Saat ini, pemerintah Yogyakarta sedang mempersiapkan revisi Perda No. 4 Tahun 2012 tentang Perlindungan dan Pemenuhan Hak-Hak Penyandang Disabilitas. Inisiatif ini merupakan keniscayaan karena di level nasional sudah berlaku Undang-Undang No. 8 Tahun 2016 tentang Penyandang Disabilitas. Pada sisi yang lain, Perda No. 4 Tahun 2012 masih mencantumkan Undang-Undang No. 4 Tahun 1997 tentang Penyandang Cacat yang notabene tidak berlaku.

Di masa lalu, Perda No. 4 Tahun 2012 diapreasi banyak pihak, bahkan dicontoh daerah-daerah lain yang juga membuat peraturan serupa yang harapannya dapat mendorong pemenuhan hak-hak kaum difabel yang selama ini terus menerus termarginalkan. Kehadiran peraturan disabilitas semacam pembuka harapan di tengah peminggiran struktural yang terjadi.

Nasib difabel dalam banyak hal bergantung pada perbaikan kebijakan politik kenegaraan, salah satunya ialah regulasi yang menjamin secara penuh hak-hak difabel, dan memastikan pengawasan dan pemberian sanksi kepada pihak yang melakukan pelanggaran. Dalam konteks ini, Perda 4 Tahun 2012 telah cukup baik menampung hak-hak difabel, tetapi pada sisi yang lain masih lemah dalam pengawasan dan implementasinya. Revisi Perda menjadi momentum memperbaiki titik lemah tersebut.

Harmonisasi

Dalam hukum, ada asas lex superior derogate legi inferiori yang bermakna bahwa Undang-undang yang dibuat penguasa yang lebih tinggi mempunyai derajat yang lebih tinggi. Jika ada yang bertentangan, tidak sederajat dan mengatur obyek yang sama, maka yang berlaku adalah Undang-undang yang lebih tinggi. Juga ada asas lex posterior derogat legi priori yang bermakna bahwa Undang-Undang yang berlaku kemudian membatalkan Undang-Undang terdahulu, sejauh undang-undang tersebut mengatur obyek yang sama.

Merujuk dua asas di atas, ada kewajiban bagi pemerintah Yogyakarta untuk melakukan harmonisasi revisi Perda No. 4 Tahun 2012. Substansi norma yang obyeknya sama semestinya tidak bertentangan dengan Undang-Undang No. 8 Tahun 2016 tentang Penyandang Disabilitas dan Undang-Undang No. 19 Tahun 2011 tentang Pengesahan Konvensi Mengenai Hak-Hak Penyandang Disabilitas. Revisi Perda harus menyesuaikan dengan norma yang lebih tinggi dan mengatur lebih kongkrit agar pemenuhan hak-hak difabel dapat bisa diwujudkan di daerah.

Secara umum, terjadi disharmoni Perda No. 4 Tahun 2012 dengan Undang-Undang No. 8 Tahun 2016, pertama, beberapa prinsip yang disebutkan dalam Undang-Undang belum masuk ke dalam Perda. Kedua, pemaknaan ragam disabilitas yang berbeda. Ketiga,  ada beberapa hak yang diatur dalam Undang-Undang belum dimasukkan ke dalam Perda, bahkan dalam beberapa bagian berbeda ketentuan. Keempat, ada disharmoni model pengawasan antara Perda dan Undang-Undang.

Salah satu contoh disharmoni terkait ketentuan kuota pekerja difabel. Pada Pasal 53 ayat (1) Undang-Undang No. 8 Tahun 2016 dinyatakan bahwa Pemerintah, Pemerintah Daerah, Badan Usaha Milik Negara, dan Badan Usaha Milik Daerah wajib mempekerjakan paling sedikit 2 % Penyandang Disabilitas dari pegawai atau pekerja. Sedangkan Perda No. 4 Tahun 2012, kuota  paling sedikit hanya 1%

Pengawasan Lemah

Substansi penting yang harus dikuatkan dalam revisi Perda Disabilitas ialah terkait Lembaga Pengawas pemenuhan hak-hak difabel. Lembaga ini fundamental, karena substansi hak yang diatur sedemikian rupa tidak akan bergerak tanpa pengawasan yang ketat dan proses pemberian sanksi yang jelas terhadap pihak-pihak yang melakukan pelanggaran.

