Politik(us) Mitos oleh Eko Riyadi, S.H., M.H.
Jakarta – Pada suatu sore saya berkendara untuk pulang kampung dengan menyusuri jalan berbukit dan bergunung di wilayah Jawa Tengah. Perhatian saya terganggu dengan banyaknya baliho peraga kampanye politik yang terjejer di pinggir-pinggir jalan. Penglihatan saya tertuju pada satu foto yang sangat saya kenal dengan nama khas dari wilayah Sumatera. Wajah tersebut sangat familier karena sering muncul di layar kaca ketika mengulas isu-isu aktual di salah satu televisi nasional. Ia adalah pekerja media yang sangat senior. Namun, bukan nama dan wajahnya yang menjadi perhatian saya, melainkan slogan yang ia tuliskan yaitu “wani mbelani petani” (berani membela petani).
Muncul pertanyaan di benak saya, pernahkah orang ini bekerja untuk petani? Jika pernah, apakah yang bersangkutan pernah membela petani di daerah pemilihannya? Pertanyaan lanjutan saya, apakah para petani di dapil tersebut mengenal sang calon anggota legislatif? Penasaran dengan pikiran sendiri, saya coba berhenti di beberapa warung kecil di pinggir jalan. Saya bertanya kepada penjualnya, “Apakah ibu kenal dengan orang yang ada di baliho itu?” sambil menunjuk ke arah baliho. Mereka menjawab, tidak kenal. Pertanyaan lanjutan saya ajukan, “Jika ibu tidak mengenalnya, apakah ibu akan memilihnya nanti pada saat pemilu?” Dijawabnya, “Ngertos mawon mboten kok, nopo melih milih” (ngerti saja tidak apalagi memilih).
Mitos
Calon anggota legislatif masih menggunakan cara-cara kuno dalam menarik dukungan dari publik, yaitu melalui baliho yang dipasang di ruang-ruang publik. Selain tidak efektif, model ini juga hanya memunculkan sampah visual serta merusak tempat-tempat tertentu yang sebaiknya dijaga. Mengikat dan membentangkan baliho pada lampu merah, tiang rambu lalu lintas, pagar jembatan, tiang listrik, marka pembatas jalan bahkan memasang baliho dengan memakunya pada pohon-pohon adalah tindakan yang kurang elok dipandang serta merusak lingkungan.
Calon anggota legislatif bekerja secara karbitan. Mereka tidak sanggup membangun basis dukungan dengan kerja-kerja publik yang lama. Mereka mengandalkan popularitas berbasis wajah yang ingin disulap dalam waktu pendek. Terdapat beberapa pola yang bisa dijelaskan. Pertama, promosi wajah. Banyak ditemukan baliho bergambar anak-anak muda yang terkesan mengeksploitasi kualitas wajahnya di dalam baliho. Mereka cantik dan tampan untuk ukuran sekarang. Mereka menampakkan ekspresi “imut” dan kata-kata kekinian seperti “pilih aku ya gaesss”. Mungkin hal itu untuk menyampaikan pesan bahwa mereka generasi milenial.
Kedua, bersandar pada tokoh. Banyak baliho calon anggota legislatif yang berisi foto si calon dengan dilatari oleh foto tokoh tertentu. Tokoh tersebut bisa tokoh agama, tokoh pemerintah, tokoh pendiri partai, tokoh aktivis. Beberapa kata yang dituliskan adalah “supported by” (didukung oleh), “pejah gesang ndherek…” (hidup mati ikut…), “hai anakku, aku titipkan nasib bangsa ini kepadamu”, kalimat yang seakan diucapkan oleh sang tokoh kepada si calon.
Ketiga, penggunaan simbol-simbol. Penggunaan simbol ini juga beraneka ragam seperti simbol-simbol agama, kalung salib, surban, dan yang lainnya, juga simbol komunitas tertentu misalnya cangkul dan caping. Penggunaan baliho ini cenderung menggemaskan. Banyak ditemukan baliho bergambar ibu-ibu muda cantik berdandan menor dengan menggunakan topi caping. Juga bapak-bapak muda berwajah tampan, berbadan tegap, berbaju klimis (rapi), berkacamata mahal, tetapi membawa cangkul dan segenggam benih padi. Kepala saya bertanya, “Memangnya dengan dandanan dan penampilan serba bagus itu, mereka bisa mencangkul atau menanam padi?” Sebuah kontradiksi yang muncul dari awalnya.
