Opsi Penundaan Pilkada

Penulis: Allan Fatchan Gani Wardhana, S.H., M.H.

Dosen Fakultas Hukum UII, dari Departemen Hukum Tata Negara

Jakarta – Kesimpulan Rapat Dengar Pendapat Komisi II DPR dengan Menteri Dalam Negeri, KPU, Bawaslu, dan DKPP pada 30 Maret kemarin yaitu sepakat menunda Pilkada 2020 serta meminta kepada pemerintah untuk segera menyiapkan payung hukum berupa Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perppu). Selain itu, Komisi II DPR meminta kepada seluruh kepala daerah yang akan melaksanakan Pilkada Serentak untuk merealokasi dana Pilkada 2020 yang belum terpakai untuk penanganan pandemi Covid-19.

Pilihan payung hukum Perppu tampaknya lebih dipilih karena praktis dan memiliki konstitusionalitas yang didasarkan pada Pasal 22 UUD 1945, bahwa dalam keadaan gentina Presiden berhak mengeluarkan Perppu. Situasi kegentingan ini memang nyata adanya karena pandemi Covid-19 telah meluluhlantakkan aktivitas pemerintahan dan masyarakat, serta banyak daerah-daerah yang akan menyelenggarakan pilkada terjangkit Covid-19.

Situasi genting berikutnya juga karena Pasal 206 ayat (1) UU Pilkada mengatur bahwa Pilkada 2020 harus dilaksanakan pada bulan September, sehingga membutuhkan payung hukum yang cepat untuk mengubah aturan tersebut dengan mengatur penundaan pilkada.

Pernah Ditunda

Dalam lintasan sejarah, penyelenggaraan pilkada pernah ditunda di beberapa wilayah. Pilkada 11 kabupaten dan 3 kota di Aceh pada 2005 pernah ditunda karena saat itu Aceh sedang fokus pada proses penanggulangan pascabencana gempa dan tsunami pada 2004 Kemudian kada Kota Yogyakarta 2006 ditunda karena terjadi gempa bumi 1,5 bulan sebelum pilkada.

Kini dalam kondisi pandemi Covid-19, setidaknya opsi menunda pilkada adalah pilihan yang rasional yang justru kemudian menjadi perdebatan ialah sampai kapan pi kada di tunda? Ada 3 opsi yang berkembang berkaitan dengan pelaksanaan pemungutan suara Opsi pertama dilakukan 9 Desember 2020 (ditunda 3 bulan), opsi kedua dilakukan 17 Maret 2021 (di tunda 6 bulan), dan opsi ketiga dilakukan 29 September 2021 (ditunda setahun).

Dalam perkembangan, opsi ketiga cenderung lebih dipilih karena relatif waktu persiapannya panjang serta belum terkonfirmasi secara pasti sampai kapan pandemi ini akan berakhir.

Opsi Baru

Tiga opsi di atas belum final dan masih memungkinkan adanya opsi baru Jika pilihannya hanya tiga opsi di atas, maka relevan untuk memunculkan opsi baru yaitu menunda Pilkada 2020 dan kemudian melaksanakannya pada 2024 Ada beberapa pertimbangan.

Pertama, para calon kepala daerah baik yang baru pertama maju maupun incumbent baik yang berasal dari jalur partai politik maupun jalur perseorangan akan berhitung ongkos politik serta program kerja Jika pilkada dilaksanakan pada 2021, berarti kepala daerah dan wakil kepala daerah terpilih hanya akan menjabat kurang lebih sekitar 2,5 tahun karena pada 2024 akan digelar Pilkada Serentak berbarengan dengan Pemilu Presiden dan Pemilu Legislatif.

Dengan biaya politik yang mahal, calon kepala daerah bisa jadi akan menganggap tidak sepadan dengan masa jabatan yang singkat Selain itu kepala daerah dan wakil kepala daerah juga tidak dapat optimal menjalankan program kerjanya dengan masa jabatan yang singkat.

Kedua, merujuk Pasal 162 ayat (1) dan ayat (2) UU Pikada mengatur bahwa kepala daerah dan wakil kepala daerah memegang jabatan selama 5 (lima) tahun terhitung sejak tanggal pelantikan Dengan aturan tersebut seharusnya kepala dan wakil kepala daerah terpilih (asal tidak terjerat kasus hukum mendapatkan haknya selama ima tahun Selain itu, juga akan berdampak hukum lain terutama bagi penghitungan masa jabatan.

Jika membaca politik hukum UU Pikada, satu periode jabatan itu terhitung 5 tahun Artinya kalau hanya menjabat 2,5 tahun dapat dianggap belum satu periode.

Ketiga, jika pilkada tetap dilaksanakan pada 2021, maka hanya berselang 3 tahun setelahnya yaitu pada 2024 akan digelar pilkada lagi Artinya dalam jangka waktu 3 tahun akan ada dua kal penyelenggaraan pilkada Tentu saja hal ini akan memboroskan anggaran ini belum termasuk biaya sosial yang harus ditanggung seperti adanya gesekan pendukung antar calon, potensi konflik horizontal, serta banyaknya gugatan sengketa hasil pikada ke Mahkamah Konstitusi.

Dengan tiga pertimbangan di atas, maka pemerintah harus segera mengeluarkan Perppu yang menunda pelaksanaan Pilkada 2020 dan menyelenggarakannya pada 2024 Terlebih kita semua telah menyepakati bahwa pemungutan suara serentak nasional dalam Pemilhan Kepala dan Wakil Kepala Daerah (baik provinsi maupun kabupaten/kota) di seluruh Indonesia dilaksanakan pada November 2024.

Adapun untuk mengisi kekosongan jabatan kepala daerah dan wakil kepala daerah yang masa jabatannya berakhir pada 2020, maka dapat diangkat Penjabat Kepala Daerah (Pelaksana Tugas) sampai dengan terpilihnya kepala dan Wakil Kepala Daerah melalui Pemilihan Serentak Nasional pada 2024.

Terkait kekhawatiran sejumlah pihak bahwa Penjabat Kepala Daerah minim kewenangan, hal ini sudah terbantahkan secara hukum Dalam Pasal 9 Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 74 Tahun 2016 telah diatur bahwa Pelaksana Tugas Kepala Daerah dapat menetapkan APBD menetapkan kebijakan, menjaga netralitas ASN, serta mengangkat atau memberhentikan pejabat sesuai peraturan perundang-undangan D samping itu, Pelaksana Tugas yang nantinya dipilih haruslah yang memiliki kompetensi dan integritas.

 

Tulisan ini sudah dimuat dalam rubrik detikNews,  06 April 2020.