Prof. Dr. Budi Agus Riswandhi S.H., M.Hum yang merupakan Pengelola Program Studi Hukum Bisnis dan Pakar Kekayaan Intelektual Fakultas Hukum Universitas Islam Indonesia (FH UII) Yogyakarta meminta pemerintah agar dalam program pengembangan kewirausahaan nasional 2021 – 2024 yang sudah diterbitkan melalui Peraturan Presiden No. 2 tahun 2022 dapat memberikan fasilitasi bantuan hukum dan advokasi.

Tujuannya adalah agar tersedia jaminan kepastian dan perlindungan hukum bagi program pengembangan kewirausahaan nasional.

“Di dalam Perpres Nomor 2 tahun 2022 mengenai pengembangan kewirausahaan nasional tahun 2021-2024, salah satu yang dikembangkan adalah memberikan aspek kemudahan dalam pengembangan kewirausahaan nasional. Adapun jenis-jenis kemudahan itu tertuang di dalam Pasal 12 ayat (1) Perpres No 2 tahun 2022. Akan tetapi pada kenyataannya jenis-jenis kemudahan itu belum mencakup pada aspek jaminan kepastian dan perlindungan hukum yang diwujudkan dalam bentuk program fasilitasi bantuan hukum dan advokasi,” ujarnya saat ditemui di Fakultas Hukum kampus Terpadu UII, Jalan Kaliurang, Sleman, Selasa (26/4/2022).

Prof. Budi menjelaskan, sebagaimana diketahui, pada Era Digital saat ini telah terjadi konvergensi antara hukum, teknologi dan bisnis syariah, terutama teknologi informasi.

“Dampak dari kovergensi tiga bidang ini telah menghadirkan suatu realitas hukum, di mana masalah-masalah hukum yang berkaitan dengan bisnis syariah dan teknologi informasi terus bermunculan di masyarakat, itulah alasan mengapa Fakultas Hukum Universitas Islam Indonesia Yogyakarta mendirikan Program Studi Hukum Bisnis pada tanggal 22 Maret 2022 berdasarkan SK Menteri Pendidikan, Kebudayaan, Riset dna Teknologi No. 203/E/O/2022,” jelasnya.

Menurut Prof. Budi, menjadi tantangan sendiri di bidang hukum untuk menghadirkan Sumber Daya Manusia yang memiliki penguasaan hukum dan teknologi, hak kekayaan intelektual dan hukum bisnis syariah. SDM yang harus disiapkan dalam bidang hukum hendaknya mempunyai kompeten agar mampu memecahkan berbagai permasalahan yang terjadi di masyarakat.

“SDM ini dibutuhkan baik dalam upaya mendesain hukum terkait kolaborasi hukum, teknologi, dan bisnis Syariah dan juga menyiapkan SDM yang benar-benar mampu memecahkan kasus-kasus hukum yang timbul akibat kolabroasi tiga bidang tersebut. Kesiapan SDM ini juga dilakukan dalam rangka menyongsong era Pengembangan Kewirausahaan Nasional,” katanya.

Lanjutnya, yang paling menarik adalah Program Studi Hukum Bisnis pada Fakultas Hukum Universitas Islam Indonesia Yogyakarta ini merupakan prodi hukum bisnis satu-satunya di Indonesia yang merespon atas fenomena konvergensi hukum, teknologi dan bisnis syariah. Di mana, saat ini telah menjadi kebutuhan strategis dalam konteks era digital.

Berita tersebut dimuat ulang dari Lensa9.com  terbit 27 April 2022.

[KALIURANG]; Kuliah Intensif yang diselenggarakan oleh Pusat Pendidikan dan Latihan (PUSDIKLAT) Fakultas Hukum (FH) Universitas Islam Indonesia (UII) pada Jumat, 15 April 2022 dengan Legal Drafter (Praktisi). Tema yang diusung dalam kegiatan ini adalah “Kuliah Intensif Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan FH UII (Teknik Penyusunan Sistematika Peraturan Perundang-Undangan)”. Kegiatan ini dilaksanakan setiap semester guna memberikan materi tambahan dalam mata kuliah Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan dan menciptakan sumber daya manusia, khususnya lulusan FH UII yang handal dalam bidang pembentukan peraturan perundang-undangan dan dapat menerapkan dalam praktik yang sebenarnya.

