Departemen Hk. Tata Negara FH UII selenggarakan Seminar Nasional Menyoal Dinasti Pilkada dan Potensi Korupsi
Tamansiswa (20/5) Departemen Hukum Tata Negara Fakultas Hukum Universitas Islam Indonesia menyelenggarakan seminar nasional dengan topik “Dinasti Politik Dalam Pilkada & Potensi Korupsi Di Daerah” Sabtu, 20 Mei 2017 di Ruang Sidang Lt. 3 Gd. Prof. Moch Yamin Jl. Tamansiswa 158 Yk. Acara dibuka Dekan FH UII Dr. Aunur Rohim Faqih, SH., M.Hum dan hadir sebagai keynote speaker Dr. Aunur Rohim Faqih, SH., M.Hum
Pasal dinasty politik yang dinilai Prof. Mahrud bertentangan dengan Pasal 28 ayat (2) UUD 1945 sehingga dia mengatakan “Jikalau setiap orang yang mempunyai hubungan keluarga kemudian dilarang mencalonkan diri, itu tidak adil, itu pandangan MK kala itu.” Salah satu jalan keluar adalah memperketat instrumen hukum pilkada. Setidaknya sebuah harapan ke depan bagi Indonesia, dilihat dari sejumlah pelanggaran pilkada ditangani MK saat ini, lain halnya ketika pada masa orde baru.
Seminar ini menghadir tiga orang pembicara berkaliber nasional yaitu Prof. Dr. Ni’matul Huda, S.H., M.Hum. dari Fakultas Hukum UII Yogyakarta berbicara tentang “Dinasti Politik, Otonomi Daerah, dan Good Governance”. Pembicara kedua adalah Prof. Dr. Saldi Isra, S.H., M.PA memandang ke depan dengan makalahnya yang berjudul “Dinasti Politik dan Masa Depan Demokrasi Indonesia”. Dan Dr. W. Riawan Tjandra S.H., M.Hum. yang menelaah “Pengawasan & Pencegahan Korupsi terhadap Dinasti Politik di Daerah”.
Dalam praktik penyelenggaraan pemilihan kepala daerah sejak tahun 2005, muncul satu fenomena hadirnya dinasti politik, yaitu adanya kesinambungan pemerintahan dari lingkaran satu keluarga baik orang tua-anak, suami-istri, kakak-adik, dan lain-lain, bahkan untuk satu wilayah provinsi dengan melihat fenomena bupati/wali kota memiliki hubungan kekerabatan dengan gubernur. Tidak semua fenomena ini menghadirkan praktik yang jelek karena adanya kemajuan dan kesinambungan pembangunan di daerahnya. Namun, tidak sedikit justru menimbulkan persoalan baru karena adanya hegemoni atas berbagai sumber kekuasaan politik, ekonomi, dan sosial di masyarakat. Fenomena inilah yang kemudian menjadi kritik masyarakat atas berbagai fakta di lapangan yang mengarah pada terciptanya sebuah dinasti politik di daerah yang melanggengkan kekuasaan keluarga melalui keikutsertaannya dalam penyelenggaraan pemilihan kepala daerah.
Meskipun cara seperti itu tidak dapat disalahkan, baik secara aturan maupun secara proses demokrasi, faktanya persoalan dinasti politik tersebut telah mencederai prinsip demokrasi itu sendiri. Untuk mengatasi problem ini, pemerintah mencoba mensiasati pengaturan tentang pencalonan kepala daerah dengan mengatur pembatasan terhadap pasangan calon yang mempunyai hubungan kekerabatan atau garis keturunan. Pasal 7 huruf r Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2015 tentang Pemilihan Gubernur, Bupati, dan Wali Kota terkait syarat yang melarang bakal calon kepala daerah memiliki hubungan darah/perkawinan dengan petahana. Dalam pasal 7 huruf r UU tersebut menyatakan, “seseorang yang mempunyai hubungan darah atau ikatan perkawinan dan/atau garis keturunan 1 (satu) tingkat lurus ke atas, ke bawah, ke samping dengan petahana yaitu ayah, ibu, mertua, paman, bibi, kakak, adik, ipar, anak, menantu, tidak boleh maju menjadi calon gubernur dan wakil gubernur, bupati dan wakil bupati, serta wali kota dan wakil wali kota kecuali telah melewati jeda 1 (satu) kali masa jabatan”.
Terhadap aturan di atas, MK berpandangan lain. Melalui Putusan MK Nomor 33/PUU-XIII/2015 dinyatakan bahwa norma Pasal 7 huruf r UU Pilkada adalah inkonstitusional. MK berpendapat Pasal tersebut bertentangan dengan Pasal 28I ayat (2) UUD 1945. Konsekuensi logis dari Putusan MK tersebut menumbuh suburkan praktik dinasti politik di daerah. Adapun dampak negatif yang ditimbulkan dengan banyaknya praktik dinasti politik di daerah cendrung melahirkan pemerintahan yang koruptif. Saat ini terdapat tujuh kasus korupsi yang melibatkan kepala daerah akibat dinasti politik. Mereka diantaranya Ratu Atut (Banten), Atty Suharti (Cimahi), Yan Anton Ferdian (Banyuasin), Syaukani (Kutai Kartanegara), Fuad Amin (Bangkalan), dan Sri Hartini (Klaten).
Dinasti politik, korupsi kepala daerah, dan Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) dianggap memiliki relevansi antara satu sama lain. Dinasti politik tumbuh subur memunculkan raja-raja kecil di daerah dan menguasai berbagai lini jabatan di daerah. Dinasti politik di Indonesia oleh sebagian kalangan dijadikan sebagai salah satu upaya untuk melanggengkan kekuasaan dan penguasaan aset di daerah. Tidak heran praktik koruptif dapat mewabah hampir di setiap daerah. Tentu dibutuhkan suatu alternatif kebijakan terhadap merebaknya isu dinasti politik. MK yang mendalilkan dinasti politik konstitusional, tentu harus diikuti dengan tingkat kelaziman yang wajar. Sebab jangan sampai dinasti politik justru merusak tatanan demokrasi itu sendiri.
Tautan materi:
Dinasti Politik Otonomi Daerah Dan Good Governance oleh Prof. Nimatul Huda
Pengawasan dan Pencegahan Korupsi terhadap Dinasti Politik di Daerah oleh Dr. W. Riawan Tjandra
Tautan lain: