Anatomi Darurat Negara Opini Idul Rishan, S.H., LL.M.
Anatoni Darurat Negara
Belum selesai tangis duka Lombok, kini daya tahan bangsa kita kembali diuji dengan guncangan 7.4 SR disertai gelombang tsunami yang melanda Palu dan sekitarnya. Sampai saat ini, korban jiwa telah mencapai hingga 844 orang dan diperkirakan akan bertambah. Bencana alam ini telah mengikis tangis mendalam bagi keluarga yang ditinggal pergi, sampai dengan dampak kerugian materil bagi para korban yang selamat. Realitas empiris semakin memperihatinkan dengan adanya fenomena “penjarahan” mini market yang dilakukan oleh korban gempa, akibat ketiadaan pasokan kebutuhan dasar yang tak kunjung datang hingga 1×24 jam. Titik tekan perdebatan mulai kembali dibawa dalam pendikotomian status bencana. Apakah penanganan dilakukan pada status level bencana daerah ataukah bencana nasional ? Bahkan, perdebatan kian awet dan semakin terawat apabila ditunggangi oleh kepentingan politik 2019. Tulisan ini hendak merespon perdebatan itu dengan menggunakan hukum darurat negara sebagai point of view.
Darurat Negara
Dalam beberapa penegasan istilah, hukum darurat negara dikenal dengan istilah state of emergency, strife, siege, noodtoestand. (John Armitage, State of Emergency:2002) Dalam konstruksi teoritis, unsur-unsur darurat negara sekurang-kurangnya bertumpu pada empat hal. Pertama, adanya kepentingan yang mendesak, kedua, tujuan diatasi sesegera mungkin, ketiga, mengancam keadaan bangsa dan negara dan keempat, penanggulangannya diatasi dengan upaya luar biasa. (Jimly Asshiddiqie, Hukum Tata Negara Darurat:2007) Untuk menanggulangi keadaan darurat, instrumen hukum diserahkan kepada perangkat negara guna mewujudkan ketertiban dan keamanan. Upaya ini dilakukan dalam semangat penanggulangan dan pemulihan keadaan sesegera mungkin hingga kembali normal. Berangkat dari tradisi konseptual, UUDN RI 1945 memberikan kewenangan kepada Presiden untuk menetapkan negara dalam keadaan darurat. Pasal 12 UUD menyatakan bahwa ”Presiden menyatakan keadaan bahaya. Syarat-syarat dan akibatnya keadaan bahaya ditetapkan dengan undang-undang”. Intensi frasa ini, berimplikasi pada dua hal. Pertama menyerahkan kuasa kepada Presiden sebagai perangkat negara yang paling absah dalam menetapkan keadaan darurat. Kedua, mengenai kriteria normatif keadaan darurat, UUD mendelegasikan kepada undang-undang.
Darurat Bencana
Jika dicermati secara komprehensif, hampir semua politik legislasi UU menempatkan bencana alam sebagai unsur darurat negara. Hal ini bisa dilacak mulai dari politik legislasi demokrasi liberal sampai era demokrasi terpimpin. Politik legislasi cukup konsisten dalam mengadopsi dampak bencana alam sebagai bagian darurat negara. UU No. 6/1946 memberikan penjelasan normatif bahwa darurat negara disebabkan karena ada serangan, bahaya serangan, pemberontakan atau kerusuhan, dan bencana alam. Begitu juga pada UU No. 74/1957 dan UU No. 23/1959 yang juga menempatkan dampak bencana alam sebagai bagian yang tak terpisahkan dalam keadaan darurat. Sayangnya inkonsistensi mulai muncul ketika fase transisi politik bergulir, pemerintah kembali menggodok UU Penanggulangan Keadaaan Bahaya (PKB). Dalam RUU ini, dampak bencana alam tidak lagi menjadi bagian dari keadaan darurat negara. Akibat besarnya tarik ulur kepentingan politik di era transisi, RUU ini kemudian ditarik dan dipeti ”es kan”. Upaya untuk merekonstruksi kembali dampak bencana alam sebagai bagian dari keadaan darurat kembali mendapatkan tempatnya dalam RUU Keadaan Darurat pada tahun 2001. Arah politik hukum kembali menempatkan dampak bencana alam sebagai bagian dari keadaan darurat. ironisnya, RUU KD kembali mengalami stagnasi dan kembali menjadi riwayat RUU yang gagal mendapatkan konsensus politik di fase transisi. kegagalan legislasi transisi pada saat itu menjadikan UU keadaan darurat kembali berayun pada UU No. 23/1959 sebagai produk hukum yang sangat sentralistik di bawah otorisasi presiden.
Hak Subjektif Presiden
Menariknya di tahun 2007 pemerintah mengesahkan UU Penanggulangan Bencana. Dalam undang-undang tersebut, ditentukan bahwa penanggulangan bencana terdiri atas dua bentuk. Pertama status bencana daerah dan kedua, status bencana nasional. Pada dasarnya tidak ada bentuk kriteria normatif secara clear crystal untuk memberikan garis demarkasi terhadap masing-masing status baik dalam level UU maupun PP. Intensinya sebenarnya cukup sederhana. Sebab, desain perundang-undangan masih menempatkan otorisasi tersebut di bawah hak subjektif Presiden. Artinya, status darurat bencana masih sangat tergantung pada politicall good will Presiden. Karena sifatnya subjektif, maka interpretasi terhadap status bencana menjadi sangat relatif disetiap rezim pemerintahan. Akibat adanya otorisasi pemberian status bencana, sikap saling tunggu antara pemerintah pusat dan daerah menjadi sebuah realitas empiris dalam menetapkan status darurat bencana.
Status ”No” Penanganan ”Yes”
Melihat bentangan empirik tersebut, ada baiknya untuk mengakhiri antinomi tersebut. Para petinggi elit seharusnya tidak lagi terjebak pada pendikotomian status bencana. Perdebatan status ini jangan sampai melupakan tujuan utama yaitu penanganan dan pemulihan secara cepat bagi para korban bencana. Satu hal yang tidak boleh terlupakan, bahwa pemberian status bencana, sama sekali tidak menghapus tanggung jawab dan peran pemerintah baik itu pusat maupun daerah. Kesalahpahaman sering terjadi seoalah-olah pemeberian status bencana ”nasional atau daerah” akan menegasikan peran pemerintah pusat, begitu juga sebaliknya. Bahkan seolah-olah membuka keran bantuan internasional akan mensegregasi katahanan bangsa. Sekali lagi ini soal stigma yang keliru. Perdebatan demikian berpotensi mengabaikan penanganan secara cepat dan efektif terhadap korban bencana. Oleh karena itu, saat ini Inpres bisa menjadi alternatif solusi jangka pendek untuk menutup lemahnya regulasi disektor darurat bencana. Melalui Inpres upaya interkonektif bisa dibangun antara pemerintah daerah, pemerintah pusat, bahkan sampai dengan dunia internasional. Langkah itu dibangun dengan semangat memulihkan keadaan hingga kembali normal. Dengan demikian, kita berharap tidak ada lagi ekses yang muncul terkait ”penjarahan” di berbagai mini market, sampai dengan perdebatan mengenai status bencana. Mereka tidak butuh perdebatan, melainkan bantuan materil dan dukungan moril dari kita. Semoga musibah ini kembali menyatukan bangsa kita sebagai bangsa yang kuat !!!
Idul Rishan
Pengajar Hukum Konstitusi, Universitas Islam Indonesia