PENGUMUMAN PENAMBAHAN KUOTA

Nomor: 575/Ka.Prodi/20/DAA/VIII/2021

 

Assalamu’alaikum wr wb.ulai

Berdasarkan rapat Prodi bersama Departemen yang diselenggarakan 27 Agustus 2021 pada pukul 14.00 -16.00 WIB dalam rangkan membahas permohonan kuota mata kuliah pada key in Ganjil 2021/2022, maka diputuskan sebagai berikut:

  1. Penambahan kuota akan dilakukan pada masa key in RAS yaitu pada Kamis, 2 September 2021 pukul 13.00 -16.00 WIB. Kuota kelas dimaksimalkan sesuai kapasitas kelas.
  2. Untuk memenuhi kebutuhan pengambilan mata kuliah, Prodi juga menambahkan 4 kelas baru, yaitu:
    1. Hukum Agraria (Kelas E)
    2. Hukum Agraria (Kelas F)
    3. Metode Penemuan Hukum (Kelas D)
    4. Metode Penelitian Hukum (Kelas D)
  3. Daftar kelas yang diberikan tambahan kuota sebagaimana terlampir sehingga sisa total kursi secara keseluruhan kurang lebih sebanyak 4.842 kursi yang tersebar pada kelas-kelas yang tersedia.

Demikian pengumuman ini disampaikan atas perhatian diucapkan terimakasih.

Wassalamu’alaikum wr wb.

 

Sekretaris Program Studi Hukum

Program Sarjana FH UII,

Ari Wibowo, S.H.I., S.H., M.H

Unduh pengumuman: [ unduh ]

Penulis: Umar Haris Sanjaya, S.H., M.H.

Dosen Fakultas Hukum UII,  Departemen Hukum Perdata

 

Berbagai media pemerhati anak ramai memberitakan kondisi anak kehilangan keluarga dengan menjadi  yatim atau piatu atau yatim piatu akibat meninggalnya orang tua karena Covid. Di yogyakarta sendiri kasus anak kehilangan orang tua akibat Covid terdapat 142 anak (info@kemsos), belum termasuk terhadap ibu hamil yang meninggal akibat covid. Kondisi ini tentunya belum akan berhenti mengingat situasi pendemi yang belum berakhir setidaknya harapan itu ada setelah seluruh stake holder sudah mendapatkan vaksinasi dari pemerintah.

Anak yang kehilangan kedua orang tuanya ataupun salah satu orangtuanya itu menjadi tanggung jawab siapa dalam pemenuhan kehidupan sehari-hari ? secara hukum seorang anak manusia terikat oleh kerabat kedua orangtuanya, hal ini dikenal dengan istilah hukum kekerabatan. Sehingga kerabat si anak secara sadar turut terikat untuk membantu mengurus keluarga kerabatnya tersebut yang kehilangan orang tuanya. Untuk kerabat yang bersedia mengasuh maka dapat dimintakan penetapan perwalian terhadap anak yatim piatu sehingga keberlangsungan hidup si anak dapat berjalan dengan baik dalam perwalian kerabat dari orangtuanya. Bila seorang anak hanya ditinggalkan salah satu orang tuanya, maka tanggung jawab pemenuhan kebutuhan akan diberikan kepada orang tua yang masih hidup baik ayah atau ibunya. Apakah ada peran kerabat dari kedua orang tua si anak ? kerabat orang tua dapat turut berperan dengan memberikan perhatian kepada si anak, terutama kerabat orang tua yang meninggal. Masyarakat yang mengetahui itupun berhak untuk melaporkan pihak yang berwajib bahwa anak yang kehilangan kedua orang tua masih memiliki kerabat, sehingga anak akan dikembalikan kepada kerabat tersebut.

Di Indonesia menganut tiga (3) sistem kekerabataan dalam aliran keluarga termasuk pula tanggung jawabnya seperti : patrilineal, matrilineal, dan parental. Terhadap sistem patrilineal dan matrilineal tanggung jawab ini kembali kepada sistem kekerabatan yang dianut, maka tanggung jawabnya bisa kepada salah satu kerabat orang tua saja baik ayahnya saja atau ibunya saja. Untuk sistem parental, maka tanggung jawab ini akan jatuh kepada masih-masing kerabat dari kedua orang tua sehingga salah satu keluarga yang menganut sistem parental, maka kerabat orang tua juga terikat untuk mengasuh dan membesarkan anak. Untuk itu, peran kerabat orang tua dapat dimaksimalkan dalam mengasuh anak yang kehilangan orangtuanya. Sistem parental ini merupakan sistem kekerabatan yang sudah mulai digunakan oleh masyarakat Indonesia dimana garis tanggung jawab dapat berasal dari kerabat kedua orang tua baik secara hak dan tanggung jawab. Upaya pemerintah bersama masyarakat ditingkat RT dan RW dapat mendata dan mencari tahu kerabat-kerabat orang tua dari anak yang yatim piatu untuk ikut berperan tumbuh kembang anak.

Kerabat dari orang tua tentu tidak dimintai tanggung jawab penuh dengan melihat latar belakang ekonominya. Setidaknya mereka turut berperan dalam pertanggungan jawab anak dalam konteks hubungan kekerabatan, jangan sampai anak kehilangan orang tua itu merasa sendiri dan akhirnya menjadi sebatang kara. Kerabat dari ayah sang anak bersama-sama kerabat dari ibu sang anak diharapkan turut berperan untuk ikut mensejahterakan anak, hubungan keterikatan inilah yang dimaksud dengan hukum kekerabatan dimana seseorang terikat akan tanggung jawab dengan orang lain karena ia terikat hubungan hukum kekerabatan. Tidak mungkin seseorang yang tidak ada hubungan kekerabatan ikut bertanggung jawab terhadap kesejahteraan anak, melainkan dengan kepastian hubungan kekerabatan maka mereka terikat. Ini merupakan konsep dari hubungan keluarga. Jangan sampai anak yang kehilangan orang tua justru ditinggalkan untuk hidup sendiri dan mencari kesejahteraannnya sendiri.

Salah satu peran yang dapat dilakukan oleh pemerintah dan masyarakat adalah membantu untuk menghubungkan anak yang kehilangan kedua orang tua dengan kerabat yang masih dimiliki si anak, menginventarisir anak-anak yatim piatu agar dapat diasuh oleh kerabat terdekat terlebih dahulu karena memang secara hukum, kerabat adalah pihak yang paling berhak mengasuh anak dari kerabatnya. Apabila itu tidak memungkinkan maka pemerintah dapat melakukan melalui dinas sosial untuk mengasuh anak yang telah ditelantarkan karena tidak ada kerabat yang hendak mengasuh.

Tulisan ini sudah dimuat dalam rubrik OPINI, Koran Kedaulatan Rakyat, 21 Agustus 2021.

 

 

 

 

 

Fakultas Hukum Universitas Islam Indonesia (FH UII) mengadakan acara Serial Diskusi Akademik 80 Tahun Prof. Dr. Bagir Manan dengan Tema “ Peran Putusan Hakim Dalam Pembentukan Hukum Nasional” yang diselenggarakan pada hari Kamis, 17 Muharram 1443 H/ 26 Agustus 2021 tersebut terselenggara atas kerjasama antara FH dengan FH Universitas Padjajaran Bandung (UNPAD). Acara serial ini dibuka secara langsung oleh Dekan FH UII, Dr. Abdul Jamil, S.H., M.H., Pada sambutannya beliau mengatakan bahwa “ Hakim sebagai secondary lagislator, menjadikan dirinya dapat melakukan interpretasi sehingga dapat menyimpangi aturan yang dipandang tidak adil.”

