Cuti Pilkada dan Hukuman Koruptor

Penulis: Prof. Dr. Moh. Mahfud MD, S.H., S.U.

Dosen Fakultas Hukum Universitas Islam Indonesia (FH UII), Departemen Hukum Tata Negara

Umumnya wartawan itu punya pilihan berita sendiri, tak bisa diarahkan untuk memberitakan sesuatu kecuali oleh pimpinan medianya. Dua hari lalu (11 Agustus 2016) misalnya, saya hadir dan ikut membahas peluncuran buku Sistem Politik Indonesia: Kritik dan Solusi Sistem Politik Efektif di Universitas Negeri Jakarta (UNJ). Buku itu ditulis oleh Ubedilah Badrun. Isinya lumayan bagus, mendiagnosis problema sistem politik dan ketatanegaraan Indonesia serta alternatif-alternatif solusi sebagai terapinya.

Saya yang kebagian tugas membahas buku itu merasa senang ada dosen muda yang paham politik dan ketatanegaraan, seperti Ubedillah, menulis secara serius problema yang sedang kita hadapi. Banyak wartawan yang hadir pada peluncuran buku itu, tetapi tidak banyak yang memberitakan substansi dan pesan penting dari buku itu. Saya yang sudah membahas buku itu dengan serius malah ditanya hal-hal lain.

Para wartawan itu menanyakan pengujian Undang-Undang (UU No 10 Tahun 2016 oleh Gubernur DKI Basuki Tjahaja Purnama ke Mahkamah Konstitusi mengenai kewajiban cuti bagi kepala daerah yang akan bertarung kembali di daerah yang sedang dipimpinnya. Mereka juga bertanya soal isu yang ditangkap dari pernyataan Luhut Pandjaitan saat menjadi menko polhukam bahwa pihaknya membentuk tim yang akan merumuskan peraturan agar pejabat yang korupsi tak perlu dipenjarakan karena penjara sudah penuh. Koruptor-Koruptor itu cukup dipecat dan diminta mengembalikan uang hasil korupsinya.

Apakah secara hukum cuti bagi calon gubernur petahana harus dilakukan atau boleh tidak diambil? Apakah betul Bapak menjadi tim untuk membuat peraturan yang bisa membebaskan pejabat yang korupsi dari pemenjaraan seperti yang dikatakan oleh Pak Luhut?” Itulah, antara lain, pertanyaan yang disampaikan kepada saya.

Saya menjawab bahwa di dalam hukum itu ada istilah hak yang merupakan sesuatu yang dapat dituntut pemenuhannya dan pemerintah wajib memenuhinya jika hak itu diminta oleh pemegang hak. Memilih di dalam pemilu, misalnya, adalah hak. Jika orang yang mempunyai hak pilih akan menggunakan haknya, negara wajib memenuhi dan memfasilitasi orang tersebut agar dapat memilih. Tapi jika yang bersangkutan menyatakan tak akan menggunakan hak pilihnya, dia tak bisa dipaksa untuk memilih.

Pada umumnya cuti dianggap sebagai hak. Kita sering Mendengar istilah cuti melahirkan, cuti tahunan, dan lain-lain yang merupakan hak. Cuti Sebagai hak memang bisa diambil dan bisa tidak diambil. Hak cuti tahunan bagi PNS, misalnya, boleh diambil dan boleh tidak diambil atau diatur sendiri waktu pengambilannya. Tapi cuti itu tidak selalu berarti hak, melainkan bisa merupakan kewajiban atau bahkan larangan.

Kalau dalam keadaan tertentu cuți oleh hukum dinyatakan sebagai kewajiban, maka cuti wajib diambil. Ketika dulu pada tahun 2000 saya diangkat menjadi menteri oleh Presiden Abdurrahman Wahid, saya wajib mengambil cuti di luar tanggungan negara sebagai pegawai negeri sipil (PNS). Itu sesuai dengan hukum bahwa PNS yang diangkat menjadi pejabat negara tertentu wajib mengambil cuti.

Cuti juga bisa dilarang. Dalam keadaan gawat karena letusan gunung berapi misalnya, pegawai vulkanologi yang seharusnya mempunyai hak cuti bisa saja dilarang mengguna kan hak cutinya sampai keadaan tertentu. Terkait dengan ini, polemik soal calon kepala daerah apakah harus mengambil atau boleh tidak mengambil cuti, menurut UU yang berlaku, hukumnya adalah “wajib melakukan cuti seperti yang diatur dalam Pasal 70 ayat (3) UU No10 Tahun 2016.

Sebenarnya dulu, berdasar Pasal 58 q UU No 12 Tahun 2008, ada ketentuan UU bahwa calon kepala daerah petahana wajib menyatakan berhenti sebagai kepala daerah jika mencalonkan diri lagi sebagai kepala daerah. Tapi ketentuan tersebut diuji materi oleh Gubernur petahana Provinsi Lampung Sjachroedin ZP ke Mahkamah Konstitusi (MK) karena dianggap melanggar hak konstitusionalnya. Melalui Putusan Nomor 17/PUU-VI/2008 MK memenangkan gugatan (permohonan judicial review) Sjachroedin.

MK memutus bahwa petahana yang mencalonkan diri lagi tidak harus mengundurkan diri, tetapi harus melakukan cuti sejak resmi ditetapkan KPU sebagai calon. Sjachroedin sendiri tidak menikmati kemenangan perkaranya itu karena terlanjur menyatakan berhenti sebelum putusan MK dikeluarkan. Tapi putusan MK atas gugatan Sjachroedin menjadi hukum dan memuat legal reasoning mengapa calon petahana wajib mengambil cuti.

Legal reasoning vonis MK inilah yang kemudian dipakai oleh lembaga legislatif dan KPU ketika mengharuskan pengambilan cuti oleh petahana yang menjadi kontestan dalam pemilu kepala daerah.

Akan halnya pertanyaan lain dari wartawan, apakah saya masuk dalam tim pemerintah yang akan membebaskan pejabat korup dari hukuman penjara asalkan harta hasil korupsinya dikembalikan kepada negara, saya menjawabnya tidak pernah membicarakan apalagi ikut dalam tim itu. Sejak dulu saya berpendapat, koruptor itu harus dihukum berat karena telah menjadi drakula penghisap darah bangsa dan negaranya.

Saya kira pers salah kutip tentang itu dari Menko Polhukam Luhut B Pandjaitan. Nyatanya saya hanya ikut dalam satu rencana untuk membuat UU induk atas proses investasi yang kerap kali terhalang oleh berbagai peraturan perundang-undangan yang saling kunci sehingga menghambat implementasi 12 Paket Kebijakan Ekonomi. Kalau soal sinkronisasi UU yang terkait dengan pembangunan ekonomi itu, saya bersama Jimly Asshiddiqie dan Indrianto Senn Adjime mang pernah membicarakannya secara serius dengan Pak Luhut. Tapi kalau soal penurunan bobot atau jenis hukuman bagi koruptor saya tidak pernah ikut membicarakannya.

 

Tulisan ini telah dimuat dalam koran SINDO, 13 Agustus 2016.