Oleh: Millatun Hanifiyyah – 23410668
Mahasiswa Program Studi Hukum Program Sarjana (Reguler) Fakultas Hukum Universitas Islam Indonesia

Pada beberapa tahun mendatang Indonesia sebagai negara berkembang akan menghadapi lonjakan bonus demografi, lebih dari 64% populasi di Indonesia akan ada pada usia produktif. Hampir 200 juta orang ini harus bersaing dan mendapatkan pekerjaan yang lebih baik supaya ekonomi Indonesia meroket. Namun, saat ini terjadi berbagai masalah seperti PHK dimana-mana dan investor asing lebih memilih berinvestasi di negara-negara tetangga salah satunya Vietnam. Hal ini sangat mengkhawatirkan bagi kita melihat lapangan pekerjaan yang semakin sedikit sedangkan peningkatan bonus demografi semakin menguat, bisa-bisa Indonesia terancam membludaknya pengangguran.

Danantara saat ini menjadi senjata besar bagi Prabowo untuk melawan tantangan ekonomi. Danantara Indonesia adalah dana kekayaan negara Sovereign Wealth Fund (SWF) Indonesia yang resmi didirikan pada tanggal 24 Februari 2025. Dana ini bertujuan untuk mengoptimalkan pengelolaan perusahaan milik negara (BUMN) dan mendorong pertumbuhan ekonomi nasional. Danantara diproyeksikan akan mengelola aset sebesar $900 miliar atau kurang lebih setara dengan Rp14,847,3 triliun, menjadikannya salah satu dana kekayaan negara terbesar di dunia.[1] Ada tujuh BUMN yang akan berada pada satu Super Holding supaya proses bisnis pada beberapa BUMN bisa lebih efisien dan membuat investor asing terdorong untuk melakukan investasi proyek-proyek di Indonesia. Satu Super Holding Danantara ini sebenarnya membuat proses koordinasi tersebut bisa tersentralisasi dengan tepat dan lebih efisien. Fokus utama Danantara adalah memastikan hilirisasi sumber daya alam berjalan efektif pada komoditas nikel, bauksit, dan tembaga. Di bidang teknologi ada pembangunan Data Center dan pengembangan Artificial Intelligence. Selain itu, pada bidang energi dan pangan ada pembangunan kilang minyak, energi terbarukan, dan ketahanan pangan. Harapannnya lewat investasi di beberapa industri proses hilirisasi dan industrilisasi ini bisa dilanjutkan secara tuntas agar menghasilkan pekerjaan formal baru dengan bayaran yang relatif lebih tinggi.

Namun, Danantara menjadi sorotan karena perbedaan dalam hal pelaporan yakni laporan tersebut langsung ke presiden yang dibantu oleh dewan pengawas dan dewan penasihat sehingga membuat rakyat Indonesia takut akan hal tersebut dijadikan senjata politik presiden. Kemudian ada tiga hal yang membuat Danantara menjadi krusial saat ini. Pertama, soal posisi pengurus di Danantara yang dipenuhi orang-orang pemerintahan dan politik yang memang bukan profesional di bidangnya. Hal ini menjadi konsen utama para investor saham dan obligasi kita. Terdapat dua mantan presiden yakni SBY dan Jokowi yang menduduki struktur Danantara sebagai dewan penasihat bisa memunculkan risiko intervensi politik dan menghadirkan rangkap jabatan. Dari jajaran direksi tersebut orang-orang ternama yang dipilih Prabowo bisa menimbulkan politik dan birokrasi. Dengan memasukan pihak ketiga dari jajaran nonpemerintah sebagai kemungkinan strategi yang bisa kita lakukan untuk fungsi check & balance. Kedua, adanya pasal yang melindungi Danantara dari audit BPK dan investigasi KPK. Pemeriksaan keuangan Danantara dilakukan oleh akuntan publik, sedangkan pihak BPK dan KPK hanya dapat memeriksa apabila ada permintaan dari alat kelengkapan negara yakni DPR sesuai dalam revisi UU BUMN No. 19 Tahun 2003 yang disahkan DPR 4 Februari lalu. Pengawalan dan pengawasan Danantara secara publik menjadi penting sebagai bentuk kepercayaan pemerintah kepada masyarakat agar bertindak secara profesional untuk menghindari adanya politisasi dan murni dilakukan hanya untuk return & investment. Ketiga, pada UU No.1 Tahun 2025 yang mengatur Danantara, khususnya pasal 3X Ayat (1) yang menyatakan bahwa organ dan pegawai badan ini bukan penyelenggara negara. Aturan ini berimplikasi pada privatisasi BUMN yang masuk ke dalam Danantara dimana organ dan pegawai Danantara menjadi tidak tunduk pada pengawasan publik yang ketat seperti penyelenggara negara.

Danantara bisa menjadi pedang bermata dua, jika dieksekusi dengan baik BUMN bisa lebih efisien dan memperkuat ekonomi Indonesia. Super Holding ini akan menjadi alat ekspansi besar di sektor energi, infrastruktur, telekomunikasi dan lainnya. BUMN bisa menjadi lebih mandiri, dividen lebih banyak, pajak meningkat, dan utang berkurang. Namun, jika gagal bisa menjadi alat politik, bahkan pengelolaan BUMN bisa tidak efisien, hutang bertambah untuk proyek-proyek mangkrak, beban fiskal pemerintah juga bisa bertambah yang ujung-ujungnya akan mengambil dana iuran masyarakat dan mengakibatkan pajak naik, saham BUMN & IHSG terus turun ditambah kurang transparan membuat investor global tarik modal sehingga rupiah melemah dan pasar keuangan lesu.

Solusi lain dari adanya Super holding ini bisa dengan membentuk fund. Pertama, seperti green fund untuk membangun perkembangan ekosistem, misalnya melalui hutan, gambut, bakau dan lainnya yang bisa menjadi hutan kredit bernilai tinggi untuk menarik investor asing. Kedua, membentuk ecotourism fund menjadi upaya Indonesia dalam memanfaatkan kekayaan alamnya. Iklim dan letak geografis serta kebudayaan dan keindahan alam Indonesia yang merupakan daya tarik sendiri, khusus bagi proyek-proyek yang bergerak di bidang industri kimia, perkayuan, kertas dan perhotelan (tourisme)[2]. Pentingnya keberadaan investor asing dalam dunia investasi di Indonesia sebab begitu menguntungkan dalam segi kehidupan ekonomi negara dengan mengutamakan stabilitas jangka panjang.

Dengan demikian, dapat disimpulkan bahwa dibalik potensi besar dan langkah strategis Danantara untuk mengakselerasi pertumbuhan ekonomi di Indonesia tetap bisa membawa risiko terutama dalam proses pengelolaanya yang terlalu sarat kepentingan politik. Oleh karena itu sebagai anak muda sekarang perlu juga terlibat mengkritisi dan bersikap skeptis terhadap persepsi mengenai Danantara untuk menghindari peluang jatuh ke lubang yang baru sehingga Danantara bisa benar-benar menjadi instrumen ekonomi yang menjawab tantangan zaman.

 

 

DAFTAR PUSTAKA

Kemhan.go.id. (2024, 03 Desember). Jumlah Penduduk yang Merupakan Tantangan bagi Negara Indonesia. Diakses pada 13 Maret 2025. Dari https://www.kemhan.go.id/balitbang/2024/12/03/jumlah-penduduk-yang-besar-merupakan-tantangan-bagi-negara-indonesia.html

Cahyadi, Hepi. (2025, 12 Maret). Aspek Perpajakan Danantara. Diakses pada 13 Maret 2025. Dari https://www.pajak.go.id/id/artikel/aspek-perpajakan-danantara

Narasi Newsroom. (2025, 04 Maret). Danantara dan Makan Bergizi Gratis: Solusi atau Beban Baru Negara? | Bicara. [Video]. Youtube. https://youtu.be/ppCMZY1vdAE?si=q_ktlQ5VcWKpCZ4L

Hidranto, Firman. (2024, 02 Mei). Menanti Lahirnya Indonesia Tourism Fund, Apa Manfaatnya?. Diakses pada 14 Maret 2025. Dari https://indonesia.go.id/kategori/editorial/8177/menanti-lahirnya-indonesia-tourism-fund-apa-manfaatnya?lang=1

Harjono, Dhaniswara K. (2007). Hukum Penanaman Modal. Jakarta: RajaGrafindo Persada.

Kholid, Ayyubi. (2025, 01 April). BUMN ke Danantara Sinyal Privatisasi?. Diakses pada 17 April 2025. Dari https://kabarbursa.com/market-hari-ini/124451/bumn-ke-danantara-sinyal-privatisasi

[1] Cahyadi, Hepi. (2025, Maret 12). Aspek Perpajakan Danantara. Pajak. https://www.pajak.go.id/id/artikel/aspek-perpajakan-danantara

[2] Dhaniswara K. Harjono. Hukum Penanaman Modal (Jakarta: RajaGrafindo Persada, 2007), hal. 10-11.

Oleh: Rafael Mahesa Firdaus – 24410416

Mahasiswa Program Studi Hukum Program Sarjana Reguler Fakultas Hukum Universitas Islam Indonesia

Dalam untaian silsilah kehidupan manusia, hukum menjadi sine qua non sebagaimana yang bermula dari istilah Latin untuk mencitrakan sesuatu yang penting, diperlukan, dan tak tergantikan. Merujuk pada sifatnya yang membatasi itu, acapkali hukum disebut sebagai necessary evil, yakni hal yang tidak menyenangkan tetapi dibutuhkan. Dengan demikian, terjelma sebuah determinasi bahwa hukum pada dasarnya menjadi perihal yang cukup fundamental dalam kehidupan bermasyarakat sebagai siasat untuk menjamin keadilan personal maupun sosial, meski membatasi ruang kebebasan tiap-tiap individu.

Het Recht Hink Achter de Feiten Aan”, seyogyanya hukum dapat ditempatkan pada koridor yang cukup esensial guna terwujudnya keadilan bagi khalayak sebuah negara. Adagium yang berlaku universal tersebut mengilustrasikan jika hukum senantiasa tertatih-tatih mengejar perubahan zaman. Semua itu dikehendaki atas bagaimana runtutan realita yang tertangkap, sehingga hukum dituntut untuk selalu adaptif terhadap waktu yang terus bergerak, sebab ia tidak bekerja dalam ruang yang hampa. Bilamana dipersepsikan dalam ruang lingkup negara Indonesia, maka semua itu bermuara ketika lahirnya suatu produk hukum yang merupakan buah dari bentuk otoritas lembaga pembentuk undang-undang beriringan dengan kehendak, cita, dan aspirasi masyarakat yang tertuang di dalamnya.

