Indonesia dan Software Illegal

Berdasarkan riset Business Software Alliance (BSA) dan Ipsos Public Affairs, Indonesia didudukan sebagai peringkat tujuh penggunaan software illegal dari 32 negara di dunia. Realitas ini bagi sebagian kalangan dianggap bukan hal yang mengejutkan (Indonesia tercitrakan sebagai negara yang banyak melakukan pelanggaran hak cipta). Akan tetapi, disadari bersama dengan adanya informasi ini, menunjukan masyarakat Indonesia dalam hal kesadaran perlindungan hak cipta masih sangat lemah. Lalu, sikap apa yang harus dilakukan pemerintah agar permasalah ini dapat terselesaikan?

Akar Masalah

Dengan peringkat tujuh Indonesia dalam penggunaan software illegal menunjukan kepada kita bahwa akar masalah dari pelanggaran hak cipta belum terselesaikan.  Apa sesungguhnya yang menjadi akar masalah, sehingga pelanggaran hak cipta software di Indonesia masih tinggi?

Sebenarnya, jika mau ditelaah secara mendalam akar permasalahan dari tingginya pelanggaran hak cipta software ini terletak pada belum terbentuknya budaya mengakui, menghormati dan melindungi hak cipta yang baik. Dari akar masalah ini, apabila diturunkan, maka dapat teridentifikasi beberapa permasalahan turunan yang yang menyebabkan budaya hak cipta yang baik belum terbentuk, yakni; Pertama, belum efektifnya edukasi HKI; Kedua, adanya kebijakan hak cipta yang tidak efektif; Kedua, terbatasnya sumber daya manusia dan lemahnya profesionalisme aparat penegak hukum dalam menangani pelanggaran hak cipta software; dan Ketiga, masih adanya tindakan seporadis dan tebang pilih dalam penegakan hukum hak cipta.

Praktek edukasi HKI yang tidak efektif dibuktikan dengan adanya edukasi HKI yang cenderung sektoral dan parsial, serta kurang mengena kepada sasaran. Dalam konteks pendidikan formal pun, edukasi HKI nampaknya masih berkutat pada bidang hukum, sementara bidang yang lain belum teroptimalisasikan. Di lain pihak, dalam konteks pendidikan informal, edukasi HKI lebih cenderung dilaksanakan dengan sistem copy paste saja dan penyampaian materi HKI-pun cenderung pengulangan.

Selanjutnya dalam konteks akar masalah turunan kedua, sebagaimana diketahui, pemerintah dalam upaya meminimalisir pelanggaran HKI (hak cipta) saat ini telah membuat kebijakan berupa pembentukkan Tim Nasional Penanggulangan Pelanggaran HKI. Tim ini dibentuk berdasarkan Keppres No. 4 Tahun 2006. Namun, dilihat dari keanggotaan tim tersebut terlihat bahwa anggota-anggota yang terlibat sebagian besar adalah pejabat negara yang notabene-nya tidak memiliki waktu untuk menjalankan tugas tim. Alhasil dalam implementasinya, kebijakan ini terkesan tidak efektif.

Lemahnya profesionalisme aparat penegakan hukum terhadap bidang HKI menjadi permasalahan turunan berikutnya dari belum terbentuknya budaya hak cipta yang baik. Faktanya, pernah ditemukan ada aparat penegak hukum yang menangani kasus pelanggaran HKI, ternyata tidak mampu membedakan kasus tersebut masuk kategorisasi pelanggaran hak cipta atau paten.

Permasalahan turunan ini semakin diperburuk lagi dengan hadirnya permasalahan turunan lainnya berupa tindakan seporadis dan tebang pilih dalam penegakan hukum hak cipta. Akibatnya, ada persepsi di masyarakat bahwa  pemerintah—khususnya penegak hukum — tidaklah memiliki keseriusan dalam menegakkan hukum hak cipta.

Hal inilah kiranya yang menjadi permasalahan-permasalahan, sehingga pada saat ini Indonesia belum mampu secara maksimal mengurangi secara drastis terhadap tindakan pelanggaran hak cipta software dan harus tetap ada pada posisi tinggi atas pelanggaran hak cipta software.

 

Sikap dan Upaya 

Dengan menyadari terhadap akar permasalahan yang ada dan masih tingginya tingkat pelanggaran hak cipta software, maka pemerintah sudah selayaknya untuk  melakukan tindakan responsif dan lebih serius lagi. Wujud nyatanya harus ditunjukan dengan adanya upaya-upaya nyata dalam menurunkan tingkat pelanggaran hak cipta software. Beberapa upaya yang mungkin dapat dilakukan oleh pemerintah untuk hal tersebut adalah:

Pertama, mereview dan memperbaiki sistem edukasi dan penyadaran hak cipta (HKI) kepada masyarakat. Hak cipta (HKI) yang semula hanya diberikan kepada fakultas hukum sudah saatnya diberikan kepada fakultas lainnya. Bahkan jika dimungkinkan hak cipta (HKI) dapat juga diberikan kepada jenjang pendidikan dibawahnya (baca: SMA, SMP dan SD). Kegiatan sosialisasi lebih diintensifkan dan dilakukan dengan lebih terrencana.

Kedua, mengkaji kembali setiap kebijakan dalam rangka penanggulangan pelanggaran hak cipta (HKI). Kajian ini tentu harus sampai pada suatu penemuan riil atas permasalahan kebijakan yang tidak efektif. Pemerintah harus secara tegas dan berani untuk memperbaiki kebijakannya. Di samping itu, kebijakan penanggulangan pelanggaran HKI (hak cipta) yang dapat menjangkau pelanggaran-pelanggaran HKI (hak cipta) di daerah-daerah hendaknya segera dibuat.

Ketiga, memperbaiki metode penegakan hukum hak cipta menjadi penegakan hukum yang sistemik dan konsisten. Dalam hal ini, pemerintah harus secara konsisten meningkatkan jumlah dan profesionalisme aparat penegak hukum. Di samping itu, penting juga adanya suatu bentuk reward kepada penegak hukum yang secara profesional menegakkan hukum hak cipta sekaligus mampu menciptakan rasa keadilan substantif kepada masyarakat.

Pada akhirnya, melalui sikap responsif dan upaya pemerintah diharapkan di masa-masa mendatang pelanggaran hak cipta software oleh masyarakat Indonesia turun secara drastis dan hal ini sekaligus menandai terciptanya budaya hak cipta yang baik.

 

Budi Agus Riswandi

Direktur Eksekutif Pusat HKI

Fakultas Hukum Universitas Islam Indonesia