Hakim dan Jaksa Harus Mematuhi Konsep Keadilan Sesuai Ajaran Agama oleh Dr. Abd. Jamil, S.H., M.H.
Melihat tema seminar nasional ini, “Mewujudkan Penegakan Hukum dan Penyelenggaraan Peradilan Tipikor Berperikemanusiaan dan Berperikeadilan”, yang diselenggarakan oleh Program Doktor Ilmu Hukum Universitas Islam Indonesia (UII) Yogyakarta, mungkin ada yang bertanya:, Apakah itu berarti bahwa penegakan hukum dan penyelenggaraan peradilan tindak pidana korupsi selama ini tidak, atau kurang, berperikemanusiaan dan berperikeadilan?
Tema ini memang sengaja dipilih untuk didiskusikan secara ilmiah karena meskipun secara teori, penyelenggaraan peradilan Tipikor dianggap sebagai upaya menegakkan hukum, namun faktanya adalah masih banyak keluhan dalam masyarakat tentang ketidakadilan dalam berbagai bentuk yang ditemukan dalam proses penegakan hukum dimaksud.
Kasus-kasus yang kita temukan dari putusan-putusan Pengadilan Tipikor, yang berasal dari tuntutan jaksa, itu sering memaknai peran atau proses peradilan sebagai proses yang hanya bertumpu pada kepastian. Padahal sebetulnya yang dituju adalah agar putusan itu harus bernilai keadilan.
Bagaimana agar putusan Pengadilan Tipikor itu bisa bernilai keadilan? Setidaknya harus diukur dengan tigal hal. Pertama, diukur dengan al-adil yaitu perilaku. Saya kebetulan juga seorang advokat. Ketika saya berpraktik di pengadilan, maka sering saya alami bahwa penegak keadilan tidak mamaknai al-adil atau perilaku.
Kecenderungannya adalah, yang namanya advokat itu diperlakukan tidak sama dengan jaksa. Kadang-kadang kita dibentak. Tapi terhadap jaksa, hakim tersenyum-senyum saja, meskipun itu salah.
Sering saya menghadapi hal semacam itu. Kenapa bisa seperti itu? Karena hakim tidak memahami konsep al-adil. Dalam proses peradilan, prinsip al-adil ini sering tidak digunakan. Karena al-adil itu tentang perilaku, maka perilaku pengadil harus juga adil.
Bagaimana mungkin kita mengadili orang lain tetapi perilaku kita sendiri tidak adil? Karena al-adil itu tentang perilaku, maka kalau hakim berperilaku baik terhadap jaksa, seharusnya hakim berperilaku baik juga terhadap terdakwa yang diwakili oleh penasihat hukum; bukan malah sebaliknya.
Saya mempunyai pengalaman menyedihkan. Benar-benar menyedihkan. Ada saksi di persidangan yang ketika dikonfrontir dengan alat bukti, ternyata tak cocok. Saksi itu sebetulnya sudah mengirim surat, dan di suratnya itu ada nomor, ada perihal, ada lampiran.
Ternyata ketahuan di persidangan bahwa lampiran itu sudah dicoret. Pasti semua sepakat bahwa apabila lampiran surat dicoret, maka hal itu berarti bahwa surat itu tidak mempunyai lampiran. Itu menurut pemahaman hukum dan administrasi. Tapi ternyata saksi katakan dia sudah melampirkan bukti-bukti sekitar 100 lembar tapi lampirannya dicoret, artinya dihilangkan.
Lalu, saya meminta kepada saksi untuk menunjukkan surat aslinya. Saya tanya, apa maknanya ketika bapak menulis surat dan lampiran dicoret. Saksi itu tak bisa menjawab.
Karena saksi diam saja, saya terus mendesak saksi untuk memberikan keterangan apa makna lampiran dalam surat. Ternyata, justru hakim membentak saya dan katakan, “Saudara tidak perlu memaksa.”
