,

Kekuasaan, Kesetiaan, dan Revolusi Kepolisian

Rendi Yudha Syahputra
Dosen FH UII

Amandemen ketiga konstitusi pada sidang MPR tahun 2001 yang menyatakan bahwa Negara Indonesia adalah negara hukum (Pasal 1 ayat 3 UUD 1945), sejatinya merupakan sebuah capaian fenomenal dalam upaya pemusnahan budaya kekuasaan (semacam budaya feodal). Namun demikian, amandemen tersebut tidak serta merta mampu menghapus budaya kekuasaan yang sudah terlanjur mengakar dan mencengkeram penyelenggaraan negara. Apalagi jika masih terdapat kelompok pada penyelenggara negara yang berusaha untuk mempertahankan ataupun melestarikan budaya tersebut, demi menggapai kenikmatan dunia secara instan.

Pada dasarnya budaya kekuasaan dirawat dan dilestarikan oleh kelompok tersebut melalui suatu pengorganisasian dengan instrumen yang khas yaitu Keputusan Subyektif Mutlak Pemimpin, Solidaritas Mekanik dan Hierarki Ketat Berlapis. Kepatuhan atau kesetiaan buta terhadap pemimpin kelompok merupakan puncak kemuliaan dalam pengorganisasian ini, melebihi kepatuhan terhadap hukum dan keadilan. Artinya, kehendak dan sabda pemimpin kelompok (meskipun tidak adil, menyimpang dari etika ataupun peraturan perundang-undangan) menjadi hukum yang tertinggi. Ketidaktaatan terhadap pemimpin kelompok dikategorikan sebagai pelanggaran akidah dan mengandung konsekuensi yang amat pedih. Itulah sebabnya anggota kelompok sangat tunduk dan setia kepada pemimpinnya (satya haprabu).

Keberadaan instrumen Keputusan Subyektif Mutlak Pemimpin dalam pengorganisasian kelompok tersebut adalah alasan utama mengapa peraturan perundang-undangan yang sangat berlimpah, terutama yang berkaitan dengan tata kelola pemerintahan atau penyelenggaraan negara yang baik (good governance), seperti tidak berlaku atau tidak mampu mengikat kelompok tersebut. Karena instrumen ini menjadi semacam jaminan atau garansi bagi anggota kelompok tersebut untuk berbuat apapun, termasuk berlaku tidak adil dan tidak mentaati peraturan perundang-undangan. Bahkan dengan instrumen ini, peraturan pun dapat diubah dan disesuaikan.

Jaminan tersebut menimbulkan rasa percaya diri dan kebanggaan berlebih (overconfidence, overpride) bagi anggota kelompok. Dari situlah kemudian dipupuk rasa kebersamaan senasib sepenanggungan supaya mampu merekatkan hubungan emosional antar anggota (esprit de corps) yang sekaligus akan berfungsi sebagai instrumen untuk melindungi eksistensi kelompok dan menjaga sakralitas pemimpin kelompok. Rasa kebersamaan atau solidaritas disusun melalui tradisi dan pola pengasuhan tertentu yang dirancang untuk menumbuhkan sifat tolong menolong dalam hal apapun, termasuk dalam hal-hal yang tercela. Solidaritas ini cenderung mirip dengan solidaritas mekanik atau mechanical solidarity (semacam solidaritas “kesukuan”) yang dikemukakan oleh Emile Durkheim.

Kelompok yang menggunakan instrumen Keputusan Subyektif Mutlak Pemimpin dan Solidaritas Mekanik dalam pengorganisasiannya, sebenarnya dapat dikenali dengan mudah dari beberapa ciri atau perilaku umum anggotanya yang cenderung arogan, kurang memiliki empati, menganggap orang lain (diluar kelompok) lebih rendah derajatnya, enggan berdiskusi dan berat untuk menerima pendapat orang lain, sangat bangga dengan kelompoknya, penuh simbol dan keseragaman, tunduk atau loyal pada kelompok (juga pemimpinnya), dsb. Selain itu, aktivitas organisasinya sering dijejali dengan hal-hal yang bersifat seremonial.

