Penulis: Prof. Dr. Moh. Mahfud MD, S.H., S.U.

Dosen Fakultas Hukum Universitas Islam Indonesia (FH UII), Departemen Hukum Tata Negara

Saya sedang memberi kuliah di Pascasarjana UGM ketika pada Sabtu 17 September 2016 lalu ada berita Ketua Dewan Perwakilan Daerah (DPD) Irman Gunman diangkut ke Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) karena Operasi Tangkap Tangan (OTT). Sehabis istirahat untuk makan siang, seorang mahasiswi berteriak, “Irman Gusman ditang kap KPK, kena OTT”. Haah? Semua kaget dengan berbagai ekspresi masing-masing. Saya pun terperanjat. Persis dua minggu sebelumnya, tepatnya 3 September 2016, saya bersama teman-teman Korps Alumni Himpunan Mahasiswa Islam (KAHMI) baru memberi tepuk tangan meriah kepada Imman Gusman di Mataram karena pidatonya yang bagus tentang demokrasi dan penegakan hukum.

Waktu itu dia diundang oleh KAHMI untuk inemberi sam butan dan membuka “Temu Nasional Pejabat Publik Alumni HMI”.

Waktu itu Mas Irman berpidato panjang lebar dengan tekanan, “Indonesia harus dirawat, demokrasi harus dibangun, hukum harus ditegakkan”. Memahami pidato Irman di Mataram itu, kami senang karena melihat konteks pidato itu dengan pernyataan-pernyataan sebelumnya bahwa dia sangat benci kepada korupsi. Irman pernah menolak keras rencanarevisi atas UUKPK yang ditengarai akan melemahkan KPK itu; dia juga menyatakan persetujuannya jika koruptor dijatuhi hukuman mati.

Di Mataram itu, setelah Irman berpidato, tepuk tangan membahana dan para alumni HMI berebutan menyalami dan mengajak berfoto dengannya. Saya pun ikut memeluknya sambil berbisik, “Ayo, Mas, kita rawat Indonesia. Bangun de mokrasi dan tegakkan hukum Eh, hanya dua minggu setelah itu, Mas Irman Gusman di-OTT oleh KPK. Saya menatap langitlangit di kampus itu, perasaan bergolak, tak bisa saya lukiskan, mulut terkunci beberapa saat.

“Hidup KPK”, celetuk seorang mahasiswa. “Ya, KPK bagus. Hidup KPK”, sambung yangsatunya. Tetapi ada seorang mahasiswa yang menyambut aplaus atas KPK itu dengan sinis. “Me mangriya KPK masih hidu? Nangkepin kayak gitu saja, saya juga bisa kalau menyadap dulu. Coba tangkepin dan tahan tuh, koruptor-koruptor besar yang sudah diidentifikasi bahkan sudah dipanggiloleh KPK.Saya pun tersadar dari keterpanaan ketika mendengar diskusi spontan para mahasiswaitu.

Ya, seperti yang juga terlihat di tengah-tengah masyarakat, penilaian terhadap KPK sekarang ini sudah berbeda dengan, misalnya, dua tahun yang lalu dan sebelumnya. Masyarakat sekarang ini banyak yang masih bangga dan penuh harap ter hadap KPK, tetapi mulai muncul yang sinis terhadapnya karena ada beberapa kasus yang tampaknya ditangani secara agak ganjil.

Langkah OTT terhadap Irman Gusmani, menurut saya, telah dilakukan dengan cermat oleh KPK. Saya tidak percaya kepada pendapat bahwa Irman Gusman dijebak. Dan, tuduhan tentang jebakan itu bisa hilang dengan sendirinya kelak setelah Irman diajukan ke pengadilanSemua orang yang kena OTT oleh KPK selalu menyatakan dijebak oleh KPK, dipolitisasi oleh lawan politiknya, ditangkap secara melanggar hukum. Itu alasan-alasan yang rutin dikemukakan oleh yang terkena OTT, oleh keluarganya, dan oleh pembela kalapnya.

Tetapi coba buka semua file tentang koruptor koruptoryang ditangkap tangan oleh KPK. Sesudah diajukan ke sidang pengadilan, selalu terbukti bahwa OTT itu bukan jebakan dan bukan politisasi, melainkan karena benar-benar telah melakukan korupsi. Pengadilan selalu me nyatakan terbuktisecara sah dan meyakinkan bahwayangterkena OTTitu melakukan korupsi dan menghukumnya.

