Polemik Mutasi Aparatur Sipil Negara oleh Nurmalita Ayuningtyas, S.H., M.H.
Polemik Mutasi Aparatur Sipil Negara
Maraknya kasus Operasi Tangkap Tangan (OTT) yang dilakukan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) terhadap Kepala Daerah menjadi catatan kelam bagi kinerja Kepala Daerah. Terakhir pada Oktober lalu, KPK melakukan OTT terhadap Bupati Cirebon Sunjaya Purwadisasatra yang antara lain terkait dengan kasus dugaan suap jual beli jabatan dalam hal mutasi jabatan Aparatur Sipil Negara (ASN). Begitu pula dalam kasus OTT Kepala Daerah sebelumnya, kasus suap jual beli jabatan dalam hal mutasi jabatan ini sering menjadi penyebab dijadikannya Kepala Daerah sebagai tersangka. Jika merujuk kepada perundang-undangan mengenai Apartur Sipil Negara, yaitu di Undang-Undang No.5 Tahun 2014 Tentang Aparatur Sipil Negara dan Peraturan Pemerintah No. 11 Tahun 2017 Tentang Manajemen Pegawai Negeri Sipil, pejabat yang berwenang untuk menetapkan mutasi disebut dengan Pejabat Pembina Kepegawaian.
Pejabat Pembina Kepegawaian tersebut antara lain adalah Kepala Daerah yang terdiri dari Gubernur, Bupati dan Walikota. Selain itu dalam mutasi juga melibatkan Badan Kepegawaian Negara, di luar mutasi untuk satu lingkup Intansi Pusat dan Instansi Daerah. Maka jelas terlihat kewenangan yang besar bagi kepala daerah dalam menetapkan mutasi bagi Aparatur Sipil Negara di daerah, yang justru saat ini banyak disalahgunakan untuk kepentingan pribadi dan menguntungan diri sendiri. Padahal apabila merujuk pada Peraturan perundang-undangan mengenai Aparatur Sipil Negara maka mutasi harus dilakukan berdasarkan pada sistem meritokrasi, yaitu mutasi harus di dasarkan kualifikasi, kompetensi, dan kinerja secara adil dan wajar dengan tanpa membedakan latar belakang politik, ras, warna kulit, agama, asal usul, jenis kelamin, status pernikahan, umur, atau kondisi kecacatan. Tujuan sistem ini antara lain agar mutasi sebagai bagian dari manajemen ASN dapat bebas dari praktik Korupsi, Kolusi dan Nepotisme. Hal ini sesuai dengan definisi manajemen ASN itu sendiri, yaitu pengelolaan ASN untuk menghasilkan Pegawai ASN yang profesional, memiliki nilai dasar, etika profesi, bebas dari intervensi politik, bersih dari praktik korupsi, kolusi, dan nepotisme (KKN). Namun pada kenyataannya kini justru mutasi yang merupakan manajemen ASN tersebut tidak dapat begitu saja terbebas dari praktik KKN.
Terdapat beberapa faktor mengapa hal ini sering terjadi pada pelaksanaan mutasi, khususnya untuk mutasi ASN di daerah. Pertama, masih sering terjadinya spoils system dalam proses mutasi. Spoils system adalah pengangkatan atau penunjukan karyawan yang berdasarkan selera pribadi atau berdasarkan kepentingan suatu golongan (Slamet Saksono, Administrasi Kepegawaian : 1995). Adanya spoils system inilah yang kemudian menyebabkan budaya korupsi, kolusi, dan nepotisme masih terjadi di tubuh birokrasi. Kedua, pengawasan yang belum berjalan secara maksimal, baik yang dilakukan pengawas internal maupun pengawasan eksternal. Sinergitas lembaga pengawasan yaitu Badan Kepegawaian Negara (BKN), Badan Kepegawaian Daerah (BKD) sebagai pelaksana dan pengawas mutasi di daerah, atasan pejabat yang berwenang untuk memutasikan, Aparat Pengawas Internal di Daerah dalam hal ini Inspektorat Daerah, dan tentunya lembaga pengawas eksternal seperti Komisi Aparatur Sipil Negara sebagai lembaga non struktural yang memonitoring dan mengevaluasi penerapan sistem meritokrasi. Namun dalam memaksimalkan tugas dan fungsinya, terdapat kekurangan yang terkait dengan kedudukan KASN. Sebab saat ini KASN hanya berada di Pusat saja dan tidak terdapat perwakilan di daerah. Padahal terdapat fungsi yang cukup penting dari KASN, yaitu apabila terjadi penerapan manajemen ASN yang tidak berdasarkan sistem merit, dalam hal ini terdapat praktik KKN pada mutasi ASN, terutama yang kini sangat sering terjadi di daerah, dimana dalam hal tersebut KASN dapat merekomendasikan kepada Presiden untuk menjatuhkan sanksi terhadap Pejabat Pembina Kepegawaian dan Pejabat yang Berwenang yang melanggar prinsip sistem meritokrasi sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
Pada Pasal 78 Undang-Undang No. 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah sebagaiamana yang telah diubah menjadi Undang-Undang No. 9 Tahun 2015, bahwa terdapat sanksi bagi kepala daerah dan wakil kepala daerah yang melakukan korupsi, kolusi, dan nepotisme serta menerima uang, barang, dan/atau jasa dari pihak lain yang mempengaruhi keputusan atau tindakan yang akan dilakukan akan dikenakan sanksi administratif pemberhentian dengan prosedur dan tata cara sesuai dengan apa yang terdapat pada peraturan perundang-undangan tersebut, disamping terdapat pula hukuman pidana karena telah melakukan tindak pidana korupsi yang dijatuhkan sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku. Hal ini berlaku pula dengan Aparatur Sipil Negara yang telah melakukan suap dalam mutasi jabatan. Sesuai dengan ketentuan yang terdapat pada Undang-Undang No. 5 Tahun 2014 dan PP No.11 Tahun 2017, maka suap termasuk dalam kejahatan jabatan. Pasal 87 Undang-Undang No. 5 Tahun 2014 menyatakan bahwa Pegawai Negeri Sipil (PNS) yang merupakan ASN akan dikenakan pemberhentian tidak dengan hormat apabila melakukan tindak pidana kejahatan jabatan atau tindak pidana kejahatan yang ada hubungannya dengan jabatan dan/atau pidana umum. Disamping selain itu juga dijatuhi hukuman pidana sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
Ketiga, adanya perbaikan proses rekrutmen atau seleksi Sumber Daya Manusia (SDM) untuk menduduki jabatan sebagai Kepala Daerah dan sebagai Apatur Sipil Negara untuk menghasilkan Pejabat ataupun ASN yang berintergritas. Dalam hal Kepala Daerah yang nantinya akan diberikan kewenangan untuk memutasikan ASN sebagai Pejabat Pembina Kepegawaian, maka hendaknya sistem seleksi dirancang lebih ketat. Namun berbicara seleksi Kepala Daerah tidak akan lepas dari ketentuan yang mengatur syarat, yaitu pada Pasal 7 ayat (2) huruf g Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2016 Tentang Perubahan Kedua Atas Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2015 Tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2014 Tentang Pemilihan Gubernur, Bupati, Dan Walikota Menjadi Undang-Undang mengatur bahwa salah satu syarat menjadi Calon Kepala Daerah adalah tidak pernah sebagai terpidana berdasarkan putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap atau bagi mantan terpidana telah secara terbuka dan jujur mengemukakan kepada publik bahwa yang bersangkutan mantan terpidana. Pada akhirnya ketentuan ini terlihat tidak tegas melarang calon kepala daerah yang menjadi mantan terpidana khususnya mantan terpidana korupsi untuk menjadi Kepala Daerah dan nantinya akan diberikan kewenangan dalam memutasikan ASN. Hal ini jelas dapat menjadi penghalang bagi terlaksananya sistem meritokrasi itu sendiri, mengingat rekam jejak Calon Kepala Daerah pernah melakukan tindak pidana korupsi yang akan berisiko jika menduduki jabatan Kepala Daerah. Begitu juga untuk rekrutmen Calon ASN, maka rekrutmen dilaksanakan lebih ketat.
Nurmalita Ayuningtyas, S>H., M.H.
Dosen Muda Fakultas Hukum UII
OPINI, Koran Sindo, 14 November 2018