Serial Diskusi Akademik 80 Tahun Prof. Dr. Bagir Manan dengan Tema “ Peran Putusan Hakim Dalam Pembentukan Hukum Nasional”, terselenggara dengan Keynote Speech disampaikan langsung oleh Menteri Politik, Hukum, dan Keamanan RI, Prof. Dr. Moh. Mahfud MD., S.H., S.U., M.IP. Beliau juga merupakan alumni dan Guru Besar FH UII.  Dalam pemaparannya, beliau menyampaikan bahwa Indonesia beberapa kali terdapat putusan yang bersifat landmark decission. Salah satunya  adalah putusan MK tentang PHPU yang menyatakan bahwa terdapat pelanggaran yang bersifat “terstruktur, sistematis, dan masif” yang mana hal ini kemudian digunakan dalam aturan-aturan seperti UU pemilu, PKPU, dsb. “Karena pada dasarnya hakim harus kreatif dalam menegakkan hukum untuk mencapai keadilan dan kemanfaatan “ungkapnya.

Tujuan dari pelaksanaan acara ini yaitu untuk memperingati hari ulang tahun ke 80 tahun Prof. Dr. Bagir Manan, guru besar FH UNPAD yang juga telah bergabung menjadi pengajar di FH UII sejak 30 tahun lalu. Prof. Bagir Manan dalam sambutannya menyampaikan bahwa peran hakim dalam pembangunan hukum dipengaruhi oleh proses pembelajaran di kampus. Acara yang diadakan secara langsung pada media zoom ini turut mengundang narasumber-narasumber yang ahli di bidangnya yaitu Dr. I Dewa Gede Palguna, S.H., M.Hum, dosen FH Udayana Bali, Prof. Dr. Ni’matul Huda, S.H., M.Hum , Guru besar FH UII, dan Prof. Simon Butt, BA., LL.B, Ph. D., Dosen University of Sydney Australia .

Menurut Dr. I Dewa Gede Palguna, S.H., M.Hum., Indonesia sangat dipengaruhi oleh Civil Law, sehingga lebih bergantung pada undang-undang yang dimana dasar pemikirannya yaitu menjamin kepastian hukum,  sehingga timbul istilah “hakim adalah hukum yang berbicara sedangkan UU adalah hakim yang diam.” Beliau juga menegaskan bahwa praktik di Indonesia lebih menggunakan praktik penalaran berdasarkan peraturan perundang undangan dan kurang mengembangkan penalaran berdasarkan asas yang ada.

Tidak hanya Dr. I Dewa Gede Palguna, S.H., M.Hum.,  Prof. Dr. Ni’matul Huda, S.H., M.Hum sebagai narasumber juga ikut berpendapat bahwa problematika dalam tindak lanjut putusan Mahkamah K0nstitusi (MK)  adalah pada political will oleh DPR dan Presiden. Menurutnya keduanya tidak menindaklanjuti atau malah membuat lagi aturan yang telah diputus inkonstitusional oleh MK.  Beliau mengungkapkan bahwa  tingkat kepatuhan terhadap putusan MK belum maksimal, salah satu contohnya Mahkamah Agung (MA)  yang tidak mau mengikuti MK dengan alasan mengikuti yurisprudensi.

“Meskipun hakim dalam common law dapat membentuk hukum, namun faktanya kebanyakan hakim terikat pada asas preseden/staredecisis, sedangkan dalam banyak hukum adat  tidak memiliki hukum tertulis dan database putusan/dokumentasi yang memadahi seperti common law system.” ucap Prof. Simon Butt, BA., LL.B, Ph. D.

Program Studi Hukum Program Doktor FH UII menyelenggarakan ujian terbuka disertasi (promosi doktor) dengan promovendus Asriadi Zainuddin, S.H.I, M.H (21/8). Promovendus Asriadi Zainuddin yang dalam kesehariannya menjadi dosen di Fakultas Syariah Institut Agama Islam Negeri Sultan Amai Gorontalo, merupakan salah satu penerima beasiswa Program Beasiswa 5.000 Doktor Kementerian Agama RI pada Tahun 2017.

Ujian terbuka disertasi yang berlangsung secara offline dan disiarkan secara online melalui Zoom dan youtube ini dibuka dan dipimpin langsung oleh Rektor UII Prof. Fathul Wahid, S.T., M.Sc, Ph.D selaku Ketua Sidang di damping segenap Dewan Penguji lainnya yaitu Prof. Dr. Abdul Ghofur Anshori, S.H., M.H., (Promotor), Dr. Abdul Jamil, S.H., M.H. (Co-Promotor/Dekan FH UII), Prof. Jawahir Thontowi, S.H, P.hD (Kaprodi), Prof. Dr. Khoirruddin Nasution, M.A., Prof. Dr. Amir Mu’allim, M.IS., Prof. Drs. Ratno Lukito, M.A. DCL., dan Drs. Agus Triyanta, M.A., M.H., Ph.D.

Dalam pemaparannya, promovendus mengangkat judul disertasi : “Rekonstruksi Sistem Pencatatan Perkawinan dalam Upaya Pembaruan Hukum Perkawinan di Indonesia Studi Masyarakat Islam di Kota Makassar”. Hal yang melatarbelakangi promovendus mengangkat judul tersebut adalah adanya permasalahan implementasi pencatatan perkawinan di kota Makassar sebagaimana yang diamanahkan dalam Undang-Undang Perkawinan.

Hasil dari sidang tersebut, promovendus dinyatakan lulus dengan Indeks Prestasi Komulatif IPK 3,79 dengan predikat Cumloude. Hasil tersebut disampaikan oleh Rektor UII selaku ketua Sidang. “Atas nama Universitas Islam Indonesia, saya mengucapkan selamat pada Dr. Asriadi Zainuddin atas pencapaiannya. Dapat menyelesaikan program doktor kurang dari empat tahun. Mudah-mudahan dapat menginspirasi yang lain” ucapan selamat dari Rektor UII.

Penulis: M. Syafi’ie, S.H., M.H.

Dosen Fakultas Hukum Universitas Islam Indonesia (FH UII), Departemen Hukum Tata Negara

 

Suatu saat penulis bertanya kepada seorang guru, dimana posisi hukum dalam agama Islam? Beliau menjawab bahwa hukum merupakan bagian dari Islam. Ajaran hukum lebih kecil dibanding dengan ajaran Islam yang luas antara lain  terkait aqidah, akhlaq, dan ilmu pengetahuan. Sedangkan hukum umumnya dikaitkan dengan ibadah dan muamalah yang menjadi domain fiqh.

Muhammad Adnan mengatakan, agama diterjemahkan dari bahasa Arab Ad-Din, Asy-syari’ah at-Thoriqoh, dan Millah yang diartikan sebagai peraturan dari Allah untuk manusia berakal, untuk mencari keyakinan, mencapai jalan bahagia lahir bathin, dunia akhirat, bersandar kepada wahyu-wahyu ilahi yang terhimpun dalam Kitab Suci yang diterima oleh Nabi Muhammad.

Islam menurut A. Gaffar Ismail ialah nama agama yang dibawa oleh Nabi Muhammad yang berisi kelengkapan dari pelajaran-pelejaran yang meliputi : (a) kepercayaan; (b) seremoni-peribadahan; (c) tata tertib kehidupan pribadi; (d) tata tertib pergaulan hidup; (e) peraturan-peraturan Tuhan; (f) bangunan budi pekerti yang utama, dan menjelaskan rahasia kehidupan yang akhirat.

Hukum sendiri berasal dari bahasa arab hakama-yahkumu-hukman (masdar) yang dalam Kamus Arab-Indonesia Mahmud Junus diartikan dengan menghukum dan memerintah. Hukum juga diartikan dengan memutuskan, menetapkan, dan menyelesaikan setiap permasalahan. Menurut Muhammad Daud Ali, hukum dapat dimaknai dengan norma, kaidah, ukuran, tolak ukur, pedoman yang digunakan untuk menilai dan melihat tingkah laku manusia dengan lingkungan sekitarnya.

