Oleh: Wahyu Nurindah Kharisma – 22410756

Mahasiswa Program Studi Hukum Program Sarjana Fakultas Hukum Universitas Islam Indonesia

Pendahuluan 

Kemajuan teknologi pada era modern ini menjadi sebuah keberuntungan sekaligus menjadi sebuah kesialan peradaban dunia, pasalnya di era digital ini membuat dunia semakin chaos karena banyak masyarakat/penduduk yang belum menguasai dasar-dasar kebenaran media digital, namun disisi lain bagi masyarakat/penduduk yang bisa menguasai media digital ini juga turut andil dalam membuat kekacauan di dunia karena mereka cenderung memanfaatkan media digital ini untuk hal-hal yang negatif. Hal-hal negatif di sini contohnya  menggunakan media digital untuk penipuan online, perdagangan organ manusia dengan membuat dark web, menghack `situs instansi Pemerintahan/Bank, dan kasus yang paling menonjol dan menjadi darurat bagi Negara kita saat ini adalah maraknya judi online terutama di kalangan pemuda Indonesia. Dilansir dari Kompas.com, menurut Menteri Koordinator Bidang Politik, Hukum, dan Keamanan (Menko Polhukam) Hadi Tjahtanto mengatakan terdapat 2,37 juta Warga Negara Indonesia yang menjadi korban dari judi online. Terdapat 2% pemain dengan total 80.000 penduduk usia di bawah 10 tahun, terdapat 11% pemain dengan total kurang lebih 440.000 penduduk usia 10-20 tahun, kemudian sebanyak 13% pemain dengan total 520.000 penduduk berusia 21-30 tahun, dan persentase tertinggi diduduki oleh pemain dengan rentang usia 30-50 tahun yaitu sejumlah 40% dengan total 1.640.000 penduduk. Dari data kasus judi online di atas disimpulkan oleh Menko Polhukam bahwa 80% pemain tersebut merupakan penduduk kalangan menengah ke bawah.

Fenomena judi online merupakan suatu bentuk permasalahan sosial yang telah ada sejak zaman dahulu. Hal ini selain bertentangan dengan norma sosial dalam masyarakat, perjudian juga memberikan dampak buruk dalam kehidupan pribadi maupun kelompok masyarakat. Hingga sekarang seiring berkembangnya zaman dan banyaknya pengguna alat elektronik berbasis internet, perjudian yang dahulu kala dilakukan secara manual sekarang di ekstrak menjadi Perjudian online. Perjudian Online adalah  permainan yang dilakukan menggunakan uang sebagai taruhan dengan ketentuan permainan serta jumlah taruhan yang ditentukan oleh pelaku perjudian online serta menggunakan media elektronik dengan akses internet sebagai perantara.

Pemerintah dalam fungsinya sebagai pengawasan sosial (social control) telah menetapkan aturan-aturan mengenai perjudian dalam Peraturan Perundang-undangan yaitu di antaranya terdapat dalam Pasal 303 KUHP dan Pasal 303 bis Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP), sedangkan sanksi pidananya diperberat dalam Pasal 2 ayat (1), ayat (2), ayat (3) Undang-undang Nomor 7 Tahun 1974 tentang Penertiban Perjudian. Sedangkan kebijakan Pemerintah pada Perjudian Online diatur dalam Ketentuan Pasal 27 ayat (2) dan Pasal 45 ayat (1) Undang-undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik.

Lantas yang menjadi permasalahan di sini bukanlah Dasar Hukum untuk mengadili perkara judi online tersebut, tetapi bagaimana usaha Pemerintah sekaligus bagaimana peran masyarakat untuk memberantas dan mencegah problematik judi online ini sehingga Indonesia tidak semakin chaos karena permasalahan judi online. Dalam hal ini penulis memutuskan untuk membahas bagaimana Optimalisasi Peran Pemerintah dan Masyarakat dalam Pemberantasan Kasus Judi Online di Era Digitalisasi.

Pembahasan 

Urgensi dilakukannya pemberantasan terhadap maraknya kasus judi online

Pada dasarnya perjudian ataupun judi online atau apapun bentuknya sudah dilarang oleh Pemerintah bahkan sejak dahulu kala. Kemudahan akses internet merupakan penyebab utama semakin maraknya judi melalui situs online saat ini di Indonesia. Judi online merupakan persoalan serius yang membutuhkan perhatian tersendiri atau khusus dari Pemerintah Indonesia. Pasalnya apabila dibiarkan begitu saja hal ini akan menjadikan Negara krisis SDM, karena aktor utama dari judi online ini adalah para pemuda-pemuda Indonesia yang sebenarnya dibebani tanggung jawab untuk memajukan dan mewujudkan cita-cita Bangsa Indonesia. Namun faktanya mereka sekarang hancur dan bahkan bisa dianggap minim semangat untuk memajukan dan mewujudkan cita-cita Bangsa Indonesia hanya karena kecanduan judi online.

Namun perlu diingat meskipun pemberantasan judi online ini dianggap urgensi dan harus segera diberantas oleh negara, tetapi pemberantasan judi online di Indonesia cukuplah berat karena situs atau aplikasi yang terus bermunculan dengan nama yang berbeda meskipun aksesnya telah ditutup oleh KOMINFO. Hal ini menjadikan tantangan tersendiri bagi Pemerintah agar memberikan perhatian khusus terhadap pemberantasan judi online tersebut.

Peran Pemerintah dan masyarakat guna mendukung pelaksanaan pemberantasan kasus judi online 

Menurut Hardiyanto Kenneth dalam tesisnya, yang berjudul “Tindak Pidana Perjudian Online Melalui Media Internet”, terdapat 2 faktor lain yang melatar belakangi perkembangan judi online di Indonesia yaitu upaya preventif yang dilakukan Pemerintah masih minim, hal ini dapat dilihat dari terdapat ribuan situs judi online yang masih beroperasi dimana mereka secara terang-terangan memasang iklan pada mesin pencarian. Dan yang kedua kemudahan akses fasilitas perbankan saat ini disalahgunakan pelaku judi online untuk melakukan transaksi judi online itu sendiri.

Pemerintah Indonesia saat ini berusaha sekuat tenaga melakukan berbagai upaya dalam memberantas judi online. Dilansir dari CNN Indonesia, Menteri Komunikasi dan Informatika (Menkominfo) Budi Arie Setiadi mengatakan bahwa pemberantasan judi online membutuhkan kerja sama dengan Otoritas Jasa Keuangan (OJK) untuk melakukan pemblokiran rekening, dan pelaporan pada pihak berwenang. Presiden Joko Widodo juga memerintahkan untuk membentuk Satuan Tugas (Satgas) untuk memberantas kasus judi online, yang kemudian ditindaklanjuti melalui Keputusan Presiden Nomor 21 tahun 2024. Selama periode 17 Juli 2023 hingga 23 Juli 2024, Direktorat Pengendalian Aplikasi Informatika telah melakukan pemutusan akses terhadap 2.645.081 konten perjudian online. Kementerian Kominfo juga telah mengajukan pemblokiran atas 573 akun e-wallet dan 6.199 rekening bank yang berkaitan dengan judi online kepada Bank Indonesia dan Otoritas Jasa Keuangan. Mengenai penyusupan konten judi online di situs pemerintah dan lembaga pendidikan, Kementerian Kominfo telah menangani 23.616 sisipan halaman judi di situs pemerintah dan 22.205 di situs lembaga pendidikan. Kementerian Kominfo juga telah mengidentifikasi dan menyerahkan 20.595 kata kunci terkait judi online kepada Google dan 3.961 kata kunci kepada Meta untuk ditangani. Upaya ini menunjukkan komitmen pemerintah dalam memberantas judi online dan melindungi masyarakat dari dampak negatif aktivitas ilegal. Pemerintah saat ini mengklaim bahwa upaya-upaya yang telah dilakukan di atas mampu menurunkan akses masyarakat ke situs judi online sebesar 50%.

