Abdul Haris Semendawai: Nakhoda LPSK RI Dua Periode

“Dari proses interaksi dan diskusi semasa kuliah, terbentuk dalam dirinya naluri kepedulian terhadap sesama. Baginya, hidup bukanlah untuk diri sendiri, tapi juga untuk masyarakat”

ABDUL HARIS SEMENDAWAI merupakan satu dari beberapa alumni Fakultas Hukum Universitas Islam Indonesia (FH UII) yang pernah menjadi pucuk pimpinan suatu lembaga negara di Indonesia. Kesadaran akan arti penting kepedulian terhadap masyarakat yang terzolimi, mengantarkannya pada satu posisi penting dalam penegakan hukum di negeri ini. Tahun 2008 silam, Semendawai terpilih sebagai Ketu.

Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK) Republik Indonesia. Ia adalah orang pertama yang memimpin lembaga tersebut. Periode pertama itu berakhir pada 2013 yang lalu, namun Semendawai tetap aktif sebagai Ketua LPSK setelah kembali terpilih untuk periode 2013 hingga 2018 mendatang.

Mengemban amanah seperti ini tidak pernah terlintas di benak Semendawai sebelumnya. Ia bahkan tidak terpikir mendaftarkan diri ketika proses penerimaan komisioner LPSK periode pertama itu dibuka. Justru, dorongan dari kawan-kawanlah yang membuatnya yakin mengajukan berkas pendaftaran. Akan halnya pada periode kedua, Semendawai yang berniat tidak lagi mengikuti seleksi, kembali mendapat dorongan besar dari berbagai kalangan, termasuk rekan-rekan alumni UII. Hasilnya, Semendawai malah mendapat suara mutlak di DPR, hal yang ia anggap sebagai pengakuan atas kinerja yang telah dilakukan sebelumnya.

 

Proses Pembentukan Karakter

Laki-laki kelahiran Ulak Baru, Oku Timur, Sumatera Selatan, 28 September 1964 ini adalah seorang perantau. Sejak mengenyam pendidikan di SMP Xaverius, Semendawai sudah lebih banyak menghabiskan harihari di Desa Gumawang, sekitar 60 km dari desanya Ulak Baru. Kondisi memang menuntut Semendawai, karena di kampungnya itu hanya ada SD saja. SMP Xaverius sendiri, satu dari dua SMP yang ada, merupakan sekolah Nasrani yang mantap ia pilih karena dinilai terbaik di Gumawang saat itu. Setiap Sabtu sore, anak pengusaha angkutan desa ini biasanya pulang ke rumah dengan mendayung sepeda ontelnya.

Tinggal di Desa Gumawang membuatnya berinteraksi dengan banyak orang luar Palembang, karena merupakan desa transmigran yang dihuni mayoritas penduduk asal Jawa. Semendawai banyak mendapat cerita tentang kehidupan dan suasana pendidikan di Jawa, yang akhirnya lalu keinginannya merantau ke sana. Yogyakarta kemudian menjadi pilihannya, karena selain telah dikenal sebagai kota pelajar, kakak Semendawai juga telah kuliah di sini sebelumnya. Beruntung, sang ayah pun mendukung keinginan Semendawai.

Di kota pelajar, anak keempat dari 10 bersaudara ini diterima di SMAN 2 Godean. Baru saja aktif sekolah, ia telah merasakan suasana berbeda dengan sekolah di kampung halaman. Kualitas pendidikan yang lebih baik plus beragam kegiatan sekolah yang dapat diikuti, menjadikan pemikiran pria 50 tahun ini sudah mulai terbuka ketika itu. Semendawai yang semasa sekolah aktif di Teater Kertas, bahkan telah mantap menempuh kuliah di bidang hukum, kelak setelah tamat sekolah. Niat ini sebenarnya berbeda dengan keinginan ayahnya yang menginginkan anak keempatnya itu masuk Fakultas Ekonomi.

Benar saja, lulus sekolah pada tahun 1984, Semendawai langsung mendaftar kuliah. Ada dua kampus yang menjadi orientasinya saat itu, Fakultas Hukum UGM dan Fakultas Hukum UII. Namun setelah ikut ujian masuk, ia tidak lulus di UGM sementara di UII dinyatakan diterima. Ia sangat bahagia, meskipun uang pembangunan yang dibayar cukup mahal baginya. Di lain pihak, Semendawai sendiri sudah cukup akrab dengan kampus bersejarah ini sejak sekolah. Selain memiliki teman mahasiswa UII yang satu kos dengannya, sejak SMA ia juga sudah sering membaca Majalah Muhibbah, produk lembaga pers mahasiswa (LPM) UII.

Masuk ke Fakultas Hukum UII terasa lebih mencerahkan. Semendawai memang belum aktif berorganisasi di tahun pertamanya. Namun, saat itu FH UII telah memiliki sistem pembinaan bagi mahasiswa baru yang terbilang sudah mapan. Bentuknya, para mahasiswa baru dibentuk dalam kelompok-kelompok dengan satu orang mahasiswa lebih senior sebagai pembina. Selama dua semester pertama, kelompok Semendawai berturutturut dibina oleh Suparman Marzuki, Ketua Komisi Yudisial RI saat ini, dan Ifdhal Kasim, bekas Ketua Komnas HAM RI.

