Retrogresi Aktivisme Yudisial di Mahkamah Konstitusi

Penulis: Dr. Idul Rishan, S.H., LL.M

Dosen Fakultas Hukum Universitas Islam Indonesia (FH UII), Departemen Hukum Tata Negara

Jika membaca tren Putusan pengujian undang-undang (UU) di Mahkamah Konstitusi (MK) dalam kurun tiga tahun terakhir, hakim konstitusi cenderung membatasi dirinya untuk tidak membangun penafsiran secara konfrontatif dengan pembentuk undang-undang (Presiden-DPR). Dalam perkara-perkara populis yang melibatkan kepentingan masyarakat luas, mahkamah lebih
memilih menahan diri (self-restraint) untuk tidak melakukan penerobosan hukum atau yang dikenal dengan istilah aktivisme yudisial (judicial-activism). Paling anyar Putusan MK terkait ambang batas pencalonan presiden (presidential tresshold) yang untuk kesekian kalinya kembali di tolak mahkamah. Melemahnya aktivisme yudisial MK kerap terekam dalam dua pola. Pertama,
mempersempit ruang “legal standing” dalam praktik pengujian UU. Kedua, membatasi diri untuk tidak mengadili perkara yang merupakan kebijakan terbuka pembentuk UU (open legal policy).  Mahkamah membangun persepsi konstitusionalnya sendiri dengan menyatakan bahwa perkara yang dimohonkan bukan merupakan problem konstitusionalitas UU, melainkan domain pembentuk UU (Presiden-DPR) yang tidak seharusnya dijangkau oleh MK.

Legal Standing

Di awal berdirinya MK, hakim-hakim konstitusi berhasil memutus sekat antara institusi peradilan dan warga negara untuk berperkara di MK. Mahkamah menjadi institusi yang inklusif dengan membuka ruang “legal standing” yang cukup lebar bagi warga negara. Kerugian konstitusional tidak harus dimaknai sebagai kerugian rill melainkan juga kerugian potensial yang mungkin saja dialami oleh kelompok masyarakat maupun perseorangan. Bahkan melalui aktivisme yudisial para hakim konstitusi, sebagai pembayar pajak (tax payer) kelompok perseorangan maupun masyarakat bisa menjadi pihak yang mengalami kerugian konstitusional atas proses maupun hasil kerja legislasi Presiden dan DPR. Namun harus diakui, perubahan komposisi hakim konstitusi bisa mengubah cara pandang mahkamah dalam menilai kerugian konstitusional para pemohon. Tax payer kemudian diterjemahkan ulang oleh hakim konstitusi hanya pada perkara-perkara tertentu. Saat ini, cara pandang mahkamah kemudian kembali mengalami pergeseran. Dalam praktik pengujian UU di MK, ruang deliberasi itu kemudian semakin dipersempit.

Legal standing kemudian dimaknai sebagai kerugian rill pemohon atas pembentukan dan keberlakuan sebuah undang-undang. Dalam Putusan Nomor 90/PUU-XVIII/2020 atas perkara pengujian perubahan ketiga UUMK, mahkamah menolak permohonan uji materil karena kualifikasi pendidikan pemohon yang masih Strata-2, sehingga dianggap tidak mumpuni untuk menjadi hakim konstitusi. Perkara yang berbeda tetapi dengan alasan yang sama terjadi ketika mahkamah menguji ketentuan Presidential Tresshold dalam UU Pemilu. Mahkamah menilai tidak ada kerugian rill bagi pemohon karena pemohon tidak memiliki potensi untuk dicalonkan sebagai seorang Presiden. Pola penafsiran demikian, secara tidak langsung menjadikan mahkamah sebagai institusi yang eksklusif, dengan memperlebar jarak antara masyarakat dengan institusi MK sendiri.

Open legal

Kemudian yang tak kalah serius, mahkamah juga tidak pernah mencoba untuk melakukan aktivisme yudisial ketika perkara-perkara yang dimohonkan berada di wilayah kebijakan terbuka pembentuk undang-undang (open legal policy). Sifat open legal policy bisa menjadi ancaman dalam masa depan demokrasi konstitusional di Indonesia. Kita bisa berkaca dengan materi muatan Perubahan UU KPK, Perubahan UU MK, Pembentukan UU Cipta Kerja, dan UU Pemilu ialah pembentukan hukum negara yang sebagian pengaturannya tidak memiliki titik koordinat secara langsung dengan norma-norma yang ada di dalam konstitusi. Tetapi, berdampak secara luas bagi masyarakat. Misalnya ketentuan Dewan Pengawas dalam UU KPK, ketentuan syarat usia hakim konstitusi, penerapan metode omnibus law, ambang batas pencalonan presiden, merupakan kebijakan terbuka tetapi mendapat resistensi dan penolakan karena dampaknya yang luas terhadap kepentingan masyarakat. Ironisnya, Presiden dan DPR memilih untuk mengedepankan jalur juristokrasi. Delegitimasi sosial atas cara kerja pemerintah diharapkan bisa diselesaikan dengan cara-cara yang elegan, dalam hal ini pengujian di MK. Namun kenyataannya, jalur juristokrasi kita ternyata juga tumpul. MK menolak untuk memeriksa dan mengadili perkara-perkara yang seharusnya menjadi domain eksekutif dan legislatif. Kondisi ketatanegaraan demikian melahirkan “deadlock” bahkan saling lempar tanggung jawab antara pembentuk undang-undang dan lembaga peradilan. Sebab, hakim-hakim di MK juga tidak memilih untuk melakukan aktivisme yudisial berupa penerobosan hukum atas kasus-kasus kompleks yang sifatnya “open legal” tetapi memiliki dampak luas dan strategis di masyarakat.

Retrogresi

4 Juni 2021 silam, Profesor Sulistiyowati Irianto (Opini Kompas: 4/06/21) pernah menuliskan pesannya dalam kolom ini akan pentingnya dimensi sosio-legal dalam putusanputusan pengadilan. Aktivitas penemuan hukum di lembaga peradilan, tentu tidak bisa hanya bersandar pada norma teks, dan bangunan-bangunan pasal yang ada dalam konstitusi. Melainkan juga, memperhatikan pentingnya konteks pemenuhan keadilan yang berkembang di masyarakat. Tentu tidak bisa kami bayangkan ketika paradigma penafsiran MK menjadi relatif kaku akibat pembatasan aktivisme yudisial. Sifat “self restraint” para hakim konstitusi, akibatnya meletakkan mahkamah hanya akan menjadi institusi yang melegitimasi kebijakan-kebijakan yang tak populer dan cenderung meningkatkan legitimasi pemerintah.

Tulisan ini sudah dimuat dalam rubrik Opini Kompas, 25 Juli 2022.