Selain peran Pemerintah, pemberantasan dalam kasus judi online ini sendiri juga memerlukan peran dari masyarakat. Dimana tanpa adanya peran dari masyarakat semua upaya ataupun peraturan yang dibuat Pemerintah tidak akan pernah terlaksana dengan baik. Sehingga dibutuhkan sebuah kesadaran hukum sekaligus kesadaran sosial yang cukup tinggi dari masyarakat untuk mengetahui bahwa judi online ataupun perjudian sangat merugikan diri sendiri ataupun kelompok dan Bangsa Indonesia. Pasalnya ketika masyarakat melakukan judi online mereka mengeluarkan uang sebagai bentuk depo untuk taruhan, dan apabila mereka kalah dalam taruhan tersebut maka uang tersebut lenyap atau hangus. Di mulai dari uang yang habis tersebut maka akan berdampak pada emosional, perekonomian dan kesehatan mental.

Dengan berbagai penjelasan dari penulis di atas dapat ditarik kesimpulan bahwa pemberantasan judi online memerlukan perhatian khusus dari Pemerintah untuk menghindari chaos Negara karena maraknya kasus judi online akan menyebabkan pemuda Indonesia krisis SDM dan ekonomi. Pemerintah Indonesia saat ini mengklaim penurunan akses judi online sekitar 50% atas dasar upaya dari dilakukannya pembentukan Satgas berdasarkan Keputusan Presiden Nomor 21 Tahun 2024.  Kemudian dalam hal pemberantasan ini diperlukan juga peran dari masyarakat dengan menumbuhkan terhadap diri sendiri mengenai sebuah kesadaran hukum sekaligus kesadaran sosial agar menghindari judi online yang dapat merusak generasi emas Indonesia sekaligus menghancurkan kesehatan mental dan ekonomi masyarakat Indonesia kedepannya.

DAFTAR PUSTAKA 

  • Peraturan Perundang-undangan

Undang-undang Nomor 7 Tahun 1974 tentang Penerbitan Perjudian.

Undang-undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik.

  • Tesis 

Hardiyanto Kenneth. (2013). Tindak Pidana Perjudian Online Melalui Media Internet.     Jakarta: Perpustakaan Sekolah Tinggi Ilmu Kepolisian (STIK). 

  • Jurnal 

Agus Rodani. (2022). Judi Online, Penyakit Sosial Yang Sulit Diberantas. Direktorat Jenderal Kekayaan Negara. 

  1. Suhendra. (2018). Tinjauan tentang Judi Online. E-Journal Universitas Atma Jaya Yogyakarta. 18. 
  • Berita 

Nirmala Maulana Achmad dan Dani Prabowo. (2024). Ada 2,37 Juta Pelakuk Judi Online, 80.000 di Antaranya Berusia di Bawah 10 Tahun [Berita Online Kompas.com].

tersedia di situs : https://nasional.kompas.com/read/2024/06/19/19141101/ada-237-juta-pelaku-judi-online-80000-di-antaranya-berusia-di-bawah-10-tahun

Tim CNN Indonesia. (2024). Judi Online Jerat 2,7 Juta Warga RI, Mayoritas Anak Muda [Berita Online CNN Indonesia].

tersedia di situs : https://www.cnnindonesia.com/teknologi/20240419204045-192-1088301/judi-online-jerat-27-juta-warga-ri-mayoritas-anak-muda

Handoyo. (2024). Pemerintah Klaim Berhasil Turunkan Akses Masyarakat ke Situs Judi Online Sebesar 50% [ Berita Online Kontan.co.id].

tersedia di situs : https://nasional.kontan.co.id/news/pemerintah-klaim-berhasil-turunkan-akses-masyarakat-ke-situs-judi-online-sebesar-50.

 

Oleh: Almaira Faza Syahida – 23410133

Mahasiswa Program Studi Hukum Program Sarjana Fakultas Hukum Universitas Islam Indonesia

Pendahuluan

Perizinan usaha dan AMDAL merupakan komponen krusial dalam proses pendirian sebuah usaha atau bisnis. Perizinan usaha memastikan bahwa kegiatan ekonomi berjalan sesuai dengan regulasi yang berlaku, sementara AMDAL dampak yang akan ditimbulkan pada lingkungan dari proyek tersebut. Keduanya bertujuan untuk memastikan keseimbangan antara pertumbuhan ekonomi dan pelestarian lingkungan. Sering kali, proses perizinan dan AMDAL tidak berjalan seiring, sehingga izin tidak dapat diterbitkan jika AMDAL tidak memenuhi persyaratan.

Seperti, isu beberapa tahun terakhir, banyak pengalihan fungsi lahan lindung dengan pemberian izin untuk mendirikan usaha pada kawasan tersebut. Proses perizinan yang dipermudah, seringkali tanpa memperhatikan aspek lingkungan secara konservatif, telah memicu kekhawatiran bahwa kawasan lindung menjadi semakin rentan untuk dieksploitasi. AMDAL merupakan substansi penting dalam sahnya perizinan suatu usaha yang kini rentan untuk dikesampingkan. Fenomena ini tampak nyata dalam kasus-kasus pembukaan lahan untuk usaha yang dilakukan oleh oknum investor yang mendirikan usaha diatas lahan atau kawasan yang dilarang.

Isu beberapa waktu lalu usaha yang dimiliki oleh artis terkenal Raffi Ahmad di Gunung Kidul telah menjadi sorotan bagi aktivis pemerhati lingkungan.  Proyek ini, yang mencakup pembangunan fasilitas pariwisata besar, dapat merusak keseimbangan alam di kawasan batuan kapur yang berada di Gunung Kidul yang merupakan kawasan yang dilindungi. Diduga pembangunan bisnis tersebut tidak memenuhi syarat Analisis Mengenai Dampak Lingkungan (AMDAL).

Oleh karena itu, sangat penting untuk meninjau kembali kebijakan perizinan ini dan memastikan bahwa setiap langkah dalam proses pengembangan ekonomi tidak mengorbankan keberlanjutan ekosistem yang dilindungi.