Kegiatan kuliah Intensif ini dihadiri oleh 310 Peserta yang terdiri dari Mahasiswa Mata Kuliah Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan Semester Genap TA. 2021/2022, Dosen, Asisten Praktikum Mata Kuliah Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan dan Pimpinan FH UII serta Panitia Pelaksana. Kegiatan ini mengundang pemateri, Dr. Hendra Kurnia Putra, S.H., M.H., Reza Fikri Febrianyah, S.H., M.H., Nurul Hidayati, S.H., M.H. yang semuanya merupakan Legal Drafter yang bekerja di Kementerian Hukum dan HAM RI. Kegiatan ini dilaksanakan serentak mulai kelas A, B, C, D, E dan kelas program internasional. Acara dibuka dengan sambutan dari Dekan FH UII oleh Dr. Abdul Jamil S.H., M.H. kemudian dilanjutkan pemaparan materi oleh masing-masing pemateri yaitu  Dr. Hendra Kurnia Putra, S.H., M.H., di kelas A dan program internasional, Nurul Hidayati, S.H., M.H. di kelas C dan D serta Reza Fikri Febrianyah, S.H., M.H. di kelas B dan D.

Pada kuliah intensif ini, semua pemateri menyampaikan Teknik Pembentukan Sistematika untuk Rancangan Undang-Undang (RUU), Rancangan Peraturan Daerah (Raperda) serta perubahannya yang dimulai dari Judul, Pembukaan, Batang Tubuh, Penutup, Penjelasan, Lampiran serta bagaimana menggunakan bahasa yang baik dalam pembentukannya. Setelah sesi pemaparan materi selesai, kemudian dilanjutkan sesi tanya jawab. Antusias mahasiswa terlihat dari banyaknya pertanyaan dari mahasiswa mengenai materi yang disampaikan karena mahasiswa diharapkan memahami materi yang disampaikan guna diimplementasikan dalam sesi simulasi berikutnya.

Setelah sesi tanya jawab selesai, dilanjutkan dengan sesi simulasi, mahasiswa dibuat berkelompok dalam breakout room zoom dan masing-masing kelompok diberikan tugas untuk membuat bagian dari RUU Perubahan/Raperda/Raperda Perubahan dalam waktu tertentu, kemudian hasil simulasi yang dibuat setiap kelompok dipresentasikan kepada pemateri untuk mendapatkan masukan atau perbaikan. Simulasi dan review dari pemateri diharapkan semakin membuat mahasisawa lebih paham dan tertarik dalam pembentukan peraturan perundang-undangan. Tentunya waktu pelaksanaan yang terbatas ini masih dirasa sangat kurang untuk membuat bagian RUU/Raperda/Raperda Perubahan dengan baik, namun dengan materi dan simulasi yang diberikan diharapkan bisa menjadi awal yang baik untuk memperdalam Teknik pembentukan peraturan perundang-undangan selanjutnya.

FH UII berharap melalui kegiatan ini lahir Legal Drafter yang handal dalam menyusun Rancangan Peraturan Perundang-Undanan dari FH UII. Semoga kegiatan kuliah intensif ini dapat berjalan setiap semester dan untuk selanjutnya dapat dilaksanakan secara luring (tatap muka) dengan tetap memperhatikan kondisi yang ada.

Memperingati Hari Kekayaan Intelektual sedunia (World IP Day) 26 April 2022‼️

🍀Intellectual Property Studies Center (IPSC) mempersembahkan “Webinar” berkolaborasi dengan Prodi Hukum Bisnis Fakultas Hukum UnIversitas Islam Indonesia (UII) & Ikatan Penerbit Indonesia (IKAPI) ‼️🍀

FREE REGISTRATION ✅

Tema :
“Memperbincangkan Isu-Isu Hak Cipta Literasi: antara Kebijakan dan Realitanya”

KEYNOTE SPEAKER:
👤Dr. Abdul Jamil, S.H., M.H
(Dekan Fakultas Hukum UII)

NARASUMBER:
🗣️Anggoro Desananto, S.H
(Direktur Hak Cipta pada Dirjen Kekayaan Intelektual)

🗣️Arys Hilman Nugraha
(Ketua Umum IKAPI)

🗣️Prof. Budi Agus R, S.H., M.Hum
(Pakar Kekayaan Intelektual dan Pengelola Prodi Hukum Bisnis FH UII)

MODERATOR
🗣️Khoirul Anam, S.H
(Direktur Eksekutif IPSC)

