Ruang Kosong Regulasi Transportasi Online sebuah Opini Ayunita Nur R.
Ruang Kosong Regulasi Transportasi Online
Permasalahan di balik berkembangnya transportasi berbasis aplikasi online (daring) ternyata belum menemui titik terang sampai saat ini. Pada periode awal menjamurnya transportasi daring, permasalahan yang muncul ke permukaan lebih beraroma persaingan dengan transportasi konvensional.
Lahirnya Permenhub Nomor PM 26 Tahun 2017 dan Permenhub Nomor PM 108 Tahun 2017 tentang Penyelenggaraan Angkutan Orang dengan Kendaraan Bermotor Umum Tidak dalam Trayek, nyatanya tidak serta-merta menyelesaikan masalah yang terjadi. Beberapa pasal pada kedua Permenhub tersebut pada akhirnya justru dicabut oleh Mahkamah Agung (MA).
Belum selesai dengan permasalahan lama, belakangan ini muncul perselisihan baru antara pengusaha transportasi daring dan mitra pengemudi. Mitra pengemudi mempermasalahkan tidak dilibatkannya mereka dalam pengambilan kebijakan-kebijakan perusahaan yang berdampak langsung terhadap mitra pengemudi, termasuk terkait penentuan tarif.
Pokok perselisihan tersebut menunjukkan bahwa permasalahan tidak hanya “melulu” terkait sektor perhubungan, tetapi juga kedudukan hukum para mitra pengemudi terhadap pengusaha transportasi daring yang selama ini nyaris tidak pernah menjadi topik pembahasan media.
Pada dasarnya, agar dapat dilibatkan dalam pengambilan kebijakan perusahaan, para mitra pengemudi memerlukan instrumen berupa wadah resmi layaknya pekerja dalam perusahaan yang membentuk serikat pekerja/serikat buruh.
Namun, hubungan hukum yang digaungkan selama ini merupakan hubungan kemitraan yang tidak memosisikan mitra pengemudi sebagai pekerja pada perusahaan transportasi daring, tetapi sebagai mitra pengusaha yang seolah-olah kedudukannya setara dengan pengusaha.
Dengan posisi yang bukan sebagai pekerja dalam perusahaan, mitra pengemudi tidak memiliki hak berserikat dengan membentuk suatu organisasi pekerja dalam suatu perusahaan sebagaimana diatur oleh Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2000 tentang Serikat Pekerja/Serikat Buruh. Kondisi yang demikian membuat para mitra pengemudi sulit untuk menyuarakan dan memperjuangkan aspirasinya.
Secara sekilas, hubungan kemitraan yang timbul menjadi semacam hubungan kerja sama bisnis biasa yang tidak perlu banyak campur tangan pemerintah untuk melindungi pihak yang posisi tawarnya lebih lemah (socialisering process).
Posisi yang seolah setara dengan pengusaha transportasi daring seakan-akan juga memberikan posisi tawar yang kuat bagi mitra pengemudi. Namun, dalam praktiknya, mitra pengemudi tetap harus tunduk pada kebijakan yang ditetapkan pengusaha transportasi daring.
Berkaca pada permasalahan tersebut, pemerintah perlu melihat proses bisnis transportasi daring secara lebih luas, yaitu tidak hanya dari kacamata perhubungan, melainkan juga ketenagakerjaan. Perjanjian kemitraan dalam bisnis transportasi daring memiliki keunikan tersendiri karena terdapat semacam garis bias dengan konsep perjanjian kerja. Konsep dari suatu perjanjian kerja adalah terciptanya hubungan kerja yang memuat unsur pekerjaan, upah, dan perintah.
Dalam praktik transportasi daring, adanya pekerjaan yang dilakukan oleh mitra pengemudi, adanya konsep bagi hasil dan bonus, serta target yang harus dipenuhi oleh mitra pengemudi seharusnya dapat digunakan oleh pemerintah sebagai langkah awal untuk melihat apakah perjanjian kemitraan tersebut memenuhi unsur perjanjian kerja sehingga tidak dapat dikatakan sebagai perjanjian kemitraan biasa.
Pada titik ini, pemerintah belum menentukan sikap apakah hubungan kemitraan antara pengusaha transportasi daring dan mitra pengemudi termasuk dalam lingkup hubungan kerja sebagaimana diatur oleh Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan.
Pemerintah justru seperti berada dalam posisi turut menikmati berkembangnya transportasi daring karena dapat memberikan kemudahan bagi masyarakat dan membantu penurunan angka pengangguran. Namun, di sisi lain, pemerintah belum mampu memberikan perlindungan hukum bagi mitra pengemudi yang secara jelas memiliki posisi tawar lebih lemah dibandingkan pengusaha transportasi daring.
Dengan demikian, masih terdapat ruang kosong regulasi yang dapat menjadi payung hukum hubungan antara pengusaha transportasi daring dan mitra pengemudi serta memberikan perlindungan hukum yang cukup bagi mitra pengemudi.
Diperlukan kecermatan pemerintah untuk memastikan bahwa perjanjian antara pengusaha transportasi daring dan mitra pengemudi bukan merupakan perjanjian kerja yang dikemas dalam sampul perjanjian kerja sama bisnis sehingga dapat terlepas dari peraturan perundang-undangan terkait ketenagakerjaan.
Permasalahan transportasi daring pada dasarnya bukan hanya merupakan pekerjaan rumah Kementerian Perhubungan sebagai leading sector regulasi transportasi, melainkan juga perlu dicermati saksama oleh kementerian lainnya, salah satunya Kementerian Tenaga Kerja.
Ayunita Nur Rohanawati
Dosen Fakultas Hukum Universitas Islam Indonesia,
Spesialisasi Hukum Ketenagakerjaan