Vonis-vonis penghukuman oleh pengadilan tingkat pertatna terhadap koruptor yang terkena OTT KPK selalu dikuatkan oleh putusan pengadilan banding di pengadilan tinggi, kasasi di Mahkamah Agung (MA), bahkan sampai tingkat peninjauan kembali(PO) di MA. Itu artinya, orang yang terkena OTT memang telah benarbenar melakukan korupsi. Coba sebut satunamapun, selama ini apakah ada orang yang terkena OTT KPK kemudian tak terbukti korupsi? Tidak ada satu pun. Semua dihukum dan hukuman itu selalu dikuatkan sampai ke MA.

Hanya, orang-orang yang terlalu naif yang percaya bahwa KPK melakukan OTT karena tiba-tiba ada laporan dari map syarakat tentang adanya tran- y saksi penyuapan. Harus diyakini bahwa beberapa hari sebelum melakukan OTT terhadap sesek orang, KPK sudah melakukan ke penyadapan tentang pembica- O raan, tanggal dan jam tentang janji-janji ketemu, objek yang dibicarakan, uang yang di-kolusikan, SMS, dan sebagainya.

KPK selalutahulebih duluitu semua, terkadang lengkap de ngan foto-foto pendukungnya. Bahkan, KPK tahu kalau handphone yang dipakai berganti ganti. Pembicaraan teleponnya pun selalu diperdengarkan di sidafig sidang pengadilan yang terbuka untuk umum sehingga terdakwa tak berkutik dan bukan hanya hakim yang yakin melainkan juga masyarakat.

Maka itu, kewenangan menyadap oleh KPK tak boleh ditiadakan. KPK belum pernah gagal membuktikan bahwa yang di-OTT karena penyadapan benar-benar koruptor. Sebaliknya, tak satupunada orangyang diketahui oleh publik disadap oleh KPKsebelumyang bersang kutan benar-benar di-OTT.Itu berarti bahwa penyadapan itu tidak pernah disalahgunakan dan tidak melanggar privacy atau HAM seseorang.

Ya, KPK harus terus kita dukung dengan kewenangankewenangan eksklusifnya. Tetapi tak salah juga jika KPK dicubit dengan kritik, misalnya, “Apa KPK masih hidup?” Kritik beginitetap harus disampaikan karena memang ada beberapa kasus yang penanganannya oleh KPK agak ganjil di mata publik. Isu grand corruption” yang dilemparoleh KPK sendiri, misalnya, tampaknya berhenti di tengah jalan dan terkesan hanya menghukam orang yang telanjur ditangkap dan ditersangkakan. Yang lain, pelanpelan, dilewatkan.

Contoh lain, syarat niat jahat” untuk dugaan korupsi diberlakukan untuk orang ter tentu tetapi tidak diberlakukan untuk orang orang lain, misalnya terhadap Prof Fasich, tanpa pertanggungjawaban publik yang memadai padahal actus reus-nya sama. Itu kritik yang mau tidak mau, harus disampaikan kepada KPK. Tetapi secara keseluruhan, KPK masih sangat OK dan harus kita dukung demi “Masa depan Indonesia.”

Tulisan ini telah dimuat dalam koran SINDO, 24 September 2016.

Penulis: Prof. Dr. Moh. Mahfud MD, S.H., S.U.

Dosen Fakultas Hukum Universitas Islam Indonesia (FH UII), Departemen Hukum Tata Negara

Diantara banyak kritik dan kecaman atas perkembangan politik dan ketatanegaraan kita pascareformasi adalah pengambilan putusan di berbagai lembaga negara melalui pemungutan suara (voting). Kata para pengecam, negara kita telah terperosok ke dalam demokrasi Barat yang mengutamakan voting, padahal demokrasi kita adalah pe:musyawaratan.

Kata para pengkritik, di dalam permusyawaratan, semua hal harus dibicarakan dari hati ke hati untuk mencari kesepakatan bersama yang kemudian dilaksanakan secara gotongroyong. Nenek moyang kita tidak pernah mengambil putusan dengan ‘voting, mereka selalu bermusyawarah untuk mengambil putusan. Itulah, kata para pengkritik, amanat para pendiri negara.

Kritik itu ada benarnya, tetapi banyak salah-ya. Di mana letak salahnya? Harus diingat bahwa para pendiri negara (founding father) kita yang dulu juga mernbentuk UUD 1945 ketika memperdebatkan dasar dan undang-undangdasur negara mengambil putusan-putusannya antara lain, melalui voting.