Pembangunan hukum nasional yang ada di Indonesia menjadi bagian dari subsistem dari sistem pembangunan nasional. Karena perannya yang begitu vital, tentu perlu adanya suatu instrumen yang menentukan skala prioritas pembentukan undang-undang secara terencana, terpadu, dan sistematis. Semua itu termaktub dalam Program Legislasi Nasional yang secara operasional merujuk pada materi atau substansi terkait rencana pembentukan perundang-undangan yang dalam hal ini disusun berdasarkan metode parameter tertentu serta dilandasi oleh visi dan misi pembangunan hukum nasional. Meski substansi hukum hanya merupakan salah satu dari elemen sistem hukum, namun komponen inilah yang umumnya dinilai menduduki tempat terpenting lantaran merupakan landasan berpijak bagi berfungsinya hukum dalam masyarakat.

Program Legislasi Nasional 2025 kini telah diputuskan melalui Rapat Paripurna Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) ke-8 Masa Persidangan 1 tahun 2024-2025.  DPR menyetujui 176 Rancangan Undang-Undang (RUU) masuk dalam prolegnas 2024-2029, dan 41 RUU masuk prolegnas prioritas 2025. Akan tetapi, belakangan ini muncul sorotan yang cukup menuai pro-kontra di berbagai kalangan, khususnya para akademisi mengenai satu di antara RUU prioritas yang ada. Alih-alih ketika revisi undang-undang pada dasarnya berorientasi untuk menyesuaikan peraturan dengan perkembangan zaman dan kebutuhan masyarakat, namun hal ini justru terkesan menciptakan sebuah lembaga yang memiliki kewenangan begitu kuat, sehingga berpotensi menimbulkan impunitas hukum. Mengenai hal yang dimaksud adalah RUU tentang Perubahan Kedua atas UU Nomor 16 tahun 2004 tentang Kejaksaan RI, ketika terdapat beberapa pasal yang dinilai cukup kontroversial dalam praktiknya.

Pertama, yakni Pasal 8 ayat (5) yang menyatakan “Dalam menjalankan tugas dan wewenangnya, pemanggilan, pemeriksaan, penggeledahan, penangkapan, dan penahanan terhadap Jaksa hanya dapat dilakukan atas izin Jaksa Agung.” Pasal ini dinilai menimbulkan imunitas yang absolut bagi seorang Jaksa, sehingga pengendalian atas peran Jaksa sulit untuk dilakukan. Imunitas memang diperlukan selama Jaksa menjalankan tugasnya, namun jika seorang Jaksa melakukan tindak pidana, maka tidak ada alasan lagi terhadapnya untuk diberikan perlindungan hukum, sejalan dengan izin yang diberikan Jaksa Agung. Pasal ini juga terkesan bertentangan dengan prinsip equality before the law, lantaran memberikan perlakuan khusus daripada aparat penegak hukum lainnya.

Kedua, Pasal 8B yang menyatakan “Dalam melaksanakan tugas dan wewenang, Jaksa dapat dilengkapi dengan senjata api serta sarana dan prasarana lainnya sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.” Barangkali hal ini justru berisiko membuat seorang Jaksa bertindak sewenang-wenang apabila tidak disertai mekanisme pengawasan yang tepat, yang mana tidak ada kejelasan lebih lanjut dalam undang-undang tersebut mengenai urgensi bagi seorang Jaksa untuk dilengkapi senjata api. 

Ketiga, Pasal 11A ayat (1) dan (2) terkait rangkap jabatan di luar instansi Kejaksaan. Sekali lagi, perlu ditegaskan bahwa Jaksa ini merupakan aparatur penegak hukum, bukan “palugada” yang tidak membatasi kewenangannya dalam berperan maupun bertindak, sebab bukan hal yang tidak mungkin ketika justru dapat mengganggu integritas tugas utamanya.

Lebih dari itu, seiring dengan pembaharuan undang-undang yang ada di Kejaksaan, terdapat pula salah satu pasal yang termuat dalam RUU KUHAP yang bersinggungan langsung dengan peran Jaksa dalam tindak pidana, di mana cukup menimbulkan silang pendapat ketika secara garis besar dalam Pasal 12 ayat (11) memberikan kewenangan bagi Jaksa untuk mengambil alih penyidikan. Hal ini jelas begitu mengganggu tatanan sistem peradilan pidana, kewenangan Jaksa yang begitu luas tidak mencerminkan prinsip check and balances dalam sistem hukum modern, seakan perluasan wewenang ini berkedok asas dominus litis atau pengendali perkara yang dimiliki Kejaksaan. 

Patut untuk digarisbawahi di sini, kewenangan pengendalian perkara bukan ihwal mengenai kekuasaan absolut satu lembaga saja tetapi harus ada pembagian proporsional sebagaimana yang merupakan pengejawantahan asas diferensiasi fungsional. Wacana akan perluasan kewenangan ini seakan menggambarkan tumpang tindih tugas antara Penyidik Kepolisian dan Kejaksaan yang berpotensi menimbulkan ego sektoral dan ketegangan antara dua institusi penegak hukum tersebut, hingga dapat merugikan proses peradilan sendiri apabila sudah mengarah pada persaingan yang tidak sehat. Sudah sepatutnya, setiap peraturan perundang-undangan yang ada mencerminkan bentuk perwujudan pembangunan hukum nasional, bukan untuk menjadi pintu masuk dalam penyalahgunaan kekuasaan. 

 

DAFTAR PUSTAKA

Binawan, A. (2022). Empat Problematika Filosofis Hukum dalam Dinamika Hubungan Keadilan dan Kepastian. Jurnal Masalah-masalah Hukum.

Budiman, Y. N. (2025, March 14). Menimbang Penguatan Asas Dominus Litis dalam Rancangan KUHAP. Retrieved from hukumonline: https://www.hukumonline.com/berita/a/menimbang-penguatan-asas-dominus-litis-dalam-rancangan-kuhap-lt67d31a16a4868/

dkk, A. S. (2023). Program Legislasi Nasional. Journal of Social Science Research, 9163-9177.

Hadjar, A. F. (2025, January 21). Kaji Ulang Pasal Kontroversial UU Kejaksaan. Retrieved from Rmol.id: https://rmol.id/politik/read/2025/01/21/653093/kaji-ulang-pasal-kontroversial-uu-kejaksaan

Nasozaro, H. O. (2018). Peranan Hukum dalam Kehidupan Berdemokrasi di Indonesia. Jurnal Warta Edisi: 58.

Prabowo, I. (n.d.). Paradigma Peraturan Mahkamah Agung: Modern Legal Positivism Theory, Teori Hukum Progresif dan Urgensi Kodifikasinya.

Rancangan Undang-undang tentang Hukum Acara Pidana. (n.d.).

Undang-undang Nomor 21 Tahun 2021 tentang Kejaksaan Republik Indonesia. (n.d.).

Yozami, A. (2024, November 19). Ini 41 RUU yang Masuk Prolegnas Prioritas 2025. Retrieved from hukumonline.com: https://www.hukumonline.com/berita/a/ini-41-ruu-yang-masuk-prolegnas-prioritas-2025-lt673c52dc1bcb0/

Oleh: Rama Hendra Triadmaja – 22410456 

Mahasiswa Program Studi Hukum Program Sarjana (Reguler) Fakultas Hukum Universitas  Islam Indonesia 

United Nations High Commissioner for Refugee (UNHCR) telah mencatat setidaknya terdapat  37,9 juta pengungsi internasional (international refugee) dan 8 juta pencari suaka (asylum seeker) di seluruh dunia. Gelombang migrasi yang begitu masif oleh pengungsi dan pencari suaka ini  tidak dapat dilepaskan dari absennya negara asal dalam pemenuhan kewajiban negara terhadap  Hak Asasi Manusia (HAM). Sebagai contoh, persekusi dan perlakuan diskriminatif terhadap kelompok tertentu, konflik berkepanjangan, serta pelanggaran-pelanggaran HAM lainnya yang  mengancam eksistensi di negara asalnya. Salah satu negara yang menjadi tujuan migrasi tersebut adalah Indonesia. Berdasarkan data yang dirilis oleh UNHCR, jumlah pengungsi dan pencari suaka  di Indonesia ialah sebanyak 11.735 jiwa. Hal ini tidak lepas dari letak geografis Indonesia yang  berada di posisi silang dunia, yaitu di antara Benua Asia dan Benua Australia serta Samudra Pasifik  dan Samudra Hindia. 

Arus migrasi antarnegara yang dilatarbelakangi oleh krisis manusia lambat laun menyita atensi  publik internasional. Adanya kesadaran atas pengungsi internasional dapat dipahami sebagai  bentuk universalitas humanis yang melintasi batas-batas negara dan menjelma sebagai persoalan  internasional bukan lagi terlimitasi pada ranah nasional ataupun regional. Dasar pemikiran inilah  yang menjadi spirit atas lahirnya Konvensi Jenewa Tahun 1951 dan Protokol Tambahan Tahun  1967 tentang Status Pengungsi. 

 

Sayangnya di Indonesia, semangat kemanusiaan tersebut justru tercoreng dengan aksi penolakan terhadap pengungsi Rohingya yang berasal dari Myanmar oleh masyarakat di beberapa wilayah. Puncaknya pada tahun 2023, sekelompok mahasiswa di Aceh memindah paksa pengungsi  Rohingya yang semula berada di Gedung Balee Meuseuraya Aceh di Kota Banda Aceh menuju  Kantor Wilayah Kementerian Hukum dan HAM Aceh. Tidak sampai di situ, massa juga menuntut  kepada otoritas berwenang untuk segera mendeportasi pengungsi Rohingya keluar dari wilayah teritorial Indonesia.

Praktik xenofobia ini ditandai dengan menjustifikasi stigma negatif kepada pengungsi Rohingya  yang dideskripsikan sebagai sekumpulan orang-orang yang berpendidikan rendah, kotor, imigran  ilegal, dan kriminal. Sebab lainnya ialah framing negatif yang dikonstruksi oleh media massa sehingga menimbulkan rasa ketakutan dan rasa ketidaknyamanan atas interaksi budaya asing yang  dikhawatirkan mengancam keberlangsungan budaya lokal (cultural erosion). 

