Tag Archive for: Umar Haris Sanjaya S.H. M.H.

Penulis: Umar Haris Sanjaya, S.H., M.H.

Dosen Fakultas Hukum UII, Departemen Hukum Perdata

Beberapa waku lalu Direktorat Jenderal Pendudukan dan Catatan SIpil (Dukcapil) Kementerian Dalam Negeri mengunggah video tentang “bagaimana membuat akta kelahiran” melalui channel YouTubenya. Salah satu materi yang menarik perhatian masyarakat adalah bahwa pasangan yang sudah menikah (secara agama) tapi tidak memiliki buku nikah dapat memiliki kartu keluarga (KK) dengan diberi tanda khusus. Tujuannya adalah memberikan perlindungan bagi anak yang dilahirkan dari nikah siri. Disamping itu alasan lain adalah seorang anak mempunyai hak untuk tahu siapa ayahnya dan dituntut bertanggung jawab terhadap anaknya. Untuk itu Dukcapil akan mencatatkan dan menerbitkan KK bagi yang bersangkutan. Penerbitan KK ini tentunya disertai beberapa syarat-syarat seperti menunjukkan dokumen telah melakukan perkawinan secara agama (siri), melampirkan surat pernyataan tanggung jawab mutlak (SPTJM), pernyataan dua (2) orang saksi dengan melampirkan identitas kependudukan.

Aktivitas pencatatan bagi nikah siri mendapatkan KK menjadi terobosan hukum baru yang difasilitasi oleh Dukcapil. Tentunya Dukcapil melakukan terobosan ini bukan tanpa sebab salah satunya mengikuti perintah Putusan Mahkamah Konstitusi No. 46/PUU-VII/2010. Putusan ini menggambarkan salah satu solusi bahwa anak dapat dihubungkan dengan orang tuanya bila perkawinan orang tuanya dapat dibuktikan kebenarannya (benar-benar menikah secara agama). Putusan ini jelas mengakui dan memberikan perlindungan hak terhadap anak yang dilahirkan karena nikah siri karena anak tidak boleh menjadi korban akibat perkawinan orang tuanya. Bahkan bila anak hasil nikah siri tidak diakui oleh ayahnya, tetapi bila dapat dibuktikan secara ilmu pengetahuan atau teknologi (Tes DNA) maka anak tersebut mempunyai hubungan keperdataan dengan ayahnya. Tentunya pengakuan semacam ini tidak lahir dengan sendirinya, melainkan perlu penetapan dari pengadilan.

Disamping itu Dukcapil sebagai lembaga pencatat juga menjalankan perintah Undang-Undang No. 23 Tahun 2006 jo 24 tahun 2013 Tentang Administrasi Kependudukan dimana tugas pokoknya adalah mencatatkan peristiwa penting penduduk Indonesia kedalam database kependudukan. Perkawinan dan kelahiran adalah contoh  peristiwa penting yang diakui di Indonesia, sehingga harus dicatatkan kedalam database, tetapi implementasi pencatatan ini seyogyanya harus sejalan dengan syarat-syarat yang ada pula pada peraturan pelaksanaan tentang perkawinan. Persyaratan pemberian KK pada nikah siri memiliki essensi yang hampir sama dengan pencatatan perkawinan hanya saja pelaporanya dilakukan setelah nikah siri dan diberi tanda khusus bahwa itu belum tercatat.

Menilik beberapa alasan sejarah lahirnya Undang-Undang Perkawinan di Indonesia adalah semangat perlindungan hukum bagi kaum wanita dan anak-anak. Perlindungan dari kesewenangan oknum laki-laki ketika melakukan : perkawinan, perceraian, dan poligami sehingga lahirlah syarat-syarat (administrasi) yang cukup ketat untuk melakukannya. Kesemua syarat tertera jelas pada Undang-Undang dan Peraturan pelaksanaannya, sehingga perkawinan yang memenuhi syarat maka para pihak akan mendapat pengakuan dan perlindungan dari negara. Ada benang merah yang kuat mengapa syarat administrasi melakukan perkawinan itu ketat, karena ketika hendak bercerai pasangan ini akan melalui proses yang ketat juga. Indonesia adalah negara yang menganut asas “mempersulit perceraian” sehingga pasangan yang hendak bercerai harus mampu menunjukkan keinginan bercerai termasuk pembagian tanggung jawab terhadap anak. Patut diuji terobosan Dukcapil ketika pasangan nikah siri itu bercerai, apakah dapat dituntut secara hukum hak dan kewajiban si ayah meskipun telah menggunakan SPTJM.

