PSH FH UII adakah Bedah Buku “Sibak Kebenaran Eksaminasi terhadap Putusan Perkara Irman Gusman”
Cik Di Tiro (22/01) Pusat Studi Hukum Fakultas Hukum UII menyelenggarakan kegiatan Bedah Buku dengan judul Menyibak Keberan Eksaminasi terhadap Putusan Perkara Irman Gusman. Bedah buku yang menghadirkan 4 pakar hukum dari 3 perguruan tinggi ternama ini selenggarakan 22 Januari 2019 di Auditorium Badan Wakaf UII Jl. Cik Di Tiro No. 1 Yogyakarta.
Hadir sebagai pembedah Prof. Dr. Eddy O.S. Hiariej, S.H., M.Hum. Guru Besar Hukum Pidana UGM, Prof. Dr. Esmi Warassih, S.H., M.S. Guru Besar Sosiologi Hukum UNDIP, Dr. Mudzakkir, S.H., M.H. Dosen Fakultas Hukum UII, dan Dr. M. Arif Setiawan, S.H., M.H. Dosen Fakultas Hukum UII.
Disampaikan Prof. Esmi Warassih, S.H., M.Hum. bahwa, bedah buku sebagai sarana pembelajaran dikarenakan sejak tahun 1976 sampai saat ini putusan pengadilan sama saja. Contohnya ada sebuah desa di mana penghuninya adalah residivis. Ternyata mereka dihukum hanya karena mengambil kayu bakar, daun-daun kering saja. Sampai hari ini, kasus-kasus seperti itu masih saja terjadi.
Putusan pengadilan sangat tergantung dengan keyakinan hakim, sehingga perlu dikaji dari sisi psikologis seorang hakim. Norma hukum mengalami reduksionis sehingga dimaknai sebagai norma hukum tertulis, padahal juga ada kesopanan, kesusilaan, agama, dan hati nurani yang juga perlu digunakan dalam melihat sebuah kasus.
Dalam mempertimbangkan kasus perlu dikaji faktor apa yang mendahului munculnya kasus tersebut, sehingga tidak strict hanya melihat pada kasus pelanggarannya saja. KPK juga memiliki fungsi pencegahan tetapi belum begitu terasa sisi pencegahannya dan lebih banyak melakukan penindakan.
Segala sesuatu harus ada keseimbangan, interkoneksi, dan interdependesinya. Dari sisi sosiologi hukum, seringkali tujuan hukum yaitu sisi keadilannya menjadi tidak tercapai karena penegakan hukum sangat bersifat positivistik. Seharusnya nilai keadilan harus dimasukkan dalam setiap aspek penegakan hukum.
Dalam kasus IG juga perlu dilihat sebelumnya ada kejadian apa saja, sehingga harus dilihat secara luas, tidak hanya kasus “on the spot” saja sehingga putusan hakim menjadi sangat tidak adil. Hakim dalam memutus perkara seharusnya tidak terpaku pada tekstual peraturan saja. Hukum tidak pernah berada di ruang hampa, melainkan berada di dalam tatanan-tatanan masyarakat.
Kasus-kasus lingkungan hidup masih banyak di mana hakim hanya menggunakan peraturan tekstual ansih dan kurang mempertimbangakan aspek yang lebih luas. Misalnya: dalam kasus begal, mengapa hanya pelaku begal saja yang dijatuhi hukuman? Padahal jika diliha lebih luas seseorang melakukan begal dikarenakan tidak memiliki pekerjaan, padahal di dalam konstitusi jelas diatur bahwa hak setiap orang untuk mendapatkan pekerjaan, lalu apakah pemerintah sudah secara bersungguh-sungguh menyediakan lapangan pekerjaan?
Dalam kesempatan ini Dr. Mudzakkir, S.H., M.H., menengarai bahwa tindakan gratifikasi dianggap suap dan dapat dikategorikan sebagai tindak pidana suap. Hukum itu independen dan tidak boleh ter-subordinasi oleh hal-hal lain sebab konstitusi mengatur bahwa kekuasaan kehakiman adalah bebas dan mandiri, sehingga sangat mengjkhawatiran jika ada anggapan kasus IG merupakan permainan politik, dll. Jika berteori harus berlandaskan hukum Indonesia, dan bukan hukum yang lain. Silahkan mengkaji ilmu hukum dengan bidang ilmu yang lain tetapi dalam penegakan hukum tidak boleh dicampuradukkan dengan hal-hal lain seperti politik, dll. Hukum harus netral untuk menegakkan keadilan itu sendiri.
Dr. Muhammad Arif Setiawan, S.H., M.H. sebagai pembicara ketiga menyampaikan bahawa pada eksaminasi bermaksud muntuk meberikan penilaian terhadap produk-produk putusan hakim. Eksaminasi dari sisi hukum tidak ada pengaruhnya tetapi dari sisi akademis perlu dikaji dan sangat disayangkan jika diabaikan oleh para hakim.
Terdapat dua optic dalam pendidikan hukum, yaitu preskriptif dan deskriptif. Preskriptif dimaknai bahwa penegakan hukum harus dijalankan secara kaca mata kuda dan tidak perlu dipertanyakan lagi, bersifat given dan tinggal melakukan saja aturan tertulisnya. Deskriptif maksudnya bahwa penegakan hukum dapat dikritisi dari berbagai sisi. Latar belakang munculya buku ini disebabkan karena ketdakpuasaan terhadap putusan pengadilan pada kasus IG. Dan Dakwaan terhadap IG adalah melanggar Pasal 12b atau Pasal 11 UU Tipikor.
Ditinjau dari konstruksi delik, IG adalah ketua DPD sehingga perlu dilihat bahwa dalam kuota gula tersebut tidak ada hubungannya dngan jabatan IG sebagai ketua DPD. Lalu dapatkah dianggap trading influence? Trading influence sumber aturannya adalah dalam UNCAC dan belum ada ancaman hukumannya dalam hukum pidana Indonesia. Sehingga jika diterapkan di Indonesia maka harus dilakukan ratifikasi terlebih dahulu.
Apakah hakim dibolehkan untuk mengambil yurisprudensi asing padahal di negara asalnya saja dasar keluarnya yurisprudensi sudah dicabut. Selain itu, harus menggunakan fakta dan bukan hanya asumsi. Masalahnya hakim kerap tidak menganggap pledoi sebagai second opinion sehingga sering diabaikan oleh hakim.
Sedangkan Prof. Dr, Eddy OS Hiariej, S.H., M.Hum. menyampaikan bahwa putuan pengadilan harus selalu diberikan eksaminasi. Di Belanda sendri setiap putusan pengadilan yang kelaur langsung diserahkan ke perguruan tinggi untuk diberi anotasi oleh para ahli dari FH masing-masing universitas. Komisioner di KPK sering melakukan intimidasi terhadap hakim yang menangani perkara. Fakta hukum bersifat netral, sedangkan penilaian terhadap fakta hukum tersebut tergantung optic apa yang digunakan.