Lembaga Pengawas ini kalau dalam Undang-Undang disebut Komisi Nasional Disabilitas, dimana kelembagaannya bersifat non struktural dan independen. Sifat kelembagaan ini menjadi penegasan bahwa Komisi ini harus berada di luar struktur eksekutif dan independen baik kelembagaan dan anggotanya. Kandidat komisioner lembaga ini pun semestinya dilakukan secara terbuka dan profesional.

Selain lembaga pengawas, problem Perda No. 4 Tahun 2012 terkait lemahnya ketentuan sanksi, utamanya sanksi yang bersifat administrasi yang mesti diberikan kepada pihak-pihak yang melakukan pelanggaran. Praktek anak difabel ditolak di sekolah, layanan kesehatan tidak ramah difabel, difabel dikucilkan di tempat kerja, dan beberapa yang lain saat ini masih terus terjadi. Sistem pengawasan masih lemah dan norma dalam Perda belum memiliki mekanisme penjera bagi para aktor pelangaran [Dimuat di Koran Kedaulatan Rakyat, 28 November 2019]

Raperda Disabilitas oleh M. Syafi’ie, S.H., M.H.
Dosen FH UII, Peneliti SIGAB dan Pusham UII
 

Tamsis (26/11) Bidang Kemahasiswaan Alumni dan Keagamaan Fakultas Hukum Universitas Islam Indonesia menyelenggarakan kegiatan Pembekalan Alumni Calon Wisudawan Periode 3 Gelombang 1 Semester Ganjil 2019/2020 pada Selasa, 26 November 2019 mulai pukul 09.00-14.00 WIB di Ruang Sidang Utama Lt. 3 Gedung Prof. M. Yamin Kampus FH UII Jl. Taman Siswa 158 Yogyakarta. Wakil Dekan Bidang Kemahasiswaan Alumni dan Keagamaan menyampaikan bahwa pembekalan alumni ini sangat penting karena calon wisudwan akan mendapatkan bekal mulai dari persiapan mental, administrasi pengajuan lamaran pekerjaan, persiapan proses wawancara dan masih banyak lagi.

Read more

Dean Research Grant Batch VI untuk periode Tahun 2019 telah terlaksana dengan baik. Dean Research Grant yang diselenggarakan tiap tahun ini memperebutkan Piala Dekan FH UII. Dr. Abdul Jamil, SH., MH dan Dr. Drs. Muntoha S.H,M.Ag. selaku Dekan dan Wakil Dekan berharap kompetisi ini menjadi budaya bagi para mahasiswa. Hibah penelitian bagi mahasiswa secara khusus diselenggarakan untuk menarik minat dan bakat mahasiswa khususnya dalam pengembangan ide dan gagasan serta kreativitas dalam membuat karya tulis dibidang hukum. Kegiatan ini merupakan kegiatan yang mengadopsi penelitian PKM-P yang diselenggarakan oleh Kemenristek dengan tujuan untuk membiasakan mahasiswa terlatih dengan teknis yang ada pada penelitian Dikti. Read more

Fakultas Hukum UII bekerjasama dengan Youngsan University menyelenggarakan Global Collaboration Program (3-18 Januari 2020) di Busan, Korea Selatan. Bagi mahasiswa yang tertarik untuk mengikuti kegiatan ini silahkan mendaftar di link: http://bit.ly/partialScholarshipFHUII

Deadline pendaftaran: November 27th, 2019 jam 13.00 pm
Bagi yang terpilih/lolos seleksi akan mendapatkan beasiswa parsial dari FH UII

