,

Hidup di Warsawa, Polandia

Manusia dalam hakikatnya merupakan mahkluk yang selalu bergerak, adalah pernyataan yang dilontarkan oleh dosen saya dalam mata kuliah International Migration, baik karena pilihan ataupun paksaan, manusia dalam hidupnya pasti memiliki pikiran untuk bergerak ke tempat lain baik dekat ataupun jauh dari tempat asalnya. Pun saya berpikir bahwa dalam belajar juga tidak mungkin hanya meneliti hal yang sama seumur hidup kita. Perlu variable-variable yang berbeda untuk menyempurnakan keintelektualan seorang manusia, juga untuk mencari jati diri seorang manusia. Jika kita bayangkan hidup didalam sebuah gua yang benar-benar terisolasi dari dunia diluar gua, bukankah pengalaman dan pengetahuan kita hanya sebatas luas dari gua tersebut? Dan saat kita melangkah keluar dari gua tersebut, kita layaknya seorang bayi yang benar-benar polos dan tidak tahu apa-apa. Hal serupa saya rasakan (meskipun tidak seekstrim ungkapan diatas) selama studi saya dalam 2 bulan terakhir ini di Warsawa, Polandia. Nama saya Mohammad Fadel Roihan Ba’abud, mahasiswa asal Universitas Islam Indonesia, yang kini tengah menjalani studi selama satu semester di Uniwersitet Warsawski atau University of Warsaw, disini akan sedikit berbagi tentang pengalaman saya hidup di Polandia.

Sedikit latar belakang tentang Polandia, yang memiliki bendera putih merah, merupakan negara di Eropa tengah dan salah satu  dari 27 negara anggota dari Uni Eropa. Polandia memiliki luas sebesar 312,696 km2 dan memiliki populasi sebesar 37,95 juta jiwa pada tahun 2020. Dibandingkan dengan Indonesia yang memiliki luas 8,3 juta km2 dan populasi sebesar 273,5 juta pada tahun 2020, namun PDB per kapita Polandia berada didalam nilai 15.656,18 USD, dibanding dengan PDB per kapita Indonesia yang berada dalam 3.869,59 USD. Bukan dimaksud mendiskreditkan Indonesia, melainkan sebagai pelajaran bagi negara kita karena sebenarnya sejarah dari Indonesia dan Polandia memiliki kemiripan yang besar.

Sebagaimana Indonesia terjajah dan berada dibawah koloni Belanda selama 3,5 abad, Polandia juga berada dibawah kekuasaan dari Imperium/Kekaisaran Rusia selama 146 tahun dimana ditandai dengan hilangnya nama Polandia/Polski di peta dunia sejak 1772. Baru sejak 1918 yang merupakan akhir dari perang dunia 1 mereka dapat mengambil kembali kemerdekaan mereka dan memunculkan lagi nama mereka dengan nama resmi Rzeczpospolita Polska atau Republic of Poland di peta dunia meskipun kejayaan tersebut sangat sesaat. Pada tanggal 1 September 1939, Polandia diduduki dan dijarah oleh Nazi Jerman dan diserahkan kepada Uni Soviet pada tanggal 17 September 1939. Setelah pengkhianatan Jerman kepada Uni Soviet, di musim panas pada tahun 1941, Polandia dikuasai sepenuhnya oleh Nazi Jerman dan merupakan salah satu korban perang terbanyak dalam perang dunia kedua. Sebanyak 5.6 juta populasi Polandia menjadi korban dari pendudukan Jerman, diperkirakan 3 juta diantaranya adalah kaum Yahudi, sisanya merupakan etnik Polandia asli, orang Romania, juga tahanan Soviet, yang dikirim dan dibunuh secara massal di dalam Extermination camps seperti Auschwitz, Treblinka, dan Sobibor. Auschwitz merupakan kamp pemusnahan nazi Jerman terbesar di dunia, dan saya mendapatkan kesempatan untuk melihat dan mempelajari kondisi disana. Tour guide saya mengatakan,“If history is to be forgotten, than it is to be repeated”, serupa dengan JASMERAH-nya Bung Karno. Pengalaman tersebut merupakan salah satu hal yang tidak bisa didapat dengan belajar melalui buku dan jurnal, meskipun kitab isa membaca terkait hal tersebut namun melihat secara langsung memang meninggalkan dampak tersendiri.

