Menggugat Presidential Threshol

Menggugat Presidential Threshol

Sejumlah ahli dan akademisi menggugat keberlakuan aturan Presidential Threshold (Pres T) dalam Pasal 222 Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum ke Mahkamah Konstitusi. Pasal tersebut mengatur bahwa Pasangan Calon diusulkan oleh Partai Politik atau Gabungan Partai Politik Peserta Pemilu yang memenuhi persyaratan perolehan kursi paling sedikit 20% (dua puluh persen) dari jumlah kursi DPR atau memperoleh 25% (dua puluh lima persen) dari suara sah secara nasional pada Pemilu anggota DPR sebelumnya.

Menurut para penggugat bahwa penghitungan Pres T berdasarkan hasil pemilu DPR sebelumnya adalah irasional dan telah menghilangkan esensi pelaksanaan pemilu sehingga bertentangan dengan UUD 1945.
Ditarik kebelakang, sesungguhnya gugatan terhadap keberlakuan aturan Pres T bukan sekali ini saja. Setidaknya sudah terdapat tiga putusan terkait gugatan penerapan Pres T dalam pilpres yaitu pada Putusan MK Nomor 51-52-59/PUU-VI/2008, Putusan MK Nomor 14/PUU-XI/2013, dan terakhir Putusan MK Nomor Perkara 53/PUU-XV/2017 yang diajukan oleh Rhoma Irama. Dalam 3 putusan MK tersebut, aturan terkait Pres T dinyatakan tidak bertentangan dengan UUD 1945 dan keberlakuannya memiliki kekuatan hukum yang mengikat.

Disamping itu ditegaskan pula bahwa kebijakan Pres T merupakan kebijakan hukum yang terbuka (open legal policy) dari pembentuk Undang-undang.
Dalam salah satu pertimbangan Putusan MK 53/PUU-XV/2017 pun bahkan ditegaskan jika Pres T tetap diperlukan untuk mendorong terwujudnya sistem presidensial serta penyederhanaan multi partai karena koalisi akan terbentuk sejak awal. Pertanyaannya adalah: apa sesungguhnya yang dimaksud dengan Pres T itu? Relevankah diterapkan?

Salah Paham

Dalam praktiknya di Indonesia selama ini, Pres T dimaknai sebagai perolehan suara pemilu legislatif atau perolehan kursi dengan jumlah minimal tertentu di parlemen sebagai syarat untuk mengajukan calon presiden dan/atau wakil presiden (syarat pencalonan). Begitulah yang kita terapkan sejak Pemilu tahun 2004 hingga saat ini. Padahal dalam studi ketatanegaraan, apa yang dimaksud Pres T bukanlah syarat pencalonan. Ada tiga argumentasi untuk memutus kesalahpahaman terhadap makna Pres T.

Pertama, Pipit R. Kartawidjaja dengan mengutip pendapatnya J. Mark Payne, dkk dalam bukunya yang berjudul, “Democracies im Development: Politics and Reform in Latin America” mengatakan jika orang berbicara tentang “presidential threshold” dalam pemilu, maka yang dimaksudkan adalah syarat seorang calon presiden untuk terpilih menjadi presiden. Misalnya di Brazil 50 persen plus satu, di Ekuador 50 persen plus satu atau 45 persen asal beda 10% dari saingan terkuat; di Argentina 45 persen atau 40 persen asal beda 10% dari saingan terkuat dan sebagainya.

Ditinjau dari makna substantif dari Pres T dalam praktik di beberapa negara tersebut dapat ditegaskan bahwa Pres T adalah syarat seorang calon presiden untuk terpilih menjadi presiden dan bukan syarat pencalonan sebagai presiden dan wapres.

Kedua, di negara-negara yang menganut sistem presidensial apa yang dimaksud dengan Pres T ialah pemberlakuan ambang batas minimum bagi keterpilihan presiden.

Dengan kata lain, konteks pemberlakuan presidential threshold – kalaupun istilah ini hendak digunakan – bukanlah untuk membatasi pencalonan presiden, melainkan dalam rangka menentukan persentase suara minimum untuk keterpilihan seorang calon presiden (Syamsuddin Haris: 2012)

Ketiga, selama ini dalam Pemilu Legislatif berlaku apa yang disebut dengan parliamentary threshold, yaitu syarat perolehan suara minimal partai politik dalam pemilu untuk mendapatkan kursi di DPR. Jika menggunakan analogi ini, maka seharusnya apa yang dimaksud Pres T ialah syarat perolehan suara minimal capres dan cawapres untuk menentukan keterpilihan. Berdasarkan ketiga hal tersebut, maka Pres T itu merupakan ambang batas keterpilihan dan bukan ambang batas pencalonan.

Mendorong MK

Melihat kesalahpahaman ini MK harus didorong untuk terlibat dalam menata aturan pemilu yang demokratis. Harapannya para hakim MK dapat memaknai konstitusi tidak hanya sekedar sebagai dokumen bangsa, tetapi-meminjam istilah Keith E. Whittington- para hakim MK juga harus mampu membangun aturan yang baik untuk pemerintahan bangsa tersebut ke depan.

Dalam konstitusi sebenarnya sudah jelas bahwa, Pres T dalam arti syarat keterpilihan sesungguhnya diatur dalam Pasal 6A ayat (3) UUD 1945 dimana yang akan dilantik menjadi Pasangan calon Presiden dan wakil Presiden adalah mereka yang mendapatkan suara lebih dari 50% dari jumlah suara dalam pemilu dengan sedikitnya 20% pesen suara disetiap provinsi yang tersebar di lebih dari setengah jumlah provinsi di Indonesia. Kalau tidak ada yang mencapai syarat itu, sesuai Pasal 6A ayat (4) UUD 1945 maka pilpres digelar dua putaran dengan “mempertarungkan” dua pasangan calon yang memperoleh suara terbanyak pertama dan kedua.

Atas dasar hal itu, Pasal 222 UU Pemilu jelas bertentangan dengan UUD 1945 dan telah mengacaukan makna Pres T itu sendiri. Ke depan Pres T tidak lagi relevan diterapkan sebagai syarat untuk mengusulkan capres-cawapres, terlebih pemilu legislatif dan pilpres tahun 2019 akan digelar secara serentak.

Allan Fatchan Gani Wardhana, SH., MH
Dosen Hukum Tata Negara FH UII & Peneliti di Pusat Studi Hukum Konstitusi (PSHK) UII