Mirna Selesai, Jessica Berlanjut
Penulis: Prof. Dr. Moh. Mahfud MD, S.H., S.U.
Dosen Fakultas Hukum Universitas Islam Indonesia (FH UII), Departemen Hukum Tata Negara
Seperti diduga sebelumnya, apa pun isi putusan hakim atas kasus pembunuhan Mirna yang memicu kontroversi panas. Demikianlah, setelah Ketua Majelis Hakim Kisworo mengetukkan palu penghukuman penjara selama 20 tahun kepada Jessica pada pukul 17.00 WIB, Kamis kemarin, lusa kontroversi betul-betul memanas. Televisitelevisi besar menjadikannya sebagai berita “pro-kontra” sepanjang malam tanpa henti, sosial media ribut juga penuh kontroversi.
Sebagai mantan hakim yang pernah menangani banyak kasus, saya tahu persis dan sudah pernah menulis di harian ini bahwa tak ada putusan hakim yang bisa diterima oleh semua orang. Setiap hakim mengetukkan palu dan menjatuhkan vonis selalu saja ada yang mencelanya. Ya, sekurang-kurangnya orang yang dikalahkan dalam perkara itu atau orang yang tuntutannya tidak dikabulkan oleh pengadilan biasanya marah-marah kepada hakim.
Ada saja caci maki dan tudingan berlaku tidak adil terhadap hakim oleh orang-orang yang kalah atau mempunyai keterikatan emosional tertentu terhadap satu perkara atau oleh orang-orang yang tidak memahami persoalan secara utuh. Tetapi pada saat yang sama, banyak juga pujian-pujian yang dipersembahkan kepada hakim sebagai hakim yang adil dan benar-benar mewakili Tuhan oleh orang-orang yang menang dan terpuaskan oleh putusan hakim.
Oleh sebab itu, kita harus paham betul para hakim yang mengadilikasus perbunuhan Mirna Salihin sendiri menyadari bahwa posisinya akan dijepit secara keras oleh opini publik, apa pun yang diputuskan. Jika menjatuhkan hukuman kepada Jessica, tentu sudah dihitung akan menuai bermacam-macam tudingan seperti sekarang ini.
Sebaliknya, seandainya mereka memutus dengan membebaskan Jessica dari segala dakwaan, tentu juga akan dibanjiri hujatan yang tak kalah besar di samping tentu saja akan ada yang memujinya. Pokoknya kalau menjadi hakim jangan pernah berharap akan dipuji oleh semua orang, tetapijangan pula takut dicaci maki oleh banyak orang. Putus saja sesuai bisikan nurani dan sikap profesional dan penuh kejujuran. Kalau itu dilakukan, pastilah akan memberi kepuasan batin kepada hakimyang bersangkutan.
Yang penting bagi hakimitu bersikap prozesional, berusaha jujur, dan bersih dari pengaruh kasar maupun pengaruh halus. Dalam kasus pengadilan Jessica ini, saya mencatat secara umum hakimnya cukup leluasa untuk bersikap objektif. Perkara initidak terkait dengan urusan politik sehingga tak tampak ada te kanan politik dari manapun kepada para hakim. Perkara ini juga tak terkait dengan uang dan tak melibatkan bisnis besar sehingga tidak terdengar adanya kecurigaan telah terjadinya penyuapan atas kasus ini. Kontroversinya murni berkisar pada penafsiran atas fakta di persidangan yang pada akhirnyahalitu memang menjadiwe wenang hakim.
Rasanya dalam menangani kasus ini para hakim telah memutus sesuai dengan keyakinannya sendiri sesuai dengan rangkaian fakta hukumdipersidangan. Kesimpulan majelis hakim tidaklah berdasar pada satu fakta, tetapi didasarkan pada rangkaian fakta-fakta yang menuntun kepada keyakinan tertentu. Soal kita setuju atau tidak setujuatas keyakinan hakim itu, adalah lain soal. Se tuju atau tidak setuju itu lebih dipengaruhioleh informasi,posisi. atau ikatan emosional kita terhadap kasus itu.
Keluarga Darmawan Salihin dan jaksa penuntut umum tentu berbeda pandangan dan sikapnya dengan keluarga Jessica dan para pengacaranya yang dipimpin oleh Otto Hasibuan. Kita pun yang melihat dari luar bisa juga berbeda-beda dalam memandang kasus itu, bergantung pada persepsi dan informasi yang kita asup masing-masing.
Kita harus memaklumi jika Darmawan Salihin sering kali terlihat kalap dan kurang proporsional dalam mengekspresikan kemarahannya terhadap setiap kecenderungan yang ingin membebaskan Jessica. Kita harus maklum juga jika jaksa penuntut umum ngotot membuktikan kebe naran dakwaannya, sebab memang itulah tugas profesional jaksa jika berani membawa satu kasus ke pengadilan.
Sebaliknya kita tidak boleh marah kepada jessica jika dia berusaha melakukan semua upaya yang bisa dilakukan untuk membebaskan dirinya. Kita tak boleh gusar kepada Otto Hasibuan yang setiaphariselalupasang badan melawan arus kencang yang menyasar Jessica, se babmemang sepertiitulah sikap yang harus ditunjukkan oleh advokat. Itutakharusselaludikaitkan dengan bayaran seperti yang dikatakan oleh Darmawan bahwa pengacara membela Jessica mati-matian karena dibayar. Itu adalah bagian dari sikap profesional advokat.
Yang penting, sekarang kasus itu telah divonis melalui sidang yang terbuka dan bisa dicerna oleh akal sehat publik. Majelis hakim telah melakukan tugasnya sesuai hak dan kewenangannya hingga mencapai keyakinan tanpa diwarnai hal-hal yang kolutif dan mencurigakan. Kita boleh bersetuju atau tidak bersetuju de ngan keyakinan dan vonis hakim itu, tetapi putusan hakim sudah sah tanpa memerlukan persetujuan kita.
Jessica boleh marah dan tidak menerima bahkan menganggapputusan hakimitu tidak adil dan kejam sehingga melalui ketua tim pembelanya, Otto Pasibuan, langsung menyata kan naik banding. Itu adalah hak Jessica yang tak bisa dihalangi oleh siapapun. Jadi untuk pengadilan pertama, kasus pembunuhan Mirna Salihin ini sudah selesai tetapi kasus ini masih akan berlanjut ke babak berikutnya karena Jessica me nyatakan naik banding.
Mungkin setelah pengadilan tingkat banding pun, kasus ini masih akan berlanjut sebab Jessica maupun jaksa penuntut umum masih bisa melakukan perlawanan hukum ke tingkat kasasi di MA atas apa pun yang nanti diputus oleh pengadilan tingkat banding
Kita berharap agar para hakim tetap bersikap profesional menegakkan hukumdan keadilan. Mereka tidak boleh terpengaruh oleh masifikasi opini yang sangat mungkin akan terus digelombangkan oleh Otto Hasibuan maupunoleh Darmawan Salihin. Pastilah sulit menjadi hakim yang benar-benarjujur dan adil, tetapi cukuplah bagi setiap hakim “berusaha secara sungguh-sungguh untuk jujur dan adil.
Tulisan ini telah dimuat dalam koran SINDO, 29 Oktober 2016.