JAKARTA (DPR RI) – Pada hari Senin 11 Novembr 2019 Fakultas Hukum Universitas Islam Indonesia telah melaksanakan kegiatan field study (Kuliah Lapangan) ke Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia dengan tema “Fungsi Legislasi Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia Terhadap Pencapaian Program Legislasi Nasional (Prolegnas)”. Field study ke Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia (DPR RI) merupakan salah satu bagian dari rutinitas perkuliahan Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan guna memberikan materi tambahan untuk membantu menciptakan sumber daya manusia, khususnya lulusan FH UII yang handal dalam bidang peraturan perundang-undangan sehingga dapat menerapkan dalam praktik yang sebenarnya. Read more

Pemilihan umum serentak sebentar lagi. Pada tanggal 17 April 2019 rakyat Indonesia akan terfasilitasi hak pilihnya, baik Presiden-Wakil Presiden, Dewan Perwakilan Daerah (DPD), Dewan Perwakilan Rakyat (DPR), serta Dewan Perwakilan Rakyat Derah (DPRD), Provinsi dan Kabupaten/Kota. Begitu pentingnya pemilihan kepemimpinan Indonesia ini, penting mengingat kembali bagaimana praktek pemenuhan hak pilih difabel dalam kontestasi pemilihan telah lewat, sekaligus mempertanyakan bagaimana kesiapan Komisi Pemilihan Umum (KPU) yang beberapa hari lalu telah melakukan simulasi pemungutan suara.

Pada tahun 2014, Sasana Inklusi dan Gerakan Advokasi Difabel  (SIGAB) melakukan monitoring pemilu dan menemukan beberapa catatan penting, pertama, di lapangan ditemukan kondisi tidak pekanya Kelompok Penyelenggara Pemungutan Suara (KPPS) dan berdampak pada perlakuan yang tidak tepat untuk pemilih difabel. Hal itu terlihat dari desain tempat pemilihan yang tidak aksesibel dan para petugas yang tidak dapat berinteraksi dengan selayaknya. Kedua, form yang berisi pernyataan pendamping pemilih, terabaikan. Petugas KPPS hanya membantu pencoblosan difabel netra sehingga tidak terjamin hak pilihnya yang bebas dan rahasia. Ketiga, beberapa pemilih difabel harus merangkak ke lokasi TPS karena tempat pemilihannya yang bertangga, licin, dan terdapat selokan tanpa titian. Keempat, pemilihan yang rahasia juga tidak terjamin karena lokasi TPS yang bilik suaranya berdekatan satu sama lain, desain bilik suara yang tanpa sekat, TPS berada di lorong pemukiman yang sempit, dan meja pencoblosan di bilik suara tidak kokoh, padahal pemilih difabel daksa tertentu membutuhkan tumpuan berpengangan, ditambah lagi desain kotak suara yang terlalu tingi dan tidak terjangkau pemilih difabel daksa. Kelima, di lokasi pemilihan difabel banyak yang tersudutkan karena kerap menjadi tontonan.

Monitoring yang dilakukan SIGAB memperlihatkan betapa belum jelasnya pemenuhan hak pilih difabel pada tahun 2014. Bahkan, pada saat itu sekelompok difabel netra atas nama Suhendar, Yayat Ruhiyat, Yuspar dan Wahyu mengajukan judicial review Pasal 142 ayat (2) Undang-Undang No. 8 tahun 2012 tentang Pemilihan Umum Anggota DPR, DPD dan  DPR ke Mahkamah Konstitusi, yang intinya mempermasalahkan Pasal 142 ayat (2) karena tidak memasukkan frase ‘template braile’ yang berakibat difabel netra tidak dapat memilih secara fair di pemilihan anggota DPR dan DPRD Provinsi dan Kabupaten/Kota. Para pemohon menyatakan bahwa Pasal 142 ayat (2) bertentangan dengan Pasal 28I ayat (2) UUD 1945 yang menyatakan bahwa setiap orang berhak bebas dari perlakuan yang bersifat diskriminatif atas dasar apapun dan berhak mendapatkan perlindungan terhadap perlakuan yang bersifat diskriminatif.

