,

Menyoal Perjanjian Perkawinan dari Perspektif Hukum Perdata dan Islam

Yogyakarta– Magister Kenotariatan Fakultas Hukum UII bekerjasama dengan Pusat Studi Hukum Islam (PSHI) Fakultas Hukum UII menggelar Web Seminar Nasional bertajuk “Perjanjian Perkawinan dalam Hukum Indonesia: Komparasi Antara Hukum Perdata Dan Islam” pada 14 November 2020. Seminar ini menghadirkan Dr. Agus Pandoman, S.H., M.Kn. dan Dr. Nurjihad, S.H., M.H. sebagai narasumber.

Acara dibuka dengan pemaparan sambutan sekaligus pengantar seminar oleh Dekan Fakultas Hukum UII, Dr. Abdul Jamil, S.H., M.H. Dalam sambutannya, Abdul Jamil menyampaikan bahwa topik seminar ini sangat menarik untuk dikaji sebab masih menyisakan berbagai persoalan, khususnya setelah lahirnya Putusan Mahkamah Konstitusi No. 69/PUU-XIII/2015. Lebih-lebih perjanjian perkawinan di dalam seminar ini ditinjau dari dua perspektif, yaitu perspektif Hukum Perdata dan Hukum Islam.

Dalam hukum positif, perjanjian perkawinan memiliki landasan hukum di dalam KUH Perdata dan Undang-Undang Perkawinan, meskipun di dalam UU ini tidak terlalu eksplisit menyatakan perjanjian perkawinan. Namun menurut Agus Pandoman, dua aturan tersebut berbeda dalam mengatur mengenai perjanjian perkawinan.

Menurut Agus Pandoman, fungsi dari perjanjian perkawinan sendiri beragam, di antaranya adalah untuk membatasi atau meniadakan sama sekali percampuran harta kekayaan antara suami istri. Selain itu, perjanjian perkawinan juga berfungsi untuk membatasi kekuasaan suami terhadap barang-barang persatuan harta kekayaan yang ditentukan dalam Pasal 124 ayat (2) KUH Perdata.

Mengenai kapan perjanjian perkawinan dapat dibuat, menurut Agus Pandoman, berdasarkan Pasal 147 KUH Perdata, dibuat sebelum perkawinan dilangsungkan. Sedangkan menurut Pasal 29 ayat (1) Undang-Undang Perkawinan memberikan ketentuan yang lebih luas dengan adanya dua macam waktu untuk membuat perjanjian perkawinan, yaitu sebelum dan pada saat perkawinan dilangsungkan. Sementara Putusan Mahkamah Konstitusi menyatakan bahwa perjanjian perkawinan juga dapat dibuat setelah terjadinya perkawinan, selama ikatan perkawinan masih ada.

Dari sisi hukum Islam, dalam penyampaian materinya, Nurjihad mengatakan bahwa persoalan perjanjian perkawinan ini tidak banyak dibahas secara eksplisit baik di dalam dalil-dalil syariat ataupun di dalam kitab-kitab fikih ulama klasik. Sehingga perjanjian perkawinan lebih cocok dipandang sebagai suatu produk ijtihad.

Menurut Nurjihad, asal muasal perjanjian perkawinan sendiri dapat ditelusuri dari persoalan ada tidaknya harta bersama di dalam Islam. Mengacu pada KHI Pasal 86, menentukan bahwa pada dasarnya tidak ada percampuran harta antara suami-istri karena perkawinan. Pasal 85 menentukan tidak menutup kemungkinan adanya harta milik masing-masing suami atau harta istri. Sedangkan di dalam Ensiklopedi Hukum Islam, harta bersama adalah harta yang diperoleh bersama dalam perkawinan.

Hal mendasar paling penting yang perlu digarisbawahi, menurut Nurjihad, bahwa perjanjian perkawinan bukanlah perjanjian yang berdiri sendiri. Perjanjian perkawinan masuk kategori perjanjian tambahan, dan tidak bisa dilepaskan dari perjanjian pokoknya, yaitu akad pernikahan. Sehingga di dalam Islam, jika dilakukan perjanjian perkawinan, maka ketentuan di dalam perjanjian tersebut tidak boleh bertentangan dengan konsekuensi hak dan kewajiban yang timbul dari akad perkawinan.

Seminar diwarnai dengan antusiasme dari para peserta dalam mengajukan pertanyaan maupun pernyataan atau pendapat pribadi mengenai topik yang dibahas.[]