Kondisi ini menyebabkan dikotomi di kalangan masyarakat mengenai polemik atas langkah apa  yang tepat bagi pemerintah untuk menangani persoalan pengungsi tersebut. Sebab, jika persoalan  itu tidak memeroleh keseriusan, maka akan mengakibatkan permasalahan multidimensional lainnya yang mana memengaruhi sendi-sendi kehidupan masyarakat. 

Pandangan pertama mengemukakan sebaiknya Indonesia tidak perlu menerima atau bahkan  menolak pengungsi Rohingya itu. Lantaran, Indonesia belum meratifikasi Konvensi Jenewa Tahun  1951 dan Protokol Tambahan Tahun 1967 tentang Status Pengungsi sehingga tidak berkewajiban  untuk menampung pengungsi dan pencari suaka. Argumentasi ini didasarkan pada doctrine of  transformation yang dikemukakan oleh aliran voluntarisme atau dualisme bahwasanya hukum  internasional tidak dapat berlaku dalam ruang lingkup hukum nasional kecuali telah  ditransformasikan terlebih dahulu. Sebab, adanya perbedaan dua sistem hukum yang berlainan, maka perlu untuk mentransformasikan hukum internasional menjadi hukum nasional.

 

Sementara itu, pandangan kedua meyakini bahwa Indonesia berkewajiban untuk menampung  pengungsi Rohingya semata-mata karena alasan kemanusiaan meskipun belum meratifikasi  Konvensi Jenewa Tahun 1951 dan Protokol Tambahan Tahun 1967 tentang Status Pengungsi. Hal  ini disandarkan pada prinsip non-refoulement yang terklasifikasi sebagai jus cogens atau norma 

tertinggi yang menjelma dalam customary international law sehingga walaupun negara tersebut  tidak meratifikasi suatu konvensi ia tetap terikat karena sifat universalnya. Pasal 33 Konvensi  Jenewa Tahun 1951 tentang Status Pengungsi mewajibkan kepada negara untuk bertanggung  jawab atas proteksi pengungsi dan pencari suaka untuk tidak menolak atau memulangkan kembali  ke negara asalnya. Hal demikian dilatarbelakangi oleh kekhawatiran terhadap pengungsi dan 

pencari suaka dalam memeroleh jaminan atas keselamatan dan pemenuhan hak-haknya di negara  asal. 

Dasar argumentasi lainnya ialah berpijak pada International Covenant on Civil and Political  Rights (ICCPR) yang telah diratifikasi oleh Indonesia di dalam Undang-Undang Nomor 12 Tahun  2005 tentang Pengesahan International Covenant on Civil and Political Rights (Kovenan  Internasional Tentang Hak-Hak Sipil dan Politik). Pasal 2 ayat (1) ICCPR mengamanatkan kepada  setiap negara pihak untuk menjamin dan menghormati hak-hak setiap individu yang berada di  dalam wilayahnya tanpa terkecuali. Hal senada juga dapat ditemukan dalam Pasal 3 ayat (3) Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia (UU HAM) yang  menyebutkan bahwa perlindungan HAM dan kebebasan dasar manusia adalah hak setiap orang.

Frasa ‘setiap orang’ diinterpretasikan berlaku umum kepada seluruh individu yang berada di dalam  teritorial Indonesia, walaupun orang tersebut bukan berkewarganegaraan Indonesia. 

Keadaan dilematis ini menuntut Pemerintah Republik Indonesia untuk segera mengambil langkah langkah yang tepat dan tegas dalam menyelesaikan persoalan migrasi pengungsi tersebut. Apabila  persoalan ini tidak ditangani secara tepat, maka akan menimbulkan domino effect yang berimbas  pada ketentraman dan ketertiban umum dalam masyarakat. Sebagai contoh, munculnya  primordialisme dan etnosentrisme dapat meningkatkan risiko konflik horizontal antara masyarakat  setempat dengan kelompok pengungsi. Dengan demikian, Soerjono Soekanto mengemukakan keadaan tentram yang dimaksud ialah ketika seseorang tidak merasa khawatir, tidak merasa terancam, dan tidak mengalami konflik batiniah.

Hemat penulis, political will Pemerintah Republik Indonesia sangat diharapkan dalam menjamin pemenuhan hak-hak pengungsi Rohingya. Kilas balik pada tahun 1975 hingga 1996, Indonesia  telah berhasil menangani fenomena Boat People Vietnam sebagai imbas dari Perang Vietnam.  Setidaknya tercatat terdapat 50.000 jiwa dari jumlah keseluruhan pengungsi yang terpusat di Pulau  Galang.13 Kondisi ini menunjukan tidak meratifikasi Konvensi Jenewa 1951 beserta Protokol  Tambahan 1967 tentang Status Pengungsi bukanlah alasan substansial untuk menolak pemenuhan  hak pengungsi. Akan tetapi, yang perlu dikritisi ialah bagaimana pemerintah dengan instrumen hukumnya mampu untuk menciptakan integrasi sosial antara masyarakat setempat dengan  pengungsi Rohingya. Oleh sebab itu, hukum tidak dapat dipandang sebagai social control belaka melainkan harus dilihat sebagai a tool of social engineering. Menurut penulis, selayaknya pemerintah tidak terpaku pada pendekatan konvensional yang cenderung positivis dan prosedural,  akan tetapi harus dielaborasi dengan rekonsiliasi berbasis kearifan lokal. Selain itu, penting pula  bagi pemerintah untuk bekerja sama dengan negara-negara lain dan organisasi internasional baik yang bersifat multilateral maupun regional untuk mewujudkan kesepakatan terhadap pemenuhan  jaminan hak-hak pengungsi. 

DAFTAR PUSTAKA 

Buku 

Sefriani. (2022). Hukum Internasional: Suatu Pengantar. Rajawali Pers. 

Shalihah, F., & Nur, M. (2021). Penanganan Pengungsi di Indonesia. UAD PRESS. 

Soekanto, S. (2009). Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Penegakan Hukum. Raja Grafiondo  Persada. 

Winarwati, I. (2016). Hukum Internasional. Setara Press. 

Artikel Jurnal 

Fitir, I, R, M., Yepese, J, I, B., & Arofah, M, G. (2024). Prinsip Non-Refoulement Penanganan Pengungsi  dan Relevansinya dalam Perspektif Kebijakan Selektif Keimigrasian. Jurnal Ilmiah Universitas  Batanghari Jambi 24 (1), 143-149. 

Ramon, A, A, V. (2019). For Humanity: Indonesia’s Experience in Handling International Refugee. terAs  Law Review: Jurnal Hukum Humaniter dan HAM 1 (1), 28-53. 

Sihombing, H, Y. (2019). Kebijakan Indonesia dalam Perlindungan Pencari Suaka dan Pengungsi Pasca  Kebijakan Turn Back the Boat Pemerintahan Tony Abbott, Journal of International Relations 5  (4), 599-608. https://doi.org/10.14710/jirud.v5i4.24823. 

Tarigan, B. Y. A., & Syahrin, M, A. 2021. Conditions, Problems, And Solutions of Associates and  International Refugees in Indonesia in The Perspective of National Law and International Law.  Journal of Law and Border Protection 3 (1). 

Website Internet 

BBC News Indonesia. (2024). ‘Rohingya di Sidoarjo’, ‘Rohingya minta tanah’, ‘Menlu Retno usir  Rohingya’ – Bagaimana narasi kebencian dan hoaks bekerja menyudutkan etnis Rohingya?. https://www.bbc.com/indonesia/articles/c03y7n3k12lo. 

Dewan Perwakilan Daerah Republik Indonesia. (2023). Mahasiswa Usir Pengungsi Rohingya di Aceh;  Senator Asal Yogyakarta: Siapa yang Memfasilitasi?. https://www.dpd.go.id/daftar-

berita/mahasiswa-usir-pengungsi-rohingya-di-aceh-senator-asal-yogyakarta-siapa-yang memfasilitasi. 

Humas FHUI. (2022). Urgensi Penanganan Pengungsi dan Pencari Suaka di Indonesia Oleh Heru Susetyo,  S.H, L.L.M, M.Si, Ph.D. https://law.ui.ac.id/urgensi-penanganan-pengungsi-dan-pencari-suaka-di indonesia-oleh-heru-susetyo-s-h-l-l-m-m-si-ph-d/. 

The UN Refugee Agency. (2025). Refugee Data Finder. https://www.unhcr.org/refugee-statistics. Peraturan Perundang-Undangan 

International Covenant on Civil and Political Rights. 

Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia.

Oleh: Rafli Ilham Bimantoro – 22410417

Mahasiswa Program Studi Hukum Program Sarjana Reguler

Fakultas Hukum Universitas Islam Indonesia

 

Honorer adalah salah satu contoh tenaga non-Aparatur Sipil Negara (ASN). Tenaga honorer adalah seseorang yang diangkat oleh pejabat pembina kepegawaian dalam instansi pemerintah untuk melaksanakan tugas tertentu.[1] Di dalam Pasal 66 Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2023 tentang Apartur Sipil Negara (UU ASN) mengatur mengenai penataan non-ASN dalam hal ini ialah tenaga honorer menjadi Pegawai Pemerintah dengan Perjanjian Kerja (PPPK). Terdapat dua poin mengenai Pasal tersebut. Pertama, tenaga honorer wajib dilakukan penataan paling lambat Desember 2024.[2] Dapat diartikan pada Januari 2025 tenaga honorer ditiadakan dan dilakukan penataan. Kedua, instansi pemerintah dilarang mengangkat tenaga honorer. Adapun salah satu alasan pemerintah melakukan penataan adalah tidak jelasnya sistem rekrutmen tenaga honorer.[3] Honorer akan dilakukan penataan dengan tahap verifikasi, validasi, dan pengangkatan oleh lembaga yang berwenang.[4]

PPPK ialah warga negara Indonesia yang memenuhi syarat dan diangkat berdasarkan perjanjian kerja untuk jangka waktu tertentu yaitu penuh waktu dan paruh waktu. PPPK penuh waktu ialah pelamar yang telah dinyatakan lolos seleksi PPPK. Sementara PPPK paruh waktu ialah pelamar yang telah dipertimbangkan dan mengikuti seluruh tahapan seleksi PPPK namun tidak dapat mengisi lowongan kebutuhan. PPPK paruh waktu dapat dibagi menjadi dua kategori, di antaranya kategori R2 dan R3. Kategori R2 merujuk pada tenaga honorer yang tidak mendapatkan formasi penuh waktu dalam seleksi PPPK tahap satu. Sementara R3 Merupakan pelamar non-ASN yang tercatat dalam database Badan Kepegawaian Negara akan tetapi tidak menjadi prioritas utama untuk penempatan formasi.[5] Penataan tersebut merupakan langkah strategis membangun sumber daya manusia ASN yang lebih professional dan sejahtera serta memperjelas aturan dalam rekrutmen.[6]