Keputusan bentukpemerin tahan republik pun dilakukan melalui voting. Di Badan Penyelidik Usaha-usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia (BPUPKI) ada yang menghendaki Indonesia dibangun dengan bentuk monarki (kerajaan) dan ada yang menghendaki bentuk demokrasi (republik). Saatperdebatan memanaspada Sidang BPUPKI tanggal 10 Juli 1945, Yamin mengusulkandilakukan voting (diundi).

Usul Yamin itu disetujui Ke tua BPUPKI Radjiman Wedyodiningrat. Setelah divoting diperoleh hasil:54 orang mendukung bentuk republik, 6 orang mendukung bentuk kerajaan, dan 1 orang abstain. Jadilah negara ini negara Republik Indonesia, bukan Kerajaan Indonesia.

Begitu juga saat akan ditentukan bentuk negara, apakah Indonesiaberbentuk negara ke
satulan atau negara federal, keputusannya dilakukan melalui voting, Hatta mengusulkan agar Indonesia diberi bentuk negara federal yang menurutnyalebih cocok untuk Indonesia yang sangatluas. Tapi Bung Karno dan banyak anggota lainnya menghendaki negara kesatuan.

Karena Hatta agak ngotot, akhirnya diputuskan melalui voting. Hasilnya hampir sama, usul Hatta tentang bentuk negara federal didukung oleh 6 orang anggota BPUPKI, se dangkan selebihnya memilih bentuk negara kesatuan. Jadi sebenarnya voting itu tidak haram karena bentuk pemerintahan dan bentuk negara kita pun dibangun melalui voting.

Bahkan di dalam UUD 1945 yang dibentukoleh para pendiri negara itu, seperti yang tertulis di dalam Pasal 2 ayat (3), ditegaskan bahwa “segala putusan Majelis Permusyawaratan Rakyat ditetapkan dengan suara yang terbanyak”. Salah satucara terpenting untuk menetapkan “dengan suara yang terbanyak” adalah voting.

Pada pidato tanggal 1 Jun 1945 yang kemudian dikenal se bagai “Pidato Lahirnya Pancasi la” itu pun Bung Karno mene kankan pentingnya berebu suara sebanyak-banyaknya d kursi parlemen. Padasaat terjad pembelahan antara pendukung negara Islam dan negara ke bangsaan-sekuler di BPUPKI Bung Karno menyatakan kita tidak perlu mendirikan negara Islam.

Inilah kata Bung Karno “Jikalau kita memang rakyat Islam, marilah kita bekerja se hebat-hebatnya agar supaya se bagian terbesar daripada kursikursi badan perwakilan rakyat yang kita adakan diduduki oleh utusan-utusan Islam … Kalau misalnya orang Keristen ingin bahwa tiap-tiap letter di dalam peraturan-peraturan negara Indonesia harus menurut Injil, be kerjalah mati-matian agar supaya sebagian besar dari utusan-utusan yang masuk badan perwakilan Indonesia ialah orang Kristen.”

Siapa pun pasti paham bahwa dari isi pidato Bung Karno itu tidak ada arti lain bahwa peng ambilan putusan negara bisa de ngan cara mengadu banyaknya kursi dan dukungan melalui vo ting. Dengandemikian tidakada yang salah jika kita mengguna kan cara voting dalam hal-hal yang tidak bisa disepakati bersama. Kalau tidak begitu, bisa terjadi banyak deadlocked dan penyelenggaraan negara bisa macet sehingga timbul anarkidi tengah-tengah masyarakat.

Sebenarnya seperti dikatakan, antara lain oleh Bung Karno dan Yamin di sidang-sidang BPUPKI,pahamaslikedaulatan rakyat Indonesia adalah musyawarah untuk mufakat. Maka itu kita membuat lembaga permusyawaratan yang harus berembuk, mengupayakan permufakatan tanpa tendensi menentukan yang menang dan yang kalah.

Di lembaga permusyawaratan, semua harus dimusyawarah kan dengan saling memberi dan menerima. Yang besar harus to leran dan jangan sewenang-wenang, yang kecil harus berbesar hati dan tetap dihargai. Itulah yang pada tanggal 1 Juni 1945 dikatakan oleh Bung Karno sebagai”gotong-royong”. Dalam term politik dan ketatanegaraan modern, inilah yang disebut deliberative democracy.