Dalam ushul fiqh, hukum syar’i diartikan dengan khitab (kalam) Allah yang berkaitan dengan semua perbuatan mukallaf, baik berupa iqtidha’ (perintah, larangan, anjuran untuk melakukan atau meninggalkan), takhyir (memilih antara melakukan dan tidak melakukan), atau wadh’i (ketentuan yang menetapkan sesuatu sebagai sebab, syarat, atau penghalang/mani’)

Maksud dari khitabullah ialah semua bentuk dalil-dalil hukum yang bersumber dari Qur’an, Sunnah serta ijma’ dan qiyas. Menurut Abdul Wahab Khalaf, yang dimaksud dengan dengan dalil hanya Qur’an dan Sunnah, sedangkan ijma’ dan qiyas merupakan upaya ijtihadi untuk menyingkap hukum dari Qur’an dan Sunnah. Kita tahu, ada banyak metode ijtihad untuk menggali hukum syar’i, antara lain : qiyas, istihsan, maslahah mursalah, istishab, al-‘adah, dan fathu ad-dzari’ah dan sadd al-dzari’ah.

Hukum Islam secara umum dapat dibagi menjadi dua, pertama, hukum taklifi yang terdiri dari al-wujub (wajib), an-nadbu (sunnat), al-ibahah (mubah), al-karoheh (makruh), dan al-haromah (haram). Contohnya, wajib puasa bulan Romadhan, haramnya minum khamar, mubahnya makan minum, serta makruhnya merokok. Kedua, hukum wadh’iy yang didalamnya ada sebab, syarat, mani’, sah-batal, rukhsoh-‘azimah. Contohnya, waktu matahari tergelincir di tengah hari menjadi sebab wajibnya seorang mukallaf menunaikan sholat dzuhur, wudhu’ menjadi syarat sahnya sholat, haid menjadi penghalang (mani’) seorang perempuan melakukan kewajiban sholat atau puasa.

Pemikiran di atas memperlihatkan bahwa ada perbedaan antara Islam sebagai agama, dan hukum sebagai bagian dari agama Islam. Perbedaan tersebut sangat kecil, karena itu ada tiga konsep yang wajib diketahui dan dipahami oleh seorang muslim, yaitu syari’ah, fiqh, dan qonun. Mengetahui ketiganya akan mengantarkan kepada seorang muslim untuk mengerti mana wilayah yang tidak mungkin berubah dan tunggal, serta mana wilayah yang bisa berubah dan berbeda-beda tafsirnya.

Menurut Hasbi As-Shiddieqy, syariat berarti jalan tempat keluarnya sumber mata air atau jalan yang dilalui air terjun yang diasosiakan oleh orang Arab sebagai at-thhariqah al-mustaqimah. Secara terminologi, syariat berarti tata aturan atau hukum-hukum yang disyariatkan Allah kepada hamba-Nya untuk diikuti (Qs. Al-Jasiyah : 18). Fiqh menurut Fathurrman Djamil ialah dugaan kuat yang dicapai oleh seorang mujtahid dalam usahanya menemukan hukum Allah. Fiqh memiliki keterkaitan dengan hukum-hukum syara’ yang bersifat praktis yang bersumber pada dalil-dalil yang terperinci. Sedangkan qonun biasa diartikan dengan Undang-Undang. Ulama’ salaf mendefinisikannya sebagai kaidah-kaidah yang bersifat kully (menyeluruh) yang didalamnya tercakup hukum-hukum juz’iyyah (bagian-bagiannya). Qonun umumnya dibuat oleh pemerintah yang berkuasa.

Syari’ah, fiqh dan qonun berbeda. Ajaran syari’at tedapat dalam Qur’an dan hadist yang tidak mungkin berubah teksnya, bersifat fundamental, abadi karena merupakan ketetapan Allah dan Nabi Muhammad, tunggal yang meperlihatkan konsep kesatuan Islam. Sedangkan fiqh dan qonun merupakan produk pemahaman manusia yang menggali hukum dalam Qur’an dan hadist, bersifat instrumental, mengalami perubahan sesuai waktu, zaman serta keadaan. Realitasnya seperti yang kita ketahui saat ini, dimana produk hukum fiqh dan qonun cenderung berbeda-beda sesuai madzhab yang sangat beragam. Kita bisa lihat perbedaan-perbedaan tersebut dalam kitab-kitab fiqh perbandingan.

Uraian di atas memperlihatkan kepada kita bahwa saat kita memeluk agama Islam kita satu, syariatnya tunggal yaitu Al-Qur’an dan Hadist, tetapi saat bersamaan kita umumnya mengikuti ‘hukum’ atau ‘qonun’ madzhab tertentu, disitulah beberapa praktik keagamaan umat Islam berbeda-beda. Dalam konteks ini, biar tidak kagetan dan apalagi sampai mengkafirkan, umat Islam dituntut untuk belajar ilmu-llmu yang menjadi basis hukum dalam Islam seperti ilmu Ushul Fiqh, Qowaidul Fiqh, Perbadingan Madzhab, Maqosid Syari’ah, Ulumul Qur’an, Ulumul Hadist, Ulumul al- Tafsir, dan Ilmu Mantiq (Logika).

 

Tulisan ini telah dimuat dalam UII News edisi Maret 2021.

 Oleh: Budi Agus Riswandi [2]

Pendahuluan

            Lahirnya UU No. 28 Tahun 2014 tentang Hak Cipta yang menggantikan UU No. 19 Tahun 2002 tentang Hak Cipta telah melahirkan harapan baru bagi para penulis buku terkait dengan manfaat hukum dan ekonomi yang akan diperoleh.[3] Adapun manfaat hukum, yakni berupa perlindungan hak cipta yang lebih efektif[4], sedangkan manfaat ekonomi berupa terbukanya peluang untuk mengeksploitasi nilai ekonomi yang ada di dalam ciptaan buku yang dilindungi hak cipta.[5]

Namun demikian, agar harapan penulis buku ini dapat diwujudkan, maka kehadiran UU No. 28 Tahun 2014 saja belum cukup, namun harus didukung dengan pemahaman dan kemampuan para penulis buku berkenaan dengan siklus tata kelola hak cipta (buku). Siklus tata kelola hak cipta (buku) sendiri kalau dilihat dari perspektif penulis bertumpu pada tiga aspek utama, yaitu; kreatifitas, eksklusifitas dan insentif.

 

 

Siklus Tata Kelola Hak Cipta Buku

            Hak cipta adalah hak eksklusif pencipta yang timbul secara otomatis berdasarkan prinsip deklaratif setelah suatu ciptaan diwujudkan dalam bentuk nyata tanpa mengurangi pembatasan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan[6], hak cipta sendiri merupakan hak kebendaan yang sifatnya tidak berwujud[7] (intangible assets). Oleh karena hak cipta dapat dimakna sebagai hak kebendaan yang sifatnya tidak berwujud, maka tidak mengherankan apabila hak cipta diperlukan untuk dikelola[8]. Dari sini tata kelola hak cipta menjadi sangat penting. Tata kelola hak cipta sendiri bertumpu pada tiga aspek, yakni kreativitas, eksklusivitas dan insentif atas karya. Ketiga aspek ini dalam hubungannya terjadi dalam bentuk siklus. Siklus tata kelola hak cipta dimulai dari kreativitas, eksklusivitas dan insentif atas karya.

Kreativitas karya adalah siklus pertama dalam tata kelola hak cipta. Kreativitas karya adalah suatu karya yang memiliki tingkat orisinalitas tertentu. Sebagaimana diketahui, orisinalitas terkait dengan benarkah si pencipta membuat karya tersebut.[9] Maka dalam konteks ini, menilai suatu karya itu orisinal atau tidak sangat tergantung dengan kebenaran dari para pencipta membuat karya tersebut. Ada dua kemungkinan dalam menetapkan suatu karya orisinal atau tidak. Pertama, jika para pencipta memiliki bukti yang kuat telah membuat karya, maka karya tersebut orisinal; dan Kedua, jika beberapa pencipta memiliki bukti kuat dan beberapa pencipta tidak memiliki bukti kuat, maka beberapa pencipta yang tidak memiliki bukti kuat karyanya akan dianggap tidak orisinal.

Dari pemahaman ini, maka untuk yang penetapan pertama, hal tersebut hanya akan berakibat kepada tinggi dan rendahnya kreativitas. Apabila perwujudannya beda sama sekali, maka karya tersebut akan dianggap tinggi kreativitas, tetapi apabila perwujudannya sama, maka karya tersebut akan dianggap rendah kreativitas. Sementara itu, apabila beberapa pencipta tidak memiliki bukti kuat, maka hal tersebut akan berakibat pada pelanggaran hak cipta atas suatu karya.

