Disiksa di Rumah, Tak Diakui oleh Negara: Mendesak Pengesahan RUU Perlindungan PRT bagi Jutaan Pekerja yang Tak Terlindungi

Oleh: Bunga Pratista Nastiti – 24410834

Mahasiswa Program Studi Hukum Program Sarjana Reguler Fakultas Hukum Universitas Islam Indonesia

Di balik dinding rumah-rumah yang terlihat aman, jutaan perempuan dan anak di Indonesia hidup dalam kondisi yang nyaris tidak terdeteksi oleh sistem hukum. Mereka adalah Pekerja Rumah Tangga (PRT), kelompok yang tidak hanya menjalankan aktivitas domestik, tetapi juga menopang kestabilan ekonomi mikro. Mereka membersihkan rumah, menyiapkan makanan, merawat lansia, dan mengasuh anak-anak; tugas-tugas penting yang sering kali diremehkan. Ironisnya, meski kontribusinya vital, negara hampir tidak mengakui keberadaan mereka secara hukum. Tanpa perlindungan hukum yang layak, PRT kerap menjadi sasaran eksploitasi, kekerasan, dan penyiksaan yang terus berulang.

Data dari Jaringan Nasional Advokasi Pekerja Rumah Tangga (JALA PRT) mencatat bahwa hingga 2023, lebih dari 2,5 juta PRT di Indonesia belum mendapatkan perlindungan hukum yang memadai (JALA PRT, 2023). Komisi Nasional Anti Kekerasan Terhadap Perempuan (Komnas Perempuan) juga melaporkan bahwa sepanjang tahun 2023 terdapat 2.503 kasus kekerasan terhadap PRT, menjadikan mereka sebagai salah satu kelompok dengan angka kekerasan tertinggi di ranah domestik (Komnas Perempuan, 2023).

Kondisi ini mencerminkan kelemahan mendasar dalam sistem ketenagakerjaan nasional. Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan yang seharusnya menjadi dasar perlindungan pekerja, justru mengecualikan PRT dari lingkup pengaturannya. Akibatnya, muncul ruang gelap hukum yang membuat hak-hak dasar PRT diabaikan. Suratman (2010) menyebut bahwa tidak adanya regulasi spesifik bagi pekerja informal seperti PRT menempatkan mereka dalam posisi tawar yang lemah. Hubungan kerja yang informal, tanpa kontrak tertulis, tanpa jaminan sosial, dan tanpa perlindungan ketika terjadi pelanggaran, membuat PRT seakan tak terlihat oleh hukum.

Faktanya, kekerasan terhadap PRT bukan hanya potensi, melainkan kenyataan yang mengerikan. Salah satu kasus yang membuka mata publik adalah Kasus Mawar (nama samaran), seorang PRT di Tangerang, membuka mata publik tentang kekejaman yang terjadi di ruang domestik. Ia disiksa oleh majikannya selama satu tahun, disiram air panas, dipukul dengan setrika, dan dikurung. Luka bakar dan trauma psikologis yang dideritanya menunjukkan kegagalan negara dalam melindungi warganya (Kompas.com, 2023). Di tahun sebelumnya, seorang PRT asal Garut disiksa oleh majikannya di Cimahi, Jawa Barat (Detik.com, 2022). Di luar negeri, PRT migran asal Indonesia pun menghadapi kekerasan dan eksploitasi serupa, sebagaimana dicatat oleh Migrant Care (2023).

Padahal, Konstitusi Indonesia secara tegas menjamin hak setiap warga negara atas pekerjaan dan perlakuan yang adil. Pasal 27 ayat (2) dan Pasal 28D ayat (1) UUD 1945 menegaskan bahwa setiap orang berhak atas pekerjaan dan perlindungan hukum. Lebih lanjut, Pasal 28I ayat (1) menjamin kebebasan dari penyiksaan dan perlakuan yang merendahkan martabat manusia. Namun, semua jaminan konstitusional ini akan tetap menjadi janji kosong yang tak bermakna jika tidak diwujudkan secara konkret dalam regulasi teknis yang melindungi kelompok rentan seperti PRT. Trianah Sofiani (2014) menekankan bahwa tanpa perlindungan hukum berbasis hak konstitusional, PRT akan terus menjadi kelompok yang termarjinalkan dan dilupakan.

Sementara itu di tingkat internasional, Konvensi ILO Nomor 189 Tahun 2011 secara eksplisit mengakui PRT sebagai pekerja dengan hak yang setara. Konvensi ini mengatur berbagai aspek penting seperti jam kerja, upah minimum, hak istirahat, jaminan sosial, dan perlindungan dari kekerasan. Sayangnya, hingga kini Indonesia belum meratifikasi konvensi tersebut. Meski demikian, semangat dan prinsip dalam konvensi itu seharusnya bisa menjadi dasar penyusunan kebijakan nasional yang berpihak pada keadilan sosial (ILO, 2011).

Disinilah letak pentingnya pengesahan Rancangan Undang-Undang Perlindungan Pekerja Rumah Tangga (RUU PPRT). RUU ini telah diperjuangkan selama lebih dari dua dekade oleh berbagai organisasi masyarakat sipil, akademisi, dan para PRT itu sendiri. Draf RUU ini mencakup ketentuan fundamental seperti kontrak kerja tertulis, jam kerja yang jelas, upah minimum, hak atas cuti, jaminan sosial, serta mekanisme penyelesaian sengketa. Tak kalah penting, RUU ini juga secara eksplisit mengatur sanksi bagi pelaku kekerasan terhadap PRT (JALA PRT, 2023). Abdul Khakim (2012) menekankan pentingnya hukum ketenagakerjaan yang adaptif terhadap dinamika sosial dan mampu merespons kebutuhan kelompok rentan, sesuatu yang hanya bisa diwujudkan melalui keberanian politik untuk mengesahkan RUU ini.

Pengesahan RUU PPRT bukan sekadar langkah legislatif; ini adalah pernyataan sikap negara terhadap martabat manusia. Ini tentang pengakuan atas hak-hak pekerja yang selama ini diabaikan. Ini tentang menghadirkan keadilan di ruang yang paling aman. Tanpa itu, PRT akan terus menjadi korban kekerasan sistemik yang dibiarkan berulang, tahun demi tahun.

Mendesak pengesahan RUU PPRT adalah mendesak hadirnya negara di sisi warganya yang paling rentan. Ini adalah tuntutan untuk membalik realitas yang selama ini gelap dan menyakitkan menjadi terang yang memberi harapan: bahwa tidak ada lagi yang disiksa diam-diam, dan tidak ada lagi yang tak diakui oleh negara hanya karena mereka bekerja di rumah, bukan di kantor.

0 replies

Leave a Reply

Want to join the discussion?
Feel free to contribute!

Tinggalkan Balasan