‼️Save the date‼️
🗓️ Hari/Tgl :
Selasa, 26 April 2022
⏰ Waktu : 09.30 s.d 12.00 WIB
🎦 Room: Zoom Meeting

PENDAFTARAN (GRATIS)
Link Registrasi : 👇👇👇
Bit.ly/DaftarBincangIPSC

Kamu juga dapat Bergabung di Zoom Meeting‼️
Link: https://bit.ly/WebinarIPSC

Meeting ID: 813 8122 1108
Passcode: 084006

Follow us
Linkedln : IPStudiesCenter
IG : @ipstudiescenter

Alhamdulillah! Program Studi Hukum Program Sarjana (PSHPS) memberikan penyetaraan (ekuivalensi) kepada mahasiswa yang memperoleh prestasi. Prestasi yang dimaksud yaitu “Juara I dan Naskah Akademik Terbaik dalam kompetisi Academic Constitutional Drafting yang diselenggarakan oleh Badan Pengkajian Majelis Permusyawaratan Rakyat RI pada 8-10 Oktober 2021”. Penyetaraan (ekuivalensi) tersebut pada mata kuliah:

  1. Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan (2 sks), dengan nilai A
  2. Hukum Konstitusi (2 sks), dengan nilai A.
Mahasiswa yang memperoleh prestasi tersebut yaitu, Atika Nurdzakkiyah dengan NIM: 19410593 dan Muhammad Anugerah Perdana, dengan NIM: 20410670.

Penulis: Ayunita Nur Rohanawati, S.H., M.H.
Dosen Fakultas Hukum Universitas Islam Indonesia (FH UII), Departemen Hukum Administrasi Negara

            Mendekati perayaan Idul Fitri tahun 2022 ini, Menteri Ketenagakerjaan mengeluarkan regulasi terkait dengan Tunjangan Hari Raya (THR) yang merupakan hak bagi pekerja di Indonesia. Regulasi tersebut ialah Surat Edaran Menaker Nomor M/1/HK.04/IV/2022 yang mengatur tentang Pelaksanaan Pemberian Tunjangan Hari Raya Keagamaan bagi Pekerja/Buruh di Perusahaan. Istilah THR ramai diperbincangkan saat mendekati perayaan hari raya keagamaan di Indonesia. Dalam konteks Hukum Ketenagakerjaan THR merupakan hak dari pekerja untuk menerima dan kewajiban pengusaha untuk membayarkannya. THR masuk dalam kategori pendapatan non upah, dengan pembayaran yang dilakukan menjelang dirayakannya hari besar keagamaan.

Hari raya keagamaan sebagaimana dimaksud mengacu pada seluruh agama yang diakui di Indonesia. Sebagaimana diatur dalam Peraturan Menteri Ketenagakerjaan Republik Indonesia Nomor 6 Tahun 2016 tentang Tunjangan Hari Raya Keagamaan Bagi Pekerja/ Buruh di Perusahaan, THR dibayarkan selambat-lambatnya 7 hari sebelum pelaksanaan hari raya keagamaan tersebut.

Jika mengacu pada regulasi ketenagakerjaan Indonesia, THR merupakan hak setiap pekerja yang terikat hubungan kerja dengan pemberi kerja. Baik yang mendasarkan ikatan tersebut dengan Perjanjian Kerja Waktu Tertentu (PKWT) maupun Perjanjian Kerja Waktu Tidak Tertentu (PKWTT). Termasuk di dalamnya pekerja outsourcing, pekerja harian lepas, dan berbagai status pekerja lain yang memiliki hubungan kerja dengan pemberi kerja. Ketentuan mengenai pekerja yang berhak menerima ialah pekerja yang memiliki masa kerja minimal 1 bulan.

Pada tahun sebelumnya, Menteri Ketenagakerjaan mengeluarkan peraturan perbolehan pembayaran THR secara cicil, dengan pertimbangan kondisi pandemi yang belum mengalami penurunan, bahkan memberikan dampak yang cukup signifikan pada pengusaha sehingga kesulitan untuk melaksanaklan kewajibannya dalam membayarkan THR pada pekerja. Kebijakan sebagaimana dimaksud tentu menuai kontroversi di kalangan pekerja karena diangap merugikan pihak pekerja. Namun di satu sisi pengusaha juga memiliki kendala untuk dapat menunaikan kewajibannya tersebut.  Kebijakan tersebut sudah berganti di tahun ini, yaitu pengusaha atau pemberi kerja wajib untuk membayarkan THR bagi pekerja tanpa menyicil. Atau dengan kata lain, THR harus dibayarkan secara utuh. Kebijakan tersebut diambil dengan melihat kondisi terkini dari data covid-19 di Indonesia yang semakin menurun.

