Saksi Pemilu
Saksi Pemilu
Jamaludin Ghafur, SH., MH[1]
Good people do not need laws to tell them to act responsibly, while bad people will find a way around the law (Plato)
Sampai hari ini RUU pemilu belum juga menemui kata sepakat untuk segera disahkan menjadi UU. Sebagian materinya masih menjadi perdebatan dan belum menemui titik konsensus baik di internal DPR maupun antara DPR dengan Pemerintah (Presiden).
Salah satu yang menarik untuk dicermati adalah tentang saksi pemilu. Sebelumnya muncul usulan agar semua saksi pemilu dibiayai oleh negara. Hal ini mengingat besarnya dana yang harus dikeluarkan oleh para calon anggota legislatif (caleg) dalam membiaya sanksi di setiap TPS.
Dalam perkembangannya, ide ini nampaknya tidak akan diakomodir karena adanya penolakan dari sebagian besar rakyat Indonesia. Selain karena saksi merupakan kepentingan masing-masing individu caleg, juga sudah tersedia pengawas pemilu di setiap TPS yang tugas dan fungsinya mengawasi agar tidak ada kecurangan dalam pelaksanaan pemilu.
Perkembangan termutakhir, DPR dan Pemerintah bersepakat bahwa segala hal yang berkaitan dengan pembiayaan saksi sepenuhnya ditanggung oleh masing-masing caleg, namun ada keinginan yang kuat agar para saksi tersebut dilatih oleh bawaslu/panwaslu sehingga memiliki skil dalam melakukan pengawasan.
Kredibilitas Pengawas Pemilu
Munculnya wacana agar negara membiayai saksi pemilu mengindikasikan dua hal: Pertama, biaya yang dikeluarkan oleh setiap caleg untuk hal ini cukup besar. Padahal, ongkos politik setiap caleg bukan hanya soal biaya saksi tetapi masih banyak pembiayaan lainnya yang juga membutuhkan dana yang tidak sedikit. Sudah menjadi rahasia umum bahwa biaya untuk menjadi caleg sangatlah besar, sementara besaran gaji yang akan diterima tidak sebanding dengan biaya yang telah dikeluarkan selama pemilu. Akibatnya, jalan pintas korupsi menjadi tidak terhindarkan.
Kedua, belum adanya kepercayaan yang penuh dari para caleg terhadap profesionalitas dan kredibilitas sebagian besar pengawas pemilu yang ditunjuk secara resmi oleh negara. Ketidakpercayaan inilah yang kemudian dijawab oleh para caleg dengan menempatkan saksi di setiap TPS dengan biaya sendiri.
Dugaan ini belum tentu benar, tetapi juga tidak sepenuhnya salah karena faktanya masih banyak oknum-oknum penyelenggara pemilu baik KPU maupun Bawaslu/panwaslu yang dijatuhi saksi karena tidak netral dan menguntungkan pihak-pihak tertentu.
Banyaknya pelanggaran hukum termasuk pelanggaran pemilu yang berkorelasi dengan minimnya pengawasan menunjukkan bahwa mayoritas masyarakat dan juga aparatur pemerintah kita baru berhukum secara artifisial belum secara substantif. Artinya, sebagian besar kita baru taat dan patuh terhadap hukum jika ada pengawas. Pada saat tidak ada satupun orang yang melihat, pelanggaran hampir pasti terjadi.
Sejalan dengan hal tersebut, Soetandyo Wignjosoebroto (2007) menyatakan bahwa ketaatan kita terhadap hukum baru sebatas kognitif atau formalisme dan positivistik dimana kepatuhan terhadap hukum disebabkan oleh “ketakutan” terhadap ancaman sanksi, belum sampai pada tingkatan afektif yaitu karena kesadaran bahwa hukum itu mengandung kebenaran, kebaikan bersama serta untuk kehidupan semesta yang lebih tertib dan aman.
Solusi
Fakta bahwa sebagian besar masyarakat baru berhukum secara formalistik merupakan suatu realita yang mesti harus kita akui secara jujur. Oleh sebab itu, selain kita harus terus mendorong agar masyarakat berpindah ketaatan hukumnya dari gatra kognitif ke gatra afektif, untuk jangka pendek saat ini kita masih perlu memperbanyak pengawasan termasuk dalam penyelenggaraan pemilu agar tetap berlangsung jujur dan adil sebagaimana amanat konstitusi.
Jika menempatkan satu saksi untuk satu TPS dirasa cukup membebani anggaran, maka kita dapat memamfaatkan jasa teknologi sebagai pengganti manusia untuk menjadi pengawas pemilu. Salah satu teknologi yang dapat kita gunakan adalah cctv atau kamera yaitu dengan adanya pengaturan dalam UU pemilu bahwa seluruh tahapan-tahapan pemilu yang sangat penting terutama pada saat pemungutan dan penghitungan suara diwajibkan untuk direkam sehingga semua berjalan transparan. Tidak boleh ada satupun kegiatan yang dilakukan oleh penyelenggara pemilu yang dapat berpengaruh terhadap keterpilihan caleg yang luput dari sorotan kamera sehingga hal ini diharapkan dapat mengurangi atau bahkan mencegah seseorang untuk berbuat curang.
Secara yuridis, hasil rekaman baik suara maupun visual asalkan dilakukan dengan cara-cara yang legal dapat dijadikan alat bukti dalam mengungkap sebuah tindak kejahatan atau pelanggaran. Hal ini sesuai dengan Pasal 5 ayat (1) UU ITE yang mengatur bahwa Informasi Eletkronik dan/atau Dokumen Elektronik dan/atau hasil cetaknya merupakan alat bukti hukum yang sah.
[1] Dosen Hukum Tata Negara dan Peneliti Pusat Studi Hukum dan Konstitusi FH UII Yogyakarta. Kandidat Doktor FH UI Jakarta.