Pembahasan

      1. Kemudahan Perolehan Izin dari Pejabat Setempat

UU Ciptaker memperkenalkan konsep perizinan berbasis risiko, yang membagi jenis usaha berdasarkan tingkat risiko yang ditimbulkan terhadap lingkungan dan kesehatan Berdasarkan tingkat risiko ini, persyaratan AMDAL dapat bervariasi:

  1. Usaha Risiko Rendah: Usaha dengan risiko rendah tidak diwajibkan untuk memiliki AMDAL, cukup dengan persyaratan yang lebih ringan seperti dokumen lingkungan yang lebih sederhana.
  2. Usaha Risiko Menengah: Usaha yang masuk dalam kategori risiko menengah wajib memiliki Upaya Pengelolaan Lingkungan Hidup dan Upaya Pemantauan Lingkungan Hidup (UKL-UPL), yang merupakan bentuk pengelolaan lingkungan yang lebih sederhana dibandingkan AMDAL.
  3. Usaha Risiko Tinggi: Usaha dengan risiko tinggi tetap diwajibkan untuk menyusun AMDAL yang komprehensif.

Analisis Mengenai Dampak Lingkungan Hidup (AMDAL) dalam sistem hukum Indonesia awalnya diatur oleh Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 32 Tahun 2009. Namun, regulasi ini mengalami perubahan setelah diberlakukannya Undang-Undang No. 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja. Dalam undang-undang ciptaker, substansinya dinilai kurang memberikan perhatian pada partisipasi publik. Persyaratan seperti adanya partisipasi publik untuk penerbitan AMDAL sering kali diabaikan demi kelancaran pembangunan di kawasan lindung.

Selain permasalahan dalam persyaratan AMDAL, dalam UU Ciptaker yang membahas soal perizinan juga menimbulkan kekhawatiran mengenai potensi kesewenang-wenangan pejabat dalam proses penerbitan izin. Diskresi dalam Penerbitan Izin memberikan kewenangan lebih besar kepada pejabat pemerintah untuk mengambil keputusan dalam penerbitan izin usaha. Hal ini bisa berpotensi menimbulkan keputusan yang tidak transparan dan mengarah pada praktik korupsi dan kolusi. Selain itu, proses perizinan yang lebih cepat seringkali mengabaikan partisipasi publik yang memadai. Padahal, keterlibatan masyarakat sangat penting untuk memastikan bahwa dampak lingkungan dan sosial dari sebuah proyek dapat diminimalisir. Kurangnya pengawasan dan hukum yang kuat dapat menjadi celah yang dapat menimbulkan penyalahgunaan wewenang dalam menerbitkan izin.

  1. Problematika yang timbul

Pengabaian AMDAL dan kelonggaran izin menyebabkan dampak serius seperti kerusakan lingkungan, ketidakadilan sosial, rusaknya ekosistem alami, dan hilangnya kepercayaan publik. Tanpa penilaian lingkungan yang memadai, proyek pembangunan bisa menimbulkan konflik sosial, mengancam manfaat keberlanjutan, serta hilangnya kepercayaan masyarakat terhadap pemerintah.

Pengabaian terhadap aspek-aspek ini juga dapat memperburuk masalah krisis iklim, karena pembangunan yang tidak terkendali seringkali meningkatkan emisi gas rumah kaca dan mempercepat perubahan iklim. Selain itu, proses perizinan yang tidak transparan dan akuntabel menjadi celah praktik korupsi, yang pada akhirnya merugikan perekonomian negara. Oleh karena itu, penting untuk memperkuat pelaksanaan AMDAL dan memastikan proses perizinan yang ketat dan transparan demi keberlanjutan lingkungan dan kesejahteraan masyarakat.

3. Kebijakan dan Solusi

Agar tidak terjadi penyalahgunaan dalam pemberian izin usaha di kawasan lindung, pemerintah dapat menerapkan beberapa kebijakan sebagai berikut. Pertama, meningkatkan penegakan hukum dengan memberikan sanksi tegas atas pelanggar perizinan izin usaha kawasan lindung. Kedua, membuat proses perizinan lebih transparan dan akuntabel dengan melibatkan pemangku kepentingan seperti masyarakat lokal, organisasi lingkungan, dan lembaga independen. Ketiga, meningkatkan pengawasan dan pengendalian terhadap pelaksanaan izin usaha kawasan lindung agar sesuai dengan peraturan yang berlaku dan tidak merusak lingkungan. Selanjutnya, melibatkan masyarakat lokal dalam pengambilan keputusan izin usaha di kawasan lindung untuk memastikan bahwa suara mereka terdengar dan kekhawatiran mereka terpenuhi. Seluruh izin usaha kawasan lindung juga harus melalui evaluasi AMDAL yang ketat dan transparan, dengan memperhitungkan dampak lingkungan jangka panjangnya.

Daftar Pustaka

Luhukay, Roni Sulistyanto. “Penghapusan Izin Lingkungan Kegiatan Usaha Dalam Undang Undang Omnibus Law Cipta Kerja.” Jurnal Meta-Yuridis 4.1 (2021).

Herlina, Nina, and Ukilah Supriyatin. “Amdal Sebagai Instrumen Pengendalian Dampak Lingkungan Dalam Pembangunan Berkelanjutan Dan Berwawasan Lingkungan.” Jurnal Ilmiah Galuh Justisi 9.2 (2021): 204-218

Prianto, Yuwono, et al. “Penegakan Hukum Pertambangan Tanpa Izin Serta Dampaknya  Terhadap Konservasi Fungsi Lingkungan Hidup.” Bina Hukum Lingkungan 4.1 (2019): 1-20.

Oleh: Zul Azmi – 22410690

Mahasiswa Program Studi Hukum Program Sarjana Fakultas Hukum Universitas Islam Indonesia

Hutan Papua, sebagai salah satu ekosistem paling kaya di dunia, menyimpan keanekaragaman  hayati yang melimpah dan merupakan jantung kehidupan bagi masyarakat adat setempat.  Namun, proposal untuk mengkonversi hutan-hutan ini menjadi perkebunan kelapa sawit telah  memicu kritik global, dengan tagar #ALLEYESONPAPUA menjadi sorotan utama. Artikel ini  mengulas peran hukum lingkungan dalam melindungi ekosistem Papua serta dampaknya  terhadap pencapaian Tujuan Pembangunan Berkelanjutan (SDGs) terkait aksi iklim dan  konservasi keanekaragaman hayati.

Hutan Papua berfungsi sebagai reservoir keanekaragaman hayati yang sangat penting dan  memiliki peran krusial dalam pengaturan iklim global. Oleh karena itu, keberadaan hukum  lingkungan yang kuat sangat diperlukan untuk melindungi hutan ini dari ancaman konversi  menjadi perkebunan kelapa sawit. Tanpa perlindungan hukum yang memadai, risiko  deforestasi akan meningkat, mengancam keanekaragaman hayati dan memperburuk perubahan  iklim. Hukum lingkungan yang efektif tidak hanya mencegah kerusakan yang lebih besar tetapi  juga memastikan bahwa ekosistem hutan Papua tetap utuh dan berfungsi secara optimal dalam  stabilitas iklim global.