Siklus kedua dari tata kelola hak cipta yaitu eksklusivitas karya. Eksklusivitas karya adalah suatu karya diciptakan dan telah memenuhi persyaratan fiksasi, orisinalitas dan kreativitas dan terdapat di lapangan ilmu pengetahuan, seni dan sastra, maka secara otomatically melahirkan hak cipta. Dengan lahirnya hak cipta, maka melahirkan hak eksklusif. Hak eksklusif ini memuat dua macam hak, yakni; hak moral dan hak ekonomi. Hak moral adalah hak yang melekat pada diri si pencipta, sedangkan hak ekonomi adalah hak untuk mengambil manfaat ekonomi dari karya yang dilindungi hak cipta. Dalam hal penggunan hak cipta ini, maka tidak boleh pihak lain menggunakan hak cipta tersebut baik tanpa izin atau melawan hokum. Dari situasi ini, maka nilai eksklusivitas dari suatu karya dapat diwujudkan.

Sementara itu, insentif karya merupakan konsekuensi dari karya yang mengandung unsur kreativitas dan eksklusivitas. [10]  Insentif sendiri dapat berupa nilai ekonomi. Nilai ekonomi ini dapat diwujudkan dalam bentuk uang. Lazimnya, suatu karya yang dilindungi hak cipta dapat diambil insentifnya apabila dilakukan dengan cara dilisensikan atau diperjualbelikan.[11] Dari adanya kegiatan lisensi atau jual beli karya yang dilindungi hak cipta, maka akan menghasilkan nilai ekonomi berupa uang. Di sinilah letak dari insentif atas suatu karya yang mengandung unsure kreativitas dan eksklusivitas.

Setelah memahami siklus tata kelola hak cipta, maka karya buku-pun merupakan karya yang harus didekati dengan siklus tata kelola hak cipta.[12] Sebagaimana diketahui karya buku pada dasarnya memuat hak cipta. Oleh karena itu, buku tersebut harusnya dapat diperlakuan juga siklus tata kelola hak cipta. Siklus tata kelola hak cipta buku dapat mengacu kepada uraian di atas.

 

Implikasi Tata Kelola Hak Cipta (Buku)

Melihat pada siklus tata kelola hak cipta buku, maka tata kelola ini pada dasarnya sangat penting untuk menjamin keberlanjutkan atas munculnya karya-karya buku. Di samping itu, siklus tata kelola hak cipta buku jika diimplementasikan oleh para penulis buku dapat berimplikasi kepada  moral, hokum, ekonomi dan sosial.

Siklus tata kelola hak cipta buku dapat berimplikasi pertama pada moral dapat dilihat dengan memperhatikan pentingnya membuat karya buku yang didasarkan pada nilai-nilai orisinalitas. Dengan memperhatikan nilai orisinalitas, maka karya buku yang dihasilkan dapat terhindar dari segi tindakan plagiarism. Tindakan plagiarism sendiri hakekatnya suatu perbuatan yang secara moral terlarang. Oleh karenanya, siklus tata kelola hak cipta buku pada akhirnya dapat berimplikasi pada moral dari penulis.

Implikasi kedua dari siklus tata kelola hak cipta buku berimplikasi pada hukum. Dengan diterapkannya siklus tata kelola hak cipta buku, — di mana salah satunya memperhatikan soal eksklusivitas karya, maka hal ini tentunya akan berdampak pada perlindungan hokum atas karya buku yang efektif. Bagaimanapun, eksklusivitas karya menegaskan kepada orang lain bahwa karya tersebut tidak boleh digunakan oleh pihak-pihak lain baik tanpa izin atau melawan hokum.

Implikasi ekonomi merupakan implikasi berikutnya dari siklus tata kelola hak cipta buku. Sebagaimana diketahui, buku merupakan karya yang dapat dieksploitasi secara ekonomi melalui penggandaan, pengumuman, dan pengadaptasian.[13] Dengan karya buku dieksploitasi secara ekonomi, maka manfaat ekonomi akan dapat dihasilkan oleh penulis. Manfaat ekonomi yang dapat diperoleh dalam bentuk uang pada akhirnya diharapkan dapat mensejahterakan kondisi ekonomi dari penulis itu sendiri.

Implikasi yang lain dari siklus tata kelola hak cipta buku berupa implikasi sosial. Siklus tata kelola hak cipta buku apabila ditelusuri lebih jauh, hal ini juga akan berimplikasi pada hubungan antara penulis dan pihak-pihak terkait/ pemangku kepentingan lainnya. Dengan adanya hubungan yang baik antara penulis dengan pemangku kepentingan, maka secara sosial siklus tata kelola hak cipta buku telah menyuguhkan implikias sosial.

 

Kesimpulan

Siklus tata kelola hak cipta buku memuat aspek kreativitas, eksklusivitas dan insentif. Tiap aspek ini saling berhubungan satu dengan lainnya. Apabila siklus tata kelola hak cipta buku diimplementasikan, maka aka nada proses berkelanjutan dari buku itu sendiri. Implikasi dari siklus tata kelola hak cipta buku berupa implikasi moral, hokum, ekonomi dan sosial.

 

Daftar Pustaka

Arthur R Miller dan Michael H Davis, Intellectual Property Patent, Trademarks, and copyright, St. Paul Minnesota: West Publishing Companym 1984.

David Brainbridge, Intellectual Property, England: Pitman Publishing, 1999.

M Hawin dan Budi Agus Riswandi, Isu-Isu Penting Hak Kekayaan Intelektual di Indonesia, Yogyakarta: Gadjah Mada University Press, 2017.

Robert C. Megantz, How to License Technology, Singapore: John Wiley & Sons, INC, 1996.

Simon Stokes, Digital Copyright Law and Practice, London : Butterworths, 2002.

Yusron Isnaeni, Hak Cipta dan Tantangannya di Era Cyberspace, Jakarta: Ghalia Indonesia, 2009.

UU No. 28 Tahun 2014 tentang Hak Cipta

UU No. 19 Tahun 2002 tentang Hk Cipta

 

[1] Disampaikan dalam Seminar Nasional dengan Tema Sistem Pemungutan Royalti di Bidang Literasi yang diselenggarakan oleh Badan Ekonomi Kreatif Republik Indonesia, Hotel Tentrem, Selasa 27 Maret 2018.

[2] Dosen Fakultas Hukum Universitas Islam Indonesia Yogyakarta dan Ketua Umum Asosiasi Sentra Kekayaan Intelektual Indonesia (ASKII)

[3] Salah satu aturan hak cipta yang tertuang di dalam UU No. 28 Tahun 2014 tentang Hak Cipta yang sifatnya memberikan harapan baru dalam bentuk harapan hokum dan ekonomi terkait dengan pengaturan Lembaga Manajemen Kolektif (LMK). Di dalam UU No. 28 Tahun 2014, masalah LMK telah mendapatkan pengaturan secara detail dan lebih jelas daripada yang diatur di dalam UU No. 19 Tahun 2002.

[4] Aspek yang dilindungi dari hak cipta berupa hak moral dan hak ekonomi. Hak moral adalah hak yang melekat pada diri pencipta berupa hak paternity dan integrity, sedangkan hak ekonomi adalah hak untuk mengambil manfaatkan ekonomi dari ciptaan yang dilindungi hak cipta.

[5] David Bainbridge menyatakan:”Copyright provides a very useful and effective way of exploiting a works economically. It provides a mechanism for allocation of risks and income derived from the sale of the work. Lihat David Brainbridge, Intellectual Property, England: Pitman Publishing, 1999, hlm. 36.

[6] Pasal 1 angka 1 UU No. 28 Tahun 2014 tentang Hak Cipta

[7] Pasal 16 ayat (1) UU No. 28 Tahun 2014 tentang Hak Cipta

[8] Pengelolaan hak cipta merupakan bagian yang tidak terpisah dari ilmu mengenai manajemen kekayaan intelektual.

