaraan Kekarantinaan Kesehatan”Pasal 93 UU Kekarantinaan Kesehatan menyebutkan, “Setiap orang yang tidak mematuhi penyelenggaraan Kekarantinaan Kesehatan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 ayat (1) dan/atau menghalang-halangi penyelenggaraan Kekarantinaan Kesehatan, sehingga menyebabkan Kedaruratan Kesehatan Masyarakat dipidana dengan pidana penjara paling lama 1 (satu) tahun dan/atau pidana denda paling banyak Rp 100.000.000,00 (seratus juta rupiah)”.

Adapun dilansir dalam Merdeka.com Amnesti Internasional Indonesia mengatakan bahwasannya adanya sansksi terhadap seseorang yang menolak vaksinasi terutama sansksi administrasi menciptakan pemaksaan yang telah melanggar Hak Asasi Manusia. Adapun Pasal 41 ayt (1) Undang-undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia menyatakan “Setiap warga negara berhak atas jaminan sosial yang dibutuhkan untuk hidup layak serta untuk perkembangan pribadinya secara utuh”

Hal demikian merupakan suatu pelanggaran Hak Asasi Manusia, memang vaksinasi merupakan suatu program yang baik guna meningkatkan imun kekebalan tubuh manusia tetapi marilah kita ketahui bersama kembali bahwa vaksinasi bukan satu-satunya cara untuk memnghetikan penyebaran Covid-19 melainkan untuk meningkatkan kekebalan tubuh bukan untuk mematikan virus yang ada didalam tubuh.

Sebagaimana kita katahui pula Pemerintah telah mengeluarkan  berbagai regulasi dan produk hukum dalam memerangi pandemi Covid-19 dan Sebagian besar produk hukum yang ditetapkan menimbulkan sanksi lalu apakah kita sebagai warga negara tidak mempunyai hak sama sekali dalam hal pelindungan dan kesehatan pribadi.

Dengan adanya sanksi terkait dengan penolakan vaksinasi merupakan suatu pelanggaran hak karena masih banyak cara yang mana dapat diterima oleh seluruh masyarakat seperti halnya vaksinasi tersebut diganti dengan pemberian suplemen dalam bentuk sirup bagi anak-anak dan dalam bentuk kapsul bagi orang dewasa. Karena tidak semua sama dalam satu hal adakalanya seseorang phobia atau trauma dengan jarum suntik atau bahkan adanya keraguan dalam vaksinasi tersebut.

Pemerintah tidak dapat memaksakan kehendak rakyat karena sejauh ini rakyat juga sudah menerima sebagaian besar apa yang sudah menjadi ketetapan seperti halnya PSBB dimaan masyarakat banyak yang kehilangan mata pencahariannya dan lain sebagainya. Kemudian muncul produk hukum yang mana seseorang yang menolak pemberian vaksinaksi akan dikenakan sanksi adminsitrasi dan sanksi pidana.

Hal tersebut tentu menuai kontroversi dimana masyarakat justru malah semakin tidak percaya lagi dan pemerintah akan kehilangan legitimasinya akan apa yang dilakukan dan diberikan seolah olah bersifat otoriter tidak memperdulikan hak setiap warga negaranya.

Maka dari itu dalam perspektif penulis pemberian vaksinasi Covid-19 hendaknya bersifat sukarela dan tidak adanya paksaan serta sanksi yang dapat menimbulkan hilangnya hak warganegara. sebagaimana dilansir CNBC Indonesia, WHO mengatakan bahwa sebenarnya vaksinasi tidak diwajibkan untuk seluruh populasi, bahkan Amerika Serikat dan Perancis pun tidak mewajibkan program vaksinasi Covid-19 ini.

Author: Andre Bagus saputra (Students of Faculty of Law, Universitas Islam Indonesia)

This article has been published in the rubric Opini, GEOTIMES, 07 June 2021.