Apa sebabnya hakim bersikap demikian? Karena dia tidak mengerti bahwa keadilan yang dimaksud itu adalah al-adil atau perilaku adil. Hal seperti ini sering saya alami ketika berpraktik di pengadilan.
Yang kedua adalah al-mizan yaitu alat timbangan atau hukumnya. Kalau hukum yang digunakan itu tidak benar, maka hasilnya pasti salah. Kalau pasal dakwaan yang digunakan itu salah, berarti di situ ada kesalahan yang nyata, sehingga pasti hasilnya salah juga.
Ketika mengajar mahasiswa S1, saya selalu menggunakan perumpamaan begini: Al-mizan itu adalah alat yang digunakan. Kalau saya datang ke toko emas membeli emas satu gram, tapi toko emas memakai timbangan beras untuk mengukurnya, maka pasti hasilnya keliru.
Begitu pun sebaliknya. Kalau saya ke toko beras membeli beras satu kilogram, lalu toko beras itu menggunakan timbangan emas, maka pasti hasilnya jelas tak akan bagus.
Itulah yang saya maksudkan bahwa sebenarnya al-adil dan al-mizan itu harus sejalan. Kalau kepastian hukum itu selalu bicara alat, maka alatnya harus benar.
Kalau alatnya sudah tidak benar, maka meskipun dipaksakan akan salah. Kalau dipaksakan untuk menghukum orang dengan alat atau aturan yang tidak benar, maka pasti hasilnya tidak benar pula. Kalau sudah tak benar, maka pasti tak adil. Kalau tak adil, maka tak akan bisa sesuai dengan ajaran Islam tentang keadilan.
Yang digunakan sekarang adalah teori tentang kepastian hukum, keadilan dan kemanfaatan. Tapi jika tidak ditemukan keadilan di satu tempat, maka harus mencari keadilan di tempat lain.
Artinya, bukan semata-mata kepastian hukumnya yang harus dikejar, tapi tetap harus mengutamakan keadilan. Itulah konsep Islam yang harus senantiasa diberikan kepada para penegak hukum, seperti yang diuraikan dalam Surat An Nisa ayat 58 dan 135.
Ukuran ketiga yang perlu diperhatikan dalam menegakkan keadilan adalah aspek kemanfaatan. Hukuman yang diberikan harus bisa membawa manfaat, baik bagi orang yang dihukum, maupun bagi masyarakat sebagai pembelajaran.
Hukuman yang tidak membawa manfaat, tetapi hanya menyengsarakan orang adalah hukuman yang tak berguna. Sebab tujuan berhukum itu sebetulnya bukan untuk menyengsarakan orang, tetapi menciptakan keteraturan dan kemanfaatan bagi manusia.
Tiga standar atau ukuran keadilan menurut ajaran Islam yang diuraikan di atas ternyata belum dipahami dengan baik oleh para pengadil yang begitu bangga dengan predikat “penegak hukum” tetapi belum mampu menciptakan rasa keadilan masyarakat dalam proses-proses persidangan, termasuk untuk kasus-kasus korupsi.
Sesuai ajaran Islam seperti yang saya sebutkan di atas, tiga ukuran keadilan tersebut yaitu al-adil, al-mizan, dan kemanfaatan seharusnya sudah lama ditegakkan dalam semua kasus yang ditangani oleh pengadilan di negara yang mayoritas penduduknya, termasuk para jaksa dan hakim, beragama Islam.
Ketidakpedulian para penegak hukum untuk menerapkan tiga ukuran keadilan dimaksud tentu sangat memprihatinkan. Itulah sebabnya ketika memberikan pendapat hukum dalam focus group discussion September silam tentang kasus mantan Ketua DPD RI Irman Gusman, saya kemukakan bahwa apabila jaksa salah memilih mizan, salah memilih pasal dakwaan, kemudian hakim pun tidak menggali kebenaran tetapi hanya mengikuti alur pikiran jaksa, maka hasilnya menjadi tidak sesuai dengan prinsip al-adil, al-mizan, dan juga prinsip kemanfaatan dari putusan perkara dimaksud.