Tidak dipenuhinya template braile dalam pemilu 2014 bagi difabel netra berakibat pada pelanggaran hak pilih difabel, khususnya hak pilih yang semestinya bebas dan rahasia. Situasi tersebut kemudian mendorong sebagian komunitas difabel netra melakukan uji materi di Mahkamah Konsitusi. Dan pada sisi yang lain, difabel secara umum memberikan catatan serius betapa sarana prasana penyelengaraan pemilu masih belum aksesibel dan petugas layanannya belum memahami etiket beriteraksi dengan warga difabel.

Pemilu Saat ini

Setelah melihat kenyataan penyelenggaraan pemilu yang telah lewat, bagaimanakah jaminan hukum pemenuhan hak memilih difabel saat ini? Pasal 356 ayat (1) Undang-Undang No. 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum berbunyi, “Pemilih disabilitas netra, disabilitas fisik, dan yang mempunyai halangan fisik lainnya pada saat memberikan suaranya di TPS dapat dibantu oleh orang lain atas permintaaan pemilih.” Pada ayat (2) berbunyi, “Orang lain yang membantu Pemilih dalam memberikan suara sebagaimana dimaksud pada ayat (1) wajib merahasiakan pilihan Pemilih.” Aturan serupa termaktub pada Pasal 364 yang mengatur pemilih difabel yang memberikan suaranya di TPSLN.

Norma yang spesifik mengatur tentang pemilu di atas memperlihatkan betapa perumus Undang-Undang No. 7 Tahun 2017 belum memahami bagaimana pemenuhan hak pilih difabel semestinya difasilitasi dalam rumusan norma yang sesuai dengan tuntutan komunitas warga difabel. Bahkan Undang-Undang tersebut mengulang pendekatan lama yang bersifat charity, di mana difabel masih perlu dibantu dan dikasihani dalam pencoblosan. Pendekatan ini sudah tidak relevan karena sudah tidak sesuai dengan pendekatan human rights yang diatur dalam Undang-Undang No. 8 Tahun 2016 tentang Penyandang  Disabilitas dan Undang-Undang No. 19 Tahun 2011 tentang Pengesahan Konvensi Hak-Hak Penyandang Disabilitas.

Terlepas dari titik lemah Undang-Undang No. 7 Tahun 2017, beberapa hal yang harus dikawal adalah komitmen Komisi Pemilihan Umum (KPU) untuk memastikan agar penyelenggaraan pemilihan umum serentak pada tahun  ini tidak mengulang kesalahan pemilu-pemilu sebelumnya, dimana warga difabel terlanggar hak dengan sedemikian rupa. Karena itu, penulis mengapresiasi komitmen beberapa komisioner anggota KPU, semisal KPU DIY yang meminta tempat pemungutan suara agar didesain akses bagi difabel. Bahkan dalam satu kesempatan, salah seorang anggota Dewan Kehormatan Penyelenggara Pemilu (DKPP) telah menyatakan agar penyelenggaraan pemilu tahun ini tidak diskriminatif kepada difabel. Karena dari 13 etika penyelenggaraan pemilu, salah satunya adalah mandate agar Penyelenggara Pemilu wajib memastikan aksesibilitas pemilu, yaitu tersedianya sarana prasarana yang memudahkan bagi semua orang, salah satunya bagi warga difabel.

Mengenali Hambatan

Memenuhi hak pilih difabel, pertama-tama yang harus dipahami Penyelenggara Pemilu adalah hambatan difabel. Secara umum, difabel ada yang mengalami hambatan penglihatan, ada yang mengalami hambatan pendengaran, hambatan mobilitas, komunikasi, mengingat dan berkonsentrasi, serta ada yang memiliki hambatan perilaku dan emosi. Dari hambatan tersebut, kewajiban yang harus dilakukan Penyelenggara Pemilu diantaranya adalah memastikan agar disediakan template braile untuk pemilih difabel netra, tempat pemilihan harus didesain aksesibel atau memudahkan bagi pemilih yang memiliki hambatan bergerak atau bermobilitas, dan di tempat pemilihan umum semestinya juga disediakan penerjemah bahasa isyarat untuk kepentingan difabel tuli atau orang pada umumnya yang memiliki hambatan untuk berkomunikasi. [18 Maret Sindo 2019]

