Pilkada Dikepung Korona

Penulis: Anang Zubaidy, S.H., M.H.

Dosen Fakultas Hukum UII, dari Departemen Hukum Tata Negara sekaligus Direktur Pusat Studi Hukum FH UII.

 

JUMLAH kasus positif Covid-19 di Indonesia beberapa hari ini menunjukkan angka yang sangat mengkhawatirkan. Sepekan terakhir tercatat penambahan jumlah kasus positif Covid-19 berada di atas 5.000 orang per hari. Bahkan, pada tanggal 3 Desember 2020 terjadi lonjakan jumlah kasus positif yang sangat signifikan, yakni sebanyak 8.369 orang positif Covid-19. Pertambahan jumlah kasus positif ini membuat Presiden Joko Widodo mengungkap kekecewaannya dalam rapat terbatas. Menurutnya, penanganan Covid-19 memburuk.

Kondisi seperti ini tak ayal membuat banyak kalangan semakin mengkhawatirkan pelaksanaan pilkada 9 Desember 2020. Secara serentak, pilkada kali ini akan digelar di 270 daerah provinsi dan kabupaten/kota di Indonesia dengan 100 juta lebih pemilih yang telah ditetapkan oleh KPU. Sebuah jumlah orang yang terlibat yang tidak bisa dikatakan sedikit.

Beberapa kalangan termasuk penulis, telah menyarankan agar pelaksanaan pilkada serentak tahun ini ditunda sampai dengan ditemukannya vaksin Covid-19. Namun, para pengambil kebijakan (Pemerintah, DPR, dan KPU) tidak bergeming dengan berbagai desakan yang datang dan tetap melaksanakan pilkada di tengah pandemi yang sedang melanda.

Ibarat nasi sudah menjadi bubur. Salus populi suprema lex esto, keselamatan rakyat adalah hukum tertinggi. Maka, perlu langkah-langkah untuk memastikan pelaksanaan pilkada tetap berjalan sambil diupayakan langkah agar tidak ada kluster baru kasus positif Covid-19 Peraturan KPU No 6 Tahun 2020, KPU tampaknya sudah merumuskan berbagai langkah antisipasi agar pilkada tidak menjadi kluster baru. Berdasarkan beleid ini, langkah pencegahan penularan diupayakan melalui penerapan protokol kesehatan seperti menjaga jarak, pengecekan suhu tubuh, hingga disinfektasi peralatan-peralatan yang sering dipakai pada setiap tahapan pilkada. Namun, sebagaimana diketahui banyak pihak, kepatuhan terhadap protokol kesehatan pada tahapan pilkada yang sudah tak seindah didengungkan. Masih banyak ditemukan pelanggaran.

Pelanggaran itu bisa saja terjadi karena kurangnya kesadaran masyarakat akan pentingnya hukum. Bisa pula karena belum adanya pemahaman yang memadai dari masyarakat sebagai akibat
sosialisasi yang dilakukan pembentuk hukum belum maksimal. Adalah benar bahwa dalam hukum dikenal asas presumptio iures de iure (asas asas yang menganggap semua orang tahu hukum) atau yang bisa dikenal dengan fiksi hukum. Namun, asas ini tidak berdiri sendiri melainkan membutuhkan instrumen pendukung yakni sudah sejauhmana upaya sosialisasi telah dilakukan oleh organ negara yang bertugas untuk itu agar masyarakat patuh.

Jika dilihat dari optik teoritik, terdapat 2 (dua) madzhab teori kepatuhan yang dikenal dengan madzhab pemaksaan dan madzhab konsensus (Soerjono Soekanto). Dalam madzhab teori
pemaksaan, kepatuhan hukum muncul dari efektivitas dalam proses pemaksaan. Sedangkan pada madzhab teori konsensus, kepatuhan hukum muncul dari efektivitas melalui internalisasi
dalam masyarakat.

Penulis menilai, ketidakpatuhan peserta pilkada terjadi karena, baik pemaksaan maupun konsensus belum optimal berjalan. Dalam kaitannya dengan pemaksaan, pelaksanaan protokol kesehatan dalam pelaksanakan setiap tahapan pilkada (setidaknya) belum disertai dengan pelaksanaan sanksi yang memberikan efek jera bagi para pelanggar. Demi mengurangi dampak negatif pelaksanaan pilkada di tengah pandemi, sekali lagi, penegakan hukum protokol kesehatan harus dilakukan. Pelaksanaan yang menyisakan tahap pemungutan suara, penghitungan suara, dan penetapan pemenang masih sangat potensial memunculkan kerumunan dan potensial menjadi kluster baru. Tentu bukan itu yang diharapkan. Perlu kerja sama semua pihak (penyelenggara pilkada, pengawas, peserta, dan masyarakat) untuk bersama-sama menyelenggarakan pilkada dengan pelaksanaan protokol kesehatan yang ketat. Jika perlu, berlakukan sanksi yang tegas dan sesuai dengan koridor hukum atas setiap pelanggaran oleh siapapun tanpa pandang bulu.

Tulisan ini sudah dimuat dalam rubrik Analisis KR, 7 Desember 2020.