,

Mahkamah Konstitusi dan Pilkada yang Demokratis

[KALIURANG]; Departemen Hukum Tata Negara (HTN) Fakultas Hukum  (FH) Universitas Islam Indonesia (UII) pada hari Sabtu, (19/10) mengadakan acara kuliah umum yang mengangkat tema “Mahkamah Konstitusi dan Pilkada yang Demokratis”. Acara ini bertempat di Auditorium, lantai 4 FH UII. Kegiatan ini menghadirkan kembali Prof. Dr. Saldi Isra, S.H., M.P.A. sebagai keynote speaker, yang memberikan paparan mengenai peran sentral Mahkamah Konstitusi dalam menjaga integritas proses Pilkada. Acara ini dihadiri oleh lebih dari 200 peserta, baik secara luring maupun daring.

“Dalam sambutannya, Prof. Dr. Budi Agus Riswandi, S.H., M.Hum., menyampaikan harapannya agar acara ini dapat memperkaya pengetahuan kita, terutama di bidang hukum tata negara. Beliau menyoroti pentingnya topik ini mengingat pelaksanaan pemilihan kepala daerah secara serentak yang tengah kita hadapi. Pemilihan langsung yang kita nikmati saat ini merupakan hasil dari reformasi 1998 dan menjadi bukti nyata penguatan demokrasi di Indonesia. Namun, dalam praktiknya, kita seringkali menyaksikan penyimpangan dari nilai-nilai demokrasi, seperti maraknya politik uang. Kompetensi calon pemimpin seringkali dikesampingkan, digantikan oleh kemampuan finansial untuk meraih dukungan. Selain itu, netralitas ASN dalam pilkada juga seringkali teruji. Kondisi ini berpotensi memicu sengketa pilkada dan berujung pada pemeriksaan di Mahkamah Konstitusi.”

Kuliah umum dengan narasumber Prof. Dr. Saldi Isra, S.H., M.P.A. ini dimoderatori langsung oleh Kepala Departemen Hukum Tata Negara FH UII, Dr. Jamaludin Ghafur, S.H., M.H., menghadirkan sebuah diskusi yang sangat menarik  mengenai perbedaan mendasar dalam sistem pemilihan kepala negara dan daerah di Indonesia dan Amerika Serikat. Konstitusi Indonesia memberikan kebebasan yang lebih luas dalam mengatur mekanisme pemilihan kepala daerah dibandingkan pemilihan presiden. Hal ini memicu beragam interpretasi dan dinamika politik. Pemilihan langsung di Indonesia, meski mendorong partisipasi rakyat, juga berpotensi menimbulkan polarisasi. Sebaliknya, sistem electoral college di AS, kendati unik, seringkali memicu perdebatan karena tidak selalu mencerminkan suara mayoritas nasional. Perbandingan kedua sistem ini menyoroti pentingnya rumusan konstitusi yang jelas dan tegas dalam mengatur mekanisme pemilihan, mengingat implikasinya yang luas terhadap representasi politik, stabilitas pemerintahan, dan dinamika politik secara keseluruhan.

Putusan Mahkamah Konstitusi (MK) telah membuka peluang bagi pencalonan perseorangan dalam Pilkada. Sebelumnya, dominasi partai politik dalam Pilkada sangat kuat. Namun, MK melihat pentingnya partisipasi masyarakat secara langsung dalam proses demokrasi. Meski begitu, MK menyerahkan detail mekanisme pencalonan perseorangan kepada pembentuk undang-undang. Meskipun tidak secara khusus menangani sengketa Pilkada, MK pernah menjadi tempat terakhir bagi penyelesaian sengketa Pilkada. Kini, sengketa Pilkada diselesaikan melalui mekanisme judicial review di MK, sejalan dengan pandangan bahwa Pilkada adalah bagian integral dari sistem pemilu.

Mahkamah Konstitusi (MK) mengambil alih wewenang untuk menyelesaikan sengketa Pilkada karena absennya peradilan khusus dan desakan waktu jelang Pilkada serentak. Selain itu, MK juga mengubah secara signifikan persyaratan pencalonan partai politik dalam Pilkada, menurunkan persentase dukungan yang diperlukan. Tindakan MK ini memicu kontroversi karena dianggap melampaui kewenangannya sebagai penafsir undang-undang, justru bertindak sebagai pembentuk undang-undang dengan mengubah ketentuan yang telah ada. Alasan MK adalah adanya ketidakseimbangan antara persyaratan calon perseorangan dan partai politik, sehingga perlu ada penyesuaian.

Mahkamah Konstitusi mengakui adanya perbedaan dalam penyelenggaraan pilkada di berbagai daerah akibat perbedaan aturan. Meskipun demikian, prinsip demokrasi seperti keadilan, kejujuran, dan transparansi harus tetap dijaga. MK berperan penting dalam memastikan hal ini dengan memutus hasil pemilihan, membatalkan hasil jika ditemukan kecurangan, dan mengawasi keseluruhan proses pilkada. Melalui putusan-putusannya, MK berupaya memastikan pilkada berjalan sesuai aturan dan prinsip demokrasi. Melalui putusan-putusannya, MK tidak hanya menjadi wasit, tetapi juga menjadi penjaga integritas demokrasi dalam penyelenggaraan pilkada.

Setelah pemaparan materi kuliah umum selesai, acara dilanjutkan dengan sesi tanya jawab yang interaktif dan kemudian ditutup oleh moderator. Sesi ini tidak hanya memperkaya pemahaman peserta, tetapi juga menjadi forum diskusi yang hidup dan bermakna.