M. Syafi’ie, S.H., M.H.
(Dosen Fakultas Hukum UII,  Peneliti SIGAB dan Pusham UII)

“maka dirikanlah sholat, sesungguhnya sholat itu adalah kewajiban yang telah ditentukan waktunya atas orang-orang yang ber-Iman (Ani-Nisa ayat 103)”

Teknologi di era 4.0 sedang disosialisasi sedemikian rupa oleh pemerintah Repubik Indonesia untuk menjawab tantangan globalisasi yang selalu berkembang sangat cepat. Salah satu ciri sudah memasuki era 4.0 adalah pemanfaatan teknologi yang sudah menjadi alat penunjang atau sarana dalam kehidupan sehari-hari. Bahkan pemanfaatan teknologi ini dapat saja menjadi sebuah industri baru pada era ini. Satu dari beberapa ciri zaman di era teknologi 4.0 adalah adalah penggunaan aplikasi-aplikasi modern yang menjadi sarana untuk kemudahan hidup manusia. Aplikasi ini digunakan sebagai shortcut (jalur pintas) problem-problem atau masalah-masalah yang terjadi didalam kehidupan sehari-hari menjadi lebih mudah atau bahkan praktis.

Perkembangan ilmu falak di Indonesia saat ini seimbang dengan penggunaan sarana teknologi. Teknologi dapat menjadi alat bantu dalam menghitung, menentukan, bahkan mempermudah dalam melakukan ibadah shalat. Semakin berkembangnya teknologi tentunya dapat semakin menambah keakuratan dalam membantu perkembangan ilmu falak khususnya pada konteks penghitungan waktu shalat. Keakuratan tersebut tentunya harus ditunjang dengan data, dan kepastian lokasi titik bujur tempat, zona waktu dan lintang tempat sesuai daerah masing-masing tempat. Saat ini aplikasi tentang penerapan falak sudah banyak di buat di Indonesia, bahkan beriringan dengan kementerian agama pun turut mengeluarkan waktu-waktu yang tepat terkait awal pelaksanaan sholat.

Dalam penentuan waktu-waktu awal pelaksanaan sholat, pemerintah perlu kiranya memperhatikan lokasi-lokasi di tiap daerah secara rinci. Hal ini kembali kepada kepastian dari titik lokasi masing-masing masjid. Mengingat perbedaan titik lokasi saja sudah mampu menimbulkan perbedaan waktu awal sholat. Gambaran itu sudah tertuang pada sumber jadwal sholat berdasarkan sistem informasi manajemen bimas islam Kementerian Agama Republik Indonesia. Dasar penentuan waktu tersebut menggunakan rumus kordinat lokasi seperti : garis bujur (latitude), garis lintang (longtitude), ketinggian lokasi dari permukaan laut (height) dan zona waktu (Z). Untuk memudahkan penentuan waktu sholat yang berbeda-beda lokasi dimana perbedaan itu berbasis pada letak lokasi baik itu karena perbedaan bujur dan lintang, maka perlu kiranya penggunaan teknologi hadir sebagai solusi.