Konversi hutan menjadi perkebunan kelapa sawit menghadapi ancaman serius terhadap  keanekaragaman hayati unik Papua dengan menghancurkan habitat penting bagi banyak  spesies. Misalnya, spesies seperti cendrawasih merah (Cendrawasih rubra) dan kanguru pohon  Papua (Dendrolagus ursinus) terancam punah akibat kehilangan habitatnya. Selain itu, proses  konversi mempercepat perubahan iklim melalui pelepasan karbon dioksida yang tersimpan  dalam hutan serta menyebabkan erosi tanah yang parah. Hingga saat ini, sekitar 70.000 hektar  hutan di Papua telah dikonversi, mengancam keberlangsungan ekosistem yang sangat vital.  Dampak ini semakin diperburuk oleh efek negatif pada masyarakat adat yang bergantung pada  hutan untuk mata pencaharian dan budaya mereka, memperdalam krisis ekologis dan sosial di kawasan tersebut.

Untuk menghadapi ancaman terhadap keanekaragaman hayati dan keseimbangan ekologi yang  disebabkan oleh konversi hutan, implementasi solusi dan strategi pelestarian harus dilakukan  secara menyeluruh dan terintegrasi. Memperkuat penegakan hukum lingkungan merupakan  langkah awal yang krusial untuk mencegah pembalakan liar dan konversi lahan, dengan  menerapkan sanksi yang lebih berat serta meningkatkan pengawasan terhadap aktivitas ilegal.  Kebijakan yang lebih ketat dapat secara signifikan mengurangi laju deforestasi. Selain itu,  penerapan teknik berkelanjutan seperti wanatani yang mengintegrasikan pohon dengan  tanaman dan ternak dapat berkontribusi pada pelestarian keanekaragaman hayati sekaligus  meningkatkan penyerapan karbon. Keberhasilan teknik wanatani di Kalimantan, yang  menunjukkan peningkatan biodiversitas dan kualitas tanah, serta studi kasus di Bogor yang  mengilustrasikan integrasi tanaman dan pohon untuk meningkatkan produktivitas tanah,  merupakan contoh nyata dari efektivitas pendekatan ini. Pemberdayaan masyarakat lokal juga  merupakan elemen penting; memberikan hak legal kepada masyarakat adat melalui inisiatif  seperti “Hutan Desa” memastikan keterlibatan mereka dalam pengelolaan hutan yang  berkelanjutan, seperti yang terbukti dari program Hutan Desa di Aceh yang berhasil  mengurangi deforestasi dan meningkatkan kesejahteraan masyarakat. Terakhir, dukungan  internasional sangat vital, terutama melalui implementasi perjanjian seperti REDD+ dan  sertifikasi keberlanjutan seperti Roundtable on Sustainable Palm Oil (RSPO). REDD+, yang  mendukung pembiayaan untuk pelestarian hutan di negara-negara berkembang, termasuk  Papua New Guinea, dan sertifikasi RSPO, yang menetapkan standar praktik berkelanjutan di  industri kelapa sawit, memainkan peran penting dalam memastikan bahwa praktik industri  tidak merusak dan mendukung pelestarian hutan. Kombinasi dari strategi-strategi ini  diharapkan dapat memitigasi dampak negatif dan melindungi ekosistem hutan secara efektif..

Demi memastikan perlindungan yang efektif bagi hutan adat Papua, reformasi hukum yang  mendalam serta perlindungan hak masyarakat adat menjadi sangat krusial. Modifikasi  peraturan yang mendefinisikan secara jelas apa yang dimaksud dengan hutan adat dalam  regulasi perlu dilakukan, dengan tujuan untuk melindungi hutan dari eksploitasi komersial  yang merusak. Misalnya, peraturan baru yang menetapkan batasan tegas terhadap konversi  hutan adat dan memberikan hak pengelolaan yang jelas kepada masyarakat adat akan  meningkatkan perlindungan. Selain itu, penyusunan rencana penggunaan lahan yang  komprehensif harus menjadi prioritas, dengan penekanan pada pelestarian hutan serta  pengakuan dan perlindungan hak-hak masyarakat adat yang bergantung pada hutan tersebut.  Contohnya, di Kalimantan, rencana penggunaan lahan yang melibatkan masyarakat lokal  dalam perencanaan dan pengelolaan terbukti berhasil mengurangi konversi lahan. Terakhir,  untuk memastikan kepatuhan terhadap regulasi dan perlindungan hak-hak masyarakat adat,  pembentukan organisasi pengawasan otonom yang dapat secara independen mengawasi dan  menegakkan aturan menjadi sangat penting. Organisasi ini akan berfungsi sebagai pengawas  independen yang memastikan pelaksanaan peraturan dan memberikan ruang bagi masyarakat  adat untuk menyuarakan keberatan mereka, sehingga menjamin perlindungan yang  menyeluruh dan efektif.

Melestarikan hutan adat Papua merupakan upaya penting dari segi ekologis dan etis.  Kolaborasi antara masyarakat lokal, pemerintah, perusahaan, dan komunitas global sangat  diperlukan untuk menghadapi krisis ekologis dan mencapai Tujuan Pembangunan  Berkelanjutan (SDGs). Melalui peningkatan kerangka hukum dan penerapan praktik  berkelanjutan, kita dapat menjaga warisan alam Papua dan memastikan masa depan yang  berkelanjutan untuk generasi mendatang. Upaya ini harus disertai dengan kesadaran global dan  tindakan nyata untuk melindungi lingkungan serta hak-hak masyarakat adat, sebagai komitmen  kita terhadap pelestarian budaya dan masa depan yang berkelanjutan.

Oleh: M. David Hanief -22410457

Mahasiswa Program Studi Hukum Program Sarjana Fakultas Hukum Universitas Islam Indonesia

Belakangan ini masyarakat Indonesia kembali dihebohkan dengan kebijakan Tabungan Perumahan Rakyat (Tapera). Hal ini dipicu dengan lahirnya Peraturan Pemerintah Nomor 21 Tahun 2024 tentang Perubahan atas Peraturan Pemerintah Nomor 25 Tahun 2020 tentang Tabungan Perumahan Rakyat (PP Tapera) pada tanggal 20 Mei 2024. Sejatinya, Tapera bukanlah program yang baru diluncurkan oleh pemerintah tahun ini, melainkan telah ada sejak diundangkannya Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2016 tentang Tabungan Perumahan Rakyat pada 24 Maret 2016. Kendati demikian, Pasal 68 Peraturan Pemerintah Nomor 25 tahun 2020 tentang Tabungan Perumahan Rakyat memberikan waktu pendaftaran kepesertaan Tapera hingga tahun 2027. Adanya jeda waktu 7 tahun sejak PP tersebut ditetapkan yang membuat isu mengenai Tapera menjadi hilang timbul dan kembali mencuat ke publik pada akhir bulan Mei kemarin. Munculnya isu Tapera ke permukaan ternyata mendapat respon negatif dari berbagai pihak, mengapa demikian?

Pasal 1 angka 1 PP Tapera menjelaskan bahwa yang dimaksud dengan Tapera adalah penyimpanan yang dilakukan oleh peserta secara periodik dalam jangka waktu tertentu yang hanya dapat dimanfaatkan untuk pembiayaan perumahan dan/atau dikembalikan berikut hasil pemupukannya setelah kepesertaan berakhir. Dari definisi tersebut, sudah dapat tergambar bahwa tujuan utama dari adanya program Tapera adalah untuk menghimpun dan menyediakan dana murah jangka panjang yang berkelanjutan untuk memenuhi kebutuhan rumah yang layak dan terjangkau bagi para pesertanya. Niat baik ini secara harfiah sejalan dengan amanat Pasal 28I ayat (4) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 (UUD 1945) yang memberikan tanggung jawab kepada pemerintah untuk memberikan perlindungan, pemajuan, penegakan, dan pemenuhan hak asas manusia setiap warga negaranya. Kebutuhan akan rumah merupakan hak dasar yang harus dimiliki oleh manusia selain pakaian dan makanan.

Keberadaan Tapera juga dapat dipandang sebagai suatu bentuk usaha dari pemerintah dalam rangka memberikan tempat tinggal yang layak kepada setiap warga negara sebagaimana amanat Pasal 28H ayat (1) UUD 1945, memberikan pemenuhan kebutuhan dan ketersediaan rumah bagi masyarakat berpenghasilan rendah, menghasilkan solusi atas permasalahan mahalnya biaya perumahan, dan membuat dana efektif jangka panjang untuk pembiayaan perumahan yang murah. Dalam rangka mewujudkan niat mulia ini pemerintah membentuk Badan Pengelola Tapera untuk menjalankan tugas, fungsi dan wewenangnya sebagai regulator Tapera. Dengan tujuan yang sedemikian bermanfaat, lantas mengapa terjadi penolakan terhadap Tapera di tengah masyarakat?

Penolakan terhadap program Tapera yang dikeluarkan oleh Presiden Jokowi tidak hanya berasal dari pekerja yang menjerit karena gajinya akan dipotong kembali, melainkan juga dari pengusaha itu sendiri. Asosiasi Pengusaha Indonesia (APINDO) berpandangan bahwa pemotongan gaji sebesar 3% (dengan rincian 2,5% bagi pekerja dan 0,5% bagi pengusaha) untuk iuran Tapera menambah beban bagi pekerja dan pengusaha. Mengingat, telah banyak potongan gaji yang harus disisihkan oleh pekerja dan pengusaha untuk membayar iuran jaminan sosial ketenagakerjaan. Secara logika matematika sederhana, program Tapera ini tidak dapat benar-benar mencapai tujuan utamanya yakni menyediakan rumah bagi para pesertanya. Hal ini dikarenakan potongan yang disetorkan hanya berjumlah 3% dari gaji pekerja. Jika kita mencoba menghitung untuk menarik potongan dari pekerja yang memiliki gaji sebesar 10 juta, maka setiap bulannya yang disetor sebesar 300 ribu (3% dari 10 juta). Jika kita hitung selama 50 tahun pekerja itu bekerja, maka total biaya yang disetor hanya berjumlah 180 juta. Dengan jumlah yang tidak mencapai angka 200 juta, dengan fakta bahwa harga rumah terus meningkat setiap tahunnya, apalagi 50 tahun sejak tahun sejak uang 300 ribu itu pertama kali disetor, maka program ini menjadi tidak realistis untuk mencapai tujuannya.

Fakta selanjutnya yang harus diingat baik-baik adalah Upah Minimum Kabupaten/Kota (UMK) tertinggi di Indonesia tidak menyentuh angka 10 juta, melainkan hanya berkisar di angka Rp5.343.430.00 (UMK Bekasi). Kenyataan ini menambah sulit terwujudnya tujuan dari diadakannya Tapera itu sendiri. Jika ada yang berpikir bahwa Tapera akan menjadi realistis karena konsep yang digunakan adalah subsidi silang, dimana pekerja yang telah memiliki rumah jika ikut berpartisipasi membayar iuran dan dana yang telah diperoleh akan dikembangkan oleh pengelola Tapera, maka ini adalah sesuatu yang sangat diharapkan terjadi. Namun, sederet fakta korupsi yang dilakukan oleh pejabat negara belakangan ini membuat kita harus berpikir ulang mengenai harapan keberhasilan Tapera ini. Mulai dari kasus korupsi yang dilakukan oleh Rafel Alung Sambodo yang merupakan mantan Kepala Bagian Umum Kantor Wilayah Direktorat Jenderal Pajak Jakarta Selatan hingga kasus Syahrul Yasin Limpo, Mantan Menteri Pertanian Republik Indonesia yang belakangan viral karena ternyata tujuan korupsinya sangat di luar nalar (terungkap dalam persidangan).

Kehadiran pemerintah dalam rangka memastikan ketersediaan rumah bagi seluruh warga negara memanglah sesuatu yang sangat mulia. Namun, jika dirasa Tapera merupakan solusi tepat yang dapat dilakukan, maka pemerintah harus menimbang-nimbang ulang terkait kesimpulan itu. Hal ini dikarenakan program Tapera ini secara logika matematika sederhana tidak masuk akal untuk dapat mencapai tujuan, apalagi kondisi ini diperparah dengan ketidakpercayaan masyarakat terhadap integritas pejabat publik dalam mengelola keuangan. Alih-alih menjadi Tabungan Perumahan Rakyat, Tapera dapat menjelma menjadi Tabungan Penderitaan Rakyat dengan hanya menjadi alat untuk memperkaya diri oknum pejabat yang di kemudian hari menyiksa masyarakat dengan iuran yang berkelanjutan. Kendati meluncurkan program Tapera, seharusnya pemerintah fokus untuk mengembalikan kepercayaan masyarakat dengan menjamin pengelolaan yang baik terhadap jaminan sosial ketenagakerjaan yang selama ini telah dipotong dari gaji para pekerja. Selain itu, pemerintah juga dapat menaruh perhatian lebih untuk menyelesaikan persoalan gaji yang layak bagi para pekerja. Dengan gaji yang layak, harapannya para pekerja dapat membeli rumah sendiri dengan menyisihkan sebagian gajinya secara mandiri.

 

Oleh: Ahmad Kushay – 22410697

Mahasiswa Program Studi Hukum Program Sarjana Fakultas Hukum Universitas Islam Indonesia 

Dunia saat ini terus berkembang dan mengalami peningkatan kekayaan yang pesat. Pada saat yang sama, pemahaman masyarakat tentang keadilan juga terus berkembang dan menyebar luas. Maka, sangatlah miris mengamati realita di mana semua perkembangan ini hanya dinikmati oleh sebagian kecil orang, sementara mayoritas masyarakat justru semakin tertindas dan menurun kualitas hidupnya. Dalam konteks ekonomi internasional, teknologi dan globalisasi memungkinkan terbentuknya banyak perusahaan yang meraup keuntungan amat besar dari aktivitas bisnis mereka. Namun, keuntungan ini seringkali diperoleh melalui pelanggaran HAM, mengeksploitasi dan menindas golongan masyarakat yang paling rentan.

Laporan dari World Benchmarking Alliance (WBA) yang dirilis awal bulan Juli ini menunjukkan bahwa 90% dari 2000 perusahaan paling berpengaruh di dunia gagal menegakkan HAM. Secara spesifik, kurang dari 10% perusahaan menggaji pekerjanya dengan upah layak hidup (living wage), dan persentase yang sama juga berlaku untuk kepatuhan terhadap standar jam kerja yang ditetapkan oleh International Labor Organization (ILO). Lebih lanjut, hanya sekitar 20% perusahaan yang memonitor keamanan dan kesehatan di tempat kerja atau melakukan tindakan uji tuntas (due diligence) terkait penegakan HAM di tempat kerja mereka.

Hal ini sangatlah disayangkan mengingat kewajiban menegakkan HAM yang telah disetujui dalam banyak perjanjian internasional. Pasal 7 dari International Covenant of Civil, Economic and Social Rights (ICESCR) menetapkan hak atas kondisi kerja yang adil, termasuk gaji yang cukup, lingkungan kerja yang aman dan sehat, dan jam kerja yang masuk akal. Norma dari kovenan ini juga tercerminkan dalam perjanjian internasional lain seperti European Convention on Human Rights (ECHR), dan hukum nasional seperti Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2023 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2022 tentang Cipta Kerja menjadi Undang-Undang. Jelas terdapat ketidakselarasan antara idealita dan realita terkait pemenuhan hak ini. Menurut penulis, terdapat dua faktor utama yang menyebabkan ketidakselarasan tersebut; Pertama, terkait dengan perusahaan itu sendiri. Kedua, dari konsumen.

Perusahaan, terutama perusahaan yang besar, seringkali memiliki pengaruh yang sangat besar terhadap suatu negara, dan dapat bertindak seenaknya meskipun tindakannya menindas masyarakat yang rentan. Hal ini disebabkan berbagai alasan; di antara lain, lobi yang membuat aparat pemerintah menutup mata akan aktivitas

perusahaan yang melanggar hukum, atau bahkan dengan mengancam akan melitigasi negara dan menarik investasi mereka kecuali bila negara tersebut membebaskan perusahaan dari berbagai macam kewajiban, termasuk kewajiban menegakkan HAM.

Studi kasus yang paling terkenal akan hal ini adalah pertikaian antara Philip Morris International dengan Togo. Pertikaian ini berawal dari pemerintah Togo yang berencana menerapkan regulasi pengendalian tembakau yang lebih ketat, melalui, di antara lain, pencantuman gambar peringatan kesehatan di kemasan rokok, selaras dengan Framework Convention on Tobacco Control yang ditetapkan World Health Organization (WHO). Sebagai respon dari kebijakan tersebut, Philip Morris International, bersama dengan konglomerat tembakau lainnya, mengancam akan melitigasi Togo dan menarik investasi mereka. Karena Togo merupakan negara terbelakang dengan kemampuan ekonomi yang lemah, pada akhirnya pemerintah Togo membatalkan kebijakan tersebut. Hingga saat ini, kemasan rokok di Togo hanya mencantumkan peringatan kesehatan merokok dalam bentuk teks – di negara yang sekitar sepertiga populasinya buta huruf. Studi kasus ini hanyalah satu contoh. Terlihat bahwa keserakahan dari perusahaan yang disetir oleh mentalitas keuntungan diatas segalanya merupakan sebuah masalah besar.

Masalah dari perusahaan tersebut sebenarnya dapat ditangani dengan baik bila terdapat aksi kolektif dari masyarakat. Sebagai konsumen, masyarakat memiliki daya tawar terhadap perusahaan, dan dapat membuat perusahaan pelanggar HAM rugi melalui pemboikotan produknya. Sayangnya, kesadaran masyarakat untuk menginisiasi aksi kolektif tersebut masih minim. Kehidupan pada zaman ini sangat nyaman dan serba instan. Akibatnya, masyarakat seringkali sekedar mengkonsumsi suatu produk tanpa mengecek apakah pembuatan produk tersebut melibatkan praktek pelanggaran HAM. Lebih parahnya lagi, setelah praktek pelanggaran HAM diketahui pun seringkali masyarakat cenderung apatis dan tidak peduli. Korban pelanggaran HAM ini dilihat sebagai orang lain semata, dan bukan sebagai sesama manusia yang layak mendapatkan bantuan.

Lihat saja AICE. Perusahaan ini telah sering terdokumentasi menerapkan praktek bekerja yang buruk. Pelanggaran HAM seperti larangan cuti hamil dan cuti sakit, kondisi bekerja yang buruk bagi kesehatan, paksaan bekerja lama tanpa istirahat yang cukup, pemberian gaji lembur yang lebih sedikit dari yang dijanjikan, dan masih banyak masalah lainnya telah sering diberitakan media massa. Namun, AICE masih menjadi merek yang populer di Indonesia. AICE bahkan dapat menjadi sponsor es

krim resmi untuk acara besar seperti Asian Games. Hal ini menunjukkan bahwa apatisme konsumen juga merupakan isu yang harus diselesaikan dalam upaya penegakan HAM di lingkungan kerja.

Kedua faktor yang telah dijabarkan diatas tentu tidak mencakup semua tantangan dalam upaya penegakan HAM di lingkungan kerja. Namun, tetap terlihat bagaimana pentingnya meningkatkan kesadaran masyarakat untuk mendorong perilaku yang lebih baik dari perusahaan pelanggar HAM. Untungnya, situasi sekarang tidak terlihat terlalu putus asa. Terdapat peningkatan dalam kesadaran masyarakat akan pentingnya mengkonsumsi produk yang diproduksi dengan praktek bekerja yang baik. Masyarakat di Uni Eropa semakin selektif dalam menentukan produk apa yang mereka konsumsi, dan hanya memilih produk yang memiliki sertifikasi tertentu (contoh: sertifikasi lingkungan). Terlebih lagi, budaya viral di media sosial saat ini juga dapat berkontribusi untuk menegur perusahaan yang melanggar HAM dan mendorong mereka untuk menghentikan pelanggaran tersebut. Tentunya semua hal ini masih merupakan suatu proses yang panjang. Maka dari itu, orang-orang yang sadar akan isu ini, seperti golongan akademisi, perlu menjadi garda terdepan dalam menyuarakan masalah ini dan melakukan apa yang kita bisa untuk mewujudkan pemenuhan HAM sebagaimana mestinya.

 

Oleh: Dandi Dwie Lisadi

NIM 21410568

Mahasiswa Program Studi Hukum Program Sarjana Fakultas Hukum Universitas Islam Indonesia

Pendahuluan

Dalam kancah hukum modern, dominasi kekuasaan sering kali menyembunyikan diri di balik tirai hukum yang tampak sah dan legitimatif. Di Indonesia, fenomena ini menampakkan diri sebagai otokrasi hukum atau disebut “autocratic legalism“, suatu paradigma di mana hukum bukan hanya menjadi alat keadilan, tetapi alat pengukuh kekuasaan. Ironisnya, alat yang seharusnya menjadi pondasi demokrasi dan keadilan ini malah menjadi senjata paling efektif bagi para otokrat untuk memperkuat cengkeraman mereka atas negara. Merujuk pada ucapan Nelson Mandela, “Hukum yang tidak adil adalah senjata yang paling ampuh di tangan penguasa untuk menjaga status quo yang tidak adil,” menggema keras di ruang ruang kekuasaan, di mana hukum kerap digunakan bukan sebagai sarana pembebasan, tetapi sebagai instrumen penindasan.

Autocratic Legalism: Dari Teori ke Praktik

“Autocratic legalism” menggambarkan penggunaan hukum oleh penguasa untuk memperkuat posisi mereka, sering kali mengorbankan prinsip-prinsip demokrasi dan konstitusional. Di Indonesia, praktik ini terlihat dari cara hukum dan regulasi disusun untuk menguntungkan kelompok tertentu selama pemilu.

Contoh nyata dari autocratic legalism adalah pembahasan yang tergesa-gesa dan minim partisipasi atas undang-undang penting seperti Undang-Undang tentang Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) dan Undang-Undang tentang Pemilihan Umum (Pemilu). Undang-undang ini, yang seharusnya menegakkan integritas demokrasi dan melawan korupsi, malah digunakan untuk mengukuhkan kekuasaan.

Pada Pemilu 2024, muncul kekhawatiran bahwa pemilu disiapkan untuk memudahkan kemenangan kelompok tertentu. Jusuf Kalla, mantan Wakil Presiden Indonesia, mengkritik pemilu ini sebagai salah satu yang terburuk dalam sejarah negara, menyoroti penggunaan regulasi dan sumber daya negara yang bisa mempengaruhi hasil pemilu sebagai bentuk autocratic legalism yang memanipulasi sistem pemilu untuk mempertahankan kekuasaan.

Secara global, praktik serupa terlihat di Venezuela di bawah Hugo Chavez, yang menggunakan hukum untuk memperkuat kekuasaannya, sering melalui amandemen konstitusi dan hukum yang menguntungkannya. Hal ini menunjukkan bahwa autocratic legalism adalah fenomena internasional yang berdampak serius pada integritas sistem demokrasi.

Analisis atas autocratic legalism dalam konteks pemilu Indonesia menekankan pentingnya kewaspadaan dan keterlibatan masyarakat dalam proses demokrasi, memastikan hukum digunakan sebagai pelindung nilai-nilai demokrasi dan keadilan, bukan hanya sebagai alat untuk legitimasi kekuasaan.

Kasus Indonesia: Hukum, Kekuasaan, dan Otokrasi

Di Indonesia, praktik legalisme otokratik bukanlah fenomena baru, namun penyalahgunaan ini terlihat semakin jelas menjelang Pemilu 2024. Dalam hal ini, hukum dan kebijakan tidak hanya diformulasikan untuk mempertahankan status quo, tetapi juga untuk memperluas kekuasaan presiden yang sedang menjabat serta kelompok dan keluarga yang mendukungnya. Ini mencerminkan suatu bentuk otokrasi yang memanipulasi perangkat demokrasi untuk keuntungan pribadi dan politik. Salah satu manifestasi dari autocratic legalism ini adalah penggunaan UU Pemilu dan lembaga-lembaga negara sebagai alat untuk mengontrol dan membatasi kompetisi politik.

Kekhawatiran terbesar yang diungkapkan oleh berbagai pihak, termasuk tokoh politik veteran seperti Jusuf Kalla, adalah bahwa Pemilu 2024 diatur sedemikian rupa sehingga meminimalkan peluang oposisi dan memaksimalkan kontrol oleh pemerintah yang sedang berkuasa. Proses ini tidak hanya mengancam integritas pemilu tetapi juga prinsip dasar dari demokrasi yang bebas dan adil. Lebih jauh, ada indikasi bahwa undang-undang dan kebijakan baru diarahkan untuk mempersulit penyelenggaraan pemilu yang transparan dan partisipatif. Misalnya, regulasi pemilu yang membatasi media dan kampanye di media sosial, yang dianggap oleh banyak pengamat sebagai upaya untuk membatasi informasi yang dapat mengancam atau menantang kelompok yang berkuasa. Ini adalah bentuk lain dari autocratic legalism, dimana hukum digunakan untuk membatasi kebebasan berbicara dan berpendapat.

Selain itu, intervensi dalam lembaga-lembaga independen seperti KPK, yang seharusnya berfungsi sebagai pengawas keadilan dan transparansi, telah dikurangi kewenangannya, menjadikan lembaga ini kurang efektif dalam mengawasi tindakan koruptif yang mungkin terjadi selama periode pemilu. Dalam menghadapi Pemilu 2024, ada urgensi yang besar untuk masyarakat sipil dan pengawas independen untuk lebih proaktif dalam mengamati dan melaporkan setiap bentuk penyelewengan yang dilakukan oleh pemerintah.

Autocratic legalism, jika tidak dihadapi, dapat mengkonsolidasikan kekuasaan di tangan sedikit orang, mengikis fondasi demokrasi, dan menempatkan kepentingan kelompok atas kepentingan umum.

Mahkamah Konstitusi dan Judicial Activism

Di Indonesia, Mahkamah Konstitusi berperan sebagai pengawas utama kekuasaan eksekutif, khususnya dalam menegakkan konstitusi dan demokrasi. Kepemimpinan Anwar Usman, yang merupakan ipar Presiden Joko Widodo, menimbulkan kekhawatiran serius akan konflik kepentingan, terutama dalam kasus yang berkaitan dengan kebijakan pemerintahan Jokowi.

Judicial activism, suatu yang dinilai penting sebagai korektif terhadap penyalahgunaan kekuasaan, menghadapi tantangan serius. Mahkamah Konstitusi yang seharusnya memperjuangkan keadilan dan transparansi, kini dihadapkan pada tantangan signifikan. Hakim-hakim harus mampu membuat keputusan yang berani dan tidak populer demi keadilan, tanpa dipengaruhi oleh tekanan politik atau kekerabatan.

Kondisi ini membutuhkan bentuk aktivisme yudisial yang progresif dan berani untuk mempertahankan integritas dan independensi yudisial dari pengaruh politik yang merusak. Dengan pengawasan ketat dan tekanan publik, diharapkan Mahkamah Konstitusi dapat bertindak adil, menjaga keputusan hukum yang krusial untuk masa depan demokrasi di Indonesia dari pengaruh nepotisme.

Refleksi atas Pemilu 2024 di Indonesia mengungkap bagaimana hukum dan kekuasaan disalahgunakan. Pemilu, yang seharusnya mendukung demokrasi dan representasi rakyat, ternoda oleh autocratic legalism yang menguntungkan penguasa. Manipulasi ini merusak integritas pemilu dan merongrong kepercayaan publik.

Praktik seperti nepotisme dalam Mahkamah Konstitusi dan manipulasi legislatif memperkuat kekuasaan menunjukkan perlunya reformasi hukum yang mendalam. Judicial activism harus diperkuat sebagai mekanisme korektif independen untuk mengembalikan keadilan.

Di tengah krisis ini, masyarakat sipil harus proaktif mengawasi dan menuntut keadilan, terutama mengawasi pengujian hasil pemilu yang saat ini terjadi di Mahkamah Konstitusi, yang menjadi ujian nyata untuk sistem hukum. Setiap warga harus aktif dalam politik, tidak hanya sebagai pemilih tetapi sebagai pengawas yang mengawal demokrasi dari kepentingan sempit. Demokrasi Indonesia di persimpangan kritis memerlukan komitmen bersama untuk integritas dan keberanian dalam menghadapi autokrasi. Ini penting agar demokrasi lebih dari sekadar kata, tetapi juga tindakan dan kebijakan nyata. Hasil Pemilu 2024 akan selalu menjadi catatan sejarah bagi perkembangan demokrasi di Indonesia.

 

 

Oleh: Muhamamad Haris – 20410577
Mahasiswa Fakultas Hukum Universitas Islam Indonesia

 

Masyarakat telah digemparkan oleh lonjakan dan penggunaan teknologi yang menghasilkan konten melalui perintah promt (command promt), menghasilkan berbagai jenis konten seperti teks, gambar, audio, dan video dengan menggunakan Artificial Intelligence Content Generated (AI-CG). Mengutip dari Explodingtopics.com penggunaan AI-CG ini terbukti dengan adanya 100 (seratus) juta lebih user pada tahun 2023 pada salah satu platform AI-CG yang paling populer, yaitu ChatGPT, angka ini juga belum ditotal dengan AI-CG lainnya seperti Perplexity AI, Google Bard, Bing AI, dan lain sebagainya. Jumlah pengguna yang sangat fantastis ini memang pada dasarnya dikarenakan AI-CG memberikan kemudahan dalam menyelesaikan permasalahan maupun membantu kegiatan sehari-hari user dengan beberapa ketik saja.

Penggunaan AI-CG pada masyarakat tidak lepas dari salah satu permasalahan yang muncul dikarenakan penyalahgunaan terhadap teknologi AI-CG itu sendiri, yaitu kemampuan AI-CG yang disalahgunakan untuk membuat sebuah foto palsu yang bernuansa pornografi atau yang disebut dengan AI-Generated Fake Pornographic Images, yang mana muka dari foto hasil AI-CG dapat disesuaikan dengan hanya memasukan foto seseorang. Penyalahgunaan kemampuan AI-CG dengan membuat konten pornografi tersebut dapat menjadi polemik yang sangat serius bahkan dapat mengancam nama baik seseorang apabila permasalahan ini tidak diselesaikan secepatnya terhadap penyalahgunaan AI-CG.

Penyanyi musik pop asal Amerika Serikat, Taylor Alison Swift atau yang lebih dikenal dengan “Taylor Swift” menjadi salah satu korban AI-Generated Fake Pornographic Images pada awal tahun 2024 tepatnya 26 Januari. Foto-foto palsu dirinya yang telah dibuat ulang dengan AI-CG tersebar di social media “X” (sebelumnya dikenal Twitter) oleh akun anonim. Foto palsu Taylor Swift itu mendapat 47 juta views di X dan telah diunggah ulang hingga 24 ribu kali ke berbagai media sosial lain seperti X, Instagram, dan Facebook.

 

Meskipun akun anonim yang pertama membagikan foto itu akhirnya ditutup, dampak penyebaran AI-Generated Fake Pornographic Images telah mencederai nama baik dan membuat geram penyanyi pop asal Amerika tersebut. Wajahnya disalahgunakan untuk membuat foto palsu yang tidak senonoh. Taylor Swift merasa dilecehkan dan marah atas perbuatan tidak terpuji itu. Pihak manajemennya mempertimbangkan untuk mengambil upaya hukum kepada oknum yang membuat AI-Generated Fake Pornographic Images dari wajah Taylor Swift.

Pada kasus Taylor Swift tersebut dapat dipetik 3 (tiga) permasalahan hukum yang muncul, yaitu: Pertama, pelanggaran privasi dikarenakan telah menyalahgunakan wajah seseorang dengan tanpa izin untuk membuat sebuah konten bernuansa pornografi. Kedua, penggunaan AI-CG di masyarakat secara bebas tanpa adanya pembatasan dari hukum atau regulasi menyebabkan kerusuhan terhadap tertabrak-nya etika sosial di masyarakat. Ketiga, permasalahan yang disebabkan oleh penyalahgunaan AI-CG di masyarakat menjadikan landasan baru bagi para Aparat Penegak Hukum (APH) untuk melakukan kajian bagaimana untuk memberantas permasalahan penyalahgunaan AI-CG pada masyarakat.

Masyarakat perlu sadar bahwa ketika menggunakan teknologi AI-CG untuk menghasilkan AI-Generated Fake Pornographic Images akan menimbulkan pelanggaran hukum dikarenakan telah menyalahgunakan dengan tanpa izin wajah seseorang atau dalam bahasa Undang-Undang Nomor 27 Tahun 2022 tentang Pelindungan Data Pribadi Indonesia (UU PDP) dikenal dengan “Data biometrik”. Penyalahgunaan ini dapat menimbulkan pelanggaran data pribadi terhadap pihak yang melakukan tindakan tidak senonoh tersebut.

Maraknya penyalahgunaan teknologi AI-CG Pemerintah Indonesia merespons melalui Kementerian Komunikasi dan Informatika (Kemenkominfo) dengan Surat Edaran Nomor 9 Tahun 2023 tentang Etika Kecerdasan Artifisial (SE Etika Kecerdasan Artifisial). Menegaskan bahwa penggunaan AI-CG harus dapat dipastikan sebagai teknologi yang digunakan untuk ke arah yang mempertimbangkan prinsip etis, kehati-hatian, keselamatan, serta berorientasi pada dampak positif. Penyelenggaraan terhadap pemilik teknologi AI-CG juga mesti memperhatikan nilai-nilai etika yang dijalankan ketika memberikan akses teknologi-nya terhadap masyarakat, seperti: Inklusivitas, kemanusiaan, keamanan, aksesibilitas, transparansi, kredibilitas dan akuntabilitas, pelindungan data pribadi, pembangunan dan lingkungan berkelanjutan, dan kekayaan intelektual.

Penulis menilai bahwa seyogianya aksesibilitas terhadap AI-CG harus mulai diawasi oleh para APH maupun masyarakat Indonesia dikarenakan teknologi AI-CG ini sangat berpotensi menyebabkan berbagai permasalahan yang baru dan bahkan tidak diatur oleh undang-undang oleh negara seperti Indonesia dikarenakan barunya teknologi AI-CG yang hadir pada abad ke ke-21 (dua puluh satu). Perlu dipertimbangkan juga untuk langkah pemerintah Indonesia untuk mulai ke langkah yang pro-aktif untuk memberikan awareness terhadap masifnya peningkatan penggunaan terhadap teknologi AI-CG dan melindungi masyarakat dari penyalahgunaan kemampuan AI-CG seperti AI-Generated Fake Pornographic Images.

Kesimpulan yang dapat ditarik terhadap permasalahan AI-CG adalah penggunaan AI-CG telah memberikan kemudahan dalam menciptakan konten multimedia. Namun, terhadap penyalahgunaannya, khususnya dalam pembuatan konten pornografi palsu, menimbulkan permasalahan hukum dan sosial serius. Oleh karena itu, pemerintah perlu mengembangkan mekanisme yang efektif untuk membatasi dan mengawasi penggunaan AI-CG melalui regulasi yang ketat dan jelas, sementara itu perlu dipersiapkan dengan pengetahuan yang cukup untuk menghadapi kasus-kasus serupa di masa mendatang. Regulasi yang lebih jelas dan komprehensif juga diperlukan untuk mengatur penggunaan AI-CG, mengingat perkembangan teknologi AI yang terus meningkat di masa depan, maka dari itu penggunaan teknologi ini dapat berada dalam batas etika dan hukum yang jelas. (editor: IB)