Adapun besaran THR sebagaimana yang diatur dalam regulasi ketenagakerjaan dibagi menjadi dua kategori yaitu bagi pekerja yang memiliki masa kerja lebih dari satu bulan atau kurang dari 12 bulan berturut-turut, besaran THR yang diperoleh dengan perhitungan masa kerja dibagi 12 bulan kemudian dikalikan upah satu bulan upah. Sedangkan pekerja yang memiliki masa kerja lebih dari 12 bulan secara berturut-turut, maka besaran THR yang berhak diperoleh ialah sebesar 1 bulan upah.

Hal yang sering menjadi pertanyaan masyarakat terkait dengan, apakah masih berhak memperoleh THR bagi pekerja yang mendapat putusan Pemutusan Hubungan Kerja (PHK) sebelum hari raya keagamaan? Untuk kasus sebagaimana disebutkan, maka pekerja harus memastikan apa jenis perjanjian kerja yang mengikatnya. Jika yang mengikat ialah perjanjian kerja waktu tidak tertentu (PKWTT) maka pekerja masih mendapatkan hak atas THR, terhitung sejak 30 hari sebelum hari raya keagamaan. Hanya saja hal ini tidak berlaku bagi pekerja yang putus hubungan kerjanya karena berakhirnya masa perjanjian kerja waktu tertentu (PKWT). Dasar dari aturan ini ialah Peraturan Menteri Ketenagakerjaan RI Nomor 6 Tahun 2016.

Aturan sebagaimana disebutkan di atas masih menjadi pro kontra di masyarakat, karena adanya perbedaan perlakuan pada pekerja dengan dasar perjanjian kerja yang berbeda jenisnya. Hal ini terjadi karena pada praktiknya, tidak semua pekerja yang diikat dengan PKWT jenis pekerjaannya memenuhi kriteria pekerjaan sebagaimana yang termuat dalam regulasi, salah satu kriterianya yaitu pekerjaan yang sifatnya sementara.

Besar harapan dari masyarakat regulasi yang disusun Pemerintah mampu untuk memberikan perlindungan bagi pekerja sebagai pihak yang tidak memiliki posisi yang cukup kuat jika dihadapkan dengan pemberi kerja. Dan tentunya kehadiran Pemerintah yang mampu memberikan jaminan atas terpenuhinya hak-hak pekerja sebagaimana mestinya guna terwujudnya cita-cita hubungan industrial yang harmonis.

Tulisan ini sudah dimuat dalam rubrik Analisis KR, 19 April 2022.

[KALIURANG]; Padjadjaran Notarial Fair (PNF) merupakan kegiatan yang diadakan oleh Magister Kenotariatan, Fakultas Hukum, Universitas Padjadjaran, Bandung. Tim Program Studi Hukum Program Magister (PSHPM) Fakultas Hukum (FH) Universitas Islam Indonesia (UIII) di wakili oleh lima orang , yakni Hernawan Azis (Ketua Tim), Yoga Saputra, Erwin Saptahadi, adinda Rati dan Adelia Kusuma . Dalam proses pembuatan Tata cara Pembuatan dan Pengiriman Akta, Pembuatan Konstruksi Hukum tim MKn FH didampingi oleh Dosen pembimbing Rio Kustianto Wironegoro, S.H., M.Hum dan Dosen pendamping Dr. Ariyanto, S.H., C.N. M.H.

Selanjutnya, berdasarkan hasil penilaian rapat Tim Dewan Juri untuk 18 Delegasi pendaftar, pada Senin 14 Maret 2022 Tim Dewan Juri mengumumkan bahwa Tim Relaas yang di ikuti oleh Tim Program Studi Hukum Program Magister (PSHPM) Fakultas Hukum (FH) Universitas Islam Indonesia (UII) berhasil lolos masuk dalam Babak Final 5 Besar PNF 2022. Adapun 5 finalis tersebut yakni dua tim dari FH Universitas Pasundan Bandung, FH UII, FH Universitas Lambung Mangkurat dan FH Universitas Brawijaya Malang.