[9] Arthur R Miller dan Michael H Davis menyatakan:”Originality does not imply novelty, it only implies that copyright claimant did not copy from someone else.” Lihat Arthur R Miller dan Michael H Davis, Intellectual Property Patent, Trademarks, and copyright, St. Paul Minnesota: West Publishing Companym 1984, hlm. 289.

[10] Gagasan ini merujuk pada teori perlindungan hak cipta yang dikenal dengan insentive theory. Menurut insentive theory bahwa perlindungan hak cipta merupakan insentif ekonomi yang diberikan kepada pencipta dalam rangka mendorong pencipta untuk dapat menginvestasikan waktu, usaha, keahlian dan segala sumber daya yang dimilikinya untuk proses membuat suatu kreativitas. Budi Agus Riswandi, “Catatan Pengaturan Manajemen Informasi Hak Cipta, Informasi elektronik Hak Cipta dan Sarana Kontrol Teknologi di dalam UU No. 28 Tahun 2014,” dalam M Hawin dan Budi Agus Riswandi, Isu-Isu Penting Hak Kekayaan Intelektual di Indonesia, Yogyakarta: Gadjah Mada University Press, 2017, hlm. 125.

[11] Mengeksploitasi kekayaan intelektual secara ekonomi termasuk hak cipta dapat dilakukan dengan cara new venture, acquisition, joint venture, licesing, strategic alliance dan sale. Robert C. Megantz, How to License Technology, Singapore: John Wiley & Sons, INC, 1996, hlm. 1-3.

[12] Karya buku yang dilindungi oleh hak cipta pada dasarnya berupa ekspresi ide dari karya sastra, di mana dapat berupa karya ilmiah, puisi, gambar, legenda dan sebagainya. Karya sastra yang dituangkan ke dalam bentuk buku termasuk yang dilindungi hak cipta. Namun demikian, karya-karya lain yang dilindungi hak cipta tidak hanya berupa karya sastra, tetapi karya dalam bidang seni dan ilmu pengetahuan termasuk dilindungi hak cipta juga. Di Inggris karya yang dilindungi hak cipta berdasarkan the Copyright, Designs and Patent Act 1988 (CDPA) terdiri dari: orginal literary works; original dramatic works; original artistic works; sound recordings, film, broadcasts and cable programmes; and the typographical arrangement of published edition. Lihat Simon Stokes, Digital Copyright Law and Practice, London : Butterworths, 2002, hlm. 24

[13] Mekanisme ini dikenal dengan eksploitasi hak-hak pencipta. Beberapa hak pencipta yang dapat ditarik keuntungan ekonominya berupa: hak reproduksi, hak adaptasi, hak distribusi, hak pertunjukan, hak penyiaran, hak program kabel, droit de suite, dan hak pinjam masyarakat. Lihat penjelasan lebih detail dalam Yusron Isnaeni, Hak Cipta dan Tantangannya di Era Cyberspace, Jakarta: Ghalia Indonesia, 2009, hlm. 20-21.

Pemerintah beranggapan bahwa tahun 2017 merupakan masa keemasan riset Indonesia. Faktor yang mendorong anggapan tersebut karena pemerintah satu tahun yang lalu telah menerbitkan PMK No. 106/PMK.02/2016 mengenai riset berbasis standar biaya  luaran, di mana hal ini merupakan strategi riset baru yang berbeda dengan strategi riset sebeumnya. Lalu pertanyaannya, apakah benar strategi riset baru ini dapat mendorong masa keemasan riset Indonesia?

Strategi Luaran

Semenjak pemerintah menerbitkan PMK No. 106/PMK.02/2016, riset Indonesia telah ditetapkan strategi riset berbasis pada Standar Biaya Luaran. Artinya, riset yang dilakukan di Indonesia tidak lagi berfokus pada bentuk laporan tertib administrasi, namun lebih mengedepankan hasil berupa output. Adapun output tersebut dapat berupa jurnal, paten dan seterusnya.

Untuk menunjang strategi riset berbasis pada standar biaya luaran ini, pemerintah pada tahun 2017 juga telah mengelontorkan anggaran sebesar 1, 395 Triliun. Selain itu ada penambahan alokasi untuk Perguruan Tinggi Negeri Badan Hukum sebesar Rp 380,4 miliar dan dana pengabdian kepada masyarakat senilai 150 miliar.

Dengan adanya perubahan strategi riset yang dilakukan ini, maka sebenarnya riset di Indonesia, baik yang dilakukan oleh perguruan tinggi atau lembaga penelitian lainnya diharapkan ke depan dapat mendorong penguasaan dan pemanfaatan ilmu pengetahan dan teknologi untuk dapat memecahkan problem-problem sosial atau teknologi yang ada di masyarakat. Ujungnya, bangsa Indonesia dapat mencapai kemajuan dan daya saing yang tinggi melalui hasil-hasil risetnya.

Riset yang Tidak Berstrategi

Pasca diterbitkannya PMK dan melihat kepada praktek riset di perguruan tinggi atau lembaga penelitian, maka dapat ditemukan bahwa riset di Indonesia memiliki tiga strategi luaran yang diharapkan, yakni; Pertama, riset yang diperlakukan oleh PT dan lembaga penelitian tersebut strategi luarannya hasil riset berupa publikasi internasional atau konfrensi internasional; Kedua, riset yang diperlakukan oleh PT dan lembaga penelitian tersebut strategi luarannya hasil riset berupa kekayaan intelektual yang dimanfaatkan oleh masyarkat, di mana peneliti atau PT dan lembaga penelitian yang melakukan hal tersebut; dan Ketiga, riset yang diperlakukan oleh PT dan lembaga penelitian tersebut strategi luarannya hasil riset berupa kekayaan intelektual yang dimanfaatkan oleh masyarakat melalui peran sentra kekayaan intelektual.

Dari ketiga strategi riset ini dalam praktek, nampaknya pemerintah atau PT dan Lembaga penelitian lebih cenderung mendorong strategi luaran hasil riset itu berupa publikasi internasional. Bahkan tidak tanggung-tanggung pemerintah dalam hal usulan penelitian yang didanai oleh pemerintah “mewajibkan” agar riset tersebut luarannya berupa jurnal internasional. Sejalan dengan itu, soal kenaikan jabatan guru besar pun, pemerintah nampaknya kuat sekali menentukan kebijakannya dengan cara “mewajibkan” agar dosen yang memiliki niat untuk menjadi guru besar harus memiliki jurnal internasional terindeks scopus. 

Dengan adanya strategi pemerintah tersebut, konsekuensinya hasil riset hanya dapat dinikmati oleh pemerintah dan sesama peneliti. Betapa tidak, hasil riset yang dipublikasikan melalui jurnal internasional sebenarnya dinikmati pemerintah untuk “mencitrakan” bahwa Negara sudah mampu mendorong kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi, sedangkan dinikmati oleh sesama peneliti dimana hasil riset itu hanya diperlakukan dalam rangka sitasi atar sesama peneliti.

Di samping tidak banyak pihak yang dapat menikmati hasil riset dengan strategi luaran jurnal internasional,  ternyata strategi ini memiliki beberapa kelemahan, yakni; Pertama, sadar atau tidak dengan hanya mendorong riset melalui strategi luaran jurnal internasional, maka sesungguhnya peneliti Indonesia sedang didorong untuk ”obral” hasil-hasil riset mereka, tanpa difikirkan sisi proteksi hasil risetnya itu sendiri; dan Kedua, sadar atau tidak riset melalui strategi luaran berupa jurnal internasional sesungguhnya peneliti sedang dijauhkan untuk memecahkan problem-problem riil sosial dan teknologi yang dihadapi oleh masyarakat. Dari semua ini, maka wajar dikatakan apabila riset yang didorong oleh pemerintah hakekatnya tidak memiliki strategi yang efektif untuk memajukan bangsa secara keseluruhan. Singkatnya, masa keemasan riset Indonesia hanya akan menjadi angan-angan belaka.