Kemudian untuk menjaga keberlanjutan dan eksistensi kelompok tersebut, dibangunlah instrumen Hierarki Ketat Berlapis. Fungsi utama dari instrumen ini adalah mencegah anggota maupun faksi-faksi dalam kelompok yang tidak memiliki komitmen penuh untuk mempertahankan dan melestarikan keberadaan instrumen Keputusan Subyektif Mutlak Pemimpin dan Solidaritas Mekanik, supaya jangan sampai menduduki kursi kepemimpinan kelompok. Karena apabila ini terjadi, “keistimewaan” (privilege) yang selama ini dimiliki dan diwariskan secara turun temurun akan runtuh dan berakhir. Kemudian sakralitas pemimpin kelompok pun akan sirna seketika.

Instrumen Hierarki Ketat Berlapis secara prinsip dimaksudkan untuk menghilangkan kesetaraan serta membeda-bedakan derajat sosial anggota kelompok dalam berbagai macam tingkatan. Instrumen ini, disamping menggunakan hierarki yang digunakan oleh organisasi pada umumnya yaitu hierarki struktural, juga melapisnya dengan hierarki kasta atau kelas. Misalnya menciptakan kelas bangsawan dan kelas wong cilik, dimana kelas wong cilik merupakan kelas yang tidak akan pernah mungkin menjadi pemimpin kelompok. Sedangkan kelas bangsawan berpotensi menjadi pemimpin kelompok.

Kemudian kelas bangsawan dilapis lagi dengan hierarki lain, misalnya bangsawan kelas pagi dan kelas sore. Potensi bangsawan kelas sore menjadi pemimpin kelompok sangat tipis sekali (bahkan hampir tidak mungkin), sedangkan bangsawan kelas pagi adalah sebaliknya. Dalam tradisi militer, hierarki ketat berlapis yang lazim digunakan adalah hierarki struktural, hierarki kelas (perwira, bintara dan tamtama) dan hierarki pangkat (dari Jenderal hingga Prajurit Dua).

 

Revolusi Kepolisian

Komisi Percepatan Reformasi Polri yang dibentuk oleh Presiden Prabowo Subianto sepertinya tidak akan mampu memperbaiki lembaga kepolisian secara signifikan apabila tidak mencontoh langkah revolusioner yang pernah dilakukan oleh presiden Georgia (Mikheil Saakashvili) pada sekira tahun 2004, yaitu memecat 16.000 Polisi dalam semalam dan kemudian merekrut petugas baru yang berasal dari (lulusan) universitas serta program hukum. Namun demikian, bukan berarti tidak ada langkah revolusioner lain yang dapat dilakukan untuk memperbaiki lembaga kepolisian.

Pemusnahan instrumen-instrumen khas budaya kekuasaan sebagaimana diuraikan di atas, dapat dijadikan alternatif cara untuk merevolusi lembaga kepolisian, apabila Komisi Percepatan Reformasi Polri menemukan keberadaannya dalam pengorganisasian lembaga kepolisian. Kemudian instrumen-instrumen khas Good Governance harus didorong supaya semakin mapan dan menjadi nafas organisasi. Langkah-langkah ini dengan sendirinya akan membentuk budaya baru, yaitu budaya kesetiaan terhadap hukum dan kebajikan (satya dharma) serta menggeser budaya kekuasaan yang dipenuhi dengan privilege.

Jadi, ketika nanti pada akhirnya masih ditemukan keberadaan komando subyektif absolut, solidaritas kelompok yang melampaui batas dan hierarki berlapis dengan aroma militer dalam pengorganisasian lembaga tersebut, maka sejatinya itu menjadi sebuah tanda kekalahan Komisi Percepatan Reformasi Polri dalam mewujudkan Civilian Police.

0 replies

Leave a Reply

Want to join the discussion?
Feel free to contribute!

Tinggalkan Balasan