Setelah dinyatakan menjadi lima besar finalis, Tim MKN FH diwajibkan untuk membuat video simulasi praktik notaris dalam pembuatan akta. Dalam proses Final yang diselenggarakan pada Sabtu, 26 Maret 2022  setiap Delegasi akan mempresentasikan konstruksi hukum kepada Dewan Juri. Adapun pada babak final  terbagi menjadi sesi penayangan video, sesi presentasi dan sesi tanya jawab serta Pemutaran video simulasi dan presentasi.

Setelah melalui serangkaian proses babak penyisihan dan juga babak final, Tim Relaas MKn FH UII berhasil meraih juara III pada Padjajaran Notararial Fair 2022, adapun juar I dan II diraih oleh tim MKn dari Universitas Pasundan Bandung.

Penulis: M. Syafi’ie, S.H., M.H.

Dosen Fakultas Hukum Universitas Islam Indonesia (FH UII), Departemen Hukum Tata Negara

Peneliti Pusham UII

Salah satu kasus yang menyita perhatian kelompok pro demokrasi saat ini ialah terkait dengan penetapan tersangka Haris Azhar dan Fatia Maulidyanti. Keduanya merupakan aktifis HAM yang cukup kritis terhadap beberapa kasus struktural yang terjadi di Indonesia. Keduanya ditetapkan menjadi tersangka setelah dilaporkan oleh Menteri Koordinator Bidang Kemaritiman dan Investasi Luhut Binsar Pandjaitan.

Kasus ini bermula dari unggahan video di kanal youtube Haris Azhar yang mendiskusikan hasil riset tentang konsensi Blok Wabu dan perusahaan yang beroperasi di wilayah Intan Jaya Papua, dan dikemukakan ada keterlibatan Luhut dalam bisnis tambang tersebut. Riset yang dikutip oleh Haris dan Fatia berpijak pada laporan “Ekonomi-Politik Penempatan Militer di Papua : Kasus Intan Jaya” dimana laporan riset ini dilakukan oleh YLBHI, Walhi Eksekutif Nasional, Pusaka Bentala Rakyat, Walhi Papua, LBH Papua, KontraS, JATAM, Greenpeace Indonesia dan Trend Asia.

Kasus yang menimpa Haris dan Fatia sebenarnya bukan peristiwa baru dimana pembela HAM dilaporkan ke institusi kepolisian. Diantara kasus yang mengemuka ialah laporan Moeldoko terhadap dua peneliti Indonesia Corruption Watch (ICW) atas dugaan pencemaran nama baik; kasus Prita Mulyasari yang dijerat UU ITE karena mengeluhkan pelayanan rumah sakit Omni Internasional di media sosial; serta kasus guru perempuan SMAN 7 NTB bernama Baiq Nuril Mukmin yang dijerat UU ITE karena merekam pembicaraan tidak senonoh saat ditelpon Kepala Sekolah.

Beberapa organisasi masyarakat sipil menyatakan bahwa kriminalisasi terhadap pembela HAM setiap tahunnya selalu tinggi. Sepanjang tahun 2021 misalnya, kasus pembela HAM menempati peringkat pertama dari jumlah korban UU ITE. Umumnya, para pembela HAM dilaporkan menggunakan Pasal 27 ayat (3) UU ITE tentang pencemaran nama baik. Kasus pembela HAM yang lain ada yang berujung ancaman, kekerasan, dan pembunuhan seperti yang terjadi pada Fuad Muhammad Syafruddin (Udin) yang dibunuh karena berita, Marsinah yang dibunuh karena memperjuangkan hak upah, dan Munir Said Thalib (Munir) yang dibunuh dengan racun arsenik karena kritis terhadap sengkarut tata kelola sektor keamaan.

Nasib Pembela HAM

Isu pembela HAM saat ini menjadi concern tersendiri. Nasibnya kerap berujung menyedihkan karena berhadapan dengan aktor kuat dari oligarki kekuasaan. Pembela HAM dikenal sebagai human rights defender, yaitu istilah yang menunjuk pada orang-orang yang secara individu maupun bersama-sama pihak lain bertindak untuk memajukan perlindungan hak asasi manusia. Dalam Declaration on Human Rights Defender, pembela HAM diartikan sebagai setiap orang yang mempunyai hak, secara sendiri-sendiri maupun bersama-sama untuk memajukan dan memperjuangkan perlindungan dan pemenuhan hak asasi manusia dan kebebasan dasar di tingkat nasional dan internasional.

