Melihat Senyum Koruptor
Penulis: Prof. Dr. Moh. Mahfud MD, S.H., S.U.
Dosen Fakultas Hukum Universitas Islam Indonesia (FH UII), Departemen Hukum Tata Negara
Kolom saya, “Melihat Derita Koruptor”, yang dimuat di rubrik ini Sabtu (12-11-16) pekan lalu mendapat tanggapan beragam. Ada yang merespons melalui Twitter, ada yang melalui grup grup WA, dan ada yang mengirim SMS atau direct messages kepada saya. Pada umumnya, penanggap merasa ikut sedih melihat koruptor yang keluarganya berantakan.
Seperti yang saya tulis, koruptor itu hidupnya sangat menderita. Ada yang anaknya menghilang karena malu, istrinya hidup susah ke sana kemari tidak ada lagi yang menghormati. Ada yang anaknya dijauhi oleh teman-temannya dan tidak ada yang mau mengambilnya sebagai jodoh.
Ada yang harus menjadi wali nikah, tapi berangkat dari penjaradandikawalsehingga pernikahan menjadi mencekam, bukan hikmat.
Mantan mahasiswa saya, Iwan Wibisono, yang kini tinggal Melbourne, Australia menyatakan setuju dengan tengarai saya bahwa banyak pejabat yang buang badan dan menimpakan korupsi yang dilakukannya kepada anak buahnya. Na mun, Iwan menunjuk juga bahwa banyak pejabat yang pasang badan untuk mengelola pemerintahan dengan baik dan membuat kebijakan namun akhirnya dikriminalisasi dan masuk penjara. Soalnya, apakah membuat kebijakan itu bisa dikriminalisasikan?
Untuk masalah yang diajukan Iwan itu sebenarnya sudah pernah menjadi diskusi gemuruh di Indonesia, baik pada masa pemerintahan Pak SBY dulu maupun pada masa pemerintahan Pak Jokowi sekarang. Pemerintah menyerukan agar kebijakan yang dibuat oleh para pejabat tidak dikriminalisasikan agar para pejabat tidak takut membuat kebijakan. Saya sendiri sering mengatakan, secara hukum, sejak dulu memang kebijakan tidak boleh dikriminalisasikan.
Membuat kebijakan adalah bagian penting dari tugas-tugas pemerintahan. Jadi tidak perlu ada seruan, apalagi instrumen hukum baru, agar kebijakan tidak dikriminalisasikan. Sejak dulu pun sudah begitu hukumnya. Sampai kini, rasanya, belum ada kasus pembuat kebijakan dikriminalisasi. Semua pejabat yang dihukum memang dihukum karena terbukti secara sah dan meyakinkan melakukan tindak pidana korupsi. Se baliknya yang bisa membuktikan bahwa yang dilakukannya adalah kebijakan,yatidakdiapaapakan. Clear, kalau soalitu.
Banyak juga penanggap yang membandingkan dengan fakta lain, misalnya, banyak koruptor yang tidak tampak menderita. Bahkan keponakan saya, Firman, mengatakan ada temannya yang baru keluar penjara karena korupsi sekarang menjadi pejabat lagi di satu kabupaten di Jawa Timur. Jadi, adakoruptoryang tidak menderita seperti yang saya gambarkan dalam tulisan Melihat Derita Koruptor” itu. Buktinya lagi, mereka masih bisa tersenyum-senyum sambil melambaikan tangan kepada para wartawan pada saat digelandang ke tempat tahanan ataudigiringke ruangsidang pengadilan.
Itupun adalah fakta yang tak terbantahkan. Banyak koruptor yang bertingkah, misalnya, masih marah-marah kepada wartawan seakan-akan dia masih pejabat. Ada juga yang, seperti kata beberapa penanggap, yang tertawa-tawa dan tiba-tiba berubah penampilan menjadi religius misalnya memakai baju koko atau berjilbab. Tetapi itu semua tidak mengurangi keyakinan saya bahwa di dalam batinnya para koruptor itu tetap sangat menderita. Mereka tahu bahwa harga diri mereka sudah tergeletak di comberan, mereka tahu bahwa anak dan istrinya sudah tersisih dari pergaulan normal masyarakat. Dapatlah dikatakan bahwasenyum merekaitu sebenarnya senyum iblis.
Kok disebut senyum iblis? Ya, karena menurut agama, sebenarnya, predikat koruptor itu sama dengan predikat iblis, yakni makhluk terlaknat. Di dalam kitab suci disebutkan bahwa iblis dilaknat karena tidak patuh pada perintah Tuhan dan di dalam Hadis Nabi ditegaskan bahwa Tuhan melaknat penerima suap dan pemberi suap alias koruptor. Jadi, koruptor itu statusnya sama belaka dengan iblis, kelompok makhluk terlaknat.
Sekelompok penanggap lain yang masuk melalui WA dan Twitter kepada saya mengatakan, tidak benarjuga kalaudikatakan koruptor itu menderita. Buktinya, banyak koruptor yang masih bisa bergembira di dan dari penjara. Bahkan, ada yang menyebut penjara itu menjadi kantor atau hotel me wah bagi para koruptor karena bisa mengatur sendiri tempat tidur dan tempat menerima tamulayaknya pejabatyang memimpin kantor.
Ada yang bisa berkeliaran dan dipergoki di tempat umum dengan full dress yang mewah. Tentangitusemua pun tidak dapat dibantah. Mantan Wakil Menkumham Denny Indrayana saat melakukan inspeksi mendadak pernah menemukan ruangan mewah yang di-setting seperti kantor dengan fasilitas elektronik yang canggih di sebuah lembaga pemasyarakatan. Ada home theatre segala.
Tempat itu ternyata menjadi semacam kantor seorang narapidana yang terbukti menyuap seorang jaksa dan keduanya sama-sama dipenjarakan. Melaluirubrikini pada tahun 2012, saya juga pernah menuliskesaksian sahabat saya (almarhum) Slamet Effendi Yusuf kepada saya. Ceritanya, suatu har: Slametmengontaktemannya yang sedang meringkuk di penjara karena korupsi. Slamet ingin menyambung silaturahim dengan temannya itu dan ingin menunjukkan bahwa rasa persahabatannya masih melekat.
Disepakatilah, sang napikoruptor itu akan menerima kunjungan Slamet pada Minggupukul 8.00 pagi. Pada waktu yang dijanjikan, Slamet datang ke lapas tersebut. Ternyata begitu tiba disana, melaluicallyangmasuk ke telepon genggamnya, Slamet diminta datar.g ke sebuah hotel mewah. Temannya yang statusnya dipenjarakan itu sudah menunggu untuk breakfast di hotel mewah tersebut.
Bayangkan, orang dijebloskan ke lapas ternyata masih bisa berkeliaran dan menjamu pembesuknya di hotel mewah. Jadi benarlah, para koruptor itu tak semuanya terlihat menderita, tetapi masih bisa berjalan-jalan dan tersenyum lebar. Tetapi bagi saya, senyuman mereka itu tak lebih dari senyuman iblis yang terkutuk. Bahkan, para pejabat dan pegawai yang memfasilitas koruptor dengan kemewahan dan berkeliaran bisa juga digolongkan iblis-iblis yang harus ditertibkan oleh pemerintah.
Tulisan ini telah dimuat dalam koran SINDO, 19 November 2016.