Hilangnya Jaminan Perlindungan Budaya Tradisional

Lagi-lagi bangsa Indonesia dihadapkan pada kegaduhan tentang klaim budaya tradisional oleh pihak Malaysia. Kini kasus yang muncul berkaitan dengan Tarian Tor-Tor dan Gondang Sambilan (Sembilan Gendang) yang berasal dari masyarakat Mandailing Sumatra utara. Hal yang menarik dari peristiwa ini adalah banyaknya pihak yang merasa “marah” atas apa yang dilakukan oleh pihak Malaysia. Dari mulai orang awam hingga para politisi. Dari adanya kegaduhan semacam ini, sungguh telah menggelitik satu pertanyaan, adakah komitmen Negara dalam memberikan jaminan perlndungan budaya tradisional?

 

Jaminan Konstitusi dalam Melindungi Budaya Tradisional 

Apabila memperhatikan pada Pembukaan UUD 1945, maka jelas bahwa salah satu tujuan dibentuknya Negara Indonesia adalah dalam kerangka melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darahnya. Artinya, Negara menjadi berkewajiban untuk dapat memberikan perlindungan baik pada sumber daya manusia maupun non manusia. Dalam konteks sumber daya non manusia seharusnya Negara dapat melindungi baik terhadap sumber daya alam maupun non alam, hal ini tidak terkecuali dalam hal perlindungan budaya tradisional.

Sejalan dengan hal ini, maka di dalam batang tubuh konstitusi ada beberapa ketentuan yang memberikan arahan sekaligus jaminan yang tegas atas perlindungan budaya tradisional. Adapun landasan konstitusional dalam konteks perlindungan budaya tradisional ini sebagaimana tertuang di dalam Pasal 18B ayat (2) Perubahan kedua UUD 1945 yang berbunyi “Negara mengakui dan menghormati kesatuan-kesatuan masyarakat hukum adat beserta hak-hak tradisionalnya sepanjang masih hidup dan sesuai dengan perkembangan masyarakat dan prinsip Negara Kesatuan Republik Indonesia yang diatur dalam Undang-Undang.” dan Pasal 28I ayat (3) Perubahan kedua UUD 1945 yang berbunyi sebagai berikut: Identitas budaya dan hak masyarakat tradisional dihormati selaras dengan perkembangan zaman dan peradaban”. Di samping ketentuan di atas, Pasal 32 ayat (1) dan ayat (2) Perubahan keempat UUD 1945 memberikan landasan semakin menguatkan arahan dan jaminan konstitusi atas pentingnya melindungi budaya tradisional di Indonesia.

 

Hilangnya Jaminan Perlindungan Budaya tradisional

Jika memperhatikan kasus yang berkembang saat ini berkenaan dengan adanya upaya Malaysia dalam melakukan pencatatan Tarian Tor-Tor dan Gondang Sambilan (Sembilan Gendang) sebagai warisan budaya sungguh hal ini sangat memprihatinkan. Keprihatinan ini muncul karena kasus ini bukanlah merupakan kasus pertama tetapi sudah menjadi kasus untuk yang kesekian kalinya berkaitan dengan budaya tradisional. Pertanyaannya, apakah dalam konteks ini Negara bisa dianggap telah kehilangan komitmennya dalam memberikan jaminan perlindungan budaya tradisional?

Berbicara tentang komitmen Negara dalam memberikan jaminan perlindungan budaya tradisional, sebenarnya tidak cukup hanya sekedar diungkapkan dalam bentuk pada rumusan – rumusan normatif dalam konstitusi, tetapi tindakan yang lebih nyata tidak ada. Dalam realitasnya, Negara saat ini sudah kehilangan komitmennya dalam memberikan jaminan perlindungan budaya tradisional. Ada dua parameter bahwa komitmen Negara susungguhnya telah hilang dalam memberikan jaminan perlindungan budaya tradisional. Kedua parameter tersebut adalah;

Pertama, dalam konteks penyelesaian kasus, nampak Negara tidak mampu menuntaskan penyelesaian kasus-kasus pengklaiman budaya tradisional oleh pihak asing secara tuntas dan jelas. Dari mulai kasus Batik hingga Tarian Tor-Tor saat ini  Negara hanya bisa terdiam tanpa ada suatu kejelasan sikap untuk menyelesaikan kasus tersebut. Kalaupun ada respon, hal ini tidak menyelesaikan kasus secara tuntas. Pengakuan oleh UNESCO atas beberapa budaya tradisional hal ini belum menuntaskan masalah perlindungan budaya tradisionl terbukti masih ada kasus pada jenis budaya tradisional lainnya. Di sisi lain, upaya mendorong semua budaya tradisional diakui UNESCO hal ini belum tentu dapat dilakukan karena persyaratan yang ketat dan bisa jadi tidak efesien.

Kedua, dalam konteks pengembangan sistem hukum, Negara tidak mampu membangun peraturan perundang-undangan yang mengarah kepada pengembangan sistem perlindungan budaya tradisional. Padahal, jika mengamati kepada ketentuan Pasal 18B ayat (2) Perubahan Kedua UUD 1945, secara tegas konstitusi menghendaki bahwa dalam kerangka menghormati hak-hak tradisional yang di dalamnya juga memuat perlindungan budaya tradisional semestinya dibuat suatu ketentuan perundang-undangan yang dapat mengoptimalisasikan maksud dari Pasal 18B tersebut. Nyatanya, hingga kini peraturan perundang-undangan yang diharapkan tak kunjung muncul. Dahulu, Direktorat Jenderal HKI Kementerian Hukum dan HAM memang pernah melakukan penyusunan RUU Perlindungan dan Pemanfaatan Budaya Tradisional, tetapi RUU itu sendiri hingga saat ini tidak menunjukan kejelasan ujung pangkalnya. Oleh karena itu, hal ini dapat diartikan bahwa benar Negara sudah hilang komitmennya untuk memberikan jaminan perlindungan budaya tradisional. Wallahu’alam bis Shawab.

 

Budi Agus Riswandi

Direktur Eksekutif Pusat Hak Kekayaan Intelektual

Fakultas Hukum Universitas Islam Indonesia Yogyakarta