Status Grey Area Pekerja Rumah Tangga dalam Sudut Pandang Hukum Ketenagakerjaan di Indonesia

Oleh: Najwa Amelia Mumtaz – 22410347

Mahasiswa Program Studi Hukum Program Sarjana Reguler Fakultas Hukum Universitas Islam Indonesia

Pekerja Rumah Tangga (PRT) merupakan jenis pekerjaan yang banyak dilakukan oleh masyarakat di negara berkembang, salah satunya adalah Indonesia. Pasalnya, PRT dianggap sebagai pekerjaan yang tidak membutuhkan keahlian khusus karena termasuk pada jenis pekerjaan domestik (Ilhamullah, 2023). Anggapan tersebut sejalan dengan International Labor Organization Convention (ILO) Number 189 yang mendefinisikan pekerjaan rumah tangga sebagai pekerjaan yang dilakukan di lingkungan rumah, misalnya seperti memasak, mencuci, mengepel, merawat keluarga, berkebun, dan membersihkan rumah. Sebagai jenis pekerjaan domestik, umumnya PRT didominasi oleh perempuan. Situasi tersebut tidak terlepas dari adanya paradigma patriakial yang menempatkan perempuan sebagai penanggung jawab dalam urusan domestik karena anggapan bahwa secara alamiah perempuan terlahir dengan sifat lemah lembut, memelihara, rajin, dan telaten (Sofiani, 2020). 

Jaringan Nasional Advokasi Pekerja Rumah Tangga (JALA PRT) memperkirakan bahwa pada tahun 2022, jumlah PRT di Indonesia mencapai angka 5 juta orang (Andriansyah, 2022). Sebanding dengan itu, tingginya angka PRT juga diikuti pula dengan banyaknya kasus pelanggaran hak-hak PRT maupun kasus kekerasan yang dialami oleh PRT, utamanya bagi PRT perempuan. Data Catatan Tahunan (CATAHU) Komnas Perempuan menunjukkan bahwa selama periode 2019 – 2023 setidaknya terdapat sebanyak 25 kasus yang diadukan ke Komnas Perempuan terkait kekerasan yang dialami oleh PRT (Bincang Perempuan, 2024). Di samping itu, kasus yang dialami oleh PRT berkaitan dengan upah yang tidak dibayarkan hingga pada jam kerja yang berlebihan pun masih marak terjadi. Sutini contohnya, seorang PRT di Yogyakarta selama 6 tahun yang harus bekerja selama 19 jam per hari dan menerima perlakuan kasar hingga penganiayaan dari majikannya (Luviana, 2022). Pelanggaran hak-hak PRT juga dialami oleh Ludiah yang selama bekerja sebagai PRT tidak pernah diberi upah oleh majikannya (Dhewy, 2017). 

Tingginya angka kasus kekerasan dan pelanggaran terhadap hak-hak PRT memiliki keterkaitan erat dengan status PRT yang masih abu-abu (grey area) dalam sistem hukum ketenagakerjaan di Indonesia. Hal ini dilatarbelakangi oleh Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan (UU Ketenagakerjaan) yang hingga saat ini belum secara tegas mengklasifikasikan status PRT sebagai jenis pekerja formal. Pada dasarnya, PRT memenuhi unsur definisi “pekerja” pada Pasal 1 angka (2) UU Ketenagakerjaan yang berbunyi “setiap orang yang bekerja dengan menerima upah atau imbalan dalam bentuk lain”. Lebih lanjut, hubungan antara PRT dengan pemberi kerja memenuhi kriteria hubungan kerja sebagaimana disebutkan dalam Pasal 1 angka 15 UU Ketenagakerjaan, yakni adanya pekerjaan, upah, dan perintah. Kendati demikian, penyebutan frasa “pengusaha” pada definisi “pemberi kerja” dan “hubungan kerja” menyebabkan kekaburan status PRT dalam UU Ketenagakerjaan karena pemberi kerja atau majikan PRT bukanlah “pengusaha” sebagaimana didefinisikan dalam Pasal 1 angka 5 UU Ketenagakerjaan (Sofiani, 2020). 

