Menyambut Digitalisasi Akta Nikah Oleh Umar Haris Sanjaya S.H., M.H.
Menyambut Digitalisasi Akta
Langkah kementerian agama dengan meresmikan perubahan akta nikah pada 8 November 2018 dari berupa akta menjadi kepada bentuk kartu yang mirip KTP atau ATM ini merupakan bentuk inovasi yang tepat. Perubahan ini dinilai sebagai bentuk sikap terhadap perkembangan zaman yang sepenuhnya telah berbasis pada era digitalisasi/online. Inovasi tersebut dinamai dengan aplikasi sistem informasi manajemen nikah (simkah).
Alasan diluncurkannya sistem ini adalah lebih untuk memudahkan masyarakat meregistrasi atau mencatatkan perkawinan, dari sistem ini dapat diketahui masyarkat mana yang belum menikah atau sudah secara online, mengingat aplikasi ini tersambung dengan sistem administrasi kependudukan di kementerian dalam negeri. Disamping itu, alasan sederhanaya adalah karena mudah untuk dibawa dan disimpan di dalam tas.
Inovasi terhadap perubahan ini tentunya dapat menjawab perilaku-perilaku masyarakat yang khawatir dan rentan melakukan penyalahgunaan dalam melakukan perkawinan kedepannya. Tentunya ini menyangkut pada status perkawinan seseorang, dengan adanya sistem ini memungkinkan seseorang dapat memeriksa status perkawinannya. Sehingga setiap ada keluarga yang hendak serius melangsungkan perkawinan secara sederhana calon keluarga mempelai dapat memeriksa status hubungan perkawinan dari pasangan yang hendak dinikahinya.
Dahulu potensi adanya penipuan status perkawinan cukup sering berkembang dimasyarakat, khususnya pada daerah-daerah pedalaman. Praktek yang dilakukan adalah calon suami/istri mengaku sebagai jejak/perawan, duda/janda karena kematian, atau bahkan karena bercerai. Pengakuan terhadap status perkawinan tersebut tentunya tidak mudah untuk dibuktikan, andakan ada pembuktian maka itu hanya berupa akta nikah yang dapat saja berpotensi dipalsukan. Kemampuan masyarakat saat itu hanya dapat mencari informasi dari kerabat, teman, atau masyarakat yang mengenal dari calon mempelai. Informasi yang didapat pun belum tentu valid mengingat informasu calon mempelai hanya informasu dari masyarakat atau kerabat semata.
Keberadaan akta nikah adalah bukti dari pelaksanaan undang-undang no. 1 tahun 1974 tentang perkawinan pada pasal 2 ayat (2) yang berbunyi “tidap-tiap perkawinan dicatat menurut peraturan perundang-undangan yang berlaku”. Orang yang telah resmi menikah maka akan diberikan salinan akta nikahnya sebagai bukti dimasyarakat ia telah menikah, sedangkan akta aslinya dipegang oleh otoritas setempat yang menikahkan (KUA). Salinan tersebut tentunya dapat menjadi bukti perkawinan walaupun itu rentan untuk hilang atau disembunyikan oleh pemiliknya. Pada akhirnya salinan akta tersebut belum mampu untuk menjadikan bukti perkawinan yang dapat diakses secara luas oleh masyarakat, karena dapat saja orang menyalahgunakan bentuk fisik dari sebuah salinan akta nikah.
Keberadaan (Simkah) yang digagas oleh Kementerian Agama ini tentunya dibuat untuk menjawab permasalahan-permasalahan dalam dalam hal registrasi dan pencatatan nikah, bahkan harapan menteri agama supaya akta nikah dapat dibawa kemana-mana dan simple. Terhadap inovasi tersebut, ada beberapa hal yang perlu dioptimalkan dalam membuat aplikasi sistem informasi manajemen nikah agar tidak terkesan mengubah dari kumpulan kertas ke kartu seperti (1) kartu yang diluncurkan harus mampu memberikan info detail perkawinan seseorang yang dapat diakses oleh masyarakat indonesia. Info status perkawinan ini yang sering disalahgunakan seseorang untuk melakukan perkawinan. tidak sedikit orang tua mempelai wanita yang tertipu oleh laki-laki yang hendak menikahi putrinya dikarenakan status perkawinan. adapun untuk dapat mengakses informasi ini perlu ada pengaturan lebih lanjut dalam membukanya. Sebagai contoh kewenangan itu diberikan kepada kantor kelurahan setempat atau bahkan sampai ke perangkat RT dan RW. (2) memberikan akses kepada masyarakat untuk dapat memeriksa status perkawinan seseorang berbasis pada NIK seseorang di KTP. Hal ini agak sedikit beresiko untuk dilakukan, tetapi pemerintah perlu mengambil langkah bahwa perubahan yang baik terhadap akta nikah perlu dioptimalkan pula manfaat dan penggunaannya.
Perubahan yang digagas oleh kementerian agama perlu didorong agar tidak hanya berpusat pada urusan furu’iyah , kalau bisa harus mengarah pada hal yang substansi. Artinya perubahan yang digagas ini harapannya jangan hanya sampai kepada urusan praktis dan ekonomis saja, melainkan masuk lebih kedalam selain efektif, efisien juga kepada nilai manfaat dan kemudahan akses bagi masyarakat.
Umar Haris Sanjaya S.H., M.H.
Dosen Muda FH UII
Tulisan ini telah diterbitkan di Kedaulatan Rakyat, 16 November 2019