Namun pada kenyataannya penataan terhadap tenaga honorer masih belum berjalan efektif. Hal ini mengakibatkan ribuan tenaga honorer R2 dan R3 yang belum mendapatkan formasi PPPK menggelar demonstrasi di depan gedung Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia. Setidaknya ada tiga tuntutan diantaranya, pertama, segera disahkannya Rancangan Peraturan pemerintah Manajemen ASN untuk tenaga honorer R2 dan R3 sebagai PPPK penuh waktu. Kedua menolak rekrutmen CPNS Tahun 2023 sebelum proses pengangkatan honorer R2 dan R3 tuntas. Ketiga  pemerintah diharapkan mengoptimalkan anggaran dan formasi untuk pengangkatan tenaga honorer menjadi ASN PPPK penuh waktu di daerah.[7]

Setelah tahun 2024 seluruh tenaga honorer yang sudah ada sebelum UU ASN diundangkan, apabila tidak memenuhi verifikasi dan validasi dalam proses penataannya akan dilakukan pembersihan (cleansing). Kenyataannya, tidak semua tenaga honorer tidak dapat memenuhi verifikasi dikarenakan ketidakmampuan di lingkungan pekerjaannya, tetapi lebih ke soal teknis administrasi yang belum bisa dipenuhi karena mekanisme subjektif dari penyelenggara. Salah satu contohnya adalah Dhisky, S.S., M.Pd., M.Si merupakan pemohon yang mengajukan gugatan Mahkamah Konstitusi. ia tidak dapat mendaftar PPPK guru karena data dapodik belum diverifikasi di dalam akun Sistem Seleksi Calon Aparatur Sipil Negara karena riwayat pendidikan dan pekerjaan yang belum diisi lengkap oleh operator sekolah sehingga ijazah tidak terverifikasi dan validasi di dapodik.[8]

Dari Berbagai polemik yang rumit tersebut penulis memiliki pandangan akan lebih efektif apabila honorer tunduk pada hukum ketenagakerjaan selayaknya pekerja yang mengikatkan diri kepada pemberi kerja dengan menggunakan perjanjian kerja. Pekerja merupakan setiap orang yang bekerja dengan menerima upah atau imbalan dalam bentuk lain.[9] Dengan diangkatnya tenaga honorer menjadi pekerja maka mereka menjadi terikat dan menjadi tanggungjawab pemberi kerja dengan adanya kontrak kerja.[10] Dapat disimpulkan bahwa polemik ini ditimbulkan akibat honorer yang ingin mendapatkan kepastian mengenai hak untuk bekerja. Maka dari itu alangkah lebih efektif untuk menjamin kesejahteraan warga negara yang timbul dari akibat ketidakpastian pengangkatan menjadi PPPK apabila tenaga honorer dijadikan sebagai pekerja. Pekerja berada dibawah pengampuan pemberi kerja sehingga pekerja menjadi tanggung jawab pemberi kerja. Hal ini berdasarkan argumentasi penulis lebih menguntungkan dan dalam proses pertanggungjawaban lebih sedernahana daripada menjadi tenaga honorer karena ketika sudah menjadi pekerja, mereka mendapatkan perlindungan secara langsung dari  pemberi kerja.

 

 

DAFTAR PUSTAKA

 Peraturan perundang-undangan

Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2023 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2022 tentang Cipta Kerja.

Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2023 tentang Aparatur Sipil Negara.

 

Website

Antara. (2025, Februari 3). Padati DPR RI, Ribuan Honorer Tuntut Status PPPK Penuh Waktu. Retrieved from antaranews.com: https://www.antaranews.com/berita/4622686/padati-dpr-ri-ribuan-tenaga-honorer-tuntut-status-pppk-penuh-waktu.

Kurniawan, R. F. (2022, Juni 5). Alasan Tenaga Honorer Dihapus: Pengupahan Tidak Jelas dan Kerap Dibawah UMR. Retrieved from Kompas.com: https://www.kompas.com/tren/read/2022/06/05/06310965/alasan-tenaga-honorer-dihapus–pengupahan-tidak-jelas-dan-kerap-di-bawah?page=all#:~:text=Honorer%20pada%202023%3F-,Pengupahan%20tidak%20jelas%20dan%20kerap%20di%20bawah%20UMR,upah%20minimum%20regional%20(UMR).

Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia. (2024, Maret 14). Pemerintah: Aturan Perjanjian Kerja dan Alih Daya dalam UU Cipta Kerja Lindungi Buruh. Retrieved from mkri.id: https://www.mkri.id/index.php?id=20123&menu=2&page=web.Berita&utm_source=chatgpt.com.

Nurliasa. (2025, Januari 14). Honorer R2 dan R3 Resmi Jadi PPPK Paruh Waktu, Ini Regulasi Lengkapnya. Retrieved from JabarEkspres.com: https://jabarekspres.com/berita/2025/01/14/honorer-r2-dan-r3-resmi-jadi-pppk-paruh-waktu-ini-regulasi-lengkapnya/.

Tim Detik Jatim. (2024, Agustus 26). Apakah Tenaga Honorer Akan Otomatis Diangkat Menjadi ASN? Ini Penjelasannya. Retrieved from detik.com: https://www.detik.com/edu/detikpedia/d-7509739/apakah-tenaga-honorer-akan-otomatis-diangkat-jadi-asn-ini-penjelasannya.

Wahyuni, W. (2022, Juni 10). Aturan Penghapusan Tenaga Honorer Beserta Alasannya. Retrieved from Hukumonline.com: https://www.hukumonline.com/berita/a/aturan-penghapusan-tenaga-honorer-beserta-alasannya-lt62a30ea7dd4bd/.

Putusan

Putusan Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia Nomor 119/PUU-XXII/2024.

[1] Hukumonline.com, ”Aturan Penghapusan Tenaga Honorer Besrta Alasannya Oleh Willis Wahyuni.”, https://www.hukumonline.com/berita/a/aturan-penghapusan-tenaga-honorer-beserta-alasannya-lt62a30ea7dd4bd/, diakses tanggal 14 Maret 2025.

[2] Pasal 66, Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2023 tentang Aparatur Sipil Negara.

[3] Kompas.com, “Alasan Tenaga Honorer Dihapus: Pengupahan Tidak Jelas dan Kerap Dibawah UMR Oleh Rendika Ferri Kurniawan.”, https://www.kompas.com/tren/read/2022/06/05/06310965/alasan-tenaga-honorer-dihapus–pengupahan-tidak-jelas-dan-kerap-di-bawah?page=all#:~:text=Honorer%20pada%202023%3F-,Pengupahan%20tidak%20jelas%20dan%20kerap%20di%20bawah%20UMR,upah%20minimum%20regional%20(UMR), diakses tanggal 14 Maret 2025.

[4] Lihat Pasal 66.

[5] JabarEkspres.com, “Honorer R2 dan R3 Resmi Jadi PPPK Paruh Waktu, Ini Regulasi Lengkapnya Oleh Nurliasa.”, https://jabarekspres.com/berita/2025/01/14/honorer-r2-dan-r3-resmi-jadi-pppk-paruh-waktu-ini-regulasi-lengkapnya/, diakses tanggal 15 Maret 2025.

[6] Ibid.

[7] Antaranews.com, “Padati DPR RI, ribuan tenaga honorer tuntut status PPPK penuh waktu oleh Antara.” https://www.antaranews.com/berita/4622686/padati-dpr-ri-ribuan-tenaga-honorer-tuntut-status-pppk-penuh-waktu, diakses tanggal 15 Maret 2025.

[8] Putusan Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia Nomor 119/PUU-XXII/2024.

[9] Pasal 1 angka 16, Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2023 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2022 tentang Cipta Kerja.

[10] Mkri.id, “Pemerintah: Aturan Perjanjian Kerja dan Alih Daya Dalam UU Cipta Kerja Lindungi Buruh Oleh Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia.” https://www.mkri.id/index.php?id=20123&menu=2&page=web.Berita&utm_source=chatgpt.com, diakses tanggal 13 Maret 2025.

Oleh: M. Mustofah Bisri – 24410277

Mahasiswa Program Studi Hukum Program Sarjana (International Program) Fakultas Hukum Universitas Islam Indonesia

Kasus Harvey Moeis telah menjadi sorotan publik Indonesia dalam beberapa bulan terakhir. Pengusaha yang dikenal sebagai suami dari selebriti Sandra Dewi ini terlibat dalam kasus korupsi pengelolaan tata niaga komoditas timah yang merugikan negara hingga Rp 300 triliun. Perjalanan hukumnya mengalami dinamika yang menarik perhatian, terutama setelah vonis awal yang dianggap ringan dan kemudian diperberat secara signifikan. 

 Kasus Harvey Moeis, yang melibatkan kerugian negara sebesar Rp 300 triliun, menjadi sorotan utama dalam konteks hukum di Indonesia. Dalam putusan yang dijatuhkan oleh Pengadilan Tindak Pidana Korupsi Jakarta, Harvey dihukum penjara selama 6 tahun 6 bulan berdasarkan Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 yang telah diperbaharui dengan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. Pasal-pasal yang diterapkan dalam kasus ini, khususnya Pasal 2 ayat (1) dan Pasal 12B, menekankan pada tindakan memperkaya diri sendiri dan penerimaan suap yang merugikan keuangan negara. Meskipun jumlah kerugian sangat besar, keputusan hukuman yang dijatuhkan dianggap tidak sebanding oleh banyak pihak, menimbulkan pertanyaan tentang keadilan dan ketegasan hukum di Indonesia.