Beberapa teknologi aplikasi saat sudah mampu menunjukkan keberadaan dan awal waktu sholat yang tepat, tetapi apakah waktu-waktu tersebut sudah di tashih oleh lembaga yang berwenang ?, apabila sudah ditashih apakah waktu-waktu itu sudah akurat ? terkoneksi dari masing-masing zona tempatnya ? Untuk menjawab itu semua perlu sinergi peran antara lembaga terkait ilmu falak dan  teknologi baik dari unsur perguruan tinggi dan pemerintah serta peran aktif masyarakat antara lain : (1) peran pemerintah dalam menentukan kebijakan pengaturan jadwal sholat yang berbasis pada titik-titik lokasi masing-masing masjid. Hal ini diyakini bahwa titik-titik masjid pada tiap daerah itu mempunyai perbedaan waktu walaupun sedikit. (2) perguruan tinggi berperan untuk mengkaji dan meyakinkan kepada masyarakat bahwa teknologi perlu digunakan walaupun itu berkaitan dengan ibadah. Pengkajian tentang peran teknologi informasi dalam ilmu falak perlu dijembatani oleh pendekatan-pendekatan ilmiah. Disamping itu perguruan tinggi merupakan rumah inovasi yang akan mendampingi pemerintah didalam menjawab problem keumatan. (3) melalui masyarakat perkembangan teknologi dan penerapan waktu sholat ini diimplementasikan. Masyarakat sebagai stakeholder dari teknologi serta pengguna kajian ilmu falak perlu mendapatkan benang merah manfaat dari teknologi. Jangan sampai dengan adanya teknologi dalam ibadah itu ditolak oleh masyarakat karena teknologi dianggap hal bid’ah, melainkan dengan adanya teknologi justru membawa pada masyarakat untuk rajib ibadah.

Umat islam di Indonesia harus dapat mengambil manfaat dari adanya perkembangan teknologi saat ini, khususnya digunakan untuk kepentingan yang dapat lebih mendekatkan diri pada sang pencipta Allah SWT. Dalam hal ini teknologi harus dirancang untuk dapat memudahkan umat islam dalam beribadah, mendekatkan diri pada Allah SWT, dan disebarkan untuk kemaslahatan dan manfaat bagi umat islam yang lain.

Kegiatan seminar nasional keislamaan dengan tema “mengembangkan ilmu falak berbasis pada teknologi di era 4.0 : peluang dan tantangannya ini sengaja dirancang untuk diselenggerakan oleh Universitas Islam Indonesia ,Kementerian Agama Kabupaten Sleman, dan Lembaga Teknindo dalam rangkat memberikan pengetahuan tentang peluang dan tantangan dalam hal perkembangan ilmu falak di era 4.0.

 

Pernah diterbitkan di Media Massa di Yogyakarta
Umar Haris Sanjaya, S.H., M.H. Dosen Muda FH UII yang juga sedang studi lanjut Program Doktor UNAIR dan
Kepala Divisi Pengembangan DPPAI UII / Dosen Fakultas Hukum UII

Alhamdulilah. Tim Kompetisi Internasional Humanitarian Law Mootcourt Fakultas Hukum UII memperoleh Juara III.

Terimakasih atas doa, dukungan, dan bimbingan Bapak Ibu semua yang tidak bisa disebutkan satu persatu. Mohon doanya agar pada lomba-lomba berikutnya diberikan kemudahan dan hasil yang terbaik. Aaamiin.

Penulis: Dr. Idul Rishan, S.H., LL.M

Dosen Fakultas Hukum Universitas Islam Indonesia (FH UII), Departemen Hukum Tata Negara

 

Jika mencermati hasil perubahan UU KPK (UU Nomor 19 tahun 2019), maka arah politik hukumnya jelas. Mengubah simpul kelembagaan KPK dari lembaga independen, menjadi lembaga pemerintah. Dalam Pasal 3 revisi UU KPK disebutkan bahwa, “Komisi Pemberantasan Korupsi adalah lembaga negara dalam rumpun kekuasaan eksekutif yang dalam melaksanakan tugas dan wewenangnya bersifat independen dan bebas dari pengaruh kekuasaan manapun”. Tegasnya, pasal a quo dapat dikatakan sebagai “jantung” atas hasil perubahan UU KPK. Melalui ketentuan tersebut, tak ubahnya KPK sebagai mandataris Presiden.