Dalam rangka pembinaan itu, seminggu sekali ada pertemuan kelompok di masjid untuk mengaji dan berdiskusi. Berbagai macam tema dibicarakan dalam pertemuan itu. Mulai dari keislaman, sampai persoalan sosial masyarakat. Proses pembinaan ini memberi pengaruh besar bagi Semendawai. Pemikirannya semakin terbuka terhadap kondisi yang dialami masyarakat secara luas. Ia pun mulai aktif berorganisasi, baik intra maupun ekstra kampus.

Saat itu, suami Aida Milasari ini adalah aktivis pers dan sekaligus aktivis pergerakan. Di bidang pers, Semendawai pernah menjadi bagian dari LPM Keadilan (tingkat fakultas) di divisi keredaksian, dan di LPM Himmah (tingkat pusat) sebagai Ketua Divisi Penelitian dan Pengembangan. Memasuki tahun ketiganya, Semendawai juga aktif di Badan Perwakilan Mahasiswa (BPM). Sementara di organisasi ekstra, ia adalah aktivis di Himpunan Mahasiswa Islam (HMI). Ia juga turut mengembangkan pers lembaga ini dengan aktif di Lembaga Pers Mahasiswa Islam (LAPMI) HMI Cabang Yogyakarta.

Aktif di beberapa organisasi itu menjadikan interaksi Semendawai dengan pihak luar kampus semakin luas, terutama sesama aktivis kampus. Mereka sering dipertemukan tidak saja oleh kegiatan-kegiatan yang bersifat pengembangan diri atau organisasi, melainkan juga oleh kasus-kasus yang menyinggung rasa keadilan masyarakat. Kasus Kedung Ombo di Boyolali dan perampasan tanah masyarakat untuk pembangunan pabrik Olefin di Cilacap, adalah dua kasus besar yang didampingi Semendawai dan kawan-kawan sampai ke DPR Pusat. Sering bersentuhan dengan kasus ketidakadilan yang dirasakan masyarakat menghasilkan satu pegangan hidup bagi Semendawai, bahwa hidup tidak semata-mata untuk diri sendiri, tetapi juga untuk memikirkan masyarakat.

Tidak jauh berbeda dengan aktivis mahasiswa umumnya, berbagai kegiatan yang ia ikuti lalu berdampak pada presensi kuliah. Begitupun, kualitas keilmuan para aktivis pada masa itu tidak bisa dipandang sebelah mata. Semendawai sendiri adalah satu aktivis mahasiswa yang 6 Alumni Fakultas Hukum UI yang Menginspirasi Alumni Fakultas Hukum UI yang Menginspirasi 7 akrab dengan buku dan paling senang berdiskusi. Di kelas, ia bahkan sempat di-blacklist seorang dosen karena terlalu sering mendebat. Maka tidak heran kalau indeks prestasinya cukup rendah meski dengan masa studi yang terbilang normal (6 tahun). Semendawai baru mulai fokus menyelesaikan kuliahnya ketika ada desakan dari keluarga agar segera menyelesaikan studi. Satu hal yang diyakininya saat itu adalah bahwa indeks prestasi dan masa studi bukanlah ukuran keberhasilan, melainkan lebih pada kemampuan pribadi seseorang.

Tamat dari FH UII pada tahun 1991, kegiatan advokasi yang telah diakrabinya sejak mahasiswa terus berlanjut, namun dengan status berbeda: sebagai pengacara. Bersama kawan-kawan, ia membentuk Lembaga Kajian Hak-Hak Masyarakat (LEKHAT), sebagai wadah diskusi dan penanganan kasus-kasus yang dihadapi masyarakat, secara prodeo. Aktif selama dua tahun di lembaga ini, Semendawai sempat membuka kantor di Solo bersama beberapa kawan. Tapi, lembaga ini hanya bertahan setahun sebelum akhirnya bubar.

Tahun 1994, Semendawai kembali ke Yogyakarta dan aktif sebagai pengacara di Titi R Danumiharjo Lawfirm hingga 1998. Saat itu, kantor hukum ini adalah tempat bertemunya para pengacara, terutama yang berdomisili di Yogyakarta. Kondisi ini pula yang menjadikan Semendawai lalu mendapat banyak pengalaman menangani kasus hukum, di samping jaringan dengan teman sejawan juga menjadi semakin luas. Mereka membentuk perkumpulan pengacara muda bernama Yogyakarta Young Lawyers Club (YLC), terinspirasi dari ILC di Jakarta. Di YLC Semendawai dkk sempat menangani kasus-kasus yang merugikan masyarakat dengan memberikan layanan secara probono.