Pada Desember 2024, Pengadilan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) Jakarta Pusat menjatuhkan hukuman 6 tahun 6 bulan penjara kepada Harvey Moeis. Vonis ini jauh lebih rendah dibandingkan tuntutan jaksa yang menginginkan hukuman 12 tahun penjara. Selain hukuman penjara, Harvey juga diwajibkan membayar denda sebesar Rp 1 miliar dan uang pengganti senilai Rp 210 miliar. Putusan ini memicu reaksi keras dari masyarakat. Banyak yang menilai hukuman tersebut tidak sebanding dengan besarnya kerugian negara yang ditimbulkan. Media sosial dipenuhi oleh kritik dan kekecewaan terhadap sistem peradilan yang dianggap tidak adil. Tagar #KeadilanUntukIndonesia sempat menjadi trending topic, menunjukkan besarnya perhatian publik terhadap kasus ini.

Menanggapi reaksi publik dan atas dasar rasa keadilan, jaksa penuntut umum mengajukan banding. Pada Februari 2025, Pengadilan Tinggi DKI Jakarta mengabulkan permohonan tersebut dan memperberat hukuman Harvey Moeis menjadi 20 tahun penjara. Selain itu, denda yang harus dibayar tetap sebesar Rp 1 miliar, namun uang pengganti yang harus disetor meningkat menjadi Rp 420 miliar. Jika tidak dibayar dalam waktu satu bulan setelah putusan berkekuatan hukum tetap, maka akan diganti dengan pidana penjara selama 10 tahun. Perubahan signifikan dalam putusan ini menimbulkan berbagai spekulasi di kalangan netizen. Banyak yang berpendapat bahwa tekanan publik dan viralnya kasus ini di media sosial berperan besar dalam peningkatan hukuman. Pandangan ini menimbulkan pertanyaan mendasar: apakah keadilan hanya akan ditegakkan jika suatu kasus menjadi viral?

Fenomena ini bukan pertama kalinya terjadi di Indonesia. Beberapa kasus sebelumnya menunjukkan pola serupa, di mana perhatian publik yang masif memengaruhi proses hukum. Hal ini menimbulkan kekhawatiran tentang independensi lembaga peradilan dan potensi trial by public opinion. Di sisi lain, ada juga pandangan bahwa keterlibatan publik melalui media sosial dapat menjadi alat kontrol sosial yang efektif untuk memastikan transparansi dan akuntabilitas dalam proses hukum. Namun, penting untuk dicatat bahwa dalam sistem hukum yang ideal, putusan pengadilan harus didasarkan pada fakta dan bukti yang ada, bukan pada tekanan publik. Jika pengadilan mulai terpengaruh oleh opini publik, maka prinsip independensi peradilan bisa terancam. Oleh karena itu, meskipun partisipasi publik penting dalam mengawasi jalannya proses hukum, perlu ada batasan agar tidak mengintervensi independensi peradilan.

Dalam kasus Harvey Moeis, meskipun ada anggapan bahwa viralnya kasus ini memengaruhi putusan banding, tidak ada bukti konkret yang menunjukkan bahwa hakim terpengaruh oleh opini publik. Majelis hakim Pengadilan Tinggi DKI Jakarta dalam pertimbangannya menyatakan bahwa peningkatan hukuman didasarkan pada besarnya kerugian negara dan dampak luas yang ditimbulkan oleh tindakan korupsi tersebut. Kasus ini juga menyoroti peran media dalam membentuk opini publik. Media massa dan media sosial memiliki kekuatan besar dalam mengangkat suatu isu dan mempengaruhi persepsi masyarakat. Namun, dengan kekuatan tersebut datang tanggung jawab untuk menyajikan informasi yang akurat dan tidak memprovokasi. Penyebaran informasi yang tidak tepat atau berlebihan dapat memicu trial by media, di mana seseorang sudah dianggap bersalah atau tidak bersalah oleh publik sebelum ada putusan resmi dari pengadilan.

Di sisi lain, viralnya suatu kasus juga dapat membawa dampak positif, seperti mendorong penegak hukum untuk bekerja lebih transparan dan akuntabel. Dalam konteks ini, peran masyarakat sebagai pengawas jalannya proses hukum menjadi sangat penting. Namun, perlu diingat bahwa keterlibatan publik harus dilakukan dengan bijak dan tidak melanggar asas praduga tak bersalah. Kasus Harvey Moeis menjadi refleksi bagi sistem peradilan Indonesia tentang pentingnya menjaga keseimbangan antara independensi peradilan dan keterlibatan publik. Transparansi dalam proses hukum harus ditingkatkan agar masyarakat mendapatkan informasi yang jelas dan akurat. Dengan demikian, kepercayaan publik terhadap sistem peradilan dapat terjaga tanpa harus mengorbankan prinsip-prinsip dasar hukum.

Pada akhirnya, kasus Harvey Moeis mengajarkan kita bahwa keadilan tidak boleh bergantung pada seberapa viral suatu kasus. Setiap individu berhak mendapatkan proses hukum yang adil dan transparan, terlepas dari besarnya perhatian publik. Sebaliknya, masyarakat juga memiliki peran penting dalam mengawasi jalannya proses hukum, namun harus dilakukan dengan cara yang bijak dan tidak mengintervensi independensi peradilan.

 

DAFTAR PUSTAKA

  • Buku

Evi Hartanti. Tindak Pidana Korupsi. Sinar Grafika, 2023.

Feka, Mikhael, Rahmad Masturi, Citranu Citranu, I. Kadek Kartika Yase, Latifah Nur’aini, Dimas Ramadhansyah, Siti Farhani, Ahmad Rifa’i, And Anis Rifai. Buku Ajar Hukum Pidana Korupsi. Pt. Sonpedia Publishing Indonesia, 2024.

  • Jurnal/Artikel

Handayani, Putri Happy. “Rekontruksi Politik Hukum Pidana Eksaminasi Penjatuhan Hukuman Dalam Kasus Harvey Moeis.” Jurnal Hukum Dan Kebijakan Publik 7, No. 1 (January 31, 2025). Accessed March 13, 2025. Https://Journalpedia.Com/1/Index.Php/Jhkp/Article/View/4406.

Sari, Dian Permata, Laila Fatia Maharani, Mila Agustin, And Nourel Islamay Diandra. “Analisis Hubungan Antara Kasus Korupsi Harvey Moeis Dan Setya Novanto Serta Kaitannya Dengan Hukum Tata Negara Dan Undang-Undang Nri 1945.” Eksekusi : Jurnal Ilmu Hukum Dan Administrasi Negara 3, No. 1 (2025): 112–122.

Subagja, Rakha Elwansyah Giri, Zahra Febriani Nugraha, Muhammad Alwan Ramadhana, And Asmak Ul Hosnah. “Tindak Pidana Di Luar Kuhp Mengenai Pencucian Uang Berdasarkan Kasus Korupsi Timah Rp 271 T.” Jurnal Studi Multidisipliner 8, No. 6 (June 30, 2024). Accessed March 13, 2025. Https://Oaj.Jurnalhst.Com/Index.Php/Jsm/Article/View/2018.

Oleh: Barlian Najma Elhanuna – 24410720

Mahasiswa Program Studi Hukum Program Sarjana Reguler Fakultas Hukum Universitas Islam Indonesia

 

Lagu “Bayar Bayar Bayar” dari Grup Band Sukatani asal Purbalingga Jawa Tengah menarik perhatian publik tidak hanya karena melodinya, tetapi juga karena liriknya, seperti “mau korupsi, bayar polisi” yang dianggap mencerminkan realitas sosial di Indonesia. Dalam lagu ini banyak mengundang pro dan kontra dari masyarakat karena menyoroti praktik korupsi atau suap yang melibatkan aparat kepolisian. Kritik sosial melalui seni musik semacam ini sebenarnya memiliki peran penting dalam mendorong kesadaran publik tentang masalah sistemik yang perlu diperbaiki. Di balik kontroversi tersebut, lagu ini juga menimbulkan pertanyaan tentang apakah lagu “Bayar Bayar Bayar” termasuk ke dalam kritik sosial atau hate speech (ujaran kebencian)? dan bagaimana implikasi lagu tersebut terhadap kebebasan berekspresi di Indonesia?

Kritik sosial sejatinya berperan sebagai wahana yang merupakan wujud ekspresi dalam masyarakat yang berfungsi sebagai mekanisme kontrol terhadap jalannya sistem sosial. Hal ini sebagai upaya menjaga keteraturan sistem sosial yang mempengaruhi kehidupan masyarakat. Melalui kritik sosial, berbagai perilaku sosial suatu kelompok dan individu yang menyeleweng dari norma atau tatanan moral dapat diidentifikasi dan dicegah agar sistem sosial tetap berjalan sesuai dengan asas keadilan dan kepatutan. Lagu “Bayar Bayar Bayar” merefleksikan hal ini dengan menyoroti praktik korupsi dan suap. Terlepas dari pro dan kontra yang ada, esensinya adalah upaya konstruktif untuk mendesak pembenahan sistem.

Hate speech biasanya merujuk pada ekspresi yang mengandung ujaran kebencian atau stigmatisasi terhadap kelompok atau individu tertentu yang dapat menyebabkan permusuhan. Dilihat dari segi tujuan maupun dampaknya diatas, kritik sosial dan hate speech merupakan dua hal yang berbeda. Kritik sosial sendiri merupakan bagian dari kebebasan berekspresi dan merupakan hak asasi yang dilindungi oleh Undang-Undang Dasar 1945 (UUD 1945) tepatnya dalam Pasal 28E ayat (3) yang berbunyi: “setiap orang berhak atas kebebasan berserikat, berkumpul, dan mengeluarkan pendapat”.  Dalam konteks lagu “Bayar Bayar Bayar”, meskipun liriknya dinilai keras dan menyindir, namun, pihak Band Sukatani telah mengklarifikasi bahwa isi dari lagu tersebut tidak ditujukan untuk menyindir institusi kepolisian secara keseluruhan, melainkan hanya mengkritik oknum-oknum tertentu yang terlibat dalam praktik korupsi atau suap.

Dalam analisa penulis, lirik lagu “Bayar Bayar Bayar” dari Band Sukatani bukan merupakan hate speech. Dengan merujuk pada Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2024 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE) Pasal 28 ayat (2) jo. Pasal 45A ayat (2) tentang ujaran kebencian dan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) Pasal 310-311 tentang pencemaran nama baik. Ada beberapa hal yang dapat menjadi bahan acuan bahwa lagu tersebut tidak mengandung unsur hate speech: Pertama, lirik tidak mengandung kata-kata yang bersifat menyerang, memaki atau merendahkan suatu kelompok atau individu. Kedua, niat dan tujuan di balik lirik lagu dimaksudkan untuk mengkritik atau menyampaikan isu sosial. Ketiga, lirik tidak mengusung kekerasan atau tindakan diskriminatif terhadap suatu kelompok atau individu. Dengan demikian, lagu ini tidak memenuhi unsur-unsur ujaran kebencian dan lebih tepat dikategorikan sebagai kritik sosial daripada hate speech, karena tujuannya adalah menyoroti ketidakadilan yang merujuk pada penyalahgunaan kekuasaan atau wewenang oleh oknum polisi tertentu untuk kepentingan pribadi atau kelompok.