Sebagai lembaga yang berwenang memberikan KK di Indonesia sebaiknya Dukcapil juga mengajak Kementerian Agama dan Pengadilan untuk selalu mensosialisasikan pentingnya penetapan perkawinan nikah siri (isbat nikah) kepada pelaku nikah siri. Sinergi yang positif diantara masing-masing lembaga seperti memfasilitasi memberikan akses kemudahan tempat, prosedur, biaya, waktu yang singkat hingga dilakukan secara terpusat pada salah satu lembaga dengan mekanisme yang mudah sehingga menarik minat pelaku nikah siri untuk menetapkan perkawinan. Hal ini justru lebih sejalan dengan semangat perlindungan hukum perkawinan, karena tidak hanya memperhatikan tanggung jawab anak, tetapi juga terhadap isteri.

Tulisan ini sudah dimuat dalam rubrik Analisis KR, Koran Kedaulatan Rakyat, 20 Oktober 2021.

 

 

Penulis: Umar Haris Sanjaya, S.H., M.H.

Dosen Fakultas Hukum UII, Departemen Hukum Perdata

Deklarasi pencegahan perkawinan anak yang digagas oleh Gubernur Jawa Tengah Ganjar Pranowo bersama Pemerintah Kabupaten/kota di Jawa Tengah pada 29 Juni 2019 di Grobogan  patut mendapatkan apresiasi (Koran KR edisi 1 juli 2019). Pencegahan ini dilakukan dalam rangka memperingati Hari Keluarga Nasional dan Hari Anak Nasional di wilayah Jateng. Upaya pencegahan terhadap perkawinan anak tentunya memperhatikan dampak dari terjadinya perkawinan anak dari sisi psikologi, ekonomi, perkembangan dan yang terutama dalam rangka menciptakan ketahanan keluarga. Dampak paling nyata dari perkawinan anak adalah peningkatan perceraian yang selalu meningkat, hal ini dilihat dari data pemerintah kabupaten kota dan berkas masuk di pengadilan bahwa permohonan perceraian didominasi oleh pasangan muda. Tentunya deklarasi tersebut dilataerbelakangi atas dampak perceraian yang meningkat serta demi mewujudkan cita-cita bangsa tentang pembangunan nasional.

Salah satu pembangunan nasional yang terkait dengan masalah ini adalah pembangunan ketahanan keluarga. Ketahanan keluarga merupakan cita-cita yang menjadi tujuan pada Undang-Undang No. 52 Tahun 2009 tentang Perkembangan Kependudukan dan Pembangunan Keluarga, bahwa suatu pembangunan nasional mencakup semua dimensi yang salah satunya adalah pembangunan keluarga. Salah satu modal pembangunan keluarga adalah penduduk yang berkualitas, kata berkualitas ini bila diutarakan akan mengarah pada beberapa aspek seperti pengendalian angka kelahiran, penurunan kematian, peningkatan ketahanan keluarga dan kesejahteraannya. Sehingga penduduk negara yang berkualitas sisi ketahanannya yang dibentuk dibangun, maka akan berdampak pada peningkatan pembangunan nasional.

Di Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY) sendiri angka perceraian (pasangan relatif muda) juga mengalami tren peningkatan, khususnya terjadi daerah Gunungkidul. Sebagian besar alasan perceraian tersebut dilatarbelakangi oleh masalah ekonomi. Sebagian besar pihak yang ingin bercerai justru di inisiasi dari pihak istri sebagai penggugat dari pada suami yang menceraikan istrinya.