Ketidakjelasan status PRT sebagai pekerja dalam UU Ketenagakerjaan melahirkan presepsi bahwa PRT diklasifikasikan sebagai jenis pekerja informal. Karakteristik dari pekerja informal adalah pekerjaan yang cenderung bersifat privat atau keperdataan (Anugrah & Ruslie, 2024). Akibatnya, pemerintah sulit melakukan pengawasan terhadap pelaksanaan hubungan kerja antara PRT dan pemberi kerja karena lingkup kerja PRT yang cenderung tertutup dan privat (Organisasi Perburuhan Internasional, 2006.) Selain itu, ketiadaaan keharusan bagi PRT dan pemberi kerja untuk mendasarkan hubungan kerja berdsarkan kesepakatan tertulis sebagaimana diatur dalam UU Ketenagakerjaan berakibat pada banyaknya pelaksanaan hubungan kerja yang didasarkan pada kesepakatan tidak tertulis (Anugrah & Ruslie, 2024). Kondisi tersebut berakibat pula pada sulitnya bagi PRT untuk membuktikan hak-hak mereka ketika terjadi perselisihan atau pelanggaran terhadap hak-hak dasar mereka (Anugrah & Ruslie, 2024). 

Kekaburan status PRT dalam UU Ketenagakerjaan serta kurangnya kepastian hukum bagi PRT menunjukkan bahwa pemerintah belum berupaya secara optimal untuk melaksanakan pelindungan bagi PRT (Nurpradana, 2025). Salah satu penyebab ketidakpastian hukum bagi PRT adalah lambannya proses legislasi untuk merumuskan dan mengesahkan Rancangan Undang-Undang Pelindungan Pekerja Rumah Tangga (RUU PPRT). Pasalnya, pemerintah tidak segera mengesahkan RUU PPRT yang sudah dirumuskan sejak tahun 2004 dan di sisi lain, PRT tidak termasuk sebagai pekerja formal menurut UU Ketenagakerjaan. Hal demikian berakibat pada adanya kekosongan hukum (recht vacuum) terhadap perlindungan hukum bagi PRT, sehingga sangat rentan terjadi kekacauan hukum (rechtsonzekerheid) (Muhammad, 2025). 

Berdasarkan kapasitasnya sebagai regulator dan pengawas dalam hubungan kerja, maka menjadi suatu keharusan bagi negara untuk berperan aktif, mengingat adanya bargaining power position yang menempatkan PRT sebagai pihak yang lemah serta adanya dominasi perempuan selaku kelompok rentan yang menjadi PRT. Jika berbicara dalam aspek hukum ketenagakerjaan, campur tangannya negara menyebabkan terjadinya pergeseran sifat keperataan hukum ketenagakerjaan menjadi hukum publik yang disebut sebagai socialisering process (Saprudin, 2012). Mariam Darus Badrulzman menyebut istilah socialisering process sebagai “proses pemasyarakatan” (vermaatschappelijking) berupa pergeseran sifat hukum perdata ke hukum publik akibat campur tangan pemerintah dalam ranah hukum perdata (Saprudin, 2012). Namun, socialisering process belum tampak jelas terlaksana dalam hubungan kerja PRT dengan pemberi kerja lantaran UU Ketenagakerjaan tidak menjangkau PRT sebagai pekerja formal dan pengaturan mengenai PRT masih minim. Untuk itu, pemerintah perlu segera mengesahan RUU PPRT serta merevisi pasal-pasal yang berpotensi merugikan PRT, sehingga nantinya RUU PPRT diharapkan mampu melindungi dan menjangkau pemenuhan hak-hak dasar PRT (Komnas Perempuan, 2022).

0 replies

Leave a Reply

Want to join the discussion?
Feel free to contribute!

Tinggalkan Balasan