Menyorot Polri Lawan Hoax

Penulis: Prof. Dr. Moh. Mahfud MD, S.H., S.U.

Dosen Fakultas Hukum Universitas Islam Indonesia (FH UII), Departemen Hukum Tata Negara

Saya heran pada sementara pihak yang menyalah-nyalahkan Polri ketika membongkar dan menangkap belasan orang yang disangka mengorganisasikan akun hoax untuk menyebarkan berita bohong ke te ngah-tengah masyarakat. Mereka ini seakan tidak menyadari bahwa berbagai kerusuhan yang mengerikan justru timbulkarena pembuatan hoaxyang diorganisasikan secara sistematis.

Ketika Polri membongkar dan menangkap jaringan akun Muslim Cyber Army (MCA) Fmily seharusnya kita mengacungijempol Polrikarena sudah bisa melakukanitudenganbaik. Anehnya, ada yang berkata nyinyir, “Itu rekayasa untuk mengalihkan perhatian,” dan ada yang mempersoalkan penyebutan secara eksplisit nama MCA kepada publik yang, katanya, bisa memojokkan umat Islam. Tetapi, alasan untuk mengatakan itu tidak masuk akal.

Polri tidaklah salah ketika menyebut nama akun tersebut. Jika Polrimelakukanpenindakan kemudian tidak menyebut nama kelompok (akun) yang digunakannya justru bisa lebih salah lagi. Masa iya, menindak tanpa menyebutkan dengan je las siapa yang ditindak dan apa namakelompoknya? Kalaubertindak seperti itu Polri bisa dianggap membuat hoax sendiri karena menindak satu kelompok yang tak ada identitasnya. Bisa juga dituding melakukan operasi senyap yang merugikan kelompok tertentu atau berbagai tudingan lainnya. Jadi, su dah benarlah Polri menyebut nama MCA Family dan namanama mereka yang ditangkap.

MCA Family itu jelas merupakan fakta sebagai akun produsen dan penyebar hoax jahat yang dipergunakan oleh pela – ku-pelaku yang jelas identitasnya. Masa harus didiamkan atau disembunyikan identitasnya? Kelompok seperti itu me mang harus ditindak tegas. Apalagi isu-isu yang dilontarkannya selama ini memang “mengatasnamakan pembela Islam untuk membuat keresahan dan disintegrasi sosial. Adalah benarpendapat bahwa pembuatakun MCA Family dan pendukung-pendukungnya adalah perusak Islam dan perusak citra umat Islam. Mereka yang merasa dirinya sebagai barisan Muslim Cyber Army yang benar dan tidak menyebarkan hoax (melainkan hanya berdakwah atau berjuang secara baik) seharusnya ikut membantu Polri bersama masyarakat untuk membongkar dan menindak sindikat MCA Family.

Berita hoax yang menyebarkan kebencian, fitnah, adudomba antargolongan merupakan tindakan yang membahayakan kita sebagai bangsa yang bernegara. Baruduaharilalu(Kamis, 8 Maret 2018) kita dikejutkan oleh berita terjadinya bentrok antara penganut Islam dan penganut Budha di Sri Lanka yang sampai menelan korban jiwa karena diprovokasi oleh be rita hoax. Secara hukum di Indonesia ini kita sudah mengantisipasinya melalui UU tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (ITE), yakni, UU Nomor 11/2008 yang kemudian direvisi dengan UU Nomor 19/2016. Didalam UUITE tersebut diatur ancaman hukuman yang tegas atas penyebar berita bohong yang disebarkan melalui media elektronik, tepatnya transaksi elektronik.

Menurut Pasal 28 ayat (1) dan ayat (2) juncto Pasal 45 (2) UU Nomor 11/2008 serta meturut Pasal 45 ayat (10) UU No mor 19/2016, siapa pun yang melakukan penyebaran berita bohong dengan unsur tertentu bisa dijatuhi hukum pidana penjara selama enam tahun dan atau denda Rp1.000.000.000 (satu miliar rupiah). Tepatnya “Setiap orang yang dengan se ngaja dan/atau tanpa hak me nyebarkan berita bohong dan menyesatkan yang menyebab kan kerugian konsumen dalam Transaksi Elektronik” dan “Se tiap orang yang dengan sengaja dan tanpa hakmenyebarkaninformasi yang ditujukan untuk menimbulkan rasa kebencian ataupermusuhanindividudan/ atau kelompok masyarakat ter tentu berdasarkan suku, aga ma, ras, antargolongan” dian cam dengan hukuman pidana 6 tahun dan/atau denda sebesar Rp 1.000.000.000 (satu miliar rupiah).

Jika menyangkut fitnah pencemarannamabaik, penista an perbuatantidak menyenang kan, dan sebagainya terhadap orang perseorangan malasesuai Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 50/PUU-VI/2008 tanggal 5 Mei 2009, pelaku transaksi elektronik yang seperti itu bisa dihukum dengan ketentuan-ketentuan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP)sebagai mana diatur di dalam Pasal 310 (menista), Pasal 311 (memfit nah), Pasal 315 (menghina. mencemarkan), dan sebagainya dengan menggunakan Pasal 27 UUITE. Adapun yang dimaksud dengan transaksi elektronik seperti yang diatur di dalam Pasal 1 butir 2 UU Nomor 19/ 2016 adalah perbuatan hukum yang dilakukandengan menggunakan komputer, jaringan kom puter, dan/atau media elektronik lainnya.”

Polri tidak perlu gamang da lam melaksanakan ketentuan ketentuan hukum tersebut untukmenindak secarategas setiap pelalu transaksi elektronik yang menyebarkan hoax. Meskipun begitu, kritik-kritik terhadap Polri yang bermuatan kecurigaan tentang ketidaletralan atau tudingan tentang ketidakprofesienalan Polri tetaplah harus di perhatian dan dijawab dengan tindakan-tindakan profesional yang nyataoleh Polri. Ditengah tengah masyarakat memang berkembang Opini bahwa Polri kerap hanya menindak orang atau kelompok tertentu, tetapi membiarkan orang atau kelompok tertentulain ketika melaku kan penistaan, membuat hoax, atau tindak pidana lain.

Meskipun begitu, masyara kat tidak harus meminta Polri mengklarifikasi lebih dulu tentang berbagai kecurigaan dan protes itu untuk menindak kelompok MCA Family ini.

Kelompok MCA Family dan orang-orang yang terlibat di dalamnya harus segera ditindak tegas tanpa harus disandera oleh mandekaya kastus-kasus lain yang masih dipertanyakan Biarlah itu berjalan simultan dan bisa melalui jalurnya sendiri sendiri.

 

Tulisan ini telah dimuat dalam koran SINDO, 10 Maret 2018.