Keempat, menggunakan latar situs-situs bersejarah dan terkenal. Banyak ditemukan baliho yang memperlihatkan sang calon menggunakan foto-foto pada saat yang bersangkutan berada di tempat-tempat bersejarah, yang rata-rata di luar negeri. Foto ketika sedang menunaikan perjalanan ibadah atau foto pada saat melancong ke negara-negara Eropa. Kuat sekali kesan bahwa si calon ingin mempersepsikan dirinya sebagai orang yang agamis dengan menghadiri situs-situs religi, atau sebagai orang berpengalaman karena pernah pergi ke negara-negara Eropa.
Pola kampanye di atas menunjukkan bahwa mereka lebih banyak ingin memunculkan mitos tentang dirinya dan berharap masyarakat memilih mereka berdasarkan penampakan mitos yang mereka tawarkan. Mereka mengeksploitasi ruang publik untuk menciptakan realitas yang dikhayalkan. Harapannya, para pemilih pun masuk pada jebakan mitos dan realitas terkhayal itu. Dengan begitu, mereka akan menjadi calon terpilih yang kemudian secara hukum dapat menggunakan bahasa “atas nama perwakilan, saya akan membuat undang-undang”. Proses yang mengkhawatirkan karena putusan mereka akan berpengaruh kepada kehidupan publik di Indonesia.
Tugas Pemberdayaan
Pasca Reformasi 1998, bangsa Indonesia memang sedang belajar bagaimana mengelola ruang publik secara bersama-sama. Dahulu, urusan publik dipaksa diatur oleh sekelompok elite orang Indonesia yang imun dari kritik dan masukan. Saat ini, semua orang memiliki kesempatan yang sama untuk terlibat dalam memutuskan bagaimana Indonesia ini akan dijalankan.
Persoalannya, ketimpangan ekonomi, ketimpangan pengetahuan, dan ketimpangan kemampuan literatif memungkinkan proses politik yang sudah sangat terbuka ini kembali hanya dijalankan oleh sekelompok elite. Para elite politik sibuk mengembangkan mitos tentang dirinya. Politik kemudian menjadi arena pertarungan realitas terkhayal oleh para elite politik tersebut. Masyarakat hanya menjadi penonton dan penikmat pertunjukan perebutan mitos tersebut.
Bagaimana agar situasi itu tidak terjadi? Memang perlu proses panjang untuk membenahinya. Partai politik harus mulai memastikan bahwa perdebatan di ruang publik dilakukan dengan memperbincangkan isu yang rill dirasakan dan dibutuhkan oleh masyarakat. Partai politik juga harus memulai merekrut tokoh-tokoh masyarakat yang memiliki track record memperjuangkan nasib masyarakat, bukan hanya orang yang terkenal wajah dan namanya.
Komunitas masyarakat, melalui elite-elite organisasinya harus memulai turun memberikan pendidikan politik yang substantif. Masyarakat dibuatkan mekanisme komunikasi yang egaliter agar mereka mengetahui cara memperjuangkan aspirasi serta melakukan kritik apabila aspirasinya dilanggar oleh anggota parlemen dan pemerintah. Masyarakat didorong untuk melakukan pengawasan yang efektif mengenai bagaimana sumber daya dan ruang publik itu dijalankan oleh anggota legislatif maupun eksekutif. Dengan begitu, maka proses demokrasi tidak hanya diisi oleh pertarungan mitos dan realitas terkhayal, tetapi menjadi demokrasi substantif yang memberi ruang masyarakat untuk memperjuangkan haknya.
Eko Riyadi dosen Fakultas Hukum dan Direktur PUSHAM Universitas Islam Indonesia
(mmu/mmu-harian online detik)