 

Strategi Peran Sentra Kekayaan Intelektual

Melihat atas beberapa kelemahan dari strategi riset Indonesia di atas, maka hal ini harusnya mendorong pemerintah untuk meninjau ulang strategi riset yang dilakukan selama ini. Pemerintah harusnya mulai memikirkan strategi yang komprehensif, di mana riset yang dilakukan harus didorong mampu memberikan manfaat baik kepada peneliti, industry, masyarakat dan negara secara keseluruhan.

Untuk maskud ini, maka riset dengan menggunakan strategi luaran hasil riset berupa kekayaan intelektual melalui peran sentra kekayaan intelektual dapat menjadi pilihan strategis. Adapun nilai strategisnya, yakni; Pertama, hasil riset PT/lembaga penelitian akan mendapatkan proteksi yang efektif dan efesien; Kedua,  hasil riset dapat dilakukan hilirasi melalui penanganan yang professional melalui peran sentra kekayaan intelektual; Ketiga, hasil riset tidak akan terhambat untuk tetap dapat dilakukan publikasi internasional; dan Keempat, hasil riset dapat mengangkat citra Negara baik dari sisi publikasi internasional maupun kekayaan intelektual lainnya, semisal paten.

Sesungguhnya, pilihan pemerintah untuk mendorong strategi luaran hasil riset seperti ini sudah ada embrionya. Hal ini setidaknya dapat dilihat dari kebijakan pemerintah yang tertuang di dalam Pasal 13 ayat (2) dan (3) UU No. 18 Tahun 2002. Intinya dari ketentuan tersebut adalah; Pertama, hasil riset harus disebarluaskan dan dilindungi kekayaan intelektualnya; Kedua, hasil riset harus dikelola melalui sentra kekayaan intelektual. Oleh karena itu, pemerintah dalam konteks ini hanya perlu lebih serius mengembangkan strategi ini apabila hasil riset di Indonesia diharapkan dapat memajukan dan meningkatkan daya saing bangsa. Dari strategi ini harapan masa keemasan riset tentunya ada dihadapan mata kita. Wallahu’alam bis shawab.

 

Dr. Budi Agus Riswandi, S.H.,M.Hum

Direktur Pusat Hak Kekayaan Intelektual

Fakultas Hukum Universitas Islam Indonesia

Yogyakarta dan Ketua Umum Asosiasi Sentra

Kekayaan Intelektual Indonesia (ASKII)

 

The Indonesian government has implemented the replacement of Law No. 14 of 2001 concerning Patent to become Law no. 13 of 2016 on Patents since one year ago. The substitution of this law is an effort of a preference approach to the National interests of Indonesia without violating international principles. From this replacement of this law, the Law no. 13 of 2016 focus on the regulation in a way how Indonesia can be more real in implementing technology transfer activities among parties within the country including foreign parties and domestic and vice versa. With the transfer of technology, it is expected thatthe acceleration of the nation’s competitiveness can be realized soon.

 

Transfer of Technology Policy in Indonesia

 

Indonesia is a country that currently has not optimally encouraged the development of technology towards the improvement of the mastery and utilization of technology. This in turn has an impact on Indonesia’s weak competitiveness. This can be seen from the 2017 Global Innovation Index report. Indonesia’s innovation ranking is in position 87 of 127 countries. In ASEAN region, Indonesia’s position is far below Malaysia which is in position 37 and Vietnam at rank 47. Based on Global Competitiveness Index data from World Economic Forum 2016-2017, Indonesia ranked 41st from 138 countries with pillar of innovation ranked 31, in subpillar innovation capacity Indonesia ranked 32nd, while in subpillar of high-tech government spending Indonesia ranked 12th, and the Indonesia rank for international patent subpillar was 99th.

 

From the data above, shows the development of Indonesian technology has not shown the encouraging condition. As for many causes, for instanse, the matter on transfer of technology policy in Indonesia has not real and progressive. Some policies have been used as a legal basis to encourage transfer of technology, such as; the Law no. 25 Year 2007 regarding Investment and the Law no. 18 of 2002 on National System of Research, Development and Application of Science and Technology. In Article 10 paragraph (4) of Law no. 25 Year 2007 states: “Investment companies employing foreign workers are required to conduct training and transfer of technology to Indonesian citizens in accordance with the provisions of applicable legislation.” Furthermore, in Article 16 paragraph (1) of Law no. 18 Year 2002 states: Universities and R & D institutions shall seek the transfer of intellectual property technology and the results of research and development activities, fully or partially funded by the government and / or local governments to enterprises, governments or the public to the extent not incompatible with public order and regulation.”

 

Looking at the two policies mentioned above, the government actually has a “political will” to require the implementation of transfer of technology in order to encourage the parties to master the technology either from abroad or domestic. However, those transfer of technology policiesapparantly have two weaknesses; First, the notion of technology in transfer of technology tends to have unclear meaning and seems to cover broad meaning. Therefore, the meaning of technology can be interpreted obsolete technology, current or certain period of time. Supposed the meaning of technology is interpreted as obsolete technology, thusit will be very detrimental to the National interests of the Indonesian. The Indonesian nation, therefore, will not be able to realize its competitiveness through the role of technology; and Secondly, although the transfer of technology policiescover the legal obligation, it turns out that the legal obligation is not followed by sanction or it can be said as “toothless tiger”. When the parties are expected to do transfer technology, but the fact they ignore it, it seems the policies have lack of legal enforcement. This is likely to create “not-serious condition” in implementation of transfer of technology policies for the parties who mastered the technology in Indonesia.

 

Patent Law: The Breakthrough for Transfer of Technology Policy

Recognizing that transfer of technology policy in Indonesia has not been able to encourage the process of control and use of technology, therefore the government of Indonesia took another breakthroughin 2016, by accommodatingthe transfer of technology policy in Law no. 13 of 2016 on Patents. The provision of Article 20 and Article 132 of Law no. 13 Year 2016 are a proof of a very progressive breakthrough in driving the realization process of transfer of technology in Indonesia. Article 20 states: (1). “The patent holder is obligated to manufacture the product or use the process in Indonesia.” (2). Making the product or using the process referred to in paragraph (1) shall support the transfer of technology, the absorption of investment and / or the provision of employment.”Meanwhile, Article 132 paragraph (1) letter e and (4) of Law no. 13 of 2016 states: “(1). The abolishment of a patent based on a court decision as referred to in Article 130 letter b is performed if: … e. the patent holder violates the provisions referred to in Article 20.” While the paragraph (4) rules that The lawsuit for deletion as referred to in paragraph (1) letter d and e is filed by a prosecutor or other party representing the national interest to the patent holder or licensee shall be obliged to the Commercial Court.

On the basis of the provisions of Article 20 and Article 132, the commitment and the government’s willingness for the transfer of technology in Indonesia has been expressed very strong and progressive. Perhaps it can be seen from the substance of the articles that link patent provisions and transfer of technology, which the articles do not encourage the obligation of transfer of technology, but the impulse is also accompanied by the threat of sanctions to the parties who have no political will to do transfer of technology. The sanction given is not half-hearted which is the removal of the patent itself as a form of control over the exclusivity of the invention held by the patent holder.

 

Idealization of Government Attitudes

The presence of government breakthrough to push transfer of technology through adoption of its policy in Article 20 and Article 132 Law No. 13 Year 2016 apparently has caused a pro and contra reaction. The reaction have been counterproductive especially from the patent holders from abroad who in fact were the investor. This counter-foreign attitude has not only been done by investors but also involved their leaders. The reason was that the provisions of Article 20 and Article 132 of Law no. 13 Year 2016 is considered as an obstacle to the investment they have, are and will do.

With the persistence of foreign pressure to the government concerning the provisions of Article 20 and Article 132 of Law no. 13 Year 2016, the government seems to experience “chaos” commitment. This disorder can be seen that the government has responded the foreign pressure at the beginning by planning the drafting of Government Regulation (RPP). However, along with the development of time, the the plan has been shifted into a plan to amend Article 20 and Article 132 Law no. 13 of 2016.

The government attitude as explained above seems to be very apprehensive. The the government indeed should have independence in policy making, nevertheless it is shaken by the insistence of foreign parties because it is considered to inhibit their investment. Supposedly, if the government is objective, then before making amendments to Article 20 and Article 132, it is appropriate to do two things; First, the government must have objective and valid data related to transfer of technology in Indonesia. This data may be requested by the government to parties who have been considered to master of the technology, especially from foreign parties; Secondly, the government should be able to request a transfer of technology from technology rulers who can promote the competitiveness of the Indonesian nation.

 

Dr. Budi Agus Riswandi, S.H.,M.Hum

Director of Intellectual Property Rights Center

Faculty of Law UII Yogyakarta

and Chairman of the Association of Indonesian Intellectual Property Center (ASKII)

Ekonomi kreatif saat ini benar-benar sedang menjadi perhatian pemerintah. Hal ini disebabkan beberapa alasan, pertama, ekonomi kreatif diharapkan mampu menyerap tenaga kerja. Pada tahun 2007 Penyerapan tenaga kerja mencapai 5,4 juta pekerja dengan tingkat partsipasi 5,8% kedua, ekonomi kreatif diharapkan mampu mendorong pertumbuhan ekonomi. Rata-rata Kontribusi PDB Industri  Kreatif Tahun 2002-2006 berdasarkan harga konstan 2000 adalah sebesar Rp 104,6 Triliun Rupiah , yaitu 6,3% dari total nilai PDB Nasional, dan ketiga, kini pemerintah juga telah membentuk satu kementerian khusus yang disebut dengan kementerian pariwisata dan ekonomi kreatif.

Namun demikian, implikasi positif dari pengembangan ekonomi kreatif ini belumlah optimal. Hal ini disebabkan beberapa permasalahan yang dihadapi. Salah satunya berkait dengan masalah perlindungan hak kekayaan intelektual—disingkat HKI. Pertanyaannya, kenapa dengan masalah perlindungan hak kekayaan intelektual terhadap pengembangan ekonomi kreatif ini dan bagaimana mengatasi permasalahan tersebut, sehingga perlindungan HKI dapat diwujudkan?

Perlindungan HKI dalam Praktik Ekonomi Kreatif

Berbicara perlindungan HKI dalam praktek ekonomi kreatif, maka ada tiga realitas yang dapat ditemukan. Realitas tersebut adalah 1) realitas perlindungan HKI berkaitan dengan pengembangan produk kreatif dan inovatif; 2). Realitas perlindungan HKI yang berkaitan dengan sistem pendaftaran HKI, dan 3). Realitas perlindungan HKI yang berkaitan dengan penegakan hokum HKI.

Realitas perlindungan HKI yang berkaitan dengan pengembangan produk kreatif dan inovatif. Suatu produk yang dapat diberikan perlindungan HKI, maka produk tersebut haruslah kreatif dan inovatif. Suatu produk dikatakan kreatif dan inovatif dalam perspektif HKI hendaknya produk itu dapat memenuhi kriteria dari masing-masing rezim HKI. Untuk hak cipta suatu produk dikatakan kreatif dan inovatif apabila memenuhi Kriteria orisinalitas, fiksasi dan kreativitas, untuk paten, maka suatu produk dikatakan kreatif dan inovatif apabila produk tersebut memenuhi kriteria kebaruan, langkah inventif dan dapat diterapkan dalam kegiatan industri, untuk desain industri, maka kriterianya harus baru dan tidak sama dengan pengungkapan sebelumnya, dan untuk rahasia dagang kriteria yang harus dipenuhi adalah adanya upaya menjaga informasi yang bernilai ekonomi untuk tidak diketahui oleh umum. Nah, dengan melihat pada kriteria-kriteria ini, maka tegaslah produk yang dimintakan HKI sudah seharusnya produk itu kreatif dan inovatif. Namun sayangnya, saat ini masih ada para pelaku ekonomi kreatif tidak memperhatikan kriteria-kriteria ini. Alhasil, produk yang ada tidak baru bahkan merupakan tiruan/bajakan dari yang sudah ada sebelumnya.

Realitas perlindungan HKI yang berkaitan dengan sistem pendaftaran HKI berupa prosedur pendaftaran yang dianggap rumit, berbiaya “mahal” dan waktu yang cenderung tidak pasti, sehingga akhirnya tidak didaftarkan. Hal ini tentunya memperlemah perlindungan hokum dan berimplikasi pada tidak dilindunginya produk-produk ekonomi kreatif tersebut. Realitas perlindungan HKI lainnya berhubungan dengan penegakan hokum HKI. Penegakan hokum HKI hingga kini dirasa masih tebang pilih dan kurang mendapatkan penanganan yang baik dan professional. Minimnya, aparat penegak hokum yang memiliki pemahaman baik atas HKI juga menjadi realitas nyata dalam penegakan hokum HKI. Alhasil, produk-produk ekonomi kreatif yang telah terdaftar HKI-nya tidak serta merta dapat dilindungi, meskipun telah dilakukan proses hokum yang seharusnya.

Lembaga Intermediari HKI

Mencermati realitas perlindungan HKI yang lemah atas produk-produk ekonomi kreatif, maka semestinya dicarikan solusinya. Menurut hemat penulis, solusi yang dapat diambil saat ini dalam rangka meningkatkan efektifitas perlindungan HKI atas produk-produk ekonomi kreatif adalah melalui pembentukan lembaga intermediari HKI antara pelaku ekonomi kreatif dan Direktorat Jenderal HKI Kementerian Hukum dan HAM RI, di mana lembaga ini bersifat independen dan ada di bawah Kepala Daerah serta mampu bekerja secara professional. Lembaga ini juga memiliki fungsi sebagai lembaga asistensi, fasilitasi dan advokasi.

Fungsi lembaga ini sebagai lembaga asistensi ini dikaitkan dengan peranannya dalam memberikan pendampingan terhadap pelaku-pelaku ekonomi kreatif untuk senantiasa melakukan penelusuran informasi atas rencana pembuatan produk. Pendampingan akan dilakukan oleh tenaga-tenaga teknis yang professional di bidangnya. Penelusuran informasi sendiri dilakukan untuk menjawab apakah produk yang akan dibuat itu sudah orisinal atau baru? Atau sebaliknya. Apabila hal ini sudah dapat dilakukan, maka peluang produk-produk ekonomi kreatif untuk dilindungi menjadi besar. Sejalan dengan ini juga, lembaga ini akan memberikan pemahaman pada pelaku ekonomi kreatif untuk tidak membocorkan informasi terkait dengan produk mereka yang baru dibuat, apabila belum dilakukan perlindungan hokum. Dengan fungsi ini, maka perlindungan HKI yang berkaitan dengan produk kreatif dan inovatif dapat dilakukan dari sejak awal sebelum produk tersebut dilakukan pendaftaran.

Kemudian fungsi lembaga ini sebagai lembaga fasilitasi, hal ini berkaitan dengan proses pendaftaran HKI. Sebagai lembaga fasilitasi pendaftaran HKI, maka di dalamnya tentu akan tersedia tenaga teknis untuk pengurusan HKI yang benar-benar professional. Tenaga teknis ini ada dari bidang teknik, seni, teknologi informasi dan hokum/konsultan HKI. Dengan ketersediaan tenaga teknis seperti ini, maka pelayanan dalam pengurusan HKI akan dapat dilakukan secara efektif. Baik pada tahap pemberkasan, seperti; pembuatan patent drafting, design drafting, pembuatan dokumen hokum (surat pernyataan, pengisian formulir) maupun proses pendaftaran di Direktorat Jenderal HKI Kementerian Hukum dan HAM, seperti mengajukan pendaftaran, mengajukan oposisi atau mengajukan banding ke komisi banding merek. Biaya operasional untuk pengurusan HKI pun dapat diatur sedemikian rupa oleh pemerintah daerah, sehingga kemungkinan biaya pengurusan HKI yang tidak wajar dapat dihindari. Dengan penanganan pengurusan HKI yang professional serta biaya operasional yang wajar ini, maka perlindungan HKI melalui pendaftaran HKI dapat dilaksanakan.

