Densus 88
Penulis: Prof. Jawahir Thontowi, S.H., Ph.D.
Dosen Fakultas Hukum Universitas Islam Indonesia (FH UII), Departemen Hukum Internasional
SUNGGUH mengejutkan ketika kematian Siyono settagal akibat penganiayaan tak berperikemanusiaan. Ia ditangkap Densus 88 dan dikembalikan dalam keadaan mati pada keluarga tanpa dokumen. Densus 88 dalam kasus kematian Siyono tampaknya tersandera. Publik khususnya ahli-ahli hukum dan HAM menduga adanya hubungan antara praktik penyelidikan atau penyidikan menyimpang. Prinsip-prinsip fundamental negara hukum. Misalnya, larangan penyiksaan, kewajiban due process of law, tidak mempertimbangkan hukum nasional dan hukum internasional.
Memang harus disadari, terorisme merupakan kejahatan luar biasa. Penanggulangannya dengan cara-cara yang biasa mustahil dapat dilakukan. Itulah sebabnya kita sepakat Densus 88 yang didirikan berdasarkan Keputusan Kapolri No Pol: Kep/30/7/2003 tanggal 30 Juni 2003 dengan tujuan untuk menjaga kedamaian masyarakat dan negara dari serangan teroris. Status hukum Detasemen Khusus 88 Antiteror, diperkuat dengan Perpres No 52 Tahun 2010 pemerintahan Susilo Bambang Yudhoyono.
Juga penting memperhatikan kaitannya antara kejahatan terorisme dengan hukum internasional.
Secara konstitusional, Indonesia adalah negara hukum sebagaimana diatur dalam Pasal 1 ayat (3) UUD NRI 1945. Salah satu antitesis negara hukum adalah tidak boleh menyalahgunakan kekuasaan (machstaat). Termasuk dilarang melakukan tindakan menghakimi sendiri (eigenrichting). Terkait fakta penjemputan Siyono oleh Densus 88 dan dikembalikan dalam keadaan tewas, patut diduga sebagai tindakan kekerasan. Sungguh pun. Kapolri menduga Siyono berperan strategis dalam jaringan Jamaah Islamiyah bukan alasan yang membenarkan adanya penganiayaan dan penyiksaan.
Kejahatan teroris merupakan kejahatan luar bia sa’, musuh umat manusia, berskala interasional, seharusnya aparat Densus 88 sangat hati-hati. Namun, dalam konteks kematian Siyono tampaknya Densus 88 memandang kasus ini sebagai hal luar biasa. Sehingga aparat Densus 88 yang se harusnya cermat, hati-hati, dan wajib menjunjung tinggi HAM dan negara hukum, dipandang lalai.
Kasus kematian Siyono sejak setelah diperiksa Densus 88 terbukti menuai kecurigaan pihak keluarga dengan kematiannya yang tidak wajar, dan tiada respons cepat aparat penegak hukum. Ketidakhadiran negara menciptakan ruang bagi hadirnya Institusi nonnegara ‘atas nama moral keadilan’. Komnas HAM dan Muhammadiyah sebagai organi sasi keagamaan memiliki legal standing yang legitimit. Peran Komnas HAM diatur dalam UUD NRI 1945 Pasal 281 ayat (3), untuk menegakkan melindungi hak asasi manusia sesuai prinsip-prinsip negara hukum yang demokratis.
Hasil kerja sama Komnas HAM, Muhammadiyah, dan Kontras dibantu 9 orang dokter forensik dipimpin Gatot Sudarto, menyimpulkan sebagai berikut Bahwa kematian Siyono ini akibat dari benda tumpul yang ada di bagian rongga dada. Ada patah tulang di iga kiri, ada lima ke bagian dalam tulang dada yang patah akibat benda tumpul di rongga dada mengarah ke jaringan jantung, sehingga ada jaringan di jantung (terluka) dan mengakibatkan kematian. Jadi titik kematian di situ (Kedaulatan Rakyat, 12 April 2016). Hasil otopsi ini dipandang valid karena hanya satu-satunya sumber data yang dapat digunakan.
Memang hasil otopsi ini dilakukan oleh bukan aparat penegak hukum dan bisa ditolak Polri. Namun, menjadi sulit untuk dihindari, apalagi Densus 88 tidak memiliki hasil otopsi sebelumnya. Kelalaian aparat Densus 88 untuk mengembalikan jasad seseorang tanpa dokumen sangat fatal dalam kondisi masyarakat demokratis. Seharusnya, ketika Polri menyatakan Siyono dari data intelijen sebagai teroris jaringan Jl harus disahkan dengan data intelijen negara-negara lain.
Kelalaian penyerahan mayat Siyono oleh aparat Densus 88 berakibat isu hukumnya berubah menjadi pelanggaran HAM. Karena itu, jika tindaklanjut pelaku penyiksaan Siyono diproses oleh Propam tidak tepat. Adanya kelalaian aparat Densus 88 dan pelanggaran atas kewajiban tidak melindungi warga negara Pasal 281 ayat (3) serta due process of law menuntut pertanggungjawaban hukum.
Dengan demikian, inisiatif Muhammadiyah yang diapresiasi tokoh NU KH Hasyim Muzadi, seharusnya didengar Presiden Jokowi. Dengan harapan Presiden dapat menginstruksikan Kapolri Jenderal Badrodin Haiti dan Kepala BNPT Tito Karnavian melaksanakan tugas memberantas teroris jangan melanggar UUD NRI 1945 dan prinsip-prinsip negara hukum.
Tulisan ini telah dimuat dalam rubrik Analisis KR, koran Kedaulatan Rakyat, 14 April 2016.