Pengumuman Proposal Penelitian Lolos Pendanaan “Dean Research Grant 2025” FH UII

Assalamu’alaikum warahmatullahi wabarakatuh
Bismillahirrahmaanirrahiim

Setelah dilakukan proses penilaian proposal yang telah dikirim oleh para peserta, maka diputuskan proposal penelitian yang dinyatakan lolos pendanaan adalah sebagai berikut :
1. Daftar proposal Dean Research Grant 2025 didanai (Program Magister dan Doktor) [Lampiran]
2. Daftar proposal Dean Research Grant 2025 didanai (Program Sarjana / PSHPS) [Lampiran]
3. Tim peneliti yang dinyatakan lolos wajib mengikuti pembekalan melalui Zoom Meeting (Program Magister Doktor pada hari Selasa 8 Juli 2025 Pukul 14.30 WIB, dan Program Sarjana pada hari Rabu, 9 Juli 2025 Pukul 14.30 WIB)
4. Segala informasi dan aktivitas pelaksanaan penelitian akan dilakukan melalui Google Classroom.

Kami selaku panitia mengucapkan selamat kepada tim peneliti yang dinyatakan lolos seleksi proposal penelitian. Kepada para pendaftar yang belum dinyatakan lolos, kami tunggu partisipasi pada Dean Research Grant tahun berikutnya.

Demikian pengumuman ini, atas perhatiannya kami ucapkan terimakasih.

Wassalamu’alaikum warahmatullahi wabarakatuh

Oleh: Rama Hendra Triadmaja – 22410456 

Mahasiswa Program Studi Hukum Program Sarjana (Reguler) Fakultas Hukum Universitas Islam Indonesia 

United Nations High Commissioner for Refugee (UNHCR) telah mencatat setidaknya terdapat  37,9 juta pengungsi internasional (international refugee) dan 8 juta pencari suaka (asylum seeker) di seluruh dunia. Gelombang migrasi yang begitu masif oleh pengungsi dan pencari suaka ini  tidak dapat dilepaskan dari absennya negara asal dalam pemenuhan kewajiban negara terhadap  Hak Asasi Manusia (HAM). Sebagai contoh, persekusi dan perlakuan diskriminatif terhadap kelompok tertentu, konflik berkepanjangan, serta pelanggaran-pelanggaran HAM lainnya yang  mengancam eksistensi di negara asalnya. Salah satu negara yang menjadi tujuan migrasi tersebut adalah Indonesia. Berdasarkan data yang dirilis oleh UNHCR, jumlah pengungsi dan pencari suaka  di Indonesia ialah sebanyak 11.735 jiwa. Hal ini tidak lepas dari letak geografis Indonesia yang  berada di posisi silang dunia, yaitu di antara Benua Asia dan Benua Australia serta Samudra Pasifik  dan Samudra Hindia. 

Arus migrasi antarnegara yang dilatarbelakangi oleh krisis manusia lambat laun menyita atensi  publik internasional. Adanya kesadaran atas pengungsi internasional dapat dipahami sebagai  bentuk universalitas humanis yang melintasi batas-batas negara dan menjelma sebagai persoalan  internasional bukan lagi terlimitasi pada ranah nasional ataupun regional. Dasar pemikiran inilah  yang menjadi spirit atas lahirnya Konvensi Jenewa Tahun 1951 dan Protokol Tambahan Tahun  1967 tentang Status Pengungsi. 

Sayangnya di Indonesia, semangat kemanusiaan tersebut justru tercoreng dengan aksi penolakan terhadap pengungsi Rohingya yang berasal dari Myanmar oleh masyarakat di beberapa wilayah. Puncaknya pada tahun 2023, sekelompok mahasiswa di Aceh memindah paksa pengungsi  Rohingya yang semula berada di Gedung Balee Meuseuraya Aceh di Kota Banda Aceh menuju  Kantor Wilayah Kementerian Hukum dan HAM Aceh. Tidak sampai di situ, massa juga menuntut  kepada otoritas berwenang untuk segera mendeportasi pengungsi Rohingya keluar dari wilayah teritorial Indonesia.