 

Hijrah ke Jakarta

Lama beraktivitas di kota pelajar, Semendawai kemudian melanjutkan aktivitas advokasinya di ELSAM (Lembaga Studi dan Advokasi Masyarakat), Jakarta pada 1998. Semendawai banyak melakukan advokasi policy di lembaga ini. Ia pernah terlibat dalam Komisi Penyelidik Pelanggaran Hak Asasi Manusia (KPP HAM) untuk Penghilangan Orang Secara Paksa yang disponsori oleh Komnas HAM, Koalisi NGO untuk Perbatasan, Judicial Review KKR, Koalisi Rakyat untuk Hak atas Air, Aliansi Reformasi KUHP, dan Koalisi Perlindungan Saksi. Keputusan pindah ke ibukota membawa dampak positif dalam pengembangan karir Semendawai. Sekitar dua tahun aktif sebagai pengacara di ELSAM, ia diangkat menjadi Koordinator Divisi Pelayanan Hukum.

Ketika aktif di LSM ini pula, Semendawai melanjutkan studi magisternya di Northwestern University School of Law, Chicago setelah mendapat beasiswa Fulbright. Lalu pada tahun 2007, ia sempat menjabat sebagai Deputi Direktur Program ELSAM sampai akhirnya terpilih menjadi komisioner LPSK pada tahun 2008. Mengemban amanah sebagai pimpinan lembaga negara tidak pernah terlintas di benak Semendawai sebelumnya.

Ketika lowongan sebagai komisioner dibuka pada Agustus 2007, ia bahkan belum berpikir untuk mendaftarkan diri. Bukan karena tidak ingin turut andil memajukan dinamika penegakan hukum di Indonesia, namun berbagai kegiatan yang sudah ada telah dirasa cukup memenuhi kegemarannya di bidang advokasi. Hanya saja, dorongan yang terus menerus datang dari kawan-kawan mulai mengubah pendiriannya, lalu yakin untuk mengajukan berkas pendaftaran. Itu pun dilakukan setelah panitia penerimaan memperpanjang masa pendaftaran. Tahap demi tahap dari proses penerimaan komisioner LPSK ini berhasil ia lalui. 8 Agustus 2008, Semendawai resmi diangkat oleh Presiden RI menjadi salah satu komisioner setelah sebelumnya dilakukan fit dan proper test di DPR. Kemudian, Semendawai terpilih pula menjadi ketua lembaga baru itu melalui pemilihan di tingkat komisioner LPSK.

Kondisi yang tidak jauh berbeda kembali didapati Semendawai ketika masa jabatan sebagai komisioner LPSK berakhir. Pengagum Presiden dan Wakil Presiden pertama RI ini awalnya sudah tidak lagi berniat mengikuti seleksi komisoner LPSK untuk periode berikutnya. Tapi dukungan yang datang kepadanya justru jauh lebih besar dibanding ketika mendaftar periode pertama.

Uniknya, setelah mendaftar dan mengikuti proses seleksi, Semendawai berhasil dan malah mendapat suara mutlak di DPR. Ini kemudian ia anggap sebagai pengakuan atas kinerja yang telah dilakukan sebelumnya. Di bawah kepemimpinan Semendawai, LPSK yang merupakan lembaga baru, memang banyak menyita perhatian setelah menangani beberapa perkara besar. Lembaga ini dinilai sangat aktif memainkan perannya di bidang perlindungan saksi dan korban. Tidak hanya terhadap orang penting yang terlibat kasus pidana, berbagai kasus yang melibatkan masyarakat biasa pun tidak luput dari pantauan lembaga ini.

 

Pesan Kepada Mahasiswa

Diterima sebagai mahasiswa Fakultas Hukum UII, menjadi awal perjalanan karir Abdul Haris Semendawai di dunia hukum. Baginya, apapun yang didapat di kampus ini ikut andil memberi pengaruh terhadap diri dan karirnya hingga saat ini. Ia meyakini hal tersebut juga terjadi kepada semua alumni FH UII lain yang pernah menduduki jabatan di lembaga negara. Atas dasar itu pula, alumni FH UII tahun 1991 ini menyatakan kebanggaannya bisa mengenyam studi di kampus ini, hal yang sama ia harapkan muncul di benak setiap mahasiswa yang berhasil diterima. Peningkatan kualitas keilmuan dan kemampuan praktis memang menjadi hal mutlak terus dilakukan, namun keyakinan terhadap tempat belajar juga penting. “UII adalah kampus bersejarah yang telah melahirkan banyak tokoh di Indonesia. Perlu ada keyakinan bahwa menjadi mahasiswa UII menjadi semacam tiket untuk sukses, sehingga bisa menjadi modal kepercayaan diri”, katanya dalam satu wawancara dengan

Diambil dari Buku Alumni Fakultas Hukum UII yang Menginspirasi, November 2014.