Kebebasan berekspresi memungkinkan Band Sukatani untuk menyampaikan kritik sosial melalui medium musik, menjadikan karya mereka sebagai kritik sosial yang terjadi di masyarakat. Namun, perlu diperhatikan untuk dipahami bahwa kebebasan ini tidak bersifat mutlak. Terdapat batasan-batasan hukum yang mengatur kebebasan berekspresi, seperti dalam UU ITE Pasal 28 ayat (2) jo. Pasal 45A ayat (2) dan KUHP Pasal 310-311. Batasan tersebut pada hakikatnya dimaksudkan untuk melindungi hak dan reputasi pihak lain, tetapi sering kali disalahartikan atau disalahgunakan untuk membungkam suara kritis. Band Sukatani sendiri dikabarkan menghadapi berbagai bentuk tekanan, seperti mendapat intimidasi hingga penghapusan terhadap lagu “Bayar Bayar Bayar”, yang memunculkan perdebatan serius mengenai pembatasan kebebasan berekspresi di Indonesia. Alih-alih menjadi alat untuk menjaga ketertiban, regulasi tersebut justru rentan digunakan sebagai alat represif untuk membatasi ruang ekspresi seniman dan kreator musik. Hal ini menimbulkan kekhawatiran atas masa depan kebebasan ruang berekspresi khususnya bagi karya seni yang bersifat kritik sosial.

Dari pembahasan di atas, maka dapat disimpulkan bahwa lagu “Bayar Bayar Bayar” hendaknya disikapi secara positif bahwa itu adalah bentuk ekspresi Grup Band Sukatani sebagai kritik sosial. Adapun implikasi dari kasus ini terhadap kebebasan berekspresi di Indonesia cukup berpengaruh. Terutama di era digital di mana media sosial menjadi sarana utama menyebarkan suatu gagasan. Seniman sudah semestinya memiliki hak untuk dapat dengan bebas, namun, tidak melewati batas dalam menyampaikan kritik sosial melalui karyanya selama kritik tersebut dapat meningkatkan suatu sistem menuju perubahan yang positif. Selain itu, regulasi yang menjadi payung hukum juga harus ditegakkan agar hak dari pihak kritikus dan target kritik tetap terlindungi. Kasus Grup Band Sukatani mengingatkan kita akan urgensi menjaga keseimbangan antara kebebasan berekspresi dengan regulasi yang menjadi payung hukum. Tanpa ruang untuk berekspresi, masyarakat mungkin kehilangan salah satu alat penting untuk mengadvokasi perubahan dan memastikan akuntabilitas institusi publik.

 

DAFTAR PUSTAKA

Peraturan Perundang-undangan

Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP)

Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2024 tentang Perubahan Kedua atas Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2016 Nomor 251, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5952)

 

Artikel Jurnal

Akbar, Ahmad Zaini. “Kritik Sosial, Pers Dan Politik Indonesia.” Unisia 17, no. 32 (2016): 44–51. https://doi.org/10.20885/unisia.vol17.iss32.art5.

Ilmu, Jurnal, Komunikasi Dan, and Sosial Politik. “Framing Media , Kebebasan Ekspresi , Dan Sistem Politik Pada Pencabutan Lagu Bayar Bayar Bayar” 02, no. 03 (2025): 850–54.

Karo Karo. “Hate Speech: Penyimpangan Terhadap UU ITE, Kebebasan Berpendapat Dan Nilai-Nilai Keadilan Bermartabat.” Jurnal Lemhannas RI 10, no. 4 (2023): 52–65. https://doi.org/10.55960/jlri.v10i4.370.

Susanti, Winda, and Eva Nurmayani. “Kritik Sosial Dan Kemanusiaan Dalam Lirik Lagu Karya Iwan Fals.” Jurnal Pendidikan Bahasa Dan Sastra Indonesia 3, no. 1 (2020): 1–8.

 

Website

Febriari, S. (2025). Lagu “Bayar Bayar Bayar” Viral, Sukatani Band Buat Klarifikasi Permintaan Maaf. Metro TV News. https://www.metrotvnews.com/play/K5nC7DRW-lagu-bayar-bayar-bayar-viral-sukatani-band-buat-klarifikasi-permintaan-maaf

Maharani, D. (2025). Lirik Lagu Bayar Bayar Bayar dari Band Sukatani. Kompas.Com. https://www.kompas.com/hype/read/2025/02/20/162617766/lirik-lagu-bayar-bayar-bayar-dari-band-sukatani

Munawaroh, N. (2024). Pasal-Pasal Ujaran Kebencian dalam Hukum Positif Indonesia. Hukum Online. https://www.hukumonline.com/klinik/a/pasal-pasal-ujaran-kebencian-dalam-hukum-positif-indonesia-lt5b70642384e40/

Oleh: Ahmad Harland Fadhilah – 24410398

Mahasiswa Program Studi Hukum Program Sarjana (Reguler) Fakultas Hukum Universitas Islam Indonesia

Kebebasan berekspresi adalah salah satu hak asasi manusia (HAM) yang telah diakui secara universal. Hak ini memungkinkan setiap orang untuk bersuara, tanpa ada rasa takut akan pembungkaman dari pihak yang dikritik. HAM sendiri merupakan hak paling mendasar yang diberikan oleh Tuhan pada manusia sejak manusia itu diciptakan. Di Indonesia sendiri kebebasan untuk menyuarakan pendapatan ataupun kritikan telah menjadi bagian penting dari panjangnya perjalanan demokrasi pasca-Reformasi tahun 1998. Akan tetapi di bawah rezim yang baru ini, tentunya kebebasan ini mendapat tantangan yang baru pula dan membawa kekhawatiran di kalangan masyarakat.

Sejarah HAM di Indonesia memiliki perjalanan yang panjang. Pada era Orde Baru, kisaran tahun 1970 sampai periode 1980an masalah terkait HAM mengalami kemunduran, karena kebebasan bersuara dibatasi oleh rezim yang ada kala itu dengan menggunakan berbagai instrumen hukum dan bahkan kekuatan militer untuk membungkam krtitik. Pada masa Presiden Habibie, Indonesia mengalami kemajuan yang signifikan dalam hal kebebasan berekspresi dengan adanya TAP MPR No. XVII/MPR/1998 tentang HAM dan disahkannya (diratifikasi) sejumlah konvensi HAM. Di era kepemimpinan Presiden Prabowo, kebebasan berekspresi Kembali menjadi sorotan. Meski Indonesia telah meratifikasi berbagai instrumen HAM, praktik di lapangan menunjukan adanya upaya pembungkaman suara, terutama terhadap kelompok maupun individu yang dianggap terlalu mengkritisi pemerintah. 

Beberapa kasus muncul sebagai bukti pembungkaman kebebasan berekspresi di era Presiden Prabowo Subianto. Mulai dari pelarangan lagu Sukatani yang berjudul Bayar Bayar Bayar, yang dianggap lirik lagunya terlalu mengkritik institusi kepolisian. Meskipun lagu tersebut sebenarnya mencerminkan suara hati banyak masyarakat yang muak dengan ketidakadilan, pihak berwenang justru memilih untuk membungkamnya dengan alasan bahwa liriknya dianggap menyinggung dan tidak pantas. Ada juga kasus lain seperti Pameran Lukisan Yos Suprapto yang Gagal Digelar di gedung Galeri Nasional Indonesia, dengan judul Kebangkitan: Tanah Untuk Kedaulatan Pangan.  Lukisan-lukisan tersebut dianggap terlalu kritis terhadap kebijakan pemerintah, khususnya yang berkaitan dengan isu agraria dan kedaulatan pangan. Alih-alih membungkam, pemerintah seharusnya merespons dengan dialog terbuka dan solusi konstruktif. Pembungkaman hanya akan memperkuat citra otoriter dan merusak kepercayaan publik terhadap pemerintah. 

Secara konstitusional, kebebasan berekspresi dijamin dalam Pasal 28E ayat (3) UUD 1945, yang menyatakan bahwa “setiap orang berhak atas kebebasan berserikat, berkumpul, dan mengeluarkan pendapat”. Secara ideal sudah diatur dalam pasal diatas akan tetapi seringkali realitanya tidak sesuai dengan pasal tersebut. Dari perspektif HAM internasional, pembungkaman suara merupakan pelanggaran terhadap standar global yang diatur dalam Deklarasi Universal HAM pasal 19 yang secara eksplisit menyatakan: “Setiap orang berhak atas kebebasan mempunyai dan mengeluarkan pendapat; dalam hal ini termasuk kebebasan menganut pendapat tanpa mendapat gangguan, dan untuk mencari, menerima dan menyampaikan keterangan-keterangan dan pendapat dengan cara apa pun dan dengan tidak memandang batas-batas”. Dan diatur juga dalam Kovenan Internasional tentang Hak Sipil dan Politika, atau yang biasa dikenal dengan International Covenant on Civil and Political Rights (ICCPR), dalam pasal 19 ayat 2 yang menyatakan bahwa: “Setiap orang berhak atas kebebasan berekspresi; hak ini mencakup kebebasan untuk mencari, menerima, dan menyampaikan informasi dan gagasan apa pun, terlepas dari batasan, baik secara lisan, tertulis, atau tercetak, dalam bentuk seni, atau melalui media lain sesuai pilihannya.” Kebebasan individu untuk bersuara seharusnya tidak boleh dihalangi, yang harus dihalangi ialah kepentingan individu berbasis oligarki.

Pembungkaman kebebasan berekspresi memiliki dampak yang amat serius terhadap demokrasi negara kita. Pilar institusional demokrasi bisa tergerus, seperti kebebasan pers. pers yang bebas adalah penjaga demokrasi (the fourth estate). Ketika kebebasan pers dibatasi, fungsi kontrol terhadap pemerintah melemah, dan ruang untuk investigasi dan pelaporan isu-isu publik menjadi sempit. Dan partisipasi publik, pembungkaman suara menciptakan iklim ketakutan di mana masyarakat takut untuk menyuarakan pendapat mereka. Hal ini mengurangi partisipasi dalam diskusi publik, protes damai, atau bahkan dalam proses pemilihan, yang pada akhirnya melemahkan legitimasi demokrasi.

Mempertahankan kebebasan berekspresi di tengah tekanan politik dan sosial memerlukan langkah-langkah konkret dari berbagai pihak, yang paling utama adalah pemerintah harus menghentikan penggunaan undang-undang yang represif, seperti UU ITE dan pasal-pasal karet dalam KUHP, yang digunakan untuk membungkam suara kritis. Langkah ini penting untuk memastikan bahwa kebebasan berekspresi tidak dikorbankan demi kepentingan politik jangka pendek. Selain itu, lembaga seperti Komnas HAM perlu diberikan kewenangan yang lebih besar dan independensi untuk menangani kasus-kasus pelanggaran HAM secara efektif, termasuk kasus pembungkaman suara. Tanpa dukungan struktural dan politik yang memadai, upaya Komnas HAM akan terus terbentur oleh keterbatasan. Di sisi lain, masyarakat sipil memainkan peran krusial dalam mempertahankan ruang demokrasi. Masyarakat harus terus meningkatkan kesadaran publik tentang pentingnya kebebasan berekspresi melalui kampanye edukasi, diskusi publik, dan advokasi media. Selain itu, komunitas internasional juga dapat memberikan tekanan dan dukungan kepada pemerintah Indonesia untuk mematuhi standar HAM global, baik melalui diplomasi, laporan HAM, maupun kerja sama teknis. Dengan kolaborasi antara pemerintah, masyarakat sipil, dan komunitas internasional, kebebasan berekspresi dapat terus dijaga sebagai pilar penting demokrasi Indonesia.

 

DAFTAR PUSTAKA

Peraturan Perundang-undangan:

Pasal 28E ayat (3) UUD 1945 mengatur tentang kebebasan berserikat, berkumpul, dan mengeluarkan pendapat.

Buku:

Gerung Rocky, Habis Dungu Terbitlah Bajingan Tolol Filsafat untuk Indonesia Selamat, Ctk.1, Komunitas Bambu, Depok, 2024.

Herdiawanto Heri, dkk., Kewarganegaraan dan Masyarakat Madani, Ctk. 1, PRENADAMEDIA GROUP, Jakarta, 2019.

Jurnal:

Julianja Sufiana, “Pembatasan Kebebasan Berkespresi dalam Bermedia Sosial : Evaluasi Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik dalam Perspektif Hak Asasi Manusia”, Padjadjaran Law Review Volume 6, Desember 2018, hlm. 21. (https://jurnal.fh.unpad.ac.id/index.php/plr/article/view/387/271). 

Berita:

Nurmalasari Titik, ”Sederet Kasus Pembungkaman Seni di Awal Pemerintahan Presiden Prabowo Subianto”, 

(https://www.tempo.co/teroka/sederet-kasus-pembungkaman-seni-di-awal-pemerintahan-presiden-prabowo-subianto-1211374).

Web:

KOMNASHAM, “DEKLARASI UNIVERSAL HAK-HAK MANUSIA”, (https://www.komnasham.go.id/files/1475231326-deklarasi-universal-hak-asasi–$R48R63.pdf).

 

Oleh: Raditya Alif Akmal – 22410003

Mahasiswa Program Studi Hukum Program Sarjana Reguler  Fakultas Hukum Universitas Islam Indonesia

Pasal 2 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 jo Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 (UU Tipikor) mendefinisikan korupsi sebagai perbuatan yang merugikan keuangan negara. Indriyanto Seno Adji menyebutkan korupsi sebagai White Collar Crime dengan modus operandi yang dinamis. Kesimpulannya adalah korupsi sebagai penyalahgunaan wewenang untuk kepentingan pribadi atau kelompok yang sulit ditangani dan berdampak besar terhadap kerugian keuangan negara serta kesejahteraan masyarakat. Korupsi masih terus berkembang dengan berbagai modus baru yang tidak hanya melibatkan pejabat negara, tetapi juga aparat hukum dan sektor swasta, menunjukkan bahwa korupsi telah mengakar dalam sistem pemerintahan. Berdasarkan laporan ICW tahun 2023, terdapat 791 kasus dengan 1.695 tersangka, termasuk di sektor BUMN. Korupsi dalam proyek strategis dapat menyebabkan kerugian negara hingga triliunan rupiah, menghambat pertumbuhan ekonomi, dan menurunkan kepercayaan masyarakat terhadap pemerintah.

Bicara tentang korupsi. baru baru ini, PT Pertamina terlibat dalam kasus dugaan korupsi. Kerugian yang dialami oleh negara tidaklah sedikit. Kejaksaan Agung mengungkapkan bahwa kerugian yang dialami mencapai Rp. 193,7 triliun yang mana itu merupakan kerugian negara dalam satu tahun, apabila dihitung dari tahun 2018 hingga 2023 maka kerugian yang dialami Rp. 980 triliun. Kejaksaan Agung telah menetapkan 9 orang tersangka kasus tindak pidana korupsi tata kelola minyak mentah dan produksi kilang di PT Pertamina, Sub Holding, dan Kontraktor Kontrak Kerja Sama (KKKS), yang enam di antaranya merupakan pejabat Sub Holding PT Pertamina, sedangkan tiga diantaranya dari pihak swasta.

Kasus korupsi oleh PT Pertamina ini menimbulkan pertanyaan di khalayak umum. Pertanyaannya adalah hukuman apa yang akan dijatuhkan kepada para tersangka, ditambah lagi banyak media berita yang memberitakan bahwa para tersangka dapat dijatuhi hukuman mati. Masalahnya apakah para tersangka bisa dijatuhi hukuman mati? Jaksa Agung Sanitiar Burhanuddin memang telah membuka kemungkinan tersebut, mengacu pada Pasal 2 Ayat (2) UU Tipikor, yang memungkinkan hukuman mati bagi pelaku korupsi dalam keadaan tertentu. Namun, hingga kini belum ada keputusan final mengenai penjatuhan hukuman mati , dan hal tersebut masih sebatas pertimbangan yang akan ditentukan berdasarkan hasil penyelidikan lebih lanjut​. Apakah langkah ini akan benar-benar diambil, mengingat dalam sejarah hukum Indonesia, hukuman mati bagi koruptor belum pernah diterapkan. 

Sistem hukum di Indonesia, telah mengatur hukuman mati bagi koruptor yang tercantum dalam  Pasal 2 Ayat (2) UU Tipikor. Pasal tersebut menyatakan bahwa hukuman mati itu dapat dikenakan apabila suatu tindak pidana korupsi dilakukakun dalam “keadaan tertentu”. Keadaan tertentu menurut penjelasan undang-undang adalah jika korupsi dilakukan dalam keadaan yang salah satunya ketika negara mengalami bencana alam nasional. Korupsi dalam situasi tersebut dapat menghambat distribusi bantuan, memperlambat pemulihan infrastruktur, serta meningkatkan jumlah korban jiwa akibat keterlambatan respons pemerintah. 

Keppres No. 12 Tahun 2020 secara resmi menetapkan pandemi COVID-19 sebagai bencana nasional,. Kasus Korupsi di Pertamina terjadi dalam kurun waktu 2018 hingga 2023, yang tidak dapat dipungkiri lagi bahwa Indonesia saat itu sedang menghadapi bencana nasional, yaitu pandemi COVID-19. Artinya, segala bentuk tindak pidana korupsi yang terjadi selama kurun waktu ini dapat dikategorikan sebagai kejahatan dalam “keadaan tertentu” yang memungkinkan penerapan hukuman mati. Pada masa pandemi pemerintah berjuang mengalokasikan anggaran untuk pemulihan ekonomi dan kesehatan, namun korupsi pertamina ini justru menambah beban untuk pemerintah. Modus seperti pengadaan minyak mentah sebesar 13-15% secara impor,dan mengesampingkan minyak mentah dalam negeri, serta memanipulasi harga BBM menyebabkan potensi lonjakan harga energi. Sedangkan pada masa pandemi, hidup masyarakat saat itu sedang dalam krisis karena mengalami kesulitan ekonomi, peningkatan pengangguran, dan penurunan daya beli. Mempertimbangkan faktor-faktor di atas, sangat jelas bahwa korupsi di PT Pertamina terjadi dalam kondisi bencana nasional dan berdampak luas terhadap ekonomi negara serta kesejahteraan masyarakat. Oleh karena itu, penerapan hukuman mati bagi para tersangka dalam kasus ini, seharusnya dapat menjadi opsi yang dipertimbangkan secara serius. 

Meski begitu apakah penjatuhan hukuman mati untuk para tersangka benar-benar dapat dilakukan? Apabila kita melihat kasus korupsi yang lain dengan kurun waktu yang sama dengan Korupsi PT Pertamina, seperti korupsi dana bantuan sosial (bansos) COVID-19, di mana pejabat negara melakukan mark-up harga sembako yang seharusnya diberikan kepada rakyat yang terdampak pandemi. Korupsi ini, menyebabkan kerugian negara hingga Rp5,9 triliun dan menghambat penyaluran bantuan bagi masyarakat yang sangat membutuhkannya. Apabila kita mengacu pada keadaan tertentu ketika negara mengalami bencana alam nasional seharusnya kasus tersebut sudah memenuhi kriteria dari keadaan tertentu dan seharusnya terpidana Juliari Peter Batubara dapat dijatuhi hukuman mati. Namun nyatanya sesuai dengan putusan nomor 29 /Pid.Sus-Tpk/2021/PN.Jkt.Pst hakim tidak memutus hukuman mati dan hanya dijatuhi hukuman 12 tahun penjara dan denda Rp500 juta saja.

Pasal 2 Ayat (2) UU Tipikor memang memungkinkan penerapan hukuman mati bagi koruptor dalam keadaan tertentu, namun pada realitasnya penerapan hukuman ini masih menghadapi berbagai kendala. Salah satu hambatan utama adalah interpretasi yang fleksibel terhadap istilah “keadaan tertentu”, yang tidak dijelaskan secara rinci dalam undang-undang. Ketidakjelasan akan batasan untuk menentukan suatu tindak pidana korupsi telah memenuhi “keadaan tertentu” ini menjadi pertanyaan besar bagi penegak hukum di Indonesia, yaitu siapa yang berwenang untuk menentukan kondisi “keadaan tertentu”? Secara hierarki dalam sistem peradilan, hakim memang menduduki posisi tertinggi dalam fungsi yudikatif, karena mereka memiliki kewenangan untuk melakukan interpretasi hukum. Kendati demikian hakim dalam memutus suatu perkara hanya dapat menginterpretasikan hukum dalam suatu perkara secara yuridis saja. Sedangkan unsur “keadaan tertentu” ini, merupakan aspek non yuridis yang bukan kewenangan hakim. Kesimpulannya adalah hukuman yang akan dijatuhkan pada para tersangka kasus korupsi PT Pertamina ini, akan sulit untuk dijatuhi hukuman mati, mengingat kendala yang ada serta melihat pada yurisprudensi sebelumnya.

DAFTAR PUSTAKA

Peraturan Perundang-Undangan

Indonesia. (1999). Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. Lembaran Negara RI Tahun 1999 Nomor 140.

Indonesia. (2001). Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. Lembaran Negara RI Tahun 2001 Nomor 134.

Indonesia. (2020). Keputusan Presiden Nomor 12 Tahun 2020 tentang Penetapan Bencana Non Alam Penyebaran COVID-19 sebagai Bencana Nasional.

Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia. (2010). Putusan No. 46/PUU-VIII/2010.

Pengadilan Negeri Jakarta Pusat. (2021). Putusan No. 29/Pid.Sus-Tpk/2021/PN.Jkt.Pst. Direktori Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesia.

Jurnal

Arianto, H. (2012). Peranan hakim dalam upaya penegakkan hukum di Indonesia. Lex Jurnalica, 9(3), 151-162.

Jupri, J. (2019). Diskriminasi hukum dalam pemberantasan korupsi politik di daerah. Dialogia Iuridica: Jurnal Hukum Bisnis Dan Investasi, 11(1), 114–131. https://doi.org/10.28932/di.v11i1.1997 

Sabila, N. I., Syadida Az Zahro, M. Q., & Putriga, B. R. (2023). Dilematika “keadaan tertentu” dalam penjatuhan sanksi pidana mati terhadap koruptor di Indonesia. Legitimasi: Jurnal Hukum Pidana dan Politik Hukum, 12(2). https://jurnal.ar-raniry.ac.id/index.php/legitimasi

Artikel 

Kompas.com. (2025, Februari 25). Korupsi Pertamina rugikan negara Rp 193,7 triliun, bagaimana awal kasus ini? https://www.kompas.com/tren/read/2025/02/25/144500565/korupsi-pertamina-rugikan-negara-rp-193-7-triliun-bagaimana-awal-kasus-ini 

Kompas.com. (2025, Maret 6). Soal hukuman mati tersangka korupsi Pertamina, Jaksa Agung tunggu hasil. https://nasional.kompas.com/read/2025/03/06/17335791/soal-hukuman-mati-tersangka-korupsi-pertamina-jaksa-agung-tunggu-hasil

Tempo.co. (2024, Februari 5). ICW catat sepanjang 2023 ada 791 kasus korupsi, meningkat signifikan 5 tahun terakhir. https://www.tempo.co/hukum/icw-catat-sepanjang-2023-ada-791-kasus-korupsi-meningkat-singnifikan-5-tahun-terakhir-57431

Oleh: Bagus Putra Handika Pradana23410912
Mahasiswa Program Studi Hukum Program Sarjana Reguler Fakultas Hukum Universitas Islam Indonesia 

Mengutip dari Indonesia Corruption Watch (ICW) pada Juni 2024 bahwa RUU Perampasan Aset sudah disusun sejak tahun 2008 dan baru masuk di Program Legislasi Nasional (Prolegnas) pada tahun 2023. RUU ini sangat krusial karena sebagai formulasi aturan hukum pidana khusus terkait perampasan aset, RUU ini diharapkan bisa membantu pemberantasan korupsi. Konsep perampasan aset diperkirakan mampu untuk memulihkan kerugian negara karena negara menyediakan alternatif untuk menyita dengan paksa keuntungan yang didapatkan dari tindakan korupsi dan pencucian uang. Meninjau prospek positif dari perampasan aset ini, masyarakat sangat mendukung agar DPR segera menjadikan RUU ini prioritas agar cepat disahkan dan   diundangkan karena sampai sekarang masyarakat sudah khawatir banyaknya korupsi yang menjerat para pejabat kerah putih (white collar criminal)

Melihat data dari ICW pada Juni 2023, negara telah mengalami kerugian yang dilakukan oleh pejabat kerah putih terkhusus dalam tindak pidana korupsi, dengan nominal sebanyak Rp 238, 14 triliun. Ditambah dengan adanya korupsi dari PT. Pertamina, PT. Antam, dan BLBI yang telah merugikan negara sebanyak Rp. 1.368,5 triliun. Melihat fakta tersebut pentingnya RUU segera berlaku menjadi hukum positif karena RUU Perampasan aset mempunyai mekanisme yang berbeda dengan peraturan yang lain dalam menyelesaikan kasus korupsi. Kitab Undang-Undang Hukum Pidana, Undang-Undang Tindak Pidana Korupsi, dan Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana akan diharmonisasikan dengan adanya UU Perampasan aset. Walaupun penegak hukum, seperti Jaksa, KPK, dan Polri telah menggunakan tiga peraturan tersebut dalam menangani perkara tipikor tetap saja belum bisa memaksimalkan dalam penyidikan dan pemberian sanksi.

Pasal 6 huruf (f) dan Pasal 13 Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2019 tentang Komisi Pemberantasan Korupsi memberikan kewenangan bagi KPK dalam melakukan tindakan hukum setelah putusan pengadilan yang berkekuatan hukum tetap. Akan tetapi, pada kasus Lukas Enambe yang meninggal dunia selama persidangan kasasi diajukan, ketika belum ada putusan hakim yang berkekuatan hukum tetap maka KPK yang bertanggung jawab atas tindakan hukum perihal korupsi, maka tidak dapat berbuat apapun. Praktik ini memperlihatkan bahwasanya tidak ada kepastian hukum dalam tindakan penyitaan dan meminta mengganti kerugian. Melihat kasus tersebut kita merasa bingung karana kasus itu belum mendapatkan putusan berkekuatan hukum tetap dari hakim karena pelakunya telah meninggal dunia, jelas bahwa KPK tidak mempunyai otoritas dalam melaksanakan perbuatan hukum untuk menyita dan mengganti kerugian yang seharusnya dapat diberlakukan.

Selanjutnya, Jaksa Pasal 18 UU Tipikor menjelaskan bahwa Jaksa dapat mengajukan gugatan perdata untuk mengembalikan kerugian negara yang terjadi karena tindak pidana korupsi. Pengajuan gugatan perdata di pengadilan perdata diharuskan dipisah dengan proses penyelesaian pidana yang sedang berlangsung. Jaksa berwenang untuk menggugat terdakwa atau pihak ketiga yang telah mendapatkan harta hasil korupsi, agar mengganti kerugian yang muncul karena perbuatannya. 

Kemudian, Kepolisian Negara Republik Indonesia (Polri) berperan penting dalam perampasan aset dan selalu dipastikan berhasil dalam upaya pemberantasan tindak pidana korupsi. Polri menjadi garda terdepan ketika mengungkap tindak pidana, mengumpulkan bukti, dan mengamankan aset hasil tindak pidana. Dalam penyelidikan polri dapat bekerja sama dengan KPK dan Kejaksaan ketika ada kasus korupsi yang melibatkan dua negara. Polri berperan ketika ada pelacakan aset yang didapat secara ilegal dan berhak menyita sebagaimana yang diatur pada peraturan perundang-undangan.

Selanjutnya, ada Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK) juga berperan penting dalam menganalisis transaksi keuangan yang kurang valid sebelum pemberian laporan kepada penegak hukum. PPATK berperan untuk mencegah dan memberantas pencucian uang dan membantu lembaga penegak hukum dalam menelusuri aset yang berkaitan dengan tidak pidana. Berdasarkan Pasal 65 UU TPPU, perampasan aset diawali dengan pemberhentian transaksi yang dilakukan oleh penyedia jasa keuangan (PJK). Berdasarkan pengamatan penyidik, pengadilan berhak untuk memutuskan terkait harta kekayaan yang diduga didapatkan dari hasil tindak pidana korupsi, maka aset tersebut berhak dikembalikan kepada negara.

Lembaga yang lain, ada pejabat pegawai negeri sipil (PPNS), jika dilihat dari faktor yuridis semua PPNS sekarang sudah mempunyai dasar hukum yang kuat dalam melakukan penyidikan TPPU yang diduga dari tindak pidana asal, PPNS sekarang dapat menyuruh lembaga yang berwenang untuk memblokir rekening dan mengumpulkan bukti, seperti harta kekayaan yang diduga merupakan hasil dari tindak pidana asalnya. Pasal 71 ayat (1) PPTPPU, bahwa “penyidik, penuntut umum, dan hakim berwenang memerintahkan pihak pelapor untuk melakukan pemblokiran harta kekayaan yang diketahui atau patut diduga merupakan hasil tindak pidana TPPU. 

Maka dari itu, Pembentukan lembaga ad hoc untuk mengatasi potensi permasalahan yang dapat timbul di masa yang akan datang, terutama dalam implementasi Rancangan Undang-Undang (RUU) Perampasan Aset. Dalam RUU ini, terdapat lima lembaga yang berwenang melakukan penyidikan, namun mereka semua tidak mempunyai batasan kewenangan yang jelas. Ketidakjelasan tersebut dapat memicu tumpang tindih kewenangan (overlapping function) serta potensi tarik-menarik atau saling merebutkan kasus. Oleh karena itu, keberadaan lembaga ad hoc diharapkan mampu mengurangi dampak dari overlapping function dan konflik kewenangan dalam implementasi RUU Perampasan Aset apabila dapat disahkan dikemudian hari.

Konsep lembaga ad hoc ini mempunyai dua prinsip utama. Pertama, anggota lembaga ad hoc diambil dari perwakilan masing-masing lima lembaga yang telah mempunyai kewenangan berdasarkan undang-undang yang berbeda. Dengan demikian, setiap lembaga tetap berperan dalam proses penyidikan tanpa kehilangan otoritasnya. Kedua, kepemimpinan dalam lembaga ad hoc akan ditentukan oleh Badan Keuangan Negara (BKN). BKN akan menentukan lembaga yang mempunyai kapasitas terbaik untuk memimpin jalannya penyidikan kasus korupsