Yogyakarta (15/11) Program Studi Hukum Program Doktor Fakultas Hukum Universitas Islam Indonesia (UII) kembali melahirkan doktor baru. Muhammad Helmi Fahrozi, S.H.I., S.H., M.H., resmi meraih gelar Doktor setelah berhasil mempertahankan disertasi berjudul “Kemandirian Penyelenggara Pemilu: Rekonstruksi Pembentukan Peraturan KPU Berkepastian Hukum dan Partisipatif.”

Ujian terbuka dipimpin oleh Prof. Dr. Budi Agus Riswandi, S.H., M.Hum. selaku Ketua Sidang. Bertindak sebagai Promotor: Prof. Dr. Ridwan, S.H., M.Hum.; Co-Promotor: Dr. Saifuddin, S.H., M.Hum. Adapun Anggota Penguji adalah Prof. Dr. Sunny Ummul Firdaus, S.H., M.H., Prof. Dr. Tatiek Sri Djatmiati, S.H., M.S., Prof. Dr. Ni’matul Huda, S.H., M.Hum., dan  Dr. Suparman Marzuki, S.H., M.Si.

Dalam disertasinya, Helmi menemukan bahwa kemandirian fungsional KPU belum sepenuhnya sesuai dengan amanat konstitusi. Mekanisme konsultasi wajib kepada DPR dan pemerintah dalam penyusunan PKPU terbukti membuka peluang intervensi politik. Praktik tersebut menyebabkan KPU tidak selalu mampu bertindak mandiri dalam merumuskan regulasi kepemiluan.

Selain itu, putusan Mahkamah Konstitusi dan Mahkamah Agung yang muncul di tengah tahapan pemilu membuat KPU harus mengubah peraturan secara mendadak. Kondisi ini mengganggu kepastian hukum, partisipasi publik, dan kelancaran penyelenggaraan pemilu.

Helmi Fahrozi bersama Ketua Dewam Penguji, Promotor dan Co Promotor serta Anggota Penguji Lainnya

Penelitian yang mengkaji rentang 2014–2024 ini menghasilkan beberapa temuan penting 1)Kemandirian KPU dalam membuat PKPU masih tereduksi oleh tekanan legislatif dan yudikatif. 2) Legalitas formil pembentukan PKPU belum seragam, sehingga membuka ruang kontroversi dan ketidakpastian hukum. 3) Diperlukan rekonstruksi hukum untuk menjamin proses penyusunan peraturan yang lebih independen, demokratis, dan partisipatif.

Helmi menawarkan dua arah pembaruan. Pertama, Jalur legislasi: mengubah konsultasi dari kewajiban menjadi opsi, serta mengatur batas waktu perubahan aturan pemilu. Kedua, Jalur yudisial: mendorong penerapan judicial restraint dan Purcell Principle agar pengadilan tidak mengubah aturan saat tahapan pemilu berjalan.

Dewan penguji menilai disertasi ini memberikan kontribusi signifikan bagi penguatan sistem pemilu. Penelitian ini menawarkan solusi terukur untuk memperbaiki tata kelola regulasi KPU dan menjaga kualitas demokrasi. Dengan kelulusan ini, Muhammad Helmi Fahrozi resmi menyandang gelar Doktor Ilmu Hukum dan diharapkan terus berkontribusi dalam pengembangan hukum kepemiluan di Indonesia.

Rendi Yudha Syahputra
Dosen FH UII

Hukum acara pidana pada dasarnya merupakan hukum pembuktian. Mengatur mengenai apa saja yang dapat dijadikan bukti, bagaimana cara memperoleh bukti, kemudian bagaimana mengonstantir atau mengakui kebenaran/ fakta berdasarkan bukti, hingga pada akhirnya membuat sebuah keputusan. Artinya, hukum acara pidana sejatinya diciptakan untuk membuktikan atau mengungkap kebenaran (materiil), lalu kemudian memberikan putusan hukum terhadap kebenaran tersebut.

Ketika bukti-bukti mudah diperoleh dan bukti-bukti tersebut mampu menggambarkan peristiwa yang terjadi di waktu lampau secara seksama, tentu tidak sulit untuk mengungkap sebuah kebenaran. Tetapi sebaliknya, ketika bukti-bukti sukar didapat atau ternyata bukti-bukti yang dikumpulkan tidak mampu memberikan gambaran secara jelas, maka kebenaran akan suatu peristiwa menjadi samar. Dugaan-dugaan atau prasangka yang muncul pun menjadi tidak cukup tervalidasi, sehingga kebenarannya patut diragukan.

Pada situasi sulit tersebut, skala eksplorasi terhadap bukti-bukti (yang tersedia) akan semakin meningkat berbanding lurus dengan upaya untuk mengungkap kebenaran. Kadang kala, peningkatan skala eksplorasi ini berubah menjadi panggung eksploitasi. Momen inilah yang sering menjadi awal mula konflik antara kepentingan penegakan hukum dengan perlindungan hak asasi manusia seperti hak saksi, korban ataupun tersangka. Jadi, disatu sisi penegak hukum berusaha mengungkap kebenaran, sementara disisi lain, saksi, korban maupun tersangka tidak ingin hak-haknya dilecehkan atau dilanggar secara semena-mena.

 

Metode Pembuktian Klasik

Pada metode pembuktian klasik, titik episentrum pembuktian bertumpu pada bukti kesaksian/ keterangan (testimony evidence) yang diperoleh dari saksi (termasuk korban) ataupun tersangka. Terungkap atau tidak terungkapnya kebenaran, sangat bergantung pada keterangan yang diberikan oleh saksi maupun tersangka. Ketika keterangan tidak lengkap, berubah-ubah, berbeda antara satu dengan yang lainnya atau malah tidak (bersedia untuk) memberi keterangan, maka tentu saja hal ini akan memicu peningkatan skala eksplorasi terhadap jenis bukti tersebut.

Pada titik ini, sangat mungkin terjadi pemeriksaan yang tidak sehat seperti muter-muter, berlarut-larut, intimidatif, disertai ancaman atau bahkan mengandung kekerasan. Pada situasi yang lain, kondisi ini juga berpotensi melahirkan tindakan-tindakan (upaya paksa) yang tidak efektif dan efisien, akibat minimnya atau tidak akuratnya bukti keterangan. Seperti kekeliruan dalam penyitaan benda/ barang bukti (real evidence), pemanggilan yang berulang-ulang, salah tangkap, penggunaan jangka waktu penahanan yang cukup lama, dan lain sebagainya.

