FH UII Kembali Melahirkan Doktor di Bidang Hukum
Promovendus Zairin Harahap, S.H., M.Si. lulus dalam ujian terbuka
Universitas Islam Indonesia tidak henti-hentinya melahirkan punggawa hukum, kali ini diwujudkan dengan bertambahnya jumlah doktor yang ada di lingkungan Fakultas Hukum Universitas Islam Indonesia (FH UII) yaitu Dr. Zairin Harahap, S.H., M.Si.. Dengan demikian, telah terlahir 75 doktor dari ‘rahim’ UII.
Sidang terbuka program doktor di laksanakan di gedung Pasca Sarjana Fakultas Hukum UII pada hari ini Sabtu (28/04). Bpk Zairin Harahap dinyatakan mampu menyampaikan dan mempertahankan argumen disertasinya dan lulus dengan predikat Sangat Memuaskan. Topik disertasi yang ia pertanggung jawabkan di depan penguji dan civitas akademika secara ilmiah adalah “Penerapan Asas Persamaan di Hadapan Hukum (Equality Before The Law) dalam Pembentukan dan Pengujian Undang-Undang: Kajian Penentuan Pejabat Publik di Indonesia”.
Bpk. Zairin mengawali presentasi ringkasan disertasinya dengan mengingatkan kembali betapa pentingnya keberadaan asas Equality Before The Law kepada penguji. Menurut Bpk. Zairin, asas persamaan di hadapan hukum sejak awal telah tercantum di dalam Pasal 27 ayat (1) Undang-Undang Dasar 1945 (UUD 1945) dan setelah adanya perubahan terhadap UUD 1945, keberadaan asas tersebut semakin diperkuat dengan dicantumkannya dalam beberapa pasal perubahan UUD 1945. Kemudian ia menegaskan bahwa UUD merupakan aturan pokok/dasar negara yang menjadi dasar terbentuknya undang-undang (UU), oleh karenanya pembentuk UU harus mengacu kepada UUD 1945 sebagai hukum tertinggi.
Dalam realitasnya prinsip tersebut belum diperhatikan oleh pembentuk undang-undang terkait penentuan pejabat publik, khususnya mengenai ketentuan diperbolehkan atau tidaknya seorang mantan atau narapidana menjadi Pejabat Publik di Indonesia. Zairin Harahap membuktikan realitanya dengan keberadaan frasa ‘tidak pernah’ di dalam UU Nomor 10 Tahun 2008 dan UU Nomor 8 Tahun 2012, sedangkan di dalam UU Nomor 12 Tahun 2003 dan UU Nomor 3 Tahun 1999 menggunakan frasa ‘tidak sedang’, bahkan jika ditelaah lebih lanjut Mahkamah Konstitusi (MK) pun turut tidak mengindahkan, dengan adanya beberapa putusan yang bernuansa ‘inkonsisten’.
Selain itu, permasalahan mengenai pembentuk undang-undang yang tidak memperhatikan Putusan MK mengenai ketentuan yang ada kaitannya dengan penentuan pejabat publik tersebut dan menghidupkan kembali norma yang sudah dibatalkan oleh MK juga menjadi problematika tersendiri. Padahal seharusnya ketika suatu norma sudah dinyatakan inkonstitusional oleh MK dan sepanjang UUD nya belum diubah, maka norma tersebut tidak dapat dihidupkan kembali. “Untuk itulah, saya melakukan penelitian ini dan memberikan kajian dari perspektif Penentuan Pejabat Publik di Indonesia. Karena di dalamnya cukup banyak permasalahan mengenai penerapan asas ini,” ujarnya.
Sebelum menutup penyampaian ringkasannya, ia menyampaikan beberapa saran yang ia gagas berdasarkan hasil penelitiannya, (1) bahwa Putusan MK bersifat final dan mengikat, termasuk mengikat pembentuk UU. Oleh karena itu pembentuk UU harus mengindahkan Putusan MK sepanjang tidak terdapat alasan moralitas yang kuat dan perubahan konstitusi. (2) Putusan MK seharusnya dimuat di dalam Lembaran Negara, karena putusan MK menegatifkan UU dan UU diundangkan dalam Lembaran Negara. (3) MK apabila hendak mengubah atau memperbaiki putusannya harus mempunyai landasan filosofis, moralitas, dan konstitusional yang kuat sehingga dapat dipertanggung jawabkan secara akademik.
Dalam sidang tersebut dihadiri oleh majelis yang terdiri dari Nandang Sutrisno, S.H., LL.M., M.Hum, Ph.D. sebagai pimpinan sidang, Prof. Dr. Moh. Mahfud MD, S.H., S.U. sebagai Promotor, Dr. Harjono, S.H., MCL. sebagai Co-Promotor, dan Prof. Dr. Saldi Isra, S.H., MPA., Prof. Dr. Enny Nurbaningsih, S.H., M.Hum., Prof. Dr. Ni’matul Huda, S.H., M.Hum., Dr. Suparman Marzuki, S.H., M.H. sebagai penguji.
Di akhir persidangan, Promotor menyampaikan selamat dan pesan kepada Promofendus yang sekaligus Direktur Lembaga Konsultasi dan Bantuan Hukum FH UII, “Dalil-dalil ilmiah itu kebenarannya relative. Dalam setiap dalil selalu ada dalil pembantah atau minimal pembandingnya. Demikian juga dengan berdinamika hukum, semua bisa benar dan semua bisa mencari dalil. Manusia cenderung mencari akal untuk membela diri, dan ketika itu terjadi yang perlu ditekankan sebagai sarjana hukum yang terpelajar bukan lagi persoalan akademik, karena perdebatan akademik telah usai di dalam kelas, yang perlu ditekankan adalah integritas moral. Karena sarjana hukum yang baik bukan hanya memahami pasal-pasal ataupun asas-asas, tapi juga etika”.
Selamat kepada Dr. Zairin Harahap, SH., M.Si., semoga Allah meridloi ilmu yang diperoleh, dan dapat bermanfaat dan berdaya guna memperbaiki kondisi hukum bangsa menjadi semakin maju dan bermartabat. Amin. [Marcomm_fhuii]