Fungsi berikutnya lembaga ini sebagai lembaga advokasi. Untuk mendukung lembaga ini dapat memerankan fungsinya sebagai lembaga advokasi, maka lembaga ini juga akan memiliki tenaga advokat/lawyer yang tidak saja mengerti tata cara praktek hokum secara umum, tetapi mengerti juga tata cara praktek hokum HKI. Dengan adanya lembaga ini yang memiliki fungsi advokasi dan didukung oleh tenaga advokat yang profesional, maka apabila ada produk-produk ekonomi kreatif yang dilanggar HKI-nya, maka dapat dilakukan advokasi dengan baik dan harapannya perlindungan HKI dapat diwujudkan.

Pada akhirnya, dapat dipahami bahwa perlindungan HKI sebenarnya memiliki makna yang luas. Sebenarnya, perlindungan HKI tidak hanya melalui pendaftaran saja, tetapi hal itu harusnya sudah harus dimulai sejak awal pembuatan produk kreatif dan inovatif hingga produk tersebut dipasarkan. Dengan pembentukan lembaga intermediari HKI diharapkan perlindungan HKI yang luas dapat diwujudkan, sehingga ekonomi kreatif dapat berkembang dengan baik. Wallahu’alam bis Shawab.

 

                                                            Budi Agus Riswandi

Direktur Eksekutif Pusat HKI

Fakultas Hukum Universitas Islam Indonesia

 

Banyak harapan yang dimunculkan kepada sektor ekonomi kreatif dalam mendorong pertumbuhan ekonomi dan mensejahterakan masyarakat saat ini. Terlebih lagi, ketika badai krisis menimpa negara-negara di Eropa dan Amerika Serikat. Harapan atas meningkatnya peranan sektor ekonomi kreatif ini, tentu tidak cukup hanya sekedar tindakan sepihak dari pelaku ekonomi kreatif (creative economic actors), tetapi hal tersebut harus didukung juga dengan kebijakan dan penerapan yang nyata dari pemerintah kepada kepentingan ekonomi kreatif. Salah satu kebijakan dan penerapan yang saat ini sangat penting dan strategis dalam mendorong peran ekonomi kreatif dalam pertumbuhan ekonomi dan kesejahteraan masyarakat adalah penguatan kebijakan dan penerapan HKI ekonomi kreatif di kota kreatif (Creative City).

Menyoalkan Kebijakan HKI 

Hak Kekayaan Intelektual (HKI) yang selama ini dalam perspektif hukum dianggap sebagai hak (rights), dalam perspektif ekonomi HKI dapat diartikan sebagai asset, khususnya aset tidak berwujud (intangable assets). Nah, jika dilihat HKI dalam perspektif hukum, maka pengembangan kebijakan dan penerapan HKI yang dilakukan oleh Pemerintah Pusat — melalui Direktorat Jenderal HKI Kementerian Hukum dan HAM menjadi sangat logis. Akan tetapi, ketika HKI itu dimaknai sebagai asset tidak berwujud, maka pengembangan kebijakan HKI oleh Pemerintah Pusat saja menjadi tidak cukup. Dukungan kebijakan HKI yang dibuat oleh Creative City  menjadi bagian lain yang harus diperkuat.

Adapun dalam prakteknya, kebijakan HKI yang dikembangkan dalam konteks ekonomi kreatif sebagai asset tidak berwujud hingga saat ini masih dilakukan secara sentralistik oleh pemerintah pusat. Kebijakan HKI seakan-akan hanya menjadi urusan pusat, sementara Creative City tidak memiliki urusan pada bidang ini. Akibatnya muncullah berbagai persoalan HKI dalam realitasnya. Beberapa persoalan HKI yang dapat teridentifikasi adalah; Pertama, lemahnya Creative City dalam melakukan edukasi HKI. Sering terjadi overlap dalam penyampaian materi HKI yang dilakukan oleh instansi pemerintah baik pusat maupun Creative City merupakan contoh yang nyata; Kedua, lemahnya kepemilikan dokumentasi aset HKI oleh Creative City; Ketiga, lemahnya tenaga teknis Creative City dalam memfasilitasi pengurusan HKI yang berasal dari pelaku ekonomi kreatif; Keempat, ketiadaan bantuan Creative City secara nyata dalam menyelesaikan kasus-kasus pelanggaran HKI yang dialami oleh pelaku ekonomi kreatif; dan Kelima, masih minimnya aset-aset HKI yang dipromosi dan dikomersialisasikan dengan dibantu peran aktif dari Creative City.

Dari berbagai persoalan di atas, maka akibat lebih lanjut yang ditimbulkan adalah lemahnya peran ekonomi kreatif untuk mendorong pertumbuhan ekonomi dan meningkatkan kesejahteraan masyarakat di Creative City.

Kebijakan HKI bagi Creative City

Setelah melihat akibat kebijakan HKI yang sentralistik oleh Pusat dan menimbulkan persoalan dalam prakteknya, maka sudah saatnya kebijakan HKI dilakukan dengan cara mensinergikan antara kebijakan HKI di Pusat dan Creative City.  Khusus, dalam hal kebijakan HKI di Creative City harusnya diorentasikan dalam kerangka pengelolaan aset HKI dari produk ekonomi kreatif dalam kerangka meningkatkan pertumbuhan ekonomi dan kesejahteraan masyarakat di creative city—bukan pada pemberian hak.

Peluang untuk melakukan kebijakan pengelolaan aset HKI bagi produk ekonomi kreatif di Creative City sebagaimana yang dimaksud di atas sebenarnya dimungkinkan secara yuridis. Hal ini setidaknya dapat dilihat pada UU No. 32 Tahun 2004 tentang Pemerintah Daerah. Menurut ketentuan UU No. 32/2004 dinyatakan bahwa dalam menyelenggarakan otonomi, daerah mempunyai hak mengelola kekayaan daerah. Kemudian dalam UU tersebut juga dinyatakan bahwa dalam menyelenggarakan otonomi, daerah mempunyai kewajiban meningkatkan kualitas kehidupan masyarakat; dan mengembangkan sumber daya produktif di daerah.

Di samping alasan yuridis memungkinkan atas dibuatnya kebijakan pengelolaan aset HKI di Creative City, secara sosiologis juga kebutuhan atas kebijakan pengelolaan aset HKI tidak dapat dihindari. Hingga kini, realitasnya produk-produk ekonomi kreatif di Creative City dirasa  secara umum belum terakomodir atas kebutuhan perlindungan HKI dan memperoleh manfaat dari HKI itu sendiri.

Ada tiga hal yang harusnya menjadi concern dari kebijakan pengelolaan aset HKI dari produk ekonomi kreatif, yakni; Pertama, kebijakan pengelolaan aset HKI harus mampu mendorong proses penciptaan produk-produk ekonomi kreatif yang inovatif, Kedua, kebijakan pengelolaan aset HKI yang dibuat harus mampu memfasilitsi pendokumentasian, pengurusan pendaftaran dan advokasi atas aset HKI dari produk ekonomi kreatif, sehingga aset HKI dari produk ekonomi kreatif dapat dilindungi, dan Ketiga, kebijakan pengelolaan aset HKI yang dibuat harus mampu mendorong adanya kegiatan promosi  dan komersialisasi atas aset HKI dari produk ekonomi kreatif.

Di samping, kebijakan pengelolaan HKI yang meliputi tiga hal di atas, maka ketiga hal tersebut juga semestinya disinergikan satu dengan lainnya, sehingga membentuk suatu sistem pengelolaan aset HKI dari ekonomi kreatif di Creative Dity.  Pada akhirnya, melalui pembuatan kebijakan pengelolaan aset HKI dari produk ekonomi kreatif di Creative City upaya memanfaatkan aset HKI sebagai strategi untuk meningkatkan pertumbuhan ekonomi dan kesejahteraan masyarakat dapat diwujudkan.

Budi Agus Riswandi

Direktur Eksekutif Pusat HKI

Fakultas Hukum Universitas Islam Indonesia