Mengingat secara hierarkis kelembagaannya berada di bawah kuasa presiden, maka KPK berwarna eksekutif. Tak heran jika manajemen kepegawaian di KPK wajib bercorak eksekutif. Mulai dari status penyidik, sampai dengan promosi mutasi yang tunduk pada regulasi Aparatur Sipil Negara. Bukan hanya soal kepegawaian, kehadiran Pasal 3 juga menginisiasi lahirnya pasal-pasal lain yang menyangkut Dewan Pengawas. Perangkat ini mempunyai kewenangan yang superior, bahkan dibekali kuasa “pro justisia”. Bila tak ada aral membentang, perangkat inipun akan dibentuk melalui kuasa presiden. Meskipun dalam pasal a quo diberikan “irah-irah” independen dalam melaksanakan tugas dan wewenangnya, kenyataannya sulit untuk dibenarkan. Relasi kuasa yang bersifat vertikal dengan presiden, cenderung membuat KPK berayun menjadi ‘depeden’.

Cabang Ke-4

Dalam perkembangannya, revisi UU KPK menjadi simbol dekadensi terhadap praktik demokrasi di Indonesia. Betapa tidak, dibentuknya KPK merupakan kritik atas lemahnya independensi Kepolisian dan Kejaksaan dalam pemberantasan tindak pidana korupsi. Mengingat Kepolisian dan Kejaksaan secara hierarkis berada di bawah kuasa eksekutif, maka KPK hadir sebagai lembaga independen. Baer menuliskan bahwa kehadiran lembaga independen muncul sebagai trigger atas cara kerja lembaga konvensional yang dinilai tak lagi efektif (Susan Baer:1988). Tesis Baer diperkuat oleh Ackerman yang menyatakan bahwa lembaga independen merupakan gejala otokritik terhadap pemisahan kekuasaan secara konvensional antara eksekutif, legislatif, dan yudikatif. Ackerman melihat kecenderungan Amerika yang telah mengadopsi pemisahan kekuasaan berdasar empat cabang yakni eksekutif, legislatif, yudisial dan organ independen (Bruce Ackerman:2000). Demikian halnya selepas transisi politik bergulir di Indonesia.  Studi Mochtar  mencatatkan bahwa ketidakpercayaan publik terhadap lembaga negara yang telah ada, mendorong lahirnya lembaga independen untuk melaksanakan tugas dan diidealkan memberikan kinerja baru yang lebih terpercaya (Zainal Mochtar:2016).

Dengan menempatkan KPK di bawah kuasa Presiden, justru menjadi sangat kontraproduktif terhadap respon percepatan kebutuhan demokrasi. Sudah menjadi rahasia umum, korupsi di sektor eksekutif menjadi agenda yang tak luput dari kinerja KPK selama ini. Suap di pelbagai sektor kementerian, hingga korupsi kepala daerah seolah menjadi penanda bahwa kekuasaan eksekutif menjadi anasir yang terus memberikan ancaman dari perilaku elit politik. Bisa dibayangkan, sebagai institusi yang berada di bawah kuasa presiden, KPK bisa terjebak pada konflik kepentingan. Bahkan, studi berbobot yang pernah dilakukan Madril menjadi sangat menarik. Madril mencatatkan tak ada lembaga di bawah kuasa presiden yang kinerja dan prestasinya baik dalam memberantas korupsi. Sebagai contoh Badan Pengawas Kegiatan Aparatur Negara (Bapekan) di bawah Soekrano dan Operasi Tertib (Opstib) di bawah Soeharto (Oce Madril:2018).

Penafsiran MK

Kembali dalam perdebatan pembentukan Pasal 3. Dalam beberapa jajak pendapat media cetak dan elektronik, pembentuk undang-undang mengklaim bahwa politik hukum Pasal 3 perubahan UU KPK merupakan tindak lanjut atas putusan MK Nomor 36/PUU-XV/2017. Bila kembali membuka riwayat putusan MK, ada empat putusan lainnya yang juga memberikan penafsiran atas kedudukan dan independensi kelembagaan KPK. Di antaranya,  Putusan No 012-016-019/PUU-IV/2006, Putusan No 37-39/PUU-VIII/2010, Putusan No 5/PUU-IX/2011dan Putusan No 49/PUU-XI/2013. Empat putusan sebagaimana disebutkan di atas berada pada satu nafas yang sama. Bahwa KPK merupakan lembaga independen, dan mempunyai sifat penting dalam struktur kekuasaan negara. Membaca kondisi demikian, lantas putusan mana yang harus diikuti ? hemat penulis, putusan 36/PUU-XV/2017 tidak sepenuhnya dapat dijadikan alasan pembenar pembentukan Pasal 3 perubahan UU KPK.