Praktik xenofobia ini ditandai dengan menjustifikasi stigma negatif kepada pengungsi Rohingya  yang dideskripsikan sebagai sekumpulan orang-orang yang berpendidikan rendah, kotor, imigran  ilegal, dan kriminal. Sebab lainnya ialah framing negatif yang dikonstruksi oleh media massa sehingga menimbulkan rasa ketakutan dan rasa ketidaknyamanan atas interaksi budaya asing yang dikhawatirkan mengancam keberlangsungan budaya lokal (cultural erosion). Kondisi ini menyebabkan dikotomi di kalangan masyarakat mengenai polemik atas langkah apa yang tepat bagi pemerintah untuk menangani persoalan pengungsi tersebut. Sebab, jika persoalan  itu tidak memperoleh keseriusan, maka akan mengakibatkan permasalahan multidimensional lainnya yang mana mempengaruhi sendi-sendi kehidupan masyarakat. 

Pandangan pertama mengemukakan sebaiknya Indonesia tidak perlu menerima atau bahkan  menolak pengungsi Rohingya itu. Lantaran, Indonesia belum meratifikasi Konvensi Jenewa Tahun  1951 dan Protokol Tambahan Tahun 1967 tentang Status Pengungsi sehingga tidak berkewajiban untuk menampung pengungsi dan pencari suaka. Argumentasi ini didasarkan pada doctrine of transformation yang dikemukakan oleh aliran voluntarisme atau dualisme bahwasanya hukum internasional tidak dapat berlaku dalam ruang lingkup hukum nasional kecuali telah  ditransformasikan terlebih dahulu. Sebab, adanya perbedaan dua sistem hukum yang berlainan, maka perlu untuk mentransformasikan hukum internasional menjadi hukum nasional.

Sementara itu, pandangan kedua meyakini bahwa Indonesia berkewajiban untuk menampung  pengungsi Rohingya semata-mata karena alasan kemanusiaan meskipun belum meratifikasi  Konvensi Jenewa Tahun 1951 dan Protokol Tambahan Tahun 1967 tentang Status Pengungsi. Hal  ini disandarkan pada prinsip non-refoulement yang terklasifikasi sebagai jus cogens atau norma tertinggi yang menjelma dalam customary international law sehingga walaupun negara tersebut  tidak meratifikasi suatu konvensi ia tetap terikat karena sifat universalnya. Pasal 33 Konvensi  Jenewa Tahun 1951 tentang Status Pengungsi mewajibkan kepada negara untuk bertanggung  jawab atas proteksi pengungsi dan pencari suaka untuk tidak menolak atau memulangkan kembali  ke negara asalnya. Hal demikian dilatarbelakangi oleh kekhawatiran terhadap pengungsi dan pencari suaka dalam memperoleh jaminan atas keselamatan dan pemenuhan hak-haknya di negara  asal. 

Dasar argumentasi lainnya ialah berpijak pada International Covenant on Civil and Political  Rights (ICCPR) yang telah diratifikasi oleh Indonesia di dalam Undang-Undang Nomor 12 Tahun  2005 tentang Pengesahan International Covenant on Civil and Political Rights (Kovenan  Internasional Tentang Hak-Hak Sipil dan Politik). Pasal 2 ayat (1) ICCPR mengamanatkan kepada  setiap negara pihak untuk menjamin dan menghormati hak-hak setiap individu yang berada di  dalam wilayahnya tanpa terkecuali. Hal senada juga dapat ditemukan dalam Pasal 3 ayat (3) Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia (UU HAM) yang  menyebutkan bahwa perlindungan HAM dan kebebasan dasar manusia adalah hak setiap orang. Frasa ‘setiap orang’ diinterpretasikan berlaku umum kepada seluruh individu yang berada di dalam  teritorial Indonesia, walaupun orang tersebut bukan berkewarganegaraan Indonesia. 

Keadaan dilematis ini menuntut Pemerintah Republik Indonesia untuk segera mengambil langkah langkah yang tepat dan tegas dalam menyelesaikan persoalan migrasi pengungsi tersebut. Apabila  persoalan ini tidak ditangani secara tepat, maka akan menimbulkan domino effect yang berimbas  pada ketentraman dan ketertiban umum dalam masyarakat. Sebagai contoh, munculnya  primordialisme dan etnosentrisme dapat meningkatkan risiko konflik horizontal antara masyarakat  setempat dengan kelompok pengungsi. Dengan demikian, Soerjono Soekanto mengemukakan keadaan tentram yang dimaksud ialah ketika seseorang tidak merasa khawatir, tidak merasa terancam, dan tidak mengalami konflik batiniah.