Dalam kasus Irman Gusman, tampaknya jaksa dan hakim juga tidak menoleh ke aspek kemanfaatan dari upaya Irman untuk meringankan beban hidup masyarakat Sumatera Barat yang saat itu mengeluhkan harga gula yang tinggi. Pengadilan hanya melihat dimana ada hal-hal yang bisa dijadikan alasan tekstual-yuridis untuk menghukum orang, tetapi gagal melihat aspek kemanfaatannya.
Jaksa dan hakim juga gagal menyadari ukuran perilaku adil dan timbangan atau al-mizan itu, padahal mereka itu pun beragama Islam dan bukan tidak mengerti tentang adanya konsep Islam tentang ukuran-ukuran keadilan tersebut. Ironisnya, putusan pengadilan selalu diawali dengan slogan Demi Keadilan Berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa!
Ironi-ironi semacam ini lazim terjadi di berbagai proses peradilan, dimana jaksa dan hakim hanya menggunakan kacamata kuda untuk menghukum orang, tetapi tidak berani menggunakan hati nuraninya untuk menegakkan keadilan sesuai ajaran agama.
Penegak hukum begitu bergairah mengejar kepastian hukum, tapi banyak yang tidak menyadari bahwa mereka hanya menjadi penegak undang-undang dan gagal menjadi pencipta keadilan sebagaimana diamanatkan oleh ajaran agama.
Ketika para pengadil hanya mendefinisikan tugasnya sebagai penegak undang-undang dan bukan pencipta dan penegak keadilan juga, maka sangat sulit untuk menghadirkan keadilan dalam proses-proses penegakan hukum.
Padahal harapan masyarakat yang mayoritas beragama Islam ini tentunya adalah agar Pengadilan—sesuai nama yang disandangnya—dapat menghadirkan keadilan dalam semua kasus yang ditanganinya, bukan malah menjauhkan rasa keadilan dalam proses-proses penegakan hukum.
Sebab keadilan yang sesungguhnya tidak datang dari teks-teks hukum buatan manusia yang hanya bisa menghukum orang, bahkan secara kejam, tetapi datang dari ajaran agama yang yang luhur dan mulia nilainya, yang seharusnya ditegakkan di atas hukum-hukum buatan manusia.
Kenapa kita tidak mempunyai keberanian untuk menegakkan ajaran agama tentang keadilan seperti diuraikan di atas? Kenapa kita meminjam nama Tuhan dalam setiap amar putusan Pengadilan, tetapi gagal menerapkan ajaran-Nya dalam penegakan hukum?
Padalah di negeri ini tak ada orang yang akan membantah bahwa hukum Tuhan jauh lebih tinggi daripada hukum apa pun yang dibuat oleh manusia. Bukankah slogan Demi Keadilan Berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa berarti menggunakan ukuran Tuhan seperti disebutkan di atas dalam mengadili perkara?
Intinya, para jaksa dan hakim sebagai penegak hukum harus pula menjadi penegak keadilan yang menghayati dan menjalankan konsep keadilan sesuai ajaran agama; dan tidak sekadar menjalankan tugas-tugas profesinya, tapi dalam prosesnya selalu mengabaikan ajaran agama.
Tapi hanya para pengadil atau penegak hukum yang mendapat hidayah ilahi yang akan memahami tentang tugas mulianya sebagai wakil Tuhan di negeri ini untuk menghadirkan keadilan sesuai ajaran-Nya, dan tidak sekadar menjalankan profesinya sesuai pikiran manusia yang amat terbatas, apalagi bila ditunggangi berbagai kepentingan yang berlawanan dengan ajaran agama.
Tulisan ini sudah diterbitkan dalam media online prestasiindonesia