Amnesty Internasional menyatatakan bahwa siapa pun orang yang melakukan kerja-kerja untuk hak asasi manusia bisa dikatakan sabagai pembela HAM, termasuk orang yang memperjuangkan gender, masyarakat adat, buruh, dan petani; para pejuang keadilan; orang yang memperkuat hukum dan pemerintahan demokratis; orang yang memperjuangkan hak-hak sipil dan politik; serta orang-orang yang memperjuangkan hak ekonomi, sosial dan budaya. Definisi ini bersifat luas dan universal. Namun demikian, betapa pun luas definisinya, aktor yang dihadapi tentu bertingkat tergantung pada kasusnya. Dalam kasus yang menimpa Munir, Udin, atau beberapa kasus mutaakhir memperlihatkan bahwa aktor yang dihadapi ialah orang-orang yang berada di sentrum kekuasaan dan memainkan peran yang sangat strategis dalam berbagai kebijakan dan program yang yang didalamnya sangat rentan disalahgunakan.

Pembela HAM umumnya dihabisi dengan berbagai cara, antara lain pembatasan aktifis HAM untuk mendapatkan akses informasi yang notabene menjadi pijakan perjuangan, pembatasan hak berserikat dan berkumpul karena dianggap sebagai aktifitas yang akan mengganggu jalannya pemerintahan, dan yang paling biasa berupa pembatasan untuk menyampaikan pendapat, walaupun pendapat tersebut sifatnya jujur dan berada dalam koridor ilmiah. Strategi lain adalah dengan penggunaan pasal-pasal karet, antara lain Pasal pencemaran nama baik yang diatur dalam UU ITE dan Pasal penghasutan dalam KUHP. Kelompok pro demokrasi menyebut peristiwa ini dengan kriminalisasi, dimana pembela HAM yang menyuarakan isu publik biasanya dilaporkan dengan pencemaran nama baik. Cara yang paling bar-bar ialah ancaman, penganiayaan, penyiksaan, dan bahkan pembunuhan seperti yang menimpa kepada Munir dan Udin. Ikutan lain yang biasa dimunculkan ialah label dan stigma negatif yang dilakukan dengan berbagai cara oleh jaringan oligarki kekuasaan yang pada intinya agar pembela HAM layak untuk dijauhi dan dimusuhi.

Nasib pembela HAM dengan demikian sangat rentan, walaupun posisinya telah dijamin oleh hukum. Pasal 101 UU No. 39 Tahun 1999 menyatakan bahwa setiap orang, kelompok, organisasi politik, atau organisasi kemasyaratan lainnya berhak berpartisipasi dalam perlindungan, penegakan dan pemajuan hak asasi manusia. Apa yang dilakukan Haris dan Fatia adalah ekspresi untuk memajukan hak asasi manusia di bidang hak ekonomi sosial dan budaya, dimana negara semestinya bebas dari tindakan korupsi dan penyalahgunaan kekuasaan.

Konteks tragis dan tragedi pembela HAM memperlihatkan betapa Indonesia sebagai negara hukum mengalami krisis yang akut, dimana praktik hukum dan kekuasaan kerap menjauh dari sisi penghormatan, perlindungan dan pemenuhan hak asasi manusia. Para pembela HAM kerap dikriminalisasi dengan penggunaan pasal-pasal karet yang dimainkan oleh jaringan oligarki kekuasaan. Karena itu, sudah selayaknya ada pembacaan kritis dan pembenahan mendalam terhadap sistem hukum dan kekuasaan yang berjalin kelindan menghabisi para pembela HAM.

Tulisan ini telah dimuat dalam Koran Sindo, 13 April 2022.

 

MANUAL ACARA PEMBEKALAN MATA KULIAH PEMAGANGAN

Disampaikan kepada mahasiswa mata kuliah Pemagangan Program Studi Hukum Program Sarjana pada Semester Genap T.A. 2021/2022, Selanjutnya akan diselenggarakan acara Pembekalan Peserta Pemagangan yang akan dilaksanakan pada:

Hari/Tanggal : Sabtu, 9 April 2022
Pukul : 09.00 – 12.45 WIB
Media : Daring (via Zoom)

Adapun pembagian ruang (link zoom) dan jadwal pembekalan sebagaimana informasi di bawah:

Narahubung:
Admin Pemagangan –> 0858 7525 0408 (WhatsApp)

Pusat Studi Hukum Konstitusi (PSHK) FH UII merupakan lembaga pusat studi mandiri di bawah koordinasi Fakultas Hukum UII yang fokus dalam bidang hukum konstitusi dan ketatanegaraan.