Hemat penulis, political will Pemerintah Republik Indonesia sangat diharapkan dalam menjamin pemenuhan hak-hak pengungsi Rohingya. Kilas balik pada tahun 1975 hingga 1996, Indonesia  telah berhasil menangani fenomena Boat People Vietnam sebagai imbas dari Perang Vietnam.  Setidaknya tercatat terdapat 50.000 jiwa dari jumlah keseluruhan pengungsi yang terpusat di Pulau Galang. Kondisi ini menunjukan tidak meratifikasi Konvensi Jenewa 1951 beserta Protokol  Tambahan 1967 tentang Status Pengungsi bukanlah alasan substansial untuk menolak pemenuhan  hak pengungsi. Akan tetapi, yang perlu dikritisi ialah bagaimana pemerintah dengan instrumen hukumnya mampu untuk menciptakan integrasi sosial antara masyarakat setempat dengan  pengungsi Rohingya. Oleh sebab itu, hukum tidak dapat dipandang sebagai social control belaka melainkan harus dilihat sebagai a tool of social engineering. Menurut penulis, selayaknya pemerintah tidak terpaku pada pendekatan konvensional yang cenderung positivis dan prosedural,  akan tetapi harus dielaborasi dengan rekonsiliasi berbasis kearifan lokal. Selain itu, penting pula  bagi pemerintah untuk bekerja sama dengan negara-negara lain dan organisasi internasional baik yang bersifat multilateral maupun regional untuk mewujudkan kesepakatan terhadap pemenuhan  jaminan hak-hak pengungsi. 

 

DAFTAR PUSTAKA 

Buku 

Sefriani. (2022). Hukum Internasional: Suatu Pengantar. Rajawali Pers. 

Shalihah, F., & Nur, M. (2021). Penanganan Pengungsi di Indonesia. UAD PRESS. 

Soekanto, S. (2009). Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Penegakan Hukum. Raja Grafiondo  Persada. 

Winarwati, I. (2016). Hukum Internasional. Setara Press. 

Artikel Jurnal 

Fitir, I, R, M., Yepese, J, I, B., & Arofah, M, G. (2024). Prinsip Non-Refoulement Penanganan Pengungsi  dan Relevansinya dalam Perspektif Kebijakan Selektif Keimigrasian. Jurnal Ilmiah Universitas  Batanghari Jambi 24 (1), 143-149. 

Ramon, A, A, V. (2019). For Humanity: Indonesia’s Experience in Handling International Refugee. terAs  Law Review: Jurnal Hukum Humaniter dan HAM 1 (1), 28-53. 

Sihombing, H, Y. (2019). Kebijakan Indonesia dalam Perlindungan Pencari Suaka dan Pengungsi Pasca  Kebijakan Turn Back the Boat Pemerintahan Tony Abbott, Journal of International Relations 5  (4), 599-608. https://doi.org/10.14710/jirud.v5i4.24823. 

Tarigan, B. Y. A., & Syahrin, M, A. 2021. Conditions, Problems, And Solutions of Associates and  International Refugees in Indonesia in The Perspective of National Law and International Law.  Journal of Law and Border Protection 3 (1). 

Website Internet 

BBC News Indonesia. (2024). ‘Rohingya di Sidoarjo’, ‘Rohingya minta tanah’, ‘Menlu Retno usir  Rohingya’ – Bagaimana narasi kebencian dan hoaks bekerja menyudutkan etnis Rohingya?. https://www.bbc.com/indonesia/articles/c03y7n3k12lo. 

Dewan Perwakilan Daerah Republik Indonesia. (2023). Mahasiswa Usir Pengungsi Rohingya di Aceh;  Senator Asal Yogyakarta: Siapa yang Memfasilitasi?. https://www.dpd.go.id/daftar-berita/mahasiswa-usir-pengungsi-rohingya-di-aceh-senator-asal-yogyakarta-siapa-yang memfasilitasi. 

Humas FHUI. (2022). Urgensi Penanganan Pengungsi dan Pencari Suaka di Indonesia Oleh Heru Susetyo,  S.H, L.L.M, M.Si, Ph.D. https://law.ui.ac.id/urgensi-penanganan-pengungsi-dan-pencari-suaka-di indonesia-oleh-heru-susetyo-s-h-l-l-m-m-si-ph-d/. 

The UN Refugee Agency. (2025). Refugee Data Finder. https://www.unhcr.org/refugee-statistics.

Peraturan Perundang-Undangan 

International Covenant on Civil and Political Rights. 

Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia.

Fakultas Hukum Universitas Islam Indonesia (FH UII), melalui Pusat Pendidikan dan Pelatihan (Pusdiklat) FH UII, telah menyelenggarakan Pendidikan dan Uji Kompetensi Auditor Hukum. Kegiatan ini merupakan hasil kolaborasi strategis dengan Asosiasi Auditor Hukum Indonesia (ASAHI). Dengan adanya pelatihan bersertifikasi ini, alumni Fakultas Hukum UII diharapkan dapat mendapatkan pekerjaan dalam kurun waktu yang lebih cepat dari selesainya masa studi. Mengingat jumlah pencari kerja tidak sebanding dengan jumlah lapangan pekerjaan yang ada, sehingga perlu skill dan bukti kompetensi tambahan yang perlu dimiliki para lulusan dari Fakultas Hukum UII.

Kegiatan ini dilaksanakan sebagai wujud peranan Fakultas Hukum UII dalam mencetak SDM yang unggul, berkualitas, berdaya saing, serta mendukung kepatuhan hukum di Indonesia. Pendidikan dan uji kompetensi Auditor Hukum tak hanya diikuti oleh alumni Fakultas Hukum UII saja, namun juga dari khalayak umum. Pendidikan dan uji kompetensi ini diikuti oleh sejumlah 38 peserta dengan latar belakang profesi yang berbeda, diantaranya akademisi, advokat, ASN, maupun freshgraduated Fakultas Hukum Universitas Islam Indonesia. Kegiatan ini dilaksanakan menjadi dua tahap, tahap pertama berupa Pendidikan auditor hukum yang telah dilaksanakan secara daring pada 10 Juni 2025 – 13 Juni 2025. Kegiatan Pendidikan sertifikasi auditor hukum dibersamai dengan para pakar hukum dan praktisi terkemuka, seperti: Prof. Dr. Jimly Asshiddiqie, S.H., Hadijanto., S.H., M.H., Harvardy M. Iqbal, S.H., M.H., CLA., Dr. M. Rasyid Ridho, S.H., M.H., C.L.A., Dr. Anung Herlianto, EC., S.E., AKT., MBA, Dr. Najib A Gisymar, S.H., M.H, Drs. Siswo Sujanto, DEA., Dr. Diani Sadiawati, S.H, M.H, LL.M.,  Prof. Dr. Ni’matul Huda, S.H., M.Hum., Dr. Suparman Marzuki, S.H., M.Si., Dr. Inda Rahadian, S.H., M.H., Dr. Umar Haris Sanjaya, S.H., M.H., dan Rendy Yudha Syahputra, S.H., M.H.

Materi yang disampaikan mencakup berbagai aspek audit hukum, mulai dari dasar-dasar audit, metodologi, teknik investigasi, hingga penyusunan laporan audit yang akurat dan komprehensif. Peserta juga diberikan kesempatan untuk mengaplikasikan teori dalam studi kasus praktis, sehingga mereka dapat mengasah kemampuan berpikir kritis dan pemecahan masalah.

Sementara tahap kedua, yakni tahapan uji kompetensi auditor hukum dilaksanakan selama dua hari pada Senin-Selasa, 23 – 24 Juni 2025 di Fakultas Hukum Universitas Islam Indonesia, Yogyakarta. Bentuk ujian terdiri atas: ujian tulis, penyusunan penugasan audit hukum, serta presentasi. Adapun ujian di hari pertama ialah ujian tulis dan penyusunan penugasan audit hukum. Sebelum ujian dimulai, Sekretaris Jenderal ASAHI, Wartono Wirjasaputra, S.H., M.H., CLA. memberikan pengarahan kepada peserta. “Uji kompetensi dilaksanakan sesuai standar dari Lembaga Sertifikasi Profesi Auditor Hukum yang pada akhirnya akan memberikan predikat kompeten atau tidaknya peserta sebagai auditor hukum, sehingga diharapkan semua peserta dapat mengikuti dengan tertib”, tegas Wartono. Sekjen ASAHI tersebut juga menekankan bahwa setelah peserta dinyatakan kompeten dan mendapatkan sertifikat dari BNSP, maka diperkenankan untuk berpraktik sebagai auditor hukum profesional.

Pasca ujian tertulis, diselenggarakan penyusunan penugasan audit hukum dari siang sampai sore hari. Peserta dibagi menjadi empat kelompok dan tiap kelompok diawasi oleh Asesor yang kompeten. Empat Asesor yang melakukan pengujian tersebut yakni Wartono Wirjasaputra, S.H., M.H., CLA., Rora Roikhani ER., S.H., M.M., M.Kn., CLA., Dr. Joko Sriwidodo, S.H., M.H., CLA., dan Joddy Mulyasetya Putra, S.H., M.H., CLA. Tiap kelompok diberikan kasus dan peserta perlu menyusun analisis dokumen secara individu dan meng-upload tugas yang telah disusun dalam batas waktu tertentu. Meskipun sifat tugas individual, peserta dapat berdiskusi dengan peserta lain di kelompoknya selama ujian kedua tersebut.

Hasil dari tugas yang telah disusun tersebut akan dipresentasikan di depan Assessor di hari ujian kedua. Tiap peserta menyajikan hasil tugasnya satu per satu untuk kemudian diuji dan dinilai oleh tiap Assessor. Hasil ujian akan dikirimkan kepada peserta melalui email, dan sertifikat akan diberikan kepada peserta yang memenuhi standar kompeten.

Oleh: Rafli Ilham Bimantoro – 22410417

Mahasiswa Program Studi Hukum Program Sarjana Reguler

Fakultas Hukum Universitas Islam Indonesia

 

Honorer adalah salah satu contoh tenaga non-Aparatur Sipil Negara (ASN). Tenaga honorer adalah seseorang yang diangkat oleh pejabat pembina kepegawaian dalam instansi pemerintah untuk melaksanakan tugas tertentu.[1] Di dalam Pasal 66 Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2023 tentang Apartur Sipil Negara (UU ASN) mengatur mengenai penataan non-ASN dalam hal ini ialah tenaga honorer menjadi Pegawai Pemerintah dengan Perjanjian Kerja (PPPK). Terdapat dua poin mengenai Pasal tersebut. Pertama, tenaga honorer wajib dilakukan penataan paling lambat Desember 2024.[2] Dapat diartikan pada Januari 2025 tenaga honorer ditiadakan dan dilakukan penataan. Kedua, instansi pemerintah dilarang mengangkat tenaga honorer. Adapun salah satu alasan pemerintah melakukan penataan adalah tidak jelasnya sistem rekrutmen tenaga honorer.[3] Honorer akan dilakukan penataan dengan tahap verifikasi, validasi, dan pengangkatan oleh lembaga yang berwenang.[4]

PPPK ialah warga negara Indonesia yang memenuhi syarat dan diangkat berdasarkan perjanjian kerja untuk jangka waktu tertentu yaitu penuh waktu dan paruh waktu. PPPK penuh waktu ialah pelamar yang telah dinyatakan lolos seleksi PPPK. Sementara PPPK paruh waktu ialah pelamar yang telah dipertimbangkan dan mengikuti seluruh tahapan seleksi PPPK namun tidak dapat mengisi lowongan kebutuhan. PPPK paruh waktu dapat dibagi menjadi dua kategori, di antaranya kategori R2 dan R3. Kategori R2 merujuk pada tenaga honorer yang tidak mendapatkan formasi penuh waktu dalam seleksi PPPK tahap satu. Sementara R3 Merupakan pelamar non-ASN yang tercatat dalam database Badan Kepegawaian Negara akan tetapi tidak menjadi prioritas utama untuk penempatan formasi.[5] Penataan tersebut merupakan langkah strategis membangun sumber daya manusia ASN yang lebih professional dan sejahtera serta memperjelas aturan dalam rekrutmen.[6]

Namun pada kenyataannya penataan terhadap tenaga honorer masih belum berjalan efektif. Hal ini mengakibatkan ribuan tenaga honorer R2 dan R3 yang belum mendapatkan formasi PPPK menggelar demonstrasi di depan gedung Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia. Setidaknya ada tiga tuntutan diantaranya, pertama, segera disahkannya Rancangan Peraturan pemerintah Manajemen ASN untuk tenaga honorer R2 dan R3 sebagai PPPK penuh waktu. Kedua menolak rekrutmen CPNS Tahun 2023 sebelum proses pengangkatan honorer R2 dan R3 tuntas. Ketiga  pemerintah diharapkan mengoptimalkan anggaran dan formasi untuk pengangkatan tenaga honorer menjadi ASN PPPK penuh waktu di daerah.[7]

Setelah tahun 2024 seluruh tenaga honorer yang sudah ada sebelum UU ASN diundangkan, apabila tidak memenuhi verifikasi dan validasi dalam proses penataannya akan dilakukan pembersihan (cleansing). Kenyataannya, tidak semua tenaga honorer tidak dapat memenuhi verifikasi dikarenakan ketidakmampuan di lingkungan pekerjaannya, tetapi lebih ke soal teknis administrasi yang belum bisa dipenuhi karena mekanisme subjektif dari penyelenggara. Salah satu contohnya adalah Dhisky, S.S., M.Pd., M.Si merupakan pemohon yang mengajukan gugatan Mahkamah Konstitusi. ia tidak dapat mendaftar PPPK guru karena data dapodik belum diverifikasi di dalam akun Sistem Seleksi Calon Aparatur Sipil Negara karena riwayat pendidikan dan pekerjaan yang belum diisi lengkap oleh operator sekolah sehingga ijazah tidak terverifikasi dan validasi di dapodik.[8]

Dari Berbagai polemik yang rumit tersebut penulis memiliki pandangan akan lebih efektif apabila honorer tunduk pada hukum ketenagakerjaan selayaknya pekerja yang mengikatkan diri kepada pemberi kerja dengan menggunakan perjanjian kerja. Pekerja merupakan setiap orang yang bekerja dengan menerima upah atau imbalan dalam bentuk lain.[9] Dengan diangkatnya tenaga honorer menjadi pekerja maka mereka menjadi terikat dan menjadi tanggungjawab pemberi kerja dengan adanya kontrak kerja.[10] Dapat disimpulkan bahwa polemik ini ditimbulkan akibat honorer yang ingin mendapatkan kepastian mengenai hak untuk bekerja. Maka dari itu alangkah lebih efektif untuk menjamin kesejahteraan warga negara yang timbul dari akibat ketidakpastian pengangkatan menjadi PPPK apabila tenaga honorer dijadikan sebagai pekerja. Pekerja berada dibawah pengampuan pemberi kerja sehingga pekerja menjadi tanggung jawab pemberi kerja. Hal ini berdasarkan argumentasi penulis lebih menguntungkan dan dalam proses pertanggungjawaban lebih sedernahana daripada menjadi tenaga honorer karena ketika sudah menjadi pekerja, mereka mendapatkan perlindungan secara langsung dari  pemberi kerja.

 

 

DAFTAR PUSTAKA

 Peraturan perundang-undangan

Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2023 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2022 tentang Cipta Kerja.

Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2023 tentang Aparatur Sipil Negara.

 

Website

Antara. (2025, Februari 3). Padati DPR RI, Ribuan Honorer Tuntut Status PPPK Penuh Waktu. Retrieved from antaranews.com: https://www.antaranews.com/berita/4622686/padati-dpr-ri-ribuan-tenaga-honorer-tuntut-status-pppk-penuh-waktu.

Kurniawan, R. F. (2022, Juni 5). Alasan Tenaga Honorer Dihapus: Pengupahan Tidak Jelas dan Kerap Dibawah UMR. Retrieved from Kompas.com: https://www.kompas.com/tren/read/2022/06/05/06310965/alasan-tenaga-honorer-dihapus–pengupahan-tidak-jelas-dan-kerap-di-bawah?page=all#:~:text=Honorer%20pada%202023%3F-,Pengupahan%20tidak%20jelas%20dan%20kerap%20di%20bawah%20UMR,upah%20minimum%20regional%20(UMR).

Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia. (2024, Maret 14). Pemerintah: Aturan Perjanjian Kerja dan Alih Daya dalam UU Cipta Kerja Lindungi Buruh. Retrieved from mkri.id: https://www.mkri.id/index.php?id=20123&menu=2&page=web.Berita&utm_source=chatgpt.com.

Nurliasa. (2025, Januari 14). Honorer R2 dan R3 Resmi Jadi PPPK Paruh Waktu, Ini Regulasi Lengkapnya. Retrieved from JabarEkspres.com: https://jabarekspres.com/berita/2025/01/14/honorer-r2-dan-r3-resmi-jadi-pppk-paruh-waktu-ini-regulasi-lengkapnya/.

Tim Detik Jatim. (2024, Agustus 26). Apakah Tenaga Honorer Akan Otomatis Diangkat Menjadi ASN? Ini Penjelasannya. Retrieved from detik.com: https://www.detik.com/edu/detikpedia/d-7509739/apakah-tenaga-honorer-akan-otomatis-diangkat-jadi-asn-ini-penjelasannya.

Wahyuni, W. (2022, Juni 10). Aturan Penghapusan Tenaga Honorer Beserta Alasannya. Retrieved from Hukumonline.com: https://www.hukumonline.com/berita/a/aturan-penghapusan-tenaga-honorer-beserta-alasannya-lt62a30ea7dd4bd/.

Putusan

Putusan Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia Nomor 119/PUU-XXII/2024.

[1] Hukumonline.com, ”Aturan Penghapusan Tenaga Honorer Besrta Alasannya Oleh Willis Wahyuni.”, https://www.hukumonline.com/berita/a/aturan-penghapusan-tenaga-honorer-beserta-alasannya-lt62a30ea7dd4bd/, diakses tanggal 14 Maret 2025.

[2] Pasal 66, Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2023 tentang Aparatur Sipil Negara.

[3] Kompas.com, “Alasan Tenaga Honorer Dihapus: Pengupahan Tidak Jelas dan Kerap Dibawah UMR Oleh Rendika Ferri Kurniawan.”, https://www.kompas.com/tren/read/2022/06/05/06310965/alasan-tenaga-honorer-dihapus–pengupahan-tidak-jelas-dan-kerap-di-bawah?page=all#:~:text=Honorer%20pada%202023%3F-,Pengupahan%20tidak%20jelas%20dan%20kerap%20di%20bawah%20UMR,upah%20minimum%20regional%20(UMR), diakses tanggal 14 Maret 2025.

[4] Lihat Pasal 66.

[5] JabarEkspres.com, “Honorer R2 dan R3 Resmi Jadi PPPK Paruh Waktu, Ini Regulasi Lengkapnya Oleh Nurliasa.”, https://jabarekspres.com/berita/2025/01/14/honorer-r2-dan-r3-resmi-jadi-pppk-paruh-waktu-ini-regulasi-lengkapnya/, diakses tanggal 15 Maret 2025.

[6] Ibid.

[7] Antaranews.com, “Padati DPR RI, ribuan tenaga honorer tuntut status PPPK penuh waktu oleh Antara.” https://www.antaranews.com/berita/4622686/padati-dpr-ri-ribuan-tenaga-honorer-tuntut-status-pppk-penuh-waktu, diakses tanggal 15 Maret 2025.

[8] Putusan Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia Nomor 119/PUU-XXII/2024.

[9] Pasal 1 angka 16, Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2023 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2022 tentang Cipta Kerja.

[10] Mkri.id, “Pemerintah: Aturan Perjanjian Kerja dan Alih Daya Dalam UU Cipta Kerja Lindungi Buruh Oleh Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia.” https://www.mkri.id/index.php?id=20123&menu=2&page=web.Berita&utm_source=chatgpt.com, diakses tanggal 13 Maret 2025.

[KALIURANG]; Kamis (12/06) telah diselenggarakan Interactive Talkshow bersama dengan Wahana Musik Indonesia (WAMI) bertajuk “Intro to Performing Rights: Mau bawain lagu orang? Gaperlu takut!” yang bertempat di Ruang Auditorium Lantai 4 Gedung Fakultas Hukum (FH) Universitas Islam Indonesia (UII). Talkshow dibuka dengan sambutan oleh Dekan FH UII, Prof. Dr. Budi Agus Riswandi, S.H., M.Hum. yang memperkenalkan WAMI secara singkat serta menyampaikan betapa berkembangnya hak cipta kini di Indonesia. Acara ini diisi oleh Sheila Noor Baity, S.H., LL.M. sebagai Akademisi atau Dosen FH UII, serta dua narasumber yakni Bigi Ramadha sebagai Head of Legal WAMI dan Makki Parikesit sebagai Composer atau Bassist Ungu yang lebih dominan menyoroti aspek praktis dari perlindungan hak cipta.

Diawali dengan pemaparan oleh Sheila Noor Baity, S.H., LL.M. mengenai Hak Kekayaan Intelektual (HAKI) atau Intellectual Property Rights (IPR) dari sisi teori sebagai pemahaman dasar peserta mahasiswa. Dalam paparannya, menerangkan definisi HAKI sebagai hak eksklusif dengan objeknya yakni karya atau produk yang lahir dari kemampuan intelektual manusia, antara lain seperti dalam bidang teknologi, ilmu pengetahuan, seni, hingga sastra. Hak eksklusif ini terdiri dari hak moral dan hak ekonomi. Salah satu bagian dari HAKI adalah hak cipta yang juga dijelaskan secara rinci dari definisi, subjek, objek, hak terkait pencipta, juga bagaimana segala ketentuan dan larangan mengenai hak cipta diatur dalam Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2014 tentang Hak Cipta, hingga bagaimana perspektif Islam terkait HAKI. Sama seperti dengan hukum nasional, Islam memandang baik karya-karya ilmuwan pada saat zamannya bahkan juga memberikan reward atas hasil karya seseorang. Namun, Islam tetap mengutamakan keseimbangan atas karya dan kebermanfaatan sosial yang cukup dan tidak membenarkan eksklusifitas secara masif. Kemudian dijabarkan pula tempat-tempat yang wajib membayar royalti jika menggunakan lagu secara komersial, tertuang pada Pasal 3 ayat (2) Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 56 Tahun 2021 tentang Pengelolaan Royalti Hak Cipta Lagu dan/atau Musik. Prosedur penggunaan komersil ini adalah dengan mengajukan permohonan lisensi kepada pemegang hak cipta atau pemilik hak terkait melalui Lembaga Manajemen Kolektif Nasional (LMKN).

Sesi dilanjutkan dengan pengantar teori dari Bigi Ramadha yang secara khusus menyoroti aspek Performing Rights (Hak Pengumuman) dalam konteks perlindungan hak cipta. Bigi Ramadha mengatakan bahwa untuk suatu lagu atau musik dapat orang nikmati sebagai suatu produk, artinya telah menempuh beberapa step, sehingga di dalamnya terkandung beberapa hak. Ia menganalogikannya seperti slices of pizza, masing-masing slice dari pizza memiliki karakteristiknya tersendiri, artinya adalah jangka waktu perlindungan dan karakter perlindungan haknya pun masing-masing berbeda (pencipta lagu, artis rekaman, penerbit musik, label). Selain itu, ia juga menjelaskan WAMI sebagai salah satu Lembaga Manajemen Kolektif (LMK) di Indonesia serta bagaimana proses alur royalti musik yang melibatkan LMK.

Kemudian menjadi sesi terakhir dan yang utama, talkshow bersama ketiga narasumber dengan berbagi banyak perspektif yang berbeda-beda. Sheila Noor Baity, S.H., LL.M. memberikan perspektif dari sisi akademisi terkait perlindungan hak cipta, ia menjawab pertanyaan terkait bagaimana peran kampus dalam membantu mahasiswa memperdalam pemahamannya, “Tentunya cukup banyak karena kita sebagai lembaga knowledge production, tidak hanya mempelajari dari ilmu yang telah ada sebelumnya, namun kita juga mengembangkan pemikiran-pemikiran hak cipta itu sebaiknya seperti apa, baik dari peraturan maupun implementasinya. Sehingga peran kampus adalah menumbuhkan benih-benih keingintahuan”. Makki Parikesit yang lebih berbagi pengalamannya sebagai pelaku musik, ia merasa bahwa dalam praktiknya masih banyak yang perlu dikaji terkait perlindungan hak cipta dan ia sadari pun masih ada peraturan yang ternyata cancelling each other. Bigi Ramadha juga menambahkan dengan membagikan perspektif hingga keresahannya dari peraturan-peraturan yang ada dengan real situation-nya, ia mengakhiri kalimatnya “kerjasama antara kampus UII dengan WAMI doesn’t end here, kalau teman-teman ingin bertanya hingga riset, we are more than welcome karena itu juga salah satu misi dari LMK”. 


Setelah pemaparan materi dari masing-masing narasumber selesai, acara berlanjut ke sesi tanya jawab yang berlangsung secara interaktif dan menarik. Berbagai pertanyaan para peserta mencerminkan ketertarikan dan perhatian mereka terhadap isu mengenai perlindungan hak cipta. Ragam pertanyaan yang diajukan mencakup mekanisme hak-hak ekonomi dari performer dan pembagiannya kepada pencipta, hal-hal teknis mengenai perlindungan hak cipta di era digital, hingga penerapan aktual hak cipta dalam lagu-lagu yang diaransemen di platform daring. Diskusi berlangsung hangat dengan tanggapan pemateri yang komprehensif dan aplikatif, sehingga mampu memperkaya pemahaman peserta. Kemudian menambah semangat partisipasi, acara ditutup dengan sesi kuis interaktif dari pemaparan-pemaparan materi yang telah disampaikan sebelumnya, dengan peserta yang benar akan mendapatkan hadiah menarik sebagai bentuk apresiasi. Sesi kuis dan tanya jawab tidak hanya sebagai ruang klarifikasi dengan balutan suasana yang menyenangkan menjelang penutupan acara, melainkan juga membuka perspektif baru mengenai pentingnya kesadaran hukum dalam ranah kekayaan intelektual. (DVP)