Makar dan Makan

Penulis: Prof. Dr. Moh. Mahfud MD, S.H., S.U.

Dosen Fakultas Hukum Universitas Islam Indonesia (FH UII), Departemen Hukum Tata Negara

 

Sangkaan makar atas 11 aktivis (belakangan ditambah 1 orang lagi, yakni Hatta Taliwang yang dilakukan Polri tidak cukup dilihat dari kacamata hukum pidana, tetapi harus juga dilihat dari aspek konstitusi dan hukum tata negara . (HTN). Kita sangat kaget ketika pada 2 Desember 2016 pagi ada berita yang kemudian dikonfirmasi Polri bahwa Rachmawati, putri Bung Karno, dan 10 crang lainnya di amankan (ditangkap) karena diduga (dan kemudian disangka) melakukan makar.

Ini tidak main-main. Sebab jika dirunut dari Kitab Undang-Undang Hukum Pidana(KUHP) Pasal 104 dan seterusnya, ancaman hukuman bagi pemakar sangatlah berat. Ancamannya mulai dari hukuman mati, penjara seumur hidup, penjara 20 tahunan hingga penjara 15 tahun dan seterusnya. Pasal KUHP mana yang disangkakan mereka lakukan? Menurut Polri, mereka, kecuali Ahmad Dhani, disangka melanggar Pasal 107 dan Pasal 110 KUHP.

Sangkaannya sangat serius karena pelakunya diancam hukuman berat. Pasal 107 KUHP mengatur, siapa pun yang secara melawan hukum inelakukan makar dengan usaha menggulingkan pemerintah dipidana dengan pidana makar paling lama 15 tahun penjara, sedang kan pemimpin dan para pengatur makar diancam dengan pidana penjara seuinur hidup atau paling lama 20 tahun.

Jika dilihat dari peristiwa-peristiwayang mendahuluiserta keterangan Polri, tampaknya sulit dipercaya bahwa mereka telah melakukan maicar sebagaimana diatur di dalam Pasal 107 KUHP.

Sebab yang mereka lakukan sebelum itu adalah merencanakan datang ke Gedung MPR pada tanggal 2 Desember 2016 untuk meminta MPR melakukan Sidang Istimewa agar memberlakukan kembali UUD 1945 dan (mungkin) meminta MPR memberhentikan Presiden dan/atau Wakil Presiden.

Rencana yang dikemukakan secara resmi oleh Rachmawati dan yang menurut istri Sri Bintang Pamungkas, Ernalia, disampaikan secararesmi melalui surat itu tentu tidak bisa disebut makar. Mereka menyampaikan rencananya secara resmi, terbuka, dan tanpa melakukan kekerasan untuk memaksa. Karena langkah mereka itu tidak bisa dikategorikan makar dengan melanggar Pasal 107, pihak Polri melapisinya dengan sangkaan makar dengan menggunakan Pasal 110 KUHP.

Di dalam Pasal 110 disebutkan, antara lain, siapa pun yang melakukan permufakatan untuk melakukan tindakan seper ti yang diatur Pasal 104, Pasal 106, Pasal 107, dan Pasal 108 diancam karena melakukan makar seperti ketentuan pasal-pasaltersebut. Jadisangkaanyang dikenakan kepada mereka, sangatmungkin adalah sangkaan melakukan permufakatan untuk melakukan tindakan yang dilarang oleh Pasal 107 KUHP, yakni berusaha menggulingkan pemerintah.

Dengan demikian yang perlu ditunggu adalah bukti-bukti yang dimiliki Polri dalam mene tapkan sangkaan bahwa mereka telah melakukan permufakatan. Polri harus mempunyai bukti yang kuat bahwa mereka melakukan permufakatan untuk makar, bukan hanya bukti bahwa mereka pernah bertemu dan berdiskusi sambil makanmakan tentang kemungkinan meminta MPR bersidang agar mengganti lagi UUD dan atau untuk memberhentikan Presiden/Wapres.

Pertemuan-pertemuan sambil makan-makan untuk mengusulkan pemberhentian Presiden dan pemberlakuan UUD (misalnya usul kembali ke UUD 1945 yang asli) yang hendak disampaikan secara resmi dan tanpa kekerasan fisik tentulah bukan makar, melainkan makan. Kegiatan seperti itu adalah kegiatan legal yang dari sudut hukumntata negara merupakan penggunaan hak politik yang dilindungi sepenuhnya oleh konstitusi.

Pada awal-awal Reformasi 1998 kita sudah mencabut keberlakuan UU No 11/PNPS/ 1963 tentang Tindak Pidana. Subversi agar setiap orang memiliki kebebasan serta tidak takut membicarakan dan menyampaikan aspirasi politik dan penilaiannyatentangjalannya pemerintahan. Melalui perubahan UUD kita juga sudah memasukkan perincian hakhak asasi manusia (HAM) sebagaimana diatur oleh berbagai konvensiinternasional

Pasal 28 UUD 1945 ditambah dengan 10 pasal baru (Pasal 28A sampai dengan 28J) guna menegaskan jaminan hak-hak sipil, politik, ekonomi, sosial, dan budaya. Upaya menyampaikan aspirasi politik ke MPR sulit dianggap makar karenada lam hukumtata negara yang sekarang berlaku MPR tidak bisa mengubah UUD atau memberhentikan Presiden/Waprestanpa melalui lembaga lain dengan prosedur yang sangat ketat.

Untuk mengubah UUD,misalnya, harus melibatkan DPR dan DPD dan untuk memberhentikan Presiden harus melis batkan DPR dan Mahkamah Konstitusi melalui mekanisme impeachment. MPR tidak bisa melanggar syarat dan mekanismeitu, misalnya, hanya karena didatangi oleh Rachma ti dkk. Kalau MPR melangga justru MPR-lah yang melakukan makar.

Rencana kehadiran Rahmawati dkk ke Gedung 1 bisa diartikan sebagai – menyampaikan aspirasi ke MPR untuk memprosesp gantian pemerintah mau UUD sesuai dengan prose yang berlaku secara konst sional. Pembicaraan pemt raan yang mendahului itu, leh jadi, bukan permufaka untuk makar, melainkan sepakatan sambil makan.

Ada baiknya kita coba lami penjelasan Kapolri 1 Karnavian di Gedung DPRa pekan ini. Kapolri menga kan, penangkapan atas Ra mawati dkk dilakukan unt tidak mengambil risiko sek apa pun saat ada Aksi Suj damai2 Desember 2016 (2 Mereka ditangkap agar tak celah untuk memprovo! massa sehingga terjadi ke suhan, misalnya mendud Gedung MPR.

Tindakan Polri mengam kan mereka agar tidak memp vokasi Demo 212 bisa diben kandarisudut kemanfaatan! kum. Tapi kalau memang maksudnya, sebenarnya ma Lahnya sudah selesai dan mere bisa dilepaskan dari bidikan dana makar. Toh mereka tid bisa memprovokasi dan Der 212 sudah berlangsung deng benar-benar superdamai.

Dari semua itu, tentu ki harus menjaga negara ini sesu dengan konstitusi dan huku Kalau hanya ada sekumpuls orang menyatukan aspira sambil makan ya tidak bolehd perlakukan sebagai pelaku m. kar. Masak orang makan d anggap makar? Tapi kalau mnt mang ada bukti permufakata untuk makar, siapa pun haru ditindak tegas tanpa pandan bulu. Mereka harus dijatut sanksi tegas sesuai dengan hukum yang berlaku.

 

Tulisan ini telah dimuat dalam koran SINDO, 10 Desember 2016.