Kali ini PSHK FH UII membuka kesempatan kepada rekan-rekan mahasiswa/i untuk bergabung menjadi Staf Peneliti.

PSHK FH UII fokus pada 3 (tiga) bidang kegiatan:

Pertama, bidang riset dan edukasi yang fokus melakukan riset, baik mikro maupun makro. Selain itu, melakukan edukasi dan pelatihan/workshop.

Kedua, bidang kajian dan strategis, yang fokus melakukan kajian rutin dan kajian aktual terhadap isu-isu strategis baik melalui forum diskusi, seminar, maupun konferensi.

Ketiga, bidang media dan jaringan yang fokus mengelola konten kreatif, media dan jaringan/mitra PSHK FH UII.

Bagi rekan-rekan yang berminat bergabung bersama PSHK FH UII dapat mengajukan lamaran sesuai syarat dan ketentuan.

Berkas pendaftaran dikumpulkan mulai tanggal 3-20 April 2022 ke email: [email protected] dengan menuliskan subyek email: BERKAS LAMARAN_NAMA LENGKAP PELAMAR.

[KALIURANG]; Fakultas Hukum (FH) Universitas Islam Indonesia (UII) kembali mendapatkan Guru Besar yang baru. Dr. Muhamad Syamsudin, S.H.,M.H. menerima Surat Keputusan Menteri Pendidikan, Kebudayaan, Riset dan Teknologi RI tentang Kenaikan Jabatan Akademik Profesor dalam Bidang Ilmu Hukum.

Surat keputusan kenaikan jabatan akademik profesor tersebut diserah terimakan pada Kamis 31 Maret 2022 di Gedung Kuliah Umum Prof. Dr. Sardjito Kampus Terpadu UII, oleh Kepala LLDikti Wilayah V DIY, Prof. drh. Aris Junaidi, Ph.D. kepada Rektor UII Prof. Fathul Wahid, ST., M.Sc., Ph.D., dan diteruskan kepada Dr. Muhamad Syamsudin, S.H., M.H.

Rektor UII, Prof. Fathul Wahid dalam sambutannya mengungkapkan rasa syukur dan bahagiannya dengan raihan jabatan profesor yang diperoleh Muhamad Syamsudin. “ Dengan raihan ini, menjadikannya sebagai guru besar ke-25 di lingkungan UII sekaligus guru besar kedelapan dari Fakultas Hukum UII. Rasa syukur tersebut tidak hanya disampaikan Prof. Fathul Wahid secara personal, namun juga mewaliki seluruh keluarga besar UII “ ungkapnya.

Dalam kesempatannya, Prof. Fathul Wahid menyampaikan narasi tentang matinya kepakaran di dalam dunia akademik yang berdampak pada menurunnya kepercayaan khalayak kepada para pakar atau ahli.

Di tempat yang sama, Prof. Aris Junaidi berkesempatan memberikan beberapa pesan kepada Prof. Syamsudin yang baru saja dilantik. Menurutnya, proses dalam menyandang gelar guru besar merupakan proses yang sangat lama dan perlu ketekunan dalam menekuni suatu bidang ilmu.

Ungkapan rasa syukur juga disampaikan Ketua Umum Pengurus Yayasan Badan Wakaf UII, Suwarsono Muhammad. Untuk diketahui, Saat ini Prof. M. Syamsudin diamanahi sebagai Sekretaris Pengurus Yayasan Badan Wakaf (YBW) UII Periode 2018-2023. Karenanya, Suwarsono menganggap pembacaan surat keputusan kali ini menjadi sedikit berbeda. Ia menyampaikan beberapa hal yang dilabelinya sebagai “sambutan yang cukup personal”, yang berkenaan dengan perasaan pribadi beliau.

“Terus terang saja, saya takut kehilangan Pak Syam, Jangan-jangan pak Syamsudin yang kemarin itu berbeda dengan pak Syamsudin hari ini dan besok-besok. Setelah mendapatkan gelar guru besar,” tuturnya.