 

ERLAN NOPRI S.H., M.HUM., C.L.A., C.R.A (Advocates-Receiver & Administrator for Bankruptcy- Legal Consultans-Mediator- Legal Auditor)

Jangan tanyakan apa yang sudah negara berikan kepadamu namun tayakan pada dirimu apa yang sudah kamu berikan untuk Negaramu – John Fitzgerald Kennedy

Dengan kalimat tersebut, pria kelahiran Batu Raja pada tanggal 26 November 1977 dengan nama Erlan Nopri atau kerab disapa Bang Erlan, atau disapa dengan nama Nopri oleh Prof Ridwan dan Prof Ni’matul Huda mulai mengawali kisah panjang cerita hidupnya, bukan tanpa sebab perjalanan pria berumur 40 tahun ini sangatlah luar biasa, bang erlan adalah Alumnus FH UII angkatan 1997 ia merupakan anak terakhir dari tujuh bersaudara. Sejak kecil ditempa dan didik oleh orang tuanya untuk menjadi seorang yang disiplin dan bertanggung jawab serta memiliki tekad yang kuat untuk mengejar cita-citanya. Read more

Dr. Zairin Harahap, S.H., M.Si.

Sosok pria bersahaja dan memiliki semangat menuntut ilmu yang tinggi lahir di Desa Rantauprapat tanggal 3 Oktober 1963 bernama Zairin Harahap. Rantauprapat merupakan suatu salah satu desa yang ada di kecamatan Bilah Barat, Kabupaten Labuhanbatu, Provinsi Sumatera Utara, Indonesia. Jarak untuk yang ditempuh untuk mencapai desa tersebut ±400 km dari Kota Medan. Read more

Seorang pria yang lahir dari keluarga yang sangat sederhana. Pria ini dibesarkan oleh ayah yang merupakan lulusan SD (Sekolah Dasar) dan Ibu yang tidak sekolah bahkan tidak bisa berbahasa Indonesia. Pria ini bernama Mahrus Ali atau kerab disapa Mahrus, lahir pada tanggal 14 febuari 1982 di Desa Tlontoh Ares Kecamatan Waru Kabupaten Pamekasan. Semasa kecilnya ia didik untuk menjadi pria yang mandiri dan tekun mempelajari nilai-nilai keislaman Ia merupakan alumnus FH UII tahun 2007  yang sekarang menjadi salah satu dosen berintegritas di FH UII . Bagi Mahrus orang yang paling penting di dalam hidupnya adalah kedua orangtuanya, orang tuanya yang mengajarkan berbagai hal mulai dari belajar tentang keislaman sampai dengan mengajarkan mengenai keahlian, integritas sejati, keberanian dan akhlak selain itu mahrus dituntut untuk bekerja dan mandiri oleh ayahnya dengan bertani tembakau sepulang dari sekolah.

Ia merupakan santri di Pondok Pesantren Darul Ulum Banyuanyar Madura. Baginya Di pondok pesantren itulah ia mulai diasah dalam kemampuan dan keahliannya. Darul Ulum Banyuanyar mempunyai tradisi bagi santri yang telah lulus mewajibkan santrinya yang telah lulus mengabdi kepada masyarakat selama satu tahun untuk mengajar ke berbagai desa-desa. Tetapi, setelah lulus Mahrus disarankan oleh kyai-nya untuk mengikuti tes beasiswa di FH UII. Singkat cerita ia diterima di FH UII dan mendapatkan beasiswa penuh selama empat tahun. Bahkan ia memperoleh fasilitas tempat tinggal di Pondok Pesantren FH UII.

Selama berkuliah ia aktif di berbagai organisasi kemahasiswaan seperti Lembaga Eksekutif Mahasiswa FH UII, Lembaga Pers Mahasiswa FH UII, Takmir Masjid Al-Azhar, serta KPS FH UII (Komonitas Peradilan Semu FH UII ). Dari berbagai organisasi yang digelutinya ia paling aktif di KPS FH UII, terlebih setelah ia dipercayai untuk memimpin KPS FH UII. Ia merupakan Ketua KPS yang pertama dan salah satu orang yang memperjuangkan KPS FH UII untuk menjadi UKM (Unit Kegiatan Mahasiswa). Baginya kuliah di FH UII merupakan suatu anugerah, ia memperoleh banyak pembelajaran dan keilmuan khususnya dalam bidang hukum pidana yang disukainya. Menurutnya FH UII memiliki suatu ciri khas yang tidak dimiliki oleh kampus lainnya yaitu sifat egaliter, kedekatan antara mahasiswa FH UII dengan dosen seolah tidak ada jarak kita memiliki kebebasan dalam keilmuwan dan berpendapat bahkan yang berbeda dengan pendapat dosen, tidak ada senoritas dalam konteks keilmuwan di FH UII Tetapi tetap menjunjung tinggi etika dan sopan santun yang harus dijaga serta Dosen-dosen di FH UII, tidak tabu akan suatu kritik yang dilontarkan kepadanya. Bagi dosen FH UII suatu kritik selalu membangun untuk menjadi yang lebih baik.

Akhriya pada tahun 2006 ia lulus dari FH UII dengan predikat cumlaude yang disandangnya. Skripsi yang ditulisnya dengan judul Kejahatan Korporasi: Kajian Relevansi Sanksi Tindakan Bagi Penanggulangan Kejahatan Korporasi  telah dibukukan. Bahkan saat ini skripsi tersebut telah menjadi literatur hukum untuk Program Doktoral di berbagai Universitas di Indonesia, Setelah lulus dari FH UII ia langsung mengabdi di FH UII dengan menjadi bagian dari Pusat Studi Hukum (PSH). Sembari ia mengabdi di PSH  pada tahun 2007, ia melanjutkan kuliah di Program Magister FH UII dengan beasiswa yang didapatkannya. Ia lulus dari Program Magister FH UII pada tahun 2009.