Tapi para pendiri negara pun tahu betul bahwa tidaklah mungkin semua hal bisa diputuskan dengan musyawarah mufakat. Maka diadopsilah satu lembaga demokrasi yang datang dari Barat, yakni lembaga perwakilan (representative body) atau parlemen. Baik republik maupun lembaga perwakilan adalah bagian dari konsep demokrasi Barat.

Di parlemen dalam demokrasi Barat semua kelompok politik, melalui wakil-wakilnya, bisa mengambil putusan melalui perebutan kemenangan de ngan voting. Nah, untuk mempertemukan nilai-nilaibaik dari musyawarahala Indonesia(mufakat) dengan lcontestasi politik ala Barat (voting), di dalam konstitusi kita dibentuk lemba ga permusyawaratan dan perwakilan.

Permusyawaratan melambangkan dan menanamkanjiwa kearifan budaya Indonesia yang tidak mengandalkan pertarungan untuk menang berdasarkan jumlah suara. Adapun lembaga perwakilan yang me rupakan konsep representative body dari Barat dipergunakan, jika perlu, untuk voting dalam pengambilan keputusan. Tapi voting kita harus didahului de ngan upaya musyawarah sampai maksimal untuk kemudian, hasilnya, dilaksanakan dengan semangat kebersamaan dangotong-royong.

Tidak benar juga jika dikatakan, sekarang semuanya serbavoting. Berdasar peraturan tata tertib DPR dan berdasar peng alaman saya menjadi anggota DPR, pembuatan pun harus melalui musyawarah, pembuatan daftar inventarisasi masalah, lobi-lobi untuk mufakat, sampai akhirnya diambil putus an. Terkadang keputusan dilakukan dengan aklamasi dan terkadang dengan voting. Tapi jauh lebih sedikit yang diputuskan dengan voting daripada yang berhasil dicapai dengan musyawarah mufakat. Mau adu data?

Tulisan ini telah dimuat dalam koran SINDO, 10 September 2016.

Penulis: Prof. Dr. Moh. Mahfud MD, S.H., S.U.

Dosen Fakultas Hukum Universitas Islam Indonesia (FH UII), Departemen Hukum Tata Negara

Kamis malam, 1 September 2016, sekitar pukul 19.30 WIB ada panggilan masuk ke handphone saya. Dengan agak malas karena capai setelah beberapa jam mengetik untuk menyiapkan naskahorasi, saya angkathandphone itu. Ternyata yang menelepon adalah wartawan sebuah media online terkemuka. Meski agak malas untuk diwawancarai, saya tergelitik juga atas pertanyaannya.

“Pak, hari ini Presiden memanggil para hakim MK untuk membicarakan judicial review atas UU Tax Amnesty. Bagaimana menurut Bapak?” tanya wartawan itu dari ujung telepon. “Haaah , Presiden memanggil hakim MK?” saya balik bertanya. “Tak mungkin Presiden memanggil hakim-hakim MK, tak mungkin pula hakim-hakim MK mau dipanggil oleh Presiden. Sebab Presiden dan para hakim MK pasti tahubahwahalitu tidak boleh dilakukan,” sambung saya.

Wartawan itu berusaha meyakinkan saya denganceritaagakdetailbahwa Presiden memang memanggil hakim-hakim MK pada Kamis kemarin. Saya pun berusaha meyakinkan wartawan tersebut bahwa tak mungkin hakim-hakim MK mau dipanggil oleh Presiden dan tak mungkin Presiden’memanggilhakim-hakim MKuntuk membicarakan perkara yang sedang berlangsung.

“Itu hal yang dilarang, baik oleh hukum maupun oleh etika,” jawab saya. Kemudian saya pun menjelaskan, mungkin saja hakim-hakim MK bertemu dengan Presiden, tetapi tak mungkin membicarakan perkara yang sedang ditangani MK. “Bagaimana menurut aturan dan menurut pengalaman Bapak?” tanya wartawan itu lagi.

Dengan tetap yakin bahwa tak mungkin Presiden memanggil hakim-hakim MK dan tak mungkin hakim-hakim MK begitu bodoh untuk mau dipanggil oleh Presiden, saya jelaskan kepada wartawan itu.

Anda boleh cek ke mana pun dankepada siapapun, terinasuk kepada (mantan Presiden SBY dan orang-orang dekatnya. Selama memimpin MK saya tak pernah dipanggil oleh Presiden atau menghadap Presiden untuk membicarakan perkara. Itu haram hukumnya.