Polandia juga mempunyai corak khas Eropa tersendiri dengan banyaknya arsitektur gaya Roman kuno, dengan gaya bangunan yang megah dan masih tetap dilestarikan sampai sekarang. Khususnya di daerah Old Town Warsaw, dekat kampus utama Universitas Warsawa, dimana semua bangunan yang berada disana masih sama dengan tampak bangunan di masa tahun 1900-an, hanya saja bangunan disana dibangun ulang dengan desain berdasarkan foto dan dokumen pada masa sebelum bangunan tersebut diluluhlantakan oleh Jerman pada perang dunia kedua. Sementara itu, di Krakow yang merupakan mantan ibukota Polandia dan tempat kediaman raja (Wawel Royal Castle) sebelum pindah ke Warsawa pada abad ke 16, Old Town disana masih orisinil seperti pada abad ke 16 karena Krakow tidak terkena penjarahan dan perusakan seperti yang terjadi di Warsawa. Disana juga terdapat universitas tertua di Polandia yaitu Uniwersytet Jagiellonska, yang berdiri sejak tahun 1364, dibanding dengan Universitas Warsawa yang berdiri sejak 1816. Atmosfir di Krakow sangat terasa tua, orisinil, dimana anda masih bisa membayangkan orang-orang berjalan di kota tua Krakow dengan membawa obor pada malam hari.

Sekarang saya ingin bercerita tentang kesan-kesan dan keluh kesah selama berada disini. Kesulitan saya selama belajar disini adalah makanan. Lidah Eropa sangat berbeda dengan lidah Asia, dimana makanan disini umumnya tidak menggunakan terlalu banyak rempah dan bumbu sebagaimana sering kita makan di Asia. Hanya dengan lada dan garam bagi mereka sudah sangat cukup sebagai bumbu dari makanan sehari-hari. Hal ini sangat terasa ketika saya harus menjalani masa karantina selama 14 hari, dimana saya tidak bisa keluar dari kamar dormitory saya, sehingga pihak kampus menyediakan catering untuk mengantarkan makanan ke kamar saya selama masa karantina. Dan alhasil, banyak dari makanan tersebut tidak bisa saya makan sampai habis. Stok mie instan saya pun langsung hamper habis selama dua minggu tersebut. Dan akhirnya, ketika saya bisa keluar, saya menemukan makanan favorit saya disini, kebab. Fakta unik tentang warga Polandia, mereka sangat doyan makan kebab, bahkan jauh melebihi makanan fast food seperti KFC, McDonald dan sebagainya. Hal ini bisa dibuktikan dengan gerai kebab yang tidak terhitung dibandingkan dengan gerai-gerai fast food yang anehnya sangat jarang bahkan terhitung jari. Dengan pelayanan yang ramah, om kebab ini sangat asik untuk diajak berbincang, karena mayoritas dari mereka juga merupakan migran atau generasi kedua dari keturunan migran. Asal mereka bermacam-macam dari Turki, Bangladesh, dan India. Dan alasan lain saya sangat suka makan kebab adalah karena om kebab ini sangat lihai berbicara Bahasa Inggris. Hal ini dikarenakan masih banyak warga Polandia yang tidak bisa menggunakan Bahasa Inggris, sehingga saya harus banyak menggunakan “Bahasa tarzan” atau gerakan-gerakan tangan apabila bertemu dengan seseorang yang tidak bisa menggunakan Bahasa Inggris.

Salah satu pengalaman yang tidak akan pernah saya lupakan adalah betapa banyak teman-teman yang berasal dari seluruh penjuru dunia ketika saya berada disini. Saya berteman dengan orang dari Jepang, Taiwan, Azerbaijan, Georgia, Albania, Turki, dan tentunya warga lokal dari Polandia. Ditambah lagi dengan dosen-dosen yang sangat fantastis, dimana diantaranya adalah Professor Tomasz Łukaszuk yang merupakan mantan duta besar Polandia untuk Indonesia selama 10 tahun. Semua dosen dan juga tidak bisa dilupakan yaitu koordinator saya selama berada disini, mas Tymoteusz Kraski, mbak Magdalena, mbak Karolina, mas Jakub dan Viktor sangatlah baik dan juga tidak menganggap kami sebagai junior atau apapun itu. Mereka benar-benar menganggap kami sebagai teman, dan saya juga berkesempatan memberikan sebuah Iket tradisional Sunda kepada mas Tymoteusz yang bisa dilihat di laman Instagram saya fadel.baabud. Disini saya akan mengakhiri pengalaman saya yang sangat dipendekkan ini, dan pesan terakhir saya adalah jangan pernah menyerah sebelum berusaha! Billahitaufik Wal Hidayah, Wassalamualaikum Warahmatullahi Wabarukatuh.