,

Korban UU ITE

Penulis: M. Syafi’ie, S.H., M.H.

Dosen Fakultas Hukum Universitas Islam Indonesia (FH UII), Departemen Hukum Tata Negara

Peneliti Pusham UII

Pasal karet UU tentang Informasi dan Transaksi Elektornik (ITE) memakan korban lagi. Terbaru, pedagang di Bogor Bernama Wahyu Dwi Nugroho dilaporkan ke kepolisian karena mengkritik larangan berbelanja di warung-warung sekitar majelis pengajian dalam akun tik-toknya. Kasus ini telah berproses di Pengadilan Negeri Jakarta Selatan dan terdakwa dinyatakan terbukti secara sah dan meyakinkan bersalah melakukan tindak pidana dengan sengaja dan tanpa hak atau melawan hukum menyebarkan informasi yang ditujukan untuk menimbulkan rasa kebencian atau permusuhan individu dan atau kelompok masyarakat tertentu berdasarkan atas suku, agama, ras dan antargolongan sebagaimana diatur pada Pasal 28 ayat (2) juncto Pasal 45A UU No. 19 Tahun 2016 tentang Perubahan atas UU No. 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik.

Pada tahun ini juga, seorang buruh di Jakarta Bernama Septia Dwi Pertiwi dilaporkan oleh atasannya dengan dugaan pencemaran nama baik karena ia berkeluh kesah terkait pengalaman kerjanya di media sosial. Atasan Septia merasa namanya tercemar akibat cerita yang dibuatnya di media sosial. Kasus lain menimpa Susi Ikhmah warga Kabupaten Batang, Jawa Tengah yang dilaporkan atas tuduhan pencemaran nama baik karena menceritakan pengalamannya tertipu oleh penggadai mobil. Mobil yang Susi terima ternyata milik tempat penyewaan bukan milik penggadai yang sejak awal berinteraksi dengannya. Susi Ikhmah merasa tertipu oleh pihak penggadai dan kemudikan menuliskan pengalamannya di media sosial.

Selain tiga kasus di atas, puluhan kasus lain yang kita bisa baca setiap tahunnya akibat ekses pasal-pasal karet yang ada dalam UU ITE. Masyarakat sipil telah mendesak sedemikian rupa agar ada perbaikan dan bahkan ada yang menuntut pencabutan Undang-Undang bermasalah ini. Sebagai respon desakan publk, Kapolri, Jaksa Agung, serta Menteri Komunikasi dan Informatika telah menandatangani Surat Keputusan Bersama (SKB) tentang Pedoman Kriteria Implementasi Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik yang harapaannya tidak memunculkan mutitafsir di kalangan penegak hukum.

Pada kasus WDN yang dijerat Pasal 28 ayat (2) misalnya, fokus pasal ini diartikan oleh SKB pada perbuatan menyebarkan informasi yang menimbulkan rasa kebencian atau permusuhan terhadap individu/kelompok masyarakat berdasarkan atas suku, agama, ras dan antargolongan. Penyampaian pendapat, pernyataan tidak setuju atau tidak suka pada individu atau kelompok masyarakat tidak termasuk perbuatan yang dilarang, kecuali yang disebarkan itu dapat dibuktikan.

Menunggu Revisi

Desakan masyarakat sipil terhadap revisi bahkan pencabutan UU ITE terasa kencangnya pada tahun lalu. Pemerintah kemudian mengupayakan dua jalan, pertama, membuat SKB tentang Pedoman Kriteria Implementasi Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik. Kedua, revisi terbatas terhadap UU No. 19 Tahun 2016 tentang Perubahan atas UU No. 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik. Upaya pertama telah selesai dilakukan tetapi tidak berjalan maksimal karena dalam praktik masih banyak laporan dan kemudian tetap diproses oleh aparat penegak hukum. Masalahnya terletak pada norma dalam UU ITE, dan pada sisi yang lain SKB dianggap tidak memiliki kekuatan hukum yang kuat dibanding Undang-Undang.

Saat ini, pemerintah menjanjikan revisi kedua atas UU ITE. Besar harapan ada pembahasan substantif terhadap beberapa pasal karet yang termuat dalam UU ITE, antara lain terkait pasal penyerangan kehormatan seseorang, pencemaran nama baik, penyebaran informasi yang menimbulkan rasa kebencian dan permusuhan pada individu dan kelompok berdasar etnis, pihak-pihak yang dapat melaporkan, dan beberapa yang lain.

Substansi dalam UU ITE sebagian sudah diatur dalam Undang-Undang yang lain seperti KUHP dan UU Tindak Pidana Kekerasan Seksual. Lebih dari itu, revisi kedua UU ITE ini harapannya lebih menjamin penghormatan hak-hak ekspresi dan berpendapat warga negara tanpa ancaman kriminalisasi yang berlebihan. Apalagi ekspresi dan pendapat masyarakat tersebut muncul sebagai sikap kritis untuk mengungkap kebenaran, kenyataan, dan fakta dari ketimpangan sosial yang terjadi.

Tulisan ini telah dimuat dalam Koran Kedaultan Rakyat, 12 Oktober 2023.