 

Metode Pembuktian 4.0

Metode pembuktian 4.0 pada hakikatnya merupakan adaptasi dari perkembangan zaman. Pergeseran kebiasaan atau perilaku manusia di era industri 4.0 menjadi pijakan dalam penyusunan metode pembuktian 4.0. Laporan Digital 2025 Global Overview Report menyebutkan bahwa 98,7% masyarakat indonesia berusia 16 tahun ke atas menggunakan ponsel untuk mengakses internet.

Kemudian We Are Social tahun 2025, melaporkan bahwa pemakai internet di Indonesia mencapai 212 juta, atau sekitar 75 % dari total populasi. Selain itu, disebutkan juga bahwa rata-rata penggunaan internet masyarakat indonesia dalam satu hari mencapai 7 jam. Dari data-data tersebut dapat dikatakan bahwa kehidupan atau aktivitas manusia hari-hari ini tidak lagi berada dalam satu ruang saja (alam realita), melainkan juga berada dalam ruang yang lain (alam virtual).

Artinya, apabila suatu perbuatan manusia diasumsikan sebagai rangkaian dari aktivitas kehidupan manusia, tentu sebagiannya akan terekam atau terdokumentasi dalam ruang virtual dalam bentuk data elektronik. Data elektronik ini akan menjadi keping puzzle yang berharga dalam mengungkap kebenaran. Jadi, metode pembuktian 4.0 menawarkan cara pembuktian dengan pendekatan lain, yakni menjadikan bukti dokumentasi (documentary evidence) utamanya data elektronik, menjadi titik episentrum dalam pembuktian.

Pada pembuktian ini, proses mengungkap kebenaran akan dikembangkan dari bukti dokumentasi. Baru kemudian disusul dengan bukti-bukti jenis lain, yakni barang bukti maupun bukti keterangan. Artinya, eksplorasi terhadap bukti keterangan cenderung berkurang karena “sebagian kebenaran” (yang cukup akurat) sudah diperoleh dari eksplorasi terhadap bukti dokumentasi. Jadi, pemeriksaan terhadap saksi ataupun tersangka menjadi lebih sehat dan menyenangkan. Kemudian penggunaan tindakan-tindakan (upaya paksa) seperti pemanggilan, penyitaan, penggeledahan, penangkapan maupun penahanan pun menjadi lebih efektif dan efisien.

 

Instrumen Wewenang Penyidikan 4.0

Berbagai tindakan/ wewenang dalam penyidikan, pada prinsipnya diciptakan untuk memperoleh atau mendapatkan berbagai jenis bukti. Wewenang pemanggilan (berikut pemeriksaannya), penangkapan dan penahanan, pada dasarnya dibuat untuk mendapatkan bukti keterangan (saksi ataupun tersangka). Kemudian wewenang penyitaan, tindakan pertama di TKP, pada dasarnya diciptakan untuk memperoleh barang bukti. Artinya, wewenang atau tindakan dalam penyidikan sejatinya berfungsi untuk meraih berbagai jenis bukti.

Dalam penyusunan RUU KUHAP, Komisi III DPR RI dan Pemerintah mestinya juga harus memperhatikan kebutuhan wewenang yang berkaitan dengan perolehan bukti dokumentasi khususnya data elektronik, supaya tujuan hakiki dari hukum acara pidana yakni menemukan kebenaran (materiil) dapat tercapai. Jadi bukan hanya fokus pada tambal sulam pengaturan wewenang-wewenang klasik yang sudah ada..

Apabila Komisi III DPR RI dan Pemerintah betul-betul memiliki pemikiran yang progresif, setidaknya mereka akan menciptakan wewenang-wewenang baru yang berhubungan dengan eksplorasi bukti dokumentasi tersebut seperti wewenang pemeriksaan awal perangkat elektronik. Wewenang ini berupa tindakan untuk melakukan pemeriksaan awal pada perangkat elektronik dengan didampingi pemilik perangkat. Pengaturan rinci mengenai tindakan ini dapat diadaptasikan dari konsep Digital Evidence First Responder (DEFR).

Kemudian wewenang menyalin data elektronik. Wewenang ini berupa tindakan meminta dan menerima data elektronik dari penyelenggara sistem elektronik selaku penguasa data. Salah satu contoh tindakan ini adalah penggunaan layanan Law Enforcement Portal Request yang disediakan oleh penyelenggara sistem elektronik seperti facebook, whats app, instagram, tiktok dsb. Berikutnya wewenang penyitaan perangkat elektronik tertentu. Wewenang ini berupa tindakan mengambil alih perangkat elektronik tertentu yang memerlukan pemeriksaan digital forensik. Tindakan tersebut pada dasarnya merupakan tindakan awal dari rangkaian mekanisme Chain of Custody (COC).

Lalu yang terakhir wewenang mengakses sistem elektronik dengan cara apapun. Wewenang ini berupa tindakan untuk memperoleh data elektronik yang relevan dengan pembuktian yang terdapat dalam sistem elektronik, tanpa persetujuan dari pemilik/ penguasa data. Namun demikian, prosedur penggunaan wewenang-wewenang tersebut tetap harus diatur secara proporsional dan seimbang dengan memperhatikan hak atas data pribadi seseorang. Keberadaan wewenang-wewenang tersebut diharapkan mampu membantu perolehan bukti dokumentasi secara optimal, sehingga alternatif-alternatif untuk menyingkap kebenaran menjadi semakin terbuka lebar.

Berdasarkan uraian di atas, metode pembuktian 4.0 lebih memberikan jaminan perlindungan hak asasi manusia dibandingkan dengan metode pembuktian klasik. Disamping itu, metode pembuktian 4.0 juga memiliki pendekatan yang lebih relevan dengan perkembangan zaman dibandingkan dengan metode pembuktian klasik. Akhirul kata: Justitia Semper Reformanda Est!

BANGI, Malaysia (2 November 2025) – Semangat kolaborasi internasional dan keunggulan budaya bersinar terang ketika Abi Abdullah, mahasiswa mobilitas dari Fakultas Hukum Universitas Islam Indonesia (FH UII), dengan bangga mewakili UII dalam ASEAN Art Festival ke-8 tahun 2025 (UKM ARTSEAN) yang diselenggarakan di Universiti Kebangsaan Malaysia (UKM) pada 29 Oktober – 3 November 2025.

Festival yang mengusung tema “Diversity in Rhythm and Heritage” (Keberagaman dalam Irama dan Warisan) ini diikuti oleh lebih dari 300 peserta dari seluruh kawasan ASEAN dan negara-negara lainnya, termasuk delegasi dari Thailand, Kamboja, Vietnam, Indonesia, Brunei Darussalam, Filipina, Malaysia, serta peserta khusus dari Tiongkok, Jepang, Korea Selatan, India, Prancis, Kanada, Kazakhstan, dan Bangladesh.

Kegiatan ini diselenggarakan oleh UKM University Cultural Centre, UKM Artisukma, Againstar Sdn. Bhd., serta Dewan Bahasa dan Pustaka (DBP) bekerja sama dengan Ministry of Tourism, Arts and Culture Malaysia (MOTAC). Festival tersebut menjadi wadah yang semarak untuk pertukaran budaya, kolaborasi kreatif, dan ekspresi seni lintas negara.

Mewakili FH UII, Abi Abdullah menampilkan kreativitas dan ekspresi budaya yang luar biasa, sehingga berhasil meraih Art Award (Penghargaan Seni) atas kontribusi istimewanya selama acara berlangsung. Prestasi ini mencerminkan komitmen UII dalam menumbuhkan mahasiswa berwawasan global yang mempromosikan perdamaian, persatuan, dan saling pengertian antarbudaya melalui seni.

“Penghargaan ini bukan sekadar pencapaian pribadi, melainkan juga cerminan dari visi UII untuk membangun jembatan kolaborasi dan saling pengertian antarbangsa melalui budaya dan kreativitas,” ujar Abi.

Selama lima hari pelaksanaan festival, para peserta mengikuti beragam kegiatan seperti lokakarya tari ASEAN, lomba menyanyi lagu Melayu ASEAN, serta kunjungan budaya ke Mah Meri Cultural Village dan Museum Nasional Malaysia. Seluruh kegiatan tersebut mempererat hubungan antar peserta sekaligus menumbuhkan apresiasi terhadap warisan dan keberagaman budaya ASEAN.

Keikutsertaan FH UII dalam ajang internasional ini menegaskan upaya berkelanjutan universitas dalam memperluas mobilitas internasional, diplomasi budaya, dan keunggulan akademik, sekaligus memperkuat posisi UII sebagai kontributor aktif dalam komunitas akademik dan budaya global.

Assalamualaikum Wr. Wb.

Dengan Hormat,
Pelaksanaan Pemilihan Umum (Pemilu) pada Tahun 2024 dan Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) Serentak pada 2025 telah usai terlaksana. Sejumlah kritik dan evaluasi bermunculan, menyorot pelaksanaan bahkan regulasi pengaturan pesta demokrasi nasional tersebut. Ke depan, tantangan terhadap Pemilu dan Pilkada akan kembali menghantui Indonesia. Sehingga, Fakultas Hukum Universitas Islam Indonesia bekerja sama dengan Komisi Pemilihan Umum Daerah Istimewa Yogyakarta menyelenggarakan lokakarya dan focus group discussion mengenai Evaluasi Pengaturan dan Pelaksanaan Pemilu pada Oktober 2025. Poin-poin anotasi dan rekomendasi dapat didownload di link di bawah ini.

Download Berkas Klik Disini

Temuan hasil anotasi diharapkan menjadi masukan konstruktif bagi KPU, Pemerintah, Mahkamah Konstitusi, dan Mahkamah Agung dalam memperkuat regulasi, penyelenggaraan, dan penegakan hukum Pemilu. Semoga rekomendasi yang disampaikan dapat mendukung terciptanya Pemilu yang adil, transparan, dan akuntabel di masa mendatang.
Wassalamualaikum Wr. Wb.

Rendi Yudha Syahputra
Dosen FH UII

Pergaulan dan perilaku manusia sejatinya turut dipengaruhi oleh perkembangan industri. Ketika industri masih di era 1.0, 2.0, dan 3.0 (era lama), manusia lebih banyak berinteraksi secara langsung (kontak fisik) dengan manusia lainnya. Interaksi tersebut mengisyaratkan keberadaan suatu lokasi/ tempat di belahan bumi ini untuk bersua. Dan di tempat tersebut (ataupun sekitarnya), dimungkinkan juga terdapat manusia-manusia lain yang bertebaran dalam rangka interaksi langsung. Ini artinya, terdapat kecenderungan bagi manusia-manusia di era lama untuk “bertemu” atau “terlibat” secara langsung dengan berbagai peristiwa di suatu tempat, termasuk peristiwa yang diduga sebagai tindak pidana.

Perjumpaan secara langsung antara manusia dengan berbagai peristiwa tersebut, menjadikannya sebagai titik episentrum pembuktian di era lama. Fakta-fakta disusun utamanya dari apa yang dialami, dilihat, didengar ataupun diketahui oleh manusia-manusia yang berjumpa secara langsung dengan peristiwa. Oleh sebab itu, keterangan manusia (baca: saksi) dijadikan parameter utama dalam pembuktian. Jadi, selain membuktikan peristiwa yang sesungguhnya terjadi, keterangan saksi juga berfungsi untuk mengidentifikasi pelakunya.

Paradigma tersebut selanjutnya menjadi landasan untuk menyusun ketentuan Acara Pidana baik sejak periode Het Herziene Inlandsch Reglement (HIR) maupun periode UU Hukum Acara Pidana (KUHAP). Dari paradigma tersebut juga lahir beberapa instrumen wewenang yang berfungsi untuk mencari dan memperoleh saksi, seperti memanggil saksi serta melakukan tindakan pertama di tempat kejadian (Pasal 7 ayat 1 KUHAP).

 

Pembuktian Era 4.0

Pergeseran industri dari era lama ke era 4.0, turut menggeser pola interaksi manusia. Handphone, Laptop, Aplikasi, Website, dsb (yang mengandung elektron), lebih banyak berhubungan intim dengan manusia. Artinya, pola interaksi antar manusia pun tidak lagi seperti era lama, dan cenderung diperantarai “tempat” yang disediakan oleh internet (ruang siber). Kondisi tersebut memicu turunnya intensitas persamuhan secara langsung antara manusia dengan berbagai peristiwa. Hal ini tentu saja, turut mereduksi apa yang dialami, dilihat, didengar ataupun diketahui secara langsung oleh saksi-saksi tentang jangkapnya sebuah peristiwa..

Sebagai contoh, terkait pembuktian tindak pidana penipuan. Di era lama, keterangan saksi memegang peranan penting. Hal ini disebabkan pelaku pernah bertemu secara langsung dengan korban di suatu tempat. Kemudian di tempat tersebut, terdapat saksi-saksi yang melihat, mendengar ataupun mengetahui pertemuan antara korban dengan pelaku. Sehingga saksi-saksi dapat menerangkan peristiwa yang sesungguhnya terjadi, dan mengidentifikasi pelaku maupun korbannya.

Lain halnya dengan pembuktian tindak pidana penipuan di era 4.0. Keterangan saksi mulai tidak dapat diandalkan. Hal ini dikarenakan pelaku tidak pernah bertemu secara langsung dengan korban di suatu tempat. Mereka hanya terkoneksi melalui telepon atau aplikasi seperti whatsapp, instagram, facebook, dsb. Keadaan ini menyebabkan saksi-saksi tidak dapat melihat, mendengar ataupun mengetahui interaksi nyata antara pelaku dengan korban secara seksama. Dan yang paling gelap adalah, tidak mudah bagi saksi-saksi untuk mengidentifikasi siapa pelakunya. Saksi hanya sekedar mampu mengidentifikasi nomor seluller, rekening ataupun akun media sosialnya saja, bukan “siapa” manusia yang menggunakannya.

Kenyataan ini seharusnya menyadarkan kepada kita semua bahwa titik episentrum pembuktian harus bergeser. Yang tadinya bertumpu pada keterangan saksi, sekarang harus bertumpu pada benda/ data elektronik. Ini yang seyogyanya menjadi landasan utama dalam pembaharuan Hukum Acara Pidana. Dari paradigma tersebut, perlu ditata kembali alat-alat bukti yang relevan dengan pembuktian era 4.0. Misalnya menjadikan alat bukti elektronik sebagai alat bukti pokok dalam pembuktian tindak pidana secara umum.

Kemudian paradigma 4.0 ini juga dapat dijadikan dasar untuk menciptakan instrumen wewenang baru yang berfungsi mencari, menyentuh ataupun memperoleh jejak-jejak elektronik. Misalnya wewenang untuk membuka data-data yang tersimpan di sejumlah industri 4.0 seperti penyedia jasa internet, penyedia jasa telekomunikasi, penyedia jasa keuangan, penyedia jasa aplikasi, penyedia jasa perdagangan, dsb yang hari-hari ini menjadi sahabat karib manusia.

 

Instrumen Wewenang 4.0 vs Data Pribadi

Paradigma pembuktian 4.0 secara otomatis akan turut mempengaruhi cara pandang terhadap Data Pribadi. Apabila di era lama Data Pribadi dipandang sebagai bukti pelengkap, di era 4.0 Data Pribadi dapat dipandang sebagai bukti primer. Ini tidak lepas dari “posisi strategis” Data Pribadi dalam arus informasi dan transaksi elektronik. Sehingga segala ketentuan terkait Data Pribadi pun harus selaras dengan metode pembuktian tersebut.

Sebagai contoh, persyaratan untuk membuka Data Nasabah Bank. Secara prinsip data nasabah bank dapat dibuka atau diberikan untuk kepentingan peradilan pidana, akan tetapi nasabah tersebut harus berstatus sebagai tersangka atau berkaitan dengan tersangka (Pasal 42 ayat 1 UU Perbankan jo Pasal 14 angka 41 UU P2SK). Padahal, “siapa” pelakunya belum dapat diidentifikasi. Lalu “siapa” yang akan dilabeli status Tersangka, jika pelakunya saja belum dapat diidentifikasi?

Berkaca dari KUHAP, instrumen wewenang  untuk membuka data pribadi sebenarnya mirip dengan wewenang pemeriksaan surat (Pasal 47 KUHAP). Wewenang tersebut memberikan kekuasaan untuk membuka dan memeriksa surat-surat pribadi yang dikirimkan melalui kantor pos, perusahaan komunikasi, dan pengangkutan. Yang memberikan izin untuk mengaktifkan wewenang tersebut cukup Ketua Pengadilan Negeri, dan tidak perlu izin dari Otoritas lain. Sehingga apabila wewenang tersebut diadaptasikan dalam pembaharuan acara pidana dengan paradigma 4.0, maka yang memberikan izin untuk membuka data nasabah bank cukup Ketua Pengadilan Negeri atau Hakim Pemeriksa Pendahuluan, dan tidak perlu izin dari Otoritas lain.

Berdasarkan uraian di atas, paradigma pembuktian 4.0 disinyalir dapat mengimbangi kejahatan di era 4.0. Ini artinya, upaya perlindungan terhadap korban pun menjadi lebih terjamin. Karena ketika pelaku dapat terungkap dan diadili, opsi restitusi pun semakin terbuka lebar. Sebaliknya dengan paradigma pembuktian klasik, korban pada akhirnya hanya “sekedar” bisa melapor, karena pelaku sulit diungkap. Jadi, pembaharuan KUHAP mestinya bukan tambal sulam KUHAP lama, namun lebih dari itu. Yakni mampu menghadirkan konsep baru yang dapat menjawab segala persoalan yang ada dipelupuk mata. Mari berjuang bersama-sama, jangan pernah berhenti dan semoga keadilan bersedia memimpin negeri ini!

Kemajuan teknologi informasi tak lagi bisa dipandang sekadar alat bantu administratif. Di era sekarang ini, transformasi digital menjadi keniscayaan. Hampir semua institusi Pendidikan pada berbagai jenjang dituntut untuk tidak hanya beradaptasi, tetapi juga berinovasi. Fakultas Hukum Universitas Islam Indonesia (FH UII) tampaknya memahami hal itu dengan sangat baik dan mengambil langkah inovatif. Pada 8 November 2025, FH UII resmi meluncurkan Law UII App, sebuah aplikasi digital yang digadang-gadang akan menjadi superApp pertama di lingkungan kampus hukum Indonesia.

Langkah ini bukan sekadar pembaruan teknologi, melainkan bentuk keseriusan FH UII dalam menapaki era baru tata kelola pendidikan hukum yang lebih efisien, transparan, dan terintegrasi.

Dari Administrasi Menuju Ekosistem Digital Hukum

Law UII App tidak sekadar berfungsi sebagai alat bantu untuk kegiatan akademik. Ia dirancang sebagai ekosistem hukum digital yang menyatukan berbagai layanan fakultas dalam satu platform. Melalui aplikasi ini, mahasiswa, dosen, dan tenaga kependidikan dapat memantau jadwal kuliah, berbagi ide, mengakses informasi lomba dan kegiatan akademik, hingga memeriksa tagihan perkuliahan—semuanya dilakukan secara cepat dan praktis. Melalui aplikasi ini, orang tua juga dapat memantau perkembangan anaknya dalam menempuh studi hukum, sementara mahasiswa memiliki akses penuh terhadap informasi akademik mereka sendiri. Transparansi ini diharapkan memperkuat rasa saling percaya antara fakultas, mahasiswa, dan keluarga. Bahkan, aplikasi ini juga membuka ruang untuk kegiatan sosial seperti donasi dan amal.

Peluncuran versi pertama aplikasi ini merupakan pilot project dari FH UII yang akan menjadi simbol komitmen fakultas dalam mengembangkan legal technology serta langkah nyata menuju universitas hukum berkelas global. Dalam konteks manajemen fakultas, aplikasi ini ditujukan untuk meningkatkan efisiensi operasional dan mengurangi ketergantungan pada proses manual yang selama ini menyita waktu dan tenaga.

Lebih dari sekadar efisiensi, Law UII App menjadi wujud transparansi kelembagaan. Melalui ekosistem digital ini, seluruh aturan hukum, kebijakan, hingga proses pembentukan regulasi internal dapat diakses secara lebih terbuka oleh civitas akademika. Transparansi ini penting untuk membangun kepercayaan dan partisipasi aktif di antara seluruh anggota komunitas akademik.

FH UII menegaskan, komitmen terhadap teknologi lahir dari keyakinan bahwa tanpa inovasi, lembaga pendidikan akan tertinggal dalam menghadapi perubahan sosial, ekonomi, dan hukum yang kian cepat. Dunia hukum kini menuntut generasi baru yang tidak hanya memahami norma, tetapi juga mampu menavigasi realitas digital.

Fitur Unggulan: Dari Kolaborasi hingga Tata Kelola Transparan

Setiap aplikasi memiliki jiwa yang membedakan antara satu dengan lainnya. Bagi Law UII App, jiwa itu terletak pada kemampuan menghadirkan ruang kolaborasi dan keterbukaan dalam satu platform. Melalui fitur Inovasi Riset dan Kolaborasi, seluruh civitas akademika dapat berinteraksi, mengajukan ide penelitian, memantau prosesnya, dan mengembangkan gagasan secara bersama. Fitur ini membuka kesempatan luas bagi dosen dan mahasiswa untuk berinovasi tanpa batas ruang dan waktu, serta memperkuat tradisi riset kolaboratif yang telah menjadi ciri khas FH UII.

Selain itu, hadir pula Pusat Pengetahuan Digital, wadah yang dirancang sebagai perpustakaan hukum interaktif. Melalui fitur ini, pengguna dapat mengakses beragam literatur hukum, informasi terkini, dan sumber bacaan yang relevan dengan perkembangan dunia hukum modern. Menariknya, FH UII juga membuka ruang bagi mahasiswa dan dosen untuk berbagi tulisan dalam format artikel ilmiah populer. Dengan begitu, budaya menulis dan berbagi ilmu dapat tumbuh lebih hidup, sekaligus memperluas jangkauan pengetahuan hukum ke masyarakat umum.

Fitur lainnya yang tak kalah penting adalah Tata Pamong Digital, yang menjadi bentuk nyata dari komitmen FH UII terhadap prinsip good governance. Melalui fitur ini, civitas akademika dapat menyampaikan saran, masukan, maupun kritik konstruktif terhadap berbagai layanan fakultas. Kolom survei dan mekanisme umpan balik disediakan untuk menjamin bahwa setiap suara dari komunitas akademik didengar dan ditindaklanjuti.

Ketiga fitur utama ini bukan sekadar fasilitas, melainkan manifestasi dari filosofi digital yang dipegang oleh FH UII: bahwa teknologi harus menjadi alat pemberdayaan, bukan sekadar pengendali sistem.

Aplikasi yang Tumbuh Bersama Nilai Pendidikan

FH UII melihat Law UII App sebagai bagian dari perjalanan panjang transformasi pendidikan hukum, bukan sekadar proyek teknologi sesaat. Di balik perancangannya, terdapat visi pendidikan yang lebih luas—menjadikan inovasi digital sebagai bentuk tanggung jawab moral kepada mahasiswa, orang tua, dan masyarakat.

Dalam jangka panjang, FH UII berkeinginan agar aplikasi ini menjadi contoh praktik baik (best practice) yang dapat diadopsi oleh fakultas hukum lain di Indonesia. Bila setiap fakultas hukum memiliki sistem digital yang terintegrasi seperti ini, maka dunia pendidikan hukum nasional akan lebih siap menghadapi tantangan era digitalisasi dan keterbukaan data.

Menuju SuperApp dan Ekosistem Terpadu

Law UII App tidak berhenti pada fungsinya yang sekarang. FH UII merancangnya sebagai SuperApp, yakni aplikasi yang mampu menghubungkan berbagai layanan digital dalam satu ekosistem menyeluruh. Ke depan, fitur-fitur seperti dompet digital, sistem pembayaran online untuk tagihan kuliah, portal fakultas, media informasi hukum, hingga wakaf digital dan pasif amal akan diintegrasikan dalam satu sistem.

Dalam tahap pengembangan berikutnya, aplikasi ini akan diperluas dengan berbagai fitur baru seperti dompet digital, sistem pembayaran tagihan perkuliahan, portal informasi fakultas, hingga wakaf digital dan pasif amal. Dengan begitu, seluruh aktivitas akademik, administratif, dan sosial dapat dijalankan melalui satu sistem yang terintegrasi.

Model SuperApp ini juga akan memperkuat posisi FH UII sebagai kampus yang responsif terhadap kemajuan teknologi. Setiap pembaruan sistem dirancang untuk fleksibel terhadap perubahan kebutuhan. Bila suatu saat ada kebijakan baru, metode pembelajaran digital, atau peluang riset lintas disiplin, Law UII App siap menyesuaikan diri.

Menginspirasi Transformasi Pendidikan Hukum

Kehadiran Law UII App membawa pesan kuat bagi dunia pendidikan hukum: teknologi bukan ancaman, melainkan peluang. Aplikasi ini menjadi contoh nyata bahwa penguasaan teknologi dapat berjalan seiring dengan nilai-nilai etika dan integritas yang menjadi fondasi ilmu hukum.

FH UII menempatkan teknologi sebagai sarana untuk memperkuat efisiensi, transparansi, dan kolaborasi, bukan sekadar sebagai alat administratif. Dalam konteks yang lebih luas, Law UII App juga menjadi ruang pembelajaran bagi mahasiswa hukum untuk memahami bagaimana dunia hukum berinteraksi dengan perkembangan digital—mulai dari tata kelola data, keamanan siber, hingga etika dalam inovasi hukum.

Dengan pendekatan yang inklusif dan berorientasi pada nilai kemaslahatan, FH UII membuktikan bahwa transformasi digital dalam pendidikan hukum bisa berakar pada nilai-nilai keislaman, keterbukaan, dan keilmuan.

Yogyakarta, 8 November 2025, Trio Rachmadi memaparkan hasil penelitian disertasi di depan penguji pada Sabtu, 8 November 2025, Pukul 14.30 WIB bertempat di ruang Auditorium lantai 4 Fakultas Hukum Universitas Islam Indonesia. Trio Rachmadi berhasil memperoleh gelar Doktor yang ke 197 Dari Program Studi Hukum Program Doktor Fakultas Hukum Universitas Islam Indonesia. Promovendus mempertahankan disertasinya yang berjudul “Politik Hukum Kesehatan di Indonesia (Studi tentang Urgensi Ethics of Rights dan Ethics of Care dalam Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan Bidang Kesehatan: Evaluasi Kritis terhadap Undang-Undang RI Nomor 17 Tahun 2023 tentang Kesehatan).

Dalam disertasinya dijelaskan bahwa permasalahan Kesehatan di Masyarakat adalah cerminan dari kegagalan kebijakan (policy failure) yang terefleksi atas buruknya proses pembentukan peraturan perundang-undangan bidang Kesehatan, peraturan perundang-undangan bidang Kesehatan dalam pembentukannya seringkali dipengaruhi oleh politik tertentu. Sehingga menurut promovendus diperlukan konsep ethics tertentu dalam pembentukannya. Pembentukan Undang-undang Republik Indonesia Nomor 17 Tahun 2023 tentang Kesehatan belum mempertimbangkan Ethics of Rights dan Ethics of Care sehingga jauh dari nilai keadilan yaitu partisipasi public yang tidak optimal, waktu yang sangat singkat, naskah akademik yang kurang ilmiah dan menimbulkan kondisi Masyarakat yang asimetri. 

Promovendus memberikan rekomendasi bahwa setiap pembentukan peraturan perundang-undangan bidang Kesehatan diperlukan pertimbangan Ethics of Rights dan Ethics of care untuk meminimalisir pengaruh politik kekuasaan dan kondisi asimetri Masyarakat sehingga dapat menghasilkan produk hukum yang dapat memenuhi keadilan social dalam politik hukum Kesehatan di Indonesia. Politik hukum Kesehatan berupaya untuk menjaga keseimbangan hak dan kewajiban pasien dan sumber daya manusia Kesehatan, peningkatan kualitas patient safety dan terpenuhinya hak sehat warga negara.

Trio rachmadi berhasil menyelesaikan disertasinya dibawah bimbingan dr.M. Nasser, Sp. KK., FINSDV., FAADV., Doctor of Law, Co Promotor Bapak Dr. M. Arif Setiawan, S.H., M.H. Hadir sebagai penguji dalam ujian terbuka Prof. Dr. Budi Agus Riswandi, S.H., M.Hum. sebagai ketua Penguji dan anggota penguji yakni, Prof. Nandang Sutrisno, S.H., M.Hum., LL.M., Ph.D., Dr. Suparman Marzuki, S.H., M.Si., Dr. Sundoyo, S.H., M.KM., M.Hum., dan Bapak M. Endriyo Susila, S.H., MCL., Ph.D.

Rendi Yudha Syahputra
Dosen FH UII

Hak Cipta (copy rights) pada hakikatnya adalah hak yang diberikan kepada Pencipta untuk memonopoli ciptaannya dalam jangka waktu tertentu. Konsepsi Hak Cipta dapat dipersamakan dengan hak kepemilikan atas suatu benda pada umumnya, dimana pemilik suatu benda dapat melakukan apa saja terhadap benda yang dimiliki sesuai dengan kehendaknya. Termasuk didalamnya adalah seperti melarang (tidak mengizinkan) orang lain untuk mempergunakannya.

Disamping Hak Cipta, juga terdapat Hak Terkait (related rights) yang memberikan hak tersendiri kepada Penampil ciptaan untuk memonopoli pertunjukan, rekaman ataupun siarannya atas suatu ciptaan. Dalam dunia industri, hak ini diberikan kepada para Pelaku Pertunjukan, Produser Fonogram dan Lembaga Penyiaran. Namun yang perlu dipahami bersama adalah bahwa hak ini merupakan semacam “hak turunan” yang lahir dari adanya Hak Cipta dan berfungsi mengoptimalkan manfaat atas suatu ciptaan. Artinya, dengan teroptimalisasinya manfaat dari suatu ciptaan, maka teroptimalisasi pula kesejahteraan penciptanya.

Keleluasaan yang diberikan kepada Penampil ciptaan melalui Hak Terkait seharusnya tidak diartikan sebagai keleluasaan yang tidak terbatas, seperti misalnya dapat menggunakan ciptaan untuk kepentingan komersial tanpa izin terlebih dahulu dari Pencipta dan kemudian hanya memberikan imbalan (royalti) “ala kadarnya” saja kepada Pencipta. Jika Penampil diberikan keleluasaan untuk mengeksploitasi keuntungan dari sebuah pertunjukan, rekaman pertunjukan ataupun siaran pertunjukan atas suatu ciptaan yang dibuat dengan susah payah oleh Pencipta, maka Penciptanya pun seharusnya diberikan keleluasaan juga untuk “berdialog” mengenai royaltinya.

Persoalan dibidang Hak Cipta yang menyita perhatian publik belakangan ini adalah munculnya silang pendapat antara dua legenda hidup musik Indonesia, yaitu Once selaku penyanyi (penampil ciptaan) dengan Ahmad Dhani selaku pencipta lagu (pemilik ciptaan). Ahmad Dhani kurang lebih berpendapat bahwa penyelenggara acara (event organizer) yang menampilkan lagu ciptaannya dalam sebuah pertunjukan (dan dinyanyikan oleh Once), harus mendapat izin terlebih dahulu dari Ahmad Dhani. Sedangkan Once kurang lebih berpendapat bahwa lagu ciptaan Ahmad Dhani dapat dinyanyikan atau ditampilkan dalam sebuah pertunjukan tanpa harus meminta izin terlebih dahulu kepada Ahmad Dhani, namun dengan membayar royalti kepada Lembaga Manajemen Kolektif.

 

Posisi Lembaga Manajemen Kolektif

Pasal 23 ayat (5) UU Nomor 28 Tahun 2014 tentang Hak Cipta (UUHC 2014) menyebutkan bahwa “Setiap orang dapat melakukan penggunaan secara komersial ciptaan dalam suatu pertunjukan tanpa meminta izin terlebih dahulu kepada pencipta dengan membayar imbalan kepada pencipta melalui Lembaga Manajemen Kolektif”. Kemudian dalam penjelasannya dikatakan bahwa “imbalan kepada pencipta” adalah royalti yang nilainya ditetapkan secara standar oleh Lembaga Manajemen Kolektif (LMK). Secara hukum positif, apa yang disampaikan oleh Once memang sama persis dengan bunyi Pasal 23 ayat (5) UUHC 2014. Namun bagaimanakah sesungguhnya makna dari Pasal tersebut?

Pertama-tama harus dipahami terlebih dahulu mengenai siapakah LMK itu. Dalam Pasal tersebut (berikut penjelasannya), LMK seolah-olah tampak seperti “lebih memiliki hak” ketimbang Pencipta, dimana dia dapat menentukan nilai royalti tanpa mendapat persetujuan terlebih dahulu dari penciptanya. Namun apabila merujuk pada Pasal 1 angka 22 jo Pasal 88 ayat (2) huruf b UUHC 2014, LMK sebenarnya adalah institusi berbadan hukum nirlaba yang diberi kuasa oleh Pencipta, Pemegang Hak Cipta dan/ atau Pemilik Hak Terkait untuk mengurus masalah royalti.

Dari ketentuan tersebut jelas terlihat bahwa LMK sendiri sebenarnya merupakan sebuah lembaga yang dimaksudkan sebagai kepanjangan tangan dari Pencipta, Pemegang Hak Cipta dan/ atau Pemilik Hak Terkait dalam hal pengurusan atau “penagihan” royalti. Mungkin dalam bahasa lain bisa juga disebut sebagai “debt collector”-nya Pencipta, Pemegang Hak Cipta dan/ atau Pemilik Hak Terkait. Artinya, tanpa adanya kuasa dari Pencipta, LMK sama sekali tidak memiliki hak ataupun wewenang untuk bertindak mewakili Pencipta dalam pengurusan royaltinya.

Hubungan hukum tersebut menegaskan bahwa LMK sejatinya tidak dapat bertindak sepihak atau semaunya sendiri, karena apa yang dilakukan oleh LMK sebenarnya hanya sebatas menjalankan “perintah” dari Pencipta sebagaimana perjanjian penyuruhannya (lastgeving). Jadi, dalam menentukan nilai royalti atas suatu ciptaan, seharusnya didasarkan pada kehendak dari Pencipta juga. Bukan hanya didasarkan pada kehendak sepihak dari LMK. Oleh sebab itu, dalam menentukan nilai royalti, idealnya dibicarakan secara matang terlebih dahulu antara LMK dengan Pencipta, baru kemudian disepakati dan dituangkan dalam perjanjian penyuruhannya (surat kuasa).

Dari uraian tersebut di atas, maka maksud “dapat melakukan penggunaan secara komersial ciptaan dalam suatu pertunjukan tanpa meminta izin terlebih dahulu kepada pencipta dengan membayar imbalan kepada pencipta melalui Lembaga Manajemen Kolektif” seharusnya dimaknai “dalam hal Pencipta dan LMK sudah menyepakati nilai royalti berikut prasyarat lainnya” sehingga Pasal 23 ayat (5) UUHC 2014 tidak berat sebelah dan terasa lebih adil. Selama belum terdapat kesepakatan antara Pencipta dengan LMK terkait hal tersebut, maka penggunaan ciptaan harus tetap izin terlebih dahulu kepada penciptanya.

Perdebatan antara Ahmad Dhani dengan Once yang pada akhirnya melibatkan Menteri Hukum dan HAM Republik Indonesia, sebenarnya tidak perlu terjadi jika LMK benar-benar memahami tugas dan tanggungjawabnya selaku kuasa dari Pencipta dalam pengelolaan royalti. Bagaimanapun juga seorang Pencipta adalah “Tuan” bagi LMK yang wajib dihormati serta diperjuangkan hak-haknya, dan bukan malah sebaliknya. Semoga dengan goresan pena yang tidak seberapa ini, dapat menggugah semua pihak untuk memaknai hukum hak cipta dengan “Cita Rasa Indonesia”.

[KALIURANG]; Program Studi Hukum Bisnis Program Sarjana (PSHBPS) Fakultas Hukum (FH) Universitas Islam Indonesia (UII) menggelar kegiatan Diseminasi Hasil Penelitian Dean Research Grant (DRG) 2025 pada Sabtu (11/10), bertempat di Ruang Mini Auditorium Lantai 4 Gedung FH UII, Kaliurang, Yogyakarta. Kegiatan ini diikuti oleh 10 (sepuluh) tim yang mempresentasikan hasil penelitian mereka sebagai bentuk pertanggungjawaban dan penyebarluasan hasil riset yang telah dilakukan selama program berlangsung.

Acara kemudian dilanjutkan dengan sambutan dari Mukmin Zakie, S.H., M.H., Ph.D. selaku Ketua Program Studi Hukum Bisnis. Dalam sambutannya, beliau menyampaikan ucapan selamat kepada para mahasiswa yang telah menyelesaikan karya tulisnya sehingga dapat hadir dan berpartisipasi dalam kegiatan diseminasi ini. Ia juga menambahkan bahwa kegiatan seperti ini sangat baik untuk memacu semangat mahasiswa agar terus aktif dan berprestasi dalam kegiatan akademik di lingkungan FH UII.

Selanjutnya, penyampaian teknis pelaksanaan dan rangkaian kegiatan diseminasi disampaikan oleh Akhyaroni Fuadah, S.H., M.H. Ia menjelaskan alur kegiatan mulai dari pelaksanaan presentasi hingga penilaian oleh para reviewer, antara lain adalah Catur Septiana Rakhmawati, S.H., M.H., Sheila Noor Baity, S.H., LL.M., dan Eko Prasetyo, S.H., M.H.

Ia juga menyampaikan adanya perbedaan antara pelaksanaan DRG tahun ini dengan tahun sebelumnya. “Saya ingin menyampaikan bahwa ada perbedaan antara DRG tahun ini dengan DRG tahun lalu, yakni kami memilih tiga tim terbaik—juara 1, 2, dan 3—yang kemudian ditentukan berdasarkan hasil penilaian. Hasil penilaian terdiri dari dua hal: penilaian dari naskah hasil penelitian yang telah teman-teman kumpulkan dengan proporsi 70% serta nilai dari presentasi sebesar 30%,” ujarnya.

Setelah sesi presentasi dan tanya jawab dengan para reviewer, acara dilanjutkan dengan penyerahan sertifikat kejuaraan serta pemberian insentif penelitian kepada setiap tim.