Setelah lulus dari Program Magister FH UII tidak pernah terlintas dipikirannya untuk menjadi seorang dosen Ia berkeinginan untuk pulang ke pondok pesantren dan mengabdi disana tetapi suatu ketika ia disarankan oleh Salman Luthan (Hakim Mahkamah Agung FH UII Alumnus FH UII) untuk mencoba mendaftar sebagai dosen di FH UII.

Pada masa itu untuk menjadi dosen FH UII terdapat syarat yang harus melampirkan tes TOEFL 550 sedangkan Mahrus belum dapat melampirkan TOEFL karena hasil TOEFL baru akan keluar keesokan hari setelah pendaftaran dosen berakhir. Tetapi takdir berkata lain, pendaftaran dosen FH UII diperpanjang pada tanggal berakhirnya pendaftaran dosen. Setelah ia mendapatkan tes TOEFL-nya yang mencapai target akhirnya ia memenuhi syarat untuk menjadi dosen FH UII. Pada bulan Januari 2009 ia diterima menjadi salah satu dosen FH UII yang dosen pembinanya yaitu Dr. Mudzakkir sampai terbit SK dan menjadi dosen tetap FH UII pada tahun 2011

Sembari menjadi dosen Mahrus juga aktif untuk menulis dan menerbitkan buku-buku hukum yang menjadi referensi tambahan ilmu dibidang hukum seperti Dasar-Dasar Hukum Pidana, Hukum Pidana Korupsi di Indonesia, Hukum Terorisme Teori dan Praktek dll. Beberapa buku yang ditulisnya telah menjadi bahan ajar di berbagai universitas di Indonesia seperti  Dasar-Dasar Hukum Pidana, Penyelesaian Pelanggaran HAM Berat (In Court System & Out Court System) yang ditulis dengan rekannya yakni Syarif Nurhidayat S.H.,M.H (Dosen FH UII), dll. Menjadi buku bahan ajar banyak kampus hukum baik di Jawa maupun di luar Jawa, serta beberapa buku yang ditulisnya masuk dalam program buku hibah dari dikti. Selain itu Pada saat ini ia juga mengajar di Akademi Kepolisian dan mengisi berbagai seminar seperti IPJ (Australia Indonesia Partenrship for Justice) dll serta  ia beberapa kali diminta oleh KPK (Komisi Pemberantas Korupsi) untuk berdiskusi mengenai persoalan-persoalan hukum dan memberikan pelatihan bagui penegak hukum terkait delik gratifikasi.

Pesan-Pesan untuk FH UII:

“Sukses selalu”

(Mahrus Ali, Dosen, 2017)

Wahyu Sudrajat S.H., M.H.Li
(Hakim Pengadilan Negeri Magelang)
Tidak ada satu pun manusia bodoh, yang kerap ada hanyalah manusia yang kurang beruntung karena bertemu guru yang tidak pas untuk dirinya – Mario Teguh.

