Wapres dalam Tafsir Konstitusi oleh Despan Heryansyah, S.H.I., M.H.
Wapres dalam Tafsir Konstitusi
”Presiden dan Wakil Presiden memegang jabatan selama lima tahun, dan sesudahnya dapat dipilih kembali dalam jabatan yang sama, hanya untuk satu kali masa jabatan.”
BUNYI cuplikan Pasal 7 UUD 1945 tersebut acap tengah menjadi polemik, akhir-akhir ini. Terkhusus bila dikaitkan dengan masa jabatan wakil presiden. Dalam Pasal 7 tersebut dan bahkan dalam UUD 1945 secara keseluruhan, memang tidak ada penjelasan terkait dengan batasan masa jabatan itu apakah jika menjabat secara berturut-turut atau termasuk yang tidak berturut-turut.
Berbagai tafsir dikemukakan, dengan variasi pendapat yang berlawanan. Kalau kita coba tarik ke atas, akar dari polemik ini adalah berhubungan dengan keinginan salah satu partai ‘penguasa’ untuk mencalonkan kembali Wakil Presiden Jusuf Kalla pada Pemilu 2019 mendatang. Padahal JK sendiri sudah menjabat wakil presiden selama dua kali masa jabatan, yaitu pada periode pemerintahan Presiden SBY dan saat ini periode Presiden Jokowi.
Dari aspek politik JK memang sangat ëmenjualí. Selain seorang politisi (mantan ketua umum Golkar), dirinya juga Ketua Dewan Masjid Indonesia yang merepresentasikan Islam sebagai agama dengan penduduk terbanyak di Indonesia. Dirinya disebut-sebut paling cocok untuk kembali mendampingi Jokowi pada pilpres mendatang, yang selain memiliki elektabilitas tinggi juga untuk menepis tuduhan ‘komunis’kelompok tertentu kepada Presiden Jokowi. Maka pertanyaannya, bisakah JK dicalonkan kembali menjadi cawapres pada pemilu mendatang?
Penulis ingin melihatnya dari aspek historis dan yuridis. Pertama, harus diingat bahwa pembatasan masa jabatan presiden dan wakil presiden adalah dilatarbelakangi otoritarianisme Orde Lama dan Orde Baru yang menjabat selama puluhan tahun. Pengalaman mengajarkan bahwa jabatan yang tidak dibatasi akan berdampak negatif bagi kehidupan berbangsa dan bernegara. Lalu mengapa kita harus kembali kepada masa lalu dan membuka peluang kembalinya otoritarianisme melalui wakil presiden?
Kedua, dari aspek yuridis, UUD memang tidak memberikan penjelasan apakah perpanjangan satu kali masa jabatan itu untuk jabatan yang berturut-turut ataukah termasuk yang bukan berturut-turut. Oleh karenanya terbuka peluang untuk menafsirkannya lain dari maksud UUD. Meskipun jika dibaca secara historis maksud dari Pasal 7 UUD 1945 itu adalah untuk membatasi masa jabatan presiden dan wakil presiden secara bersamaan maksimal dua kali masa jabatan. Namun harus dipahami, sebagai norma yang lebih konkret dari UUD adalah UU yang memberikan penjelasan lebih rinci terkait ketentuan di dalam UUD. Undang-undang yang demikian ini dalam praktek ketatanegaraan disebut dengan undang-undang organik.
Berkaitan dengan hal ini, dalam penjelasan Pasal 169 UU No 17 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum menyatakan: ìYang dimaksud dengan ëbelum pernah menjabat dua kali masa jabatan dalam jabatan yang samaí adalah yang bersangkutan belum pernah menjabat dalam jabatan yang sama selama dua kali masa jabatan, baik berturut-turut maupun tidak berturut-turut, walaupun masa jabatan tersebut kurang dari lima tahunî. Ketentuan di dalam undang-undang Pemilu ini telah dengan jelas menutup peluang bagi Wakil Presiden JK untuk mencalonkan atau dicalonkan kembali pada pemilu mendatang. Meskipun letaknya di penjelasan, namun ia menyatu dengan norma di dalam batang tubuh, selain memang keberadaannya UU ini adalah sebagai UU organik.
Ketiga, dari aspek HAM dan demokrasi, bahwa untuk dicalonkan, mencalonkan diri, dan menduduki jabatan publik adalah hak asasi setiap manusia tanpa ada diskriminasi. Namun, hal itu harus dibatasi untuk menghindari jabatan publik yang hanya dipegang oleh satu orang. Karena dapat menghilangkan hak yang lain untuk menduduki jabatan yang sama, terlebih kekuasaan yang tidak terbatas selalu memunculkan kesewenang-wenangan.
Kita patut mengapresiasi pernyataan Wakil Presiden JK yang beberapa waktu lalu yang menyatakan tidak akan maju lagi pada pilpres mendatang. Semoga dalih ëtugas partaií tidak mengalahkan komitmen itu.
Despan Heryansyah, S.H.I., M.H.
Peneliti Pusat Studi Hukum Konstitusi (PSHK)
Artikel ini dimuat Surat Kabar Harian Kedaulatan Rakyat, Rabu 14 Maret 2018