  • Tim Terbaik I dengan Judul “Pelindungan Data Pribadi dalam Transmisi Internasional: Menggagas Indonesian Cross-border Data Overseer:

(Dosen Pembimbing: Damar Sugeng Utomo S.H., M.H.)

  1. Muhammad Fajri (Ketua Tim)
  2. Alvianto Noval Ade Putra
  3. Fatimah Nada
  • Tim Terbaik II dengan Judul “Tanggung Jawab Pemerintah Terhadap Kecelakaan Kendaraan Bermotor Tanpa Pengemudi “Autopilot Motor Vehicle” (Studi Perbandingan Hukum Jerman dan Indonesia”:

(Dosen Pembimbing: Galih Dwi Ramadhan S.H., M.H., LL.M.)

  1. Luluk Bariroh (Ketua Tim)
  2. Nazhif Azamy
  3. Sabina Dwi ramadhani
  • Tim Terbaik III dengan Judul “Smart Contract sebagai Akad Digital: Kesesuaian dengan Prinsip Hukum Islam pada Fintech Syariah”:

(Dosen Pembimbing: Titie Rachmiati Poetri S.H., M.H.)

  1. Lia amalia (Ketua Tim)
  2. Citra Maharani
  3. Khayla Nalanwal Cifariansyah Syam
  • Naskah Terbaik dengan Judul “Pelindungan Hukum Video Game Emulator dan Konsol Retro dalam Perspektif Fair Use”:

(Dosen Pembimbing: Galih Dwi Ramadhan S.H., M.H., LL.M.)

  1. Dinda Ratu Nur Fatimah (Ketua Tim)
  2. Muhammad Rizal Imam Ma’arif
  3. Favian Faruq Abqori

Selain itu, terdapat juga kejuaraan dengan kategori Presenter Terbaik yang dimenangkan oleh tim dengan ketua Muhammad Fajri, Pengumpulan Naskah Terbaik dengan Luluk Bariroh sebagai ketua tim, dan Poster Terbaik dengan tim yang diketuai oleh Lia Amalia.

Kegiatan kemudian ditutup dengan ucapan penutup oleh Drs. Agus Triyanta, M.A., M.H., Ph.D. selaku Wakil Dekan Bidang Keagamaan, Kemahasiswaan, dan Alumni (KKA) FH UII. Dalam pesan penutupya, beliau berharap agar kegiatan ini dapat memberikan manfaat, menjadi bekal berharga bagi para mahasiswa di masa mendatang, dan pengalaman pembelajaran bagi seluruh mahasiswa yang terlibat. Terakhir, kegiatan ditutup dengan doa bersama. (CKA)

[KALIURANG]; Tim Pekan Kreativitas Mahasiswa Rumpun Sosial dan Humaniora (PKM-RSH) Fakultas Hukum (FH) Universitas Islam Indonesia (UII) menggelar seminar hasil riset penelitian di  Classroom III/10 FH UII pada hari Sabtu (11/10) pukul 10.00 WIB. Kegiatan ini terbuka untuk umum dengan dihadiri oleh mahasiswa dan dosen.

Tim PKM-RSH FH UII ini diketuai oleh M. Zidny Ilman Nafian (23410274) dengan sejumlah anggota yaitu M. Alif Ahsan (23410692), Malika Zayyan Aqila (23410884), Isma Rahmadani (23410887), dan Maulida Ulima Luthfiyah (23410209). Tim tersebut melakukan penelitian bertajuk “Pelembagaan Conjugal Visit di Lembaga Pemasyarakatan IIB Sleman”.

Sejumlah perwakilan serta tamu undangan yang hadir di antaranya Eko Riyadi, S.H., M.H., selaku Keynote Speaker dari Pusat Studi Hak Asasi Manusia (PUSHAM) UII, Dr. Despan Heryansyah, S.H.I., S.H., M.H., selaku Direktur Bidang Riset dan Publikasi PUSHAM UII, Wina Widarsih, M.Psi., Psikolog, dari Rumah Sakit Jiwa (RSJ) Grhasia Yogyakarta. Di samping itu, turut hadir juga Ady Saputra dari Pelembagaaan Kelas IIB, Sleman.

Acara diawali dengan sambutan pembukaan oleh salah satu anggota tim, M. Alif Ahsan, yang menyampaikan ucapan terima kasih kepada seluruh hadirin atas kehadiran mereka dalam acara seminar hasil ini. Adapun sambutan dari Eko Riyadi, selaku dosen pembimbing Tim PKM-RSH FH UII, menyampaikan, “Semua proses yang sangat baik semoga ini menjadi bekal bagi pendidikan selanjutnya.”

Tema yang diangkat oleh Tim PKM-RSH FH UII 2025 tentu sangat menarik dan kontroversial, yaitu mengangkat hak aktivitas seksual bagi para warga binaan dalam lembaga pemasyarakatan untuk mendapatkan conjugal visit. Sejumlah panelis yang hadir turut mengapresiasi terkait bagaimana keberanian para mahasiswa dalam mengangkat tema yang selama ini dinilai masih tabu di masyarakat.

Zidny, selaku ketua tim, menerangkan bahwa conjugal visit menjadi sangat penting karena menyangkut kebutuhan dasar sebagai manusia sebagai bentuk kesetaraan dan pemenuhan hak asasi manusia yang harus tetap terlaksana walaupun statusnya sebagai warga binaan.

Tim ini menunjukan bahwa terdapat 90% (sembilan puluh persen) warga binaan yang sudah menikah melakukan cara alternatif untuk memenuhi kebutuhan dasar biologisnya dengan cara menyimpang. Hal ini disebabkan efek dari belum adanya regulasi hukum yang secara eksplisit mengatur mengenai conjugal visit dan ketidaktersediaan program maupun fasilitas untuk conjugal visit. Absennya hal-hal tersebut menjadikan warga binaan melakukan penyimpangan sehingga mudah terkena penyakit seksual.

“Memang belum ada regulasi yang mengatur terkait conjugal visit. Kami di lapas hanya sebagai unit pelaksana teknis yang melaksanakan aturan yang dibuat pimpinan di atas, tanpa adanya itu kami belum bisa melangkah,” ungkap Ady Saputra.

Tim PKM-RSH FH UII 2025 berharap agar penelitian ini dapat membuka akses fasilitas conjugal visit bagi warga binaan agar mereka tetap mendapatkan hak dasar dalam menjaga keutuhan keluarga, tanpa diskriminasi, dan menuju transformasi sistem pemasyarakatan yang lebih humanis yang berorientasi rehabilitatif bagi warga binaan Lembaga Pemasyarakatan IIB, Sleman. (DAE)