Dengan kalimat tersebut, Pria kelahiran Tasikmalaya pada tanggal 31 Juli 1980 dengan nama lahir Yanyan Daryana mulai mengawali cerita panjang kehidupannya. Bukan tanpa sebab, Perjalanan hidup pria berumur 37 tahun ini sangatlah berliku. Wahyu Sudrajat atau kerap disapa Kang Wahyu (semasa kuliah) adalah pria yang tidak pernah bercita-cita untuk menjadi seorang hakim dengan segudang prestasi yang dimilikinya, ia merupakan salah satu alumnus FH UII yang tercatat sebagai sarjana dengan predikat cumlaude pada tahun 2003.
Masa sekolah merupakan masa yang paling bahagia bagi Wahyu. ia bersekolah di SMPN 2 Tasikmalaya & SMUN 1 Tasikmalaya yang merupakan sekolah favorit se-Bumi Priangan Timur. Kebahagiaan tersebut ternyata tidak kekal, itulah yang harus dihadapi oleh Kang Wahyu, karena setelah dinyatakan lulus, setidaknya ia harus menghadapi satu kenyataan pahit, yakni dinyatakan tidak lolos seleksi taruna akademi militer, padahal itu merupakan cita-citanya sejak kecil..
Pada awalnya tidak pernah terlintas dalam pikirannya untuk pergi ke Yogyakarta terlebih untuk masuk ke suatu Universitas dengan melihat keadaan finansial orang tuanya yang saat itu dalam keadaan tidak baik. Tetapi takdir berkata lain, sepulangnya dari berolahraga ia mendapatkan selebaran yang mengiklankan suatu bimbingan belajar (BIMBEL) yang mendapatkan fasilitas dan biaya murah di Yogyakarta, bermodal nekat dan mengajak satu temannya, akhirnya ia berangkat ke Yogyakarta. Selagi ia mengikuti kegiatan Bimbingan Belajar (BIMBEL) pikiran untuk masuk ke suatu universitas mulai memasuki pikirannya, dan FH UII adalah institusi yang dipikirkanya. Tanpa berpikir panjang ia memantapkan hati untuk mengeyam pendidikan di FH UII.
Tidak semulus yang dibayangkan, salah satu syarat untuk memulai kuliah di FH UII adalah melakukan registrasi ulang seperti yang diterapkan universitas lainnya. Pada saat itu kondisi finansial keluarga Wahyu yang kurang baik menjadi kendalanya. Wahyu tidak diam, seperti pepatah sunda yang mengatakan “Cikaracak ninggang batu laun laun jadi dekok” (harus punya tekad dan semangat yang pantang mundur) dan pesan dari kedua orangtuanya, Wahyu terus optimis mencari cara agar ia bisa melakukan registrasi ulang dan dinyatakan sebagai mahasiswa FH UII. Akhirnya, Kuasa Allah ia rasakan, ia mendapatkan kemudahan setelah adanya kesulitan yakni orang tuanya memperoleh sejumlah uang di detik-detik terakhir ditutupnya registrasi ulang dan diberi dispensasi untuk membayar kekurangan uang registrasi sehari lewat dari waktu penutupan oleh dekan FH UII pada masa itu (Dr. M Busyro Muqoddas S.H.,M.Hum. , sesuai dengan apa yang Allah firmankan dalam surah Al-Insyirah ayat 5-6.
Pria dengan pikiran cemerlang ini semasa kuliahnya tercatat selalu mendapatkan beasiswa, antara lain Beasiswa Prestasi Akademik dari Kopertis wilayah V DIY, Beasiswa Mahasiswa Berprestasi Astra, dan Beasiswa Habibi Center, bahkan saat ini ia resmi berstatus sebagai LPDP Awardee untuk melanjutkan studi S3. Sebagai mahasiswa idealis ia juga tercatat aktif di berbagai kegiatan organisasi seperti Study Club, KAMMI Cabang UII, dan Takmir Masjid Al-Azhar serta magang di dispensasidan Bantuan Hukum FH UII, dari organisasi dan magang tersebut ia belajar untuk mengkoordinir, berbicara di depan publik, serta berpikir kritis. Baginya pembelajaran yang didapatnya selama di dalam dan di luar kelas sangatlah berharga, karena pembelajaran yang di berikan FH UII membentuknya untuk memiliki idealisme tinggi.
Akibat keuletan dan idealismenya, ia langsung diangkat menjadi staff kajian & diskusi di LKBH FH UII sehari sebelum dinyatakan lulus pada tahun 2003 yang membuatnya bersyukur karena tidak pernah menyandang gelar sebagai pengangguran sedetik pun. Tidak berhenti sampai disitu, karirnya terus melejit, pada bulan desember 2003 Ia dinyatakan lolos menjadi Cakim (Calon Hakim) lewat jalur rekomendasi yang dimiliki oleh FH UII. Bagi Wahyu hal tersebut merupakan berkah ke-sekian kalinya.
Wahyu di kenal sebagai hakim muda yang kritis bahkan karena saking kritisnya ia dijuluki sebagai hakim pemberontak. Predikat ini diberikan oleh Prof. Jimly ketika Wahyu menjadi salah satu Juru Bicara dari Forum Diskusi Hakim Indonesiaketika ia menyampaikan “Kami adalah harimau konstitusi, tetapi kami dipaksa dan diperlakukan menjadi seperti seekor kucing” dan “Hukum Tata Negara Darurat belum siap mengakomodir jika seluruh hakim di Indonesia mengundurkan diri dalam waktu serempak” pada tahun 2012 di hadapan Menteri Pemberdayaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi Azwar Abu Bakar saat itu. Tidak hanya itu, penyampaiannya yang lugas, kritis, dan mendasar membuat Prof. Jimly juga turut mengacungkan dua Ibu Jari mengarah ke atas kepada Wahyu sambil berkata “orator memang!”.
Tidak ada yang dapat menghentikan pemikiran kritisnya, pada Tahun 2015 Wahyu kembali menjadi Juru Bicara Forum Diskusi Hakim Indonesia, bersama-sama dengan LeIP (Lembaga Advokasi untuk Indepedensi Peradilan) dalam kesempatan audiensi kepada Kementerian Pemberdayaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi, ketika itu ia menyuarakan mengenai pentingnya RUU Jabatan Hakim sebagai amanah konstitusi yang turut dihadiri oleh Wamenpar RB Prof. Dr. Eko Prasojo.
Baginya selama ia menjadi Hakim pembelajaran di FH UII yang di dapatnya sangat membantu sekali dalam dunia pekerjaan, hal ini yang ia rasakan selama ia mengabdi pada profesi ini. Bukan tanpa sebab, muatan keislaman di FH UII lebih banyak dan dapat memberikan cara pandang lain. Selain itu, muatan keislaman yang diajarkannya juga mengandung integritas, yakni integritas yang bermuatan religius. Identitas keislaman FH UII juga kuat, sehingga turut menciptakan sisi idealisme yang berbeda dari alumni universitas lainnya.
“Jangan pernah sekali-kali merendahkan orang lain. Kesombongan adalah menolak kebenaran dan merendahkan manusia. (HR. Muslim). Tidak akan dihinakan orang yang rendah hati & tidak akan pernah mulia orang yang tinggi hati.”
[Wahyu Sudrajat, Hakim, 2017]

Taufiq Akbar, S. H.

(Managing Partner  Taufiq Akbar & Partners Law Firm)

Seorang pria visionair dan organisatoris yang pemberani lahir di Kotamobagu, Daerah Sulawesi Utara pada 6 Juli 1988 bernama lengkap Taufiq Akbar Kadir atau kerab disapa Taufiq. Ia merupakan alumnus FH UII tahun 2013. Pria ini dibesarkan oleh keluarga yang sederhana  bapak nya bekerja sebagai wirsawasta sedangkan ibunya bekerja sebagai Ibu rumah tangga. Saat ingin mengenyam perkuliahan bertepatan dengan perekonomian orang tuanya yang tidak terlalu baik tidak mematahkan semangat Taufiq dalam dunia pendidikan dan meraih cita-citanya.

 

Pada awalanya Taufiq hanya mengetahui informasi FH UII dari senior-nya yang juga berada di Yogyakarta, ia telah diterima di berbagai universitas tetapi ia lebih memilih FH UII dengan berbagai pertimbangan yang menurutnya tepat untuk dijadikan tempat untuk memperoleh ilmunya dan menunjang cita-citanya, yakni menjadi seorang praktisi.

 

Taufiq resmi menjadi mahasiswa FH UII pada tahun 2009 setelah sebelumnya gagal masuk Akademi Kepolisian Semarang, ia masuk FH UII dengan finansial seadanya tetapi hal tersebut tidak menghambat semangatnya untuk belajar dan mendapatkan ilmu demi meraih cita-citanya menjadi seorang praktisi. Finansial yang pas-pasan membuat Taufiq harus memikirkan berbagai cara untuk mendapatkan uang demi memenuhi kebutuhannya sehari-hari, tetapi hal tersebut tidak mempengaruhi proses belajarnya di FH UII.  ia mengatakan “sembari orang tua saya berusaha disana saya juga harus berusaha disini”. Tidak banyak yang tau Taufiq mencoba berusaha untuk memenuhi kebutuhan sehari-harinya dengan berjualan donat sepulangnya belajar dari kampus, ia memulai mengambil donat di daerah Umbulharjo dan ia jualkan ke berbagai asrama-asrama mahasiswa di daerah Seturan. Baginya perekonomomian yang kurang baik tidak dapat dijadikan kendala. Ia harus terus maju tanpa peduli hambatan apapun yang menghampirinya.

Tidak sampai disitu, semasa kuliah Taufiq tidak hanya menjadi mahasiswa ‘Kupu-Kupu’ (Kuliah Pulang-Kuliah Pulang) tetapi ia juga dikenal sebagai mahasiswa yang aktif di berbagai organisasi baik internal maupun eksternal kampus seperti Lembaga Eksekutif Mahasiswa Universitas , Himpunan Mahasiswa Islam FH UII (HMI), Lembaga Eksekutif Mahasiswa FH UII, Komunitas Peradilan Semu (KPS) FH UII, Forum Pemuda Nusantara Pemerintah Kota Yogyakarta (FPN), dan Kos Krisis Center Yogyakarta (KCC) baginya dari organisasi ia belajar berbagai hal, dari berbagai organisasi yang digelutinya ia paling dikenal aktif di KPS FH UII. ia masuk KPS FH UII karena ia tidak ingin hanya menjadi mahasiswa yang apatis, ia ingin ikut berpatisipasi untuk mengharumkan nama FH UII melalui berbagai macam kompetisi nasional.

 

Pada awal kompetisinya di KPS FH UII, ia dipercayai sebagai Penasihat Hukum pada event Piala Franseda di Universitas Atmajaya Jakarta dengan tema Hukum Telematika dan tidak main-main, perkataanya ia buktikan dengan membawa Trophy Juara 2 Piala Franseda di Atmajaya dan mendapatkan gelar Penasihat Hukum terbaik. Setelah Piala Franseda selesai  penggantian Ketua Umum, ia masuk bursa dalam nominasi Ketua Umum KPS FH UII periode 2012-2013 Pada awalnya ia berat hati untuk masuk dalam bursa nominasi pemilihan Ketua KPS FH UII karena menjadi  Ketua mempunyai tanggung jawab yang besar tidak hanya tanggung jawab moral  tetapi juga akademis, prestasi, dan kepada Allah. Karena KPS FH UII merupakan organisasi yang tidak diragukan lagi prestasinya dalam bidang Kompetisi Peradilan Semu.  Sudah dapat ditebak, Ia meraih suara terbanyak dan resmi menjadi ketua KPS FH UII.

Berbagai tantangan ia hadapi ketika menjabat sebagai Ketua KPS FH UII dan pilihannya teman-temannya tidak salah. Di bawah kepemimpinan, bantuan rekan-rekan, dosen-dosen pembimbing seperti Dr. Aroma, Teguh Sri Rahardjo, Mahrus Ali, Wahyu Prianka, dan Dr. Syaifuddin sebagai wakil dekan saat itu, KPS FH UII meraih Juara 2, Berkas terbaik, Panitera terbaik dan Penasihat Hukum terbaik pada Kompetisi Piala Mutiara Joko Sutono di Universitas Indonesia dan Juara 2 serta memborong seluruh gelar terbaik yakni Majelis Hakim, Panitera , Penasihat Hukum, Penuntut Umum dan Berkas terbaik pada Kompetisi Asean Law Sutudent (ALSA) Piala Mahkamah Agung di Universitas Brawijaya. Akhir masa jabatannya sebagai ketua KPS FH UII, KPS FH UII berhasil menyelenggarakan kompetisi piala AKM (abdul Kahar Mudzakir).

 

Sebelum lulus dari FH UII ia ditawari oleh Advokat Bambang Heriarto untuk ikut menangani perkara Kepailitan pemilik group Primagama yang digugat pailit.  Baginya ini merupakan kesempatan dan peluang yang besar untuk mengasah potensinya terlebih ketika itu ia masih menjadi mahasiswa yang sedang menggarap skripsi bidang kepailitan dipercaya untuk terlibat dalam menangani kasus yang cukup besar ini, dengan pengalaman dan pendidikan yang didapatnya di FH UII membuat maju tanpa ragu.

 

Taufiq lulus dari FH UII pada tahun 2013 dengan predikat cumlaude tanpa pikir panjang ia langsung mengikuti tes PKPA dan Peradi karena ia bercita-cita menjadi praktisi yaitu lawyer. Lulus dari PERADI ia memulai karirnya sebagai advokat muda dengan magang di Kantor Teguh SriRahadjo S.H (Dosen FH UII) magang selama kurang lebih 6 bulan di kantor pak Teguh memberikan pengalaman baru di dunia advokat. Setelah magang ia mengikuti tes di Lippo grup yang membuka lowongan untuk Legal Corporate. Ia lolos dan diterima di Lippo Group sebagai Legal Corporate bersama temannya yang sama-sama dari KPS FH UII tetapi ia tidak masuk ke kantor Lippo Group ia ditawari oleh Prof. Nindyo Pramono yang merupakan konsultan hukum tetap di Lippo Group untuk bekerja dan menambah pengalaman hukum bisnis di Lawfirmnya yaitu Nindyo & Associate menjadi salah satu associate di Nindyo & Associate menambah input pengetahuannya di bidang hukum perusahaan dan menjadikan dirinya sebagai advokat yang profesional.

 

Setelah resmi keluar dari Nindyo & Associate dengan tujuan untuk menjadi advokat yang mandiri dan profesional. Pada tahun 2015 ia mulai menjadi konsultan hukum mandiri dan sebagai project awalnya dia dipercaya menjadi Legal Consultant  untuk menyelesaiakan berbagai persoalan hukum di Max Prima Coal perusahanan penanaman modal  asing asal Korea dalam kurun waktu selama 1 tahun  sembari ia menjadi legal consultant di Max Prima Coal ia juga menghandle beberapa perkara lainnya salah satunya adalah Perkara kepilitan yang menjadi salah satu fokusnya. Selang berjalannya waktu Tahun 2016 setelah kontrak dengan Max Prima Coal berakhir ia menjadi lawyer yang menghandle beberapa project hukum dibidang properti real estate mulai dari proses transaski properti sampai pembentukan Persatuan Penghuni Rumah Susun atau PPRS dengan beberapa developer. Tidak berselang lama ia di tawarkan untuk menjadi Legal Consultant Corporate dan Permit (perizinan) di Ocean Metal Indo perusahaan asal Thailand di bidang pertambangan  yang terafiliasi dengan Charoen Pokpand Group Thailand yang sampai saat ini masih dipercayai untuk menghandle perusahaan tersebut.

 

Pada awal oktober 2017 ia mencoba untuk merintis firma hukum miliknya sendiri yang bernama Taufiq Akbar & Partners di Jakarta dengan area praktek hukum pertambangan, investasi, perusahaan dan tipikor dengan keberanian dan semangat yang membara ia mencoba untuk lebih profesional dan mandiri dalam dunia lawyer. Baginya walaupun ia telah menjadi salah satu lawyer yang mencoba untuk mandiri dan profesional dengan merintis firma hukum miliknya sendiri tetapi masih banyak alumni-alumni FH UII yang lebih baik dan bagus pengalamannya di banding dirinya dan suatu saat nanti para generasi advokat-advokat senior alumni FH UII akan berganti dan akan diregenerasi oleh advokat muda alumni FH UII.

Pesan-pesan untuk FH UII:

“Tetap lahirkan pendekar hukum yang profesional dan akademisi hukum yang memberikan sumbang asih kepada negara”

(Taufiq Akbar, Advokat;2017)