Presiden SBY dan saya samasamatahubahwakamitidakbo-leh inembicarakan perkara di luar sidang resmi MK yang terbuka untuk umum. Ketika dulu MK menangani perkara hasil Pilpres 2009, saat kemenangan pasangan SBY-Boediono digugat oleh dua pasangan lainnya, ada isu berembus kencang bahwa Ketua MK bertemu Presiden pada 01.00 dini hari di Cikeas. Dua hari menjelang pengucapan putusan atas sengketa hasil pilpres itu, isu tersebut menyeruak melalui SMS berantai dan beberapa media online.

Teman saya yang wartawan senior, Freddy Ndolu, pukul 05.00 WIB menelepon saya. “Pak Ketua, ini santer berita, Pak Ketua tadi bertemu Pak SBY di Cikeas untuk mengatur putusan. Apa boleh begitu?” tanyanya de nganserius. Sayajawab, ituberita sampah. “Sudah beberapa hari saya bersama hakim-hakim MK dan para panitera tidur di Gedung MK untuk menyiapkan vonis.Sejak kemarin saya bersama merekadi Gedung MK dan saya tidak ke mana-mana,” jawab saya.

Sambil bercanda saya jelaskan kepada Freddy, tak mungkin SBY memanggil saya di tengah malam karena itu waktunya tidur dan Presidenpastimengantuk.Saya pun tidak maudipanggil Presiden di tengah malam karena saya juga mengantuk. “Menurut hukum, Presiden tidak boleh memanggil ketua MK, tetapi Ketua MK boleh memanggil Presiden untuk hadir di persidangan,” kata saya.

Apakah sebagai ketua MK saya tak pernah bertemu dengan Presiden? Tentu sering sekali, tetapi tidak pernah membicarakanperkara dan tidak hanya dua pihak. Saya sering bertemu Presiden dalam acara pertemuan rutin antarpimpinan lembaga negara. Saya sering bertemu dan duduk semeja dengan Presiden dalam acara gala dinner menyambut kepala negara atau pemerintahan asing yang menjadi tamu resmi negara.

Saya sering bertemu Presiden dalam acara-acara kenegaraan atau hari-hari besar nasional yangbisa dilihat olehumum. Tapi kami tak pernah berbicara perkara yang sedang ditangani MK. Meski dalam beberapa hal saya mengkritik SBY, dalam hal ini saya jujur memuji SBY. Dia tidak pernah menanyakan perkara apapun ketika bertemu dengan saya.

Memang SBY pernah meng hubungi saya menanyakan vonis MK yang sudah diputus, bukan perkara yang sedang diperiksa. Misalnya saat MK memutus bahwa paspor dan KTP bisa dipergunakan untuk memilih di TPS, SBY menelepon saya untuk memastikan apa benar vonisnya begitudan bagaimana detail teknisnya. Saat MK memutus bahwa jabatan Jaksa Agung HendarmanSupandjiharusberakhir atau segera diangkat lagi, SBY yang belum mendapat salinan vonis langsung menelepon saya untuk memastikan “Saya ingin tahu dari Pak Mahfud agar nanti Presiden tidak salah dalam melaksanakan vonis MK,” kata SBY ketika itu.

Jadi kalau Presiden menghubungi Ketua MK tidak boleh membicarakan perkara yang sedang berjalan atau sesuatu yang berpotensi menjadi perkara di MK. Paling banter Presiden hanya boleh menanyakan perkara yang sudah divonis untuk memastikan kebenaran isinya. Mendapat penjelasan itu, wartawan masih mengejar saya dengan pertanyaan, “Apa Ketua MK dan hakim-hakim MK benar-benar tidak pernah bertemu secara terbatas dengan Presiden?”

Sayajawab, tentu pernah Ke tika anak saya akan menikah saya bertemu Presiden untuk menyampaikan undangan langsung secara pribadi. Saat akan menggelar konferensi internasional antar-MK sedunia, kami para hakim MK menemui Presiden secara khusus untuk menyampaikan permohonanmembuka dan memberi amanat. Tapi tak pernah sekali pun MK bertemu dengan Presiden untuk membicarakan perkara yang sedang ditangani atau sesuatu yang berpotensi menjadi perkara di MK. Itu haram hukumnya.

 

Tulisan ini telah dimuat dalam koran SINDO, 3 September 2016.