Ada dua alasan yang mendasari. Pertama, perkara ini tidak menguji pasal-pasal dalam UU KPK terhadap UUD, melainkan  menguji Pasal 79 ayat (3) UU MD3 terhadap Pasal 28D ayat (1) UUDN RI Tahun 1945. Ihwal pengajuan perkara ini semata-semata untuk memperluas kewenangan DPR untuk melaksanakan fungsi pengawasan melalui hak angket, bukan dalam konteks perubahan format kelembagaan KPK. Mengingat KPK melaksanakan fungsi-fungsi eksekutif, hak angket dapat digulirkan sepanjang tidak mendistorsi fungsi penyelidikan, penyidikan dan penuntutan. Kedua, dalam teori interpretasi konstitusi, Strauss mempopulerkan penafsiran “living constitution”. Strauss menuliskan bahwa dalam konteks penemuan hukum,  majelis hakim dimungkinkan mengubah pendiriannya atas putusan-putusan sebelumnya, sepanjang menyebutkan alasan perubahan dalam amar putusannya (David A Strauss:2011). Dalam Putusan No 36/PUU-XV/2017, tak ada satupun alasan di dalam amar putusan (ratio decidendi) yang menegaskan bahwa majelis mengubah pendiriannya atas empat putusan terdahulu. Sehingga dengan menempatkan KPK di bawah kuasa Presiden, pembentuk undang-undang cenderung bersandar pada basis teoritik yang ringkih. Mencermati sejumlah pertimbangan di atas, tentunya pasal 3 perubahan UU KPK menjadi materi yang laik diujikan di Mahkamah Konstitusi.

 

Tulisan ini pernah dimuat dalam rubrik Pendapat, KORAN TEMPO, 5 November 2019.

The Faculty of Law of the Universitas Islam Indonesia (FH UII) once again held international scale activities. This time, FH UII invited Professor Andrew Mitchell from the University of Melbourne, to come to Yogyakarta.

Prof. Andrew came at the invitation of FH UII. According to the Secretary of the International Undergraduate Program, Dodik Setiawan Nur Heriyanto, S.H., M.H., LL.M., Ph.D., Prof. Andrew was invited as one of the visiting professor programs organized by FH UII. “This program is one of the internationalization steps undertaken by the Law Faculty”, said Dodik Setiawan.

Prof. Andrew visited FH UII for three days. In accordance with the invitation of FH UII, Prof. Andrew shared his knowledge in several activities with the UII academic community. On Tuesday (11-11-2019), Prof. Andrew shared his knowledge with post-graduate students of FH UII in the General Lecture on International Trade Law. The event was held at the FH UII Postgraduate Campus, Jalan Cik Ditiro Number 1, Yogyakarta. At the event, Prof. Andrew investigated international trade law.

On Wednesday (11-11-2019), an International Seminar was held with Prof. Andrew as one of the speakers. Besides Prof. Andrew, the seminar was also filled by Christopher Cason, JD., FH UII’s foreign lecturer from the United States, and Nandang Sutrisno, S.H., LL.M., M.Hum., Ph.D., an international law expert of FH UII. The International Seminar was attended by at least 150 participants from various groups.

After the International Seminar, Prof. Andrew also shared his knowledge with the students of the Moot Court Faculty of Law UII. Prof. Mitchell, who is also the coach of the moot court team at the Law School of the University of Melbourne, shares tricks before and after the race.

Besides sharing his experiences and knowledge, Prof. Andrew was also invited to meet with the leaders of FH UII. At the meeting, FH UII hoped to establish more collaboration with the University of Melbourne. Prof. Andrew said he was happy to visit Indonesia at the invitation of FH UII. “It’s nice to be here,” he said.