Mendidik-Asas Kecakapan Jiwa Raga Oleh Umar Haris Sanjaya, S.H, M.H.

“Mendidik” Asas Kecakapan Jiwa Raga

Cerita tentang tingginya angka perceraian di masyarakat akhir-akhir ini sudah menjadi perhatian bagi para pengamat anak, sosiolog, psikolog yang menilai bahwa salah satu faktor nya adalah masih pada umur anak-anak. Faktor kedewasaan dalam cara berpikir seseorang  menjadi penyebab perceraian, hal itu diungkapkan oleh Prof Dr. Sunyoto pakar sosiolog UGM (Koran KR edisi 3 April 2018). Diutarakan bahwa penyebab kurangnya kedewasaan itu diaplikasikan pada ke egoisan masing-masing pasangan dalam perkawinan. Sehingga ketika sikap itu timbul, maka pribadi antara pasangan suami dan istri pada usia muda tidak mampu saling menerima perbedaan. Ketidakmampuan akan kenyataan perbedaan itu yang membuat seringya konflik dalam rumah tangga.

Senyatanya perkawinan bagi pasangan anak muda memerlukan modal yang lebih untuk dapat membangun rumah tangga mengingat mereka membangun rumah tangga lebih cepat dari masa-nya. Dalam perspektif hukum perkawinan, dikenal istilah asas kecakapan jiwa raga sebagai pegangan pemerintah dalam menyantumkan norma hukum pada Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 tentang perkawinan. asas ini bertindak didalam norma yang tertera pada pasal 6 butir ke 2 yang menjelaskan bahwa umur dibawah 21 tahun saja masih “memerlukan izin kedua orang tua”. Norma hukum sendiri sudah mengarahkan bahwa perkembangan usia seseorang untuk pantas menikah pada rentan umur 21 tahun ke atas.

Walaupun itu diatur pada umur 21 tahun, pada normanya seseorang itu diizinkan untuk menikah pada umur 19 tahun bagi laki-laki dan 16 tahun bagi perempuan. Artinya umur 21 tahun ini menurut norma merupakan batas minimal ideal umur untuk menikah. Hal ini jelas dapat kita cermati pada pasal 7 butir  (1). Pemberian izin pada usia 19 tahun bagi laki-laki dan 16 tahun bagi perempuan pun masih dapat di “negosiasi” mengingat ada tambahan norma bahwa terhadap penyimpangan pada usia diatas dapat untuk dimintakan dispensasi ke pengadilan.

Disini aspek norma hukum sudah memberikan peluang kepada calon-calon pasangan pengantin yang ingin melakukan kawin usia muda, mengingat ada kecenderungan terus bergeser turun dari sisi umur. Apabila umur sudah sampai pada batas terendah, maka memungkinkan menggunakan alat negara dengan dispensasi nikah. Hal ini tidak dapat disalahkan, justru peran pemerintah dituntut lebih lagi untuk dapat menciptakan generasi muda yang dapat berpikir dewasa.

penerapan asas kecakapan jiwa raga ini tentunya harus bersumber dari norma agama dan kepercayaan dari masing-masing calon pasangan dan kedua orangtuanya. Mengingat yang menciptakan kedewasaan seseorang itu bukan kembali berapa banyaknya umur seseorang tetapi seberapa besar matangnya usia seseorang. Apa yang dibutuhkan untuk mendidik asas kecakapan jiwa raga ? yang terpenting adalah pembentukan mental yang siap. Siap untuk mengerti tujuan sebuah perkawinan, kita perlu mengingat bahwa perkawinan memiliki tujuan baik membentuk keluarga bahagia dan kekal yang didasari oleh Ketuhanan Yang Maha Esa.

Pembentukan mental ini perlu diformulasikan sejak awal didalam mendidik anak-anak untuk menyiapkan mental yang perkawinan yang kuat. Yang dimaksud pembentukan mental lebih kepada (1) mental bertanggung jawab, mengingat yang dibutuhkan dalam membangun rumah tangga berfondasi pada rasa bertanggung jawab antara pasangan. Ada 2 aspek yang sangat berpengaruh dalam membentuk hal ini yaitu pemerintah dan orang tua dirumah. Pertama (1) pemerintah memungkinkan menekankan pendidikan tanggung jawab ini pada kurikulum di sekolah. Seorang anak yang terbiasa bertanggung jawab akan selalu terbawa hingga ia menempuh hidup yang baru. Perlu diingat adakah kurikulum yang wajib diambil oelh anak tentang materi tanggung jawab di sekolah. Hubungan guru dengan murid, murid dengan murid dsb. Kedua (2) orang tua inilah peran yang sangat besar dalam membentuk jiwa anak bertanggung jawab. Tidak hanya mengajarkan, orang tua patut memberi contoh tanggung jawab antara keduanya. Seperti contoh tanggung jawab dalam mengunakan gadget, melakukan kesalahan, kecerobahan, sering lupa beribadah, adakah wujud tanggung jawab orang tua yang dicontohkan kepada anak.

Kalau kita mengingat kata harus berpikir jutaa kali untuk bercerai, maka perlu diingat juga peran orang tua untuk perlu berpikir jutaan kali bagaimana dapat membentuk anak yang bertanggung jawab sebelum menikahkan anaknya.

Telah diterbitkan di SKH Kedaulatan Rakyat, 5 April 2018