Pencegahan terhadap perkawinan anak yang digagas di Jawa Tengah perlu diapresiasi dan didorong agar setiap setiap daerah di Indonesia ini memperhatikan gerakan ini. Artinya pemerintah sudah memberikan atensi terhadap masyarakat terhadap perkawinan yang dilakukan masih dibawah umur (belum dewasa). Sejatinya gerakan ini perlu dikawal serta diimplementasikan di jajaran teknis oleh dinas-dinas terkait dijajaran pemerintahan yang berkaitan dengan urusan perkawinan. disamping itu gerakan ini perlu disosialisasikan ke masyarakat kenapa perlu atensi yang terhadap perkawinan anak ? bisa jadi masyarakat justru mempunyai pemahaman yang berkebalikan dari pemerintah tentang perkawinan anak.

Sosialisasi nyata juga perlu di sampaikan kepada Pengadilan Agama dan Kementerian Agama, mengingat lembaga ini yang mengawal dan berwenang terhadap urusan perkawinan bagi agama Islam. jangan hanya berhenti pada ranah deklarasi tetapi Pengadilan Agama memberikan putusan/penetapan dispensasi perkawinan pada pemohon perkawinan anak. Mengingat dispensasi perkawinan adalah produk hukum yang harus dihormati dan dilaksanakan oleh pemerintah. Jangan sampai gerakan yang sudah baik atas tujuan dan manfaatnya, tetapi dalam praktek berkebalikan dengan masih diizinkannya dispensasi perkawinan dari pengadilan agama.

Dispensasi perkawinan adalah produk hukum (penetapan) berdasarkan Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 apabila ada penyimpangan perkawinan dari sisi usia perkawinan seperti contohnya adalah perkawinan (anak)  dibawah umur. Hal ini tertuang pada pasal 7 ayat 2 dimana Pengadilan atau pejabat lain yang berwenang dengan alasan sudah di izinkan (ditunjuk) oleh kedua orang tua dari masing-masing pasangan. Tentunya bila ada dispensasi dari pengadilan, maka dispensasi merupakan perintah dari Undang-Undang yang ada pada pasal 7 ayat (2) Undang-Undang Perkawinan, sehingga tidak bijak bila dispensasi disimpangi.

Untuk mewujudkan pencegahan perkawinan anak kiranya perlu di duduk bersama antara unsur eksekutif (pemerintah sebagai pemangku kepentingan perkawinan) bersama unsur yudikatif (Pengadilan) dalam memformulasikan ide dan gagasan pada kontek mencegah perkawinan anak. Tidak mungkin dapat mencegah perkawinan anak bila dalam perkawinan anak secara legal boleh dilakukan yang itu semua didasari didalam Undang-Undang.

Sebagai langkah awal, deklarasi pencegahan perkawinan anak ini patut mendapatkan apresiasi tinggi dan tentunya upaya itu menjadi positif sebagai solusi peningkatan ketahanan keluarga. Secara tidak langsung pemerintah daerah provinsi Jawa Tengah sudah dapat mempelopori gerakan ini.

Tulisan ini sudah dimuat dalam rubrik Opini, Koran Kedaulatan Rakyat.

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

Penulis: Umar Haris Sanjaya, S.H., M.H.

Dosen Fakultas Hukum UII,  Departemen Hukum Perdata

 

Berbagai media pemerhati anak ramai memberitakan kondisi anak kehilangan keluarga dengan menjadi  yatim atau piatu atau yatim piatu akibat meninggalnya orang tua karena Covid. Di yogyakarta sendiri kasus anak kehilangan orang tua akibat Covid terdapat 142 anak (info@kemsos), belum termasuk terhadap ibu hamil yang meninggal akibat covid. Kondisi ini tentunya belum akan berhenti mengingat situasi pendemi yang belum berakhir setidaknya harapan itu ada setelah seluruh stake holder sudah mendapatkan vaksinasi dari pemerintah.

Anak yang kehilangan kedua orang tuanya ataupun salah satu orangtuanya itu menjadi tanggung jawab siapa dalam pemenuhan kehidupan sehari-hari ? secara hukum seorang anak manusia terikat oleh kerabat kedua orangtuanya, hal ini dikenal dengan istilah hukum kekerabatan. Sehingga kerabat si anak secara sadar turut terikat untuk membantu mengurus keluarga kerabatnya tersebut yang kehilangan orang tuanya. Untuk kerabat yang bersedia mengasuh maka dapat dimintakan penetapan perwalian terhadap anak yatim piatu sehingga keberlangsungan hidup si anak dapat berjalan dengan baik dalam perwalian kerabat dari orangtuanya. Bila seorang anak hanya ditinggalkan salah satu orang tuanya, maka tanggung jawab pemenuhan kebutuhan akan diberikan kepada orang tua yang masih hidup baik ayah atau ibunya. Apakah ada peran kerabat dari kedua orang tua si anak ? kerabat orang tua dapat turut berperan dengan memberikan perhatian kepada si anak, terutama kerabat orang tua yang meninggal. Masyarakat yang mengetahui itupun berhak untuk melaporkan pihak yang berwajib bahwa anak yang kehilangan kedua orang tua masih memiliki kerabat, sehingga anak akan dikembalikan kepada kerabat tersebut.

Di Indonesia menganut tiga (3) sistem kekerabataan dalam aliran keluarga termasuk pula tanggung jawabnya seperti : patrilineal, matrilineal, dan parental. Terhadap sistem patrilineal dan matrilineal tanggung jawab ini kembali kepada sistem kekerabatan yang dianut, maka tanggung jawabnya bisa kepada salah satu kerabat orang tua saja baik ayahnya saja atau ibunya saja. Untuk sistem parental, maka tanggung jawab ini akan jatuh kepada masih-masing kerabat dari kedua orang tua sehingga salah satu keluarga yang menganut sistem parental, maka kerabat orang tua juga terikat untuk mengasuh dan membesarkan anak. Untuk itu, peran kerabat orang tua dapat dimaksimalkan dalam mengasuh anak yang kehilangan orangtuanya. Sistem parental ini merupakan sistem kekerabatan yang sudah mulai digunakan oleh masyarakat Indonesia dimana garis tanggung jawab dapat berasal dari kerabat kedua orang tua baik secara hak dan tanggung jawab. Upaya pemerintah bersama masyarakat ditingkat RT dan RW dapat mendata dan mencari tahu kerabat-kerabat orang tua dari anak yang yatim piatu untuk ikut berperan tumbuh kembang anak.

Kerabat dari orang tua tentu tidak dimintai tanggung jawab penuh dengan melihat latar belakang ekonominya. Setidaknya mereka turut berperan dalam pertanggungan jawab anak dalam konteks hubungan kekerabatan, jangan sampai anak kehilangan orang tua itu merasa sendiri dan akhirnya menjadi sebatang kara. Kerabat dari ayah sang anak bersama-sama kerabat dari ibu sang anak diharapkan turut berperan untuk ikut mensejahterakan anak, hubungan keterikatan inilah yang dimaksud dengan hukum kekerabatan dimana seseorang terikat akan tanggung jawab dengan orang lain karena ia terikat hubungan hukum kekerabatan. Tidak mungkin seseorang yang tidak ada hubungan kekerabatan ikut bertanggung jawab terhadap kesejahteraan anak, melainkan dengan kepastian hubungan kekerabatan maka mereka terikat. Ini merupakan konsep dari hubungan keluarga. Jangan sampai anak yang kehilangan orang tua justru ditinggalkan untuk hidup sendiri dan mencari kesejahteraannnya sendiri.

Salah satu peran yang dapat dilakukan oleh pemerintah dan masyarakat adalah membantu untuk menghubungkan anak yang kehilangan kedua orang tua dengan kerabat yang masih dimiliki si anak, menginventarisir anak-anak yatim piatu agar dapat diasuh oleh kerabat terdekat terlebih dahulu karena memang secara hukum, kerabat adalah pihak yang paling berhak mengasuh anak dari kerabatnya. Apabila itu tidak memungkinkan maka pemerintah dapat melakukan melalui dinas sosial untuk mengasuh anak yang telah ditelantarkan karena tidak ada kerabat yang hendak mengasuh.

Tulisan ini sudah dimuat dalam rubrik OPINI, Koran Kedaulatan Rakyat, 21 Agustus 2021.