“BOLA LIAR” AMANDEMEN
Penulis: Dr. Idul Rishan, S.H., LL.M
Dosen Fakultas Hukum Universitas Islam Indonesia (FH UII), Departemen Hukum Tata Negara
Presiden Jokowi telah menegaskan bahwa wacana tiga periode masa jabatan presiden jelas akan menjadi jebakan baginya. Ia juga menambahkan bahwa wacana mengembalikan pemilihan presiden melalui MPR ibarat sebuah ilusi. Sebagai presiden yang dipilih secara langsung, ia menegaskan komitmennya untuk menjaga denyut demokrasi. Bola liar amandemen UUD akan menjadi ujian bagi presiden dalam mengendalikan manuver partai koalisi di parlemen. Gejala ini persis dialami pemerintahan SBY di periode kedua. Bahwa “koalisi gemuk” belum tentu dapat menjamin stabilitas pemerintahan. Realitasnya, political good will presiden bisa jadi akan terus bersebrangan dengan political interest partai pendukung di parlemen. Termasuk dalam menyikapi wacana amandemen kelima UUD.
Amandemen Ke-5
Sampai dengan tulisan ini dibuat, belum tampak roadmap dari pemerintah atas materi dan cara perubahan yang akan diusung. Tepatnya, wacana ini masih menjadi konsumsi para elit partai politik (parpol) yang cenderung mewakili warna kepentingannya masing-masing. Alih-alih menjadi sarana untuk membatasi kekuasaan, wacana amandemen konstitusi dikhawatirkan berubah menjadi alat untuk memperluas daya kekuasaan. Sebagai norma dasar bernegara, amandemen UUD wajib disandarkan pada nilai moralitas konstitusi (moral reading). Bahwa perubahan UUD bukan hanya aktivitas pembentukan norma, tetapi juga menyangkut etika, moral, dan semangat pembatasan kekuasaan (Ronald Dworkin:1996). Sejalan dengan teorisasi Dixon bahwa praktik perubahan konstitusi wajib disandarkan pada pembatasan atas materi dan aturan main perubahannya (Rosalind Dixon :2011).
Satu hal yang tak boleh luput diperhatikan oleh pemerintah dalam wacana amandemen kelima UUD. Bahwa kondisi kebutuhan perubahan UUD di era transisi politik dan era saat ini jelas memiliki sifat dan pendekatan yang berbeda. Disadari atau tidak, UUD yang diubah empat kali direntang waktu tahun ’99-02 ialah perubahan yang dilakukan secara insidentil (by accident). Preposisi di atas dibangun atas dua studi berbobot yang pernah dilakukan Denny Indrayana dan Valina S. Subekti (2008) atas praktik perubahan UUD di masa transisi.
Akibat kerusakan sosial dan politik yang ditimbulkan pada tahun ‘98, perubahan UUD saat itu tidak didasarkan roadmap atau kedalaman cetak biru yang mumpuni. Dibuat secara tergesa-gesa, dan proses pembahasannya dipaksakan selesai pada tahun 2001-2002. Hampir tak ada guidance pada saat itu. Satu-satunya konsep perubahan hanya didasarkan pada lima kesepakatan dasar. Tidak mengubah pembukaan, mempertahankan NKRI, perkuat sistem presidensil, meniadakan pasal penjelasan, dan perubahan dilakukan secara adendum.
Kondisi demikian dapat dimaklumi. Sebab, secara konseptual Wheare menuliskan bahwa perubahan insidentil bisa saja dilakukan akibat kondisi mendesak (some primary forces) seperti rezim kolaps dan krisis sosial (K.C. Wheare: 2005). Menariknya studi Indrayana mencatatkan, bahwa meskipun dibuat dengan proses yang kacau, namun hasilnya jauh lebih demokratis (Denny Indrayana:2005). Ada prinsip konstitusionalisme yang kuat dalam hasil perubahan UUD. Pembatasan kekuasaan menjadi nafas perubahan UUD, sehingga seluruh cabang-cabang kekuasaan bergerak dengan prinsip saling imbang dan saling kontrol (checks and balances).
Kondisinya tentu jauh berbeda dengan saat ini. Usul perubahan tentu tidak bisa muncul secara insidentil seperti di tahun ‘99. Apalagi konstruksi norma pada Pasal 3 ayat (1) UUD menentukan bahwa MPR mempunyai kewenangan untuk “mengubah dan menetapkan” UUD. Konsekuensinya, secara elektoral parpol akan menjadi penyumbang terbesar atas arah politik hukum amandemen kelima UUD. Analisis Crouch menjadi relevan untuk dipertimbangkan. Bahwa kompromi politik dan kepentingan partai masih akan mendominasi proses perubahan UUD (Harold Crouch:2010). Apalagi kekuatan politik pemerintah saat ini ditopang dengan koalisi gemuk alias mayoritas partai politik. Namun jika melihat konstruksi norma pada Pasal 37 UUDN RI, “playmaker” perubahan UUD ada pada kuasa MPR. Bola akan berada di tangan MPR bukan di tangan presiden. Perlu tidaknya perubahan itu dilakukan, semua ada di tangan elit parpol. Sebagai pemegang kedaulatan, rakyat akan menjadi wasit atas wacana amandemen kelima.
Dengan peta politik demikian, maka sirkulasi antara elit parpol dan publik harus dibuka. Sejalan dengan pemikiran Mahfud bahwa karakter produk hukum akan ditentukan oleh tipe konfigurasi politiknya (Mahfud MD:1993). Jika partisipatif, maka akan menghasilkan produk hukum yang responsif. Namun sebaliknya. Jika elitis, maka karakter produk hukumnya akan bersifat menindas. Tentu pertanyaan yang kemudian muncul ialah, seberapa seriuskah geliat parpol menjaring aspirasi publik dalam mengusung amandemen kelima ? Pada titik ini, tentu dibutuhkan feasibility study yang disertai dengan kedalaman cetak biru terhadap materi muatan yang diusulkan untuk diubah, ditambah atau dipertahankan. Hal itu dibutuhkan sebagai syarat formil, guna melihat akseptabilitas publik atas pentingnya kebutuhan perubahan itu dilakukan. Dengan kata lain, jika amandemen kelima benar-benar akan digulirkan, pendekatannya tentu tidak lagi dilakukan secara “by accident” melainkan dilakukan secara “by design”. Memperhatikan kematangan konsep, cara, dan daya guna perubahannya. Jika tidak, maka wacana amandemen kelima ini akan terus menggelinding laiknya bola liar.
Tulisan ini sudah dimuat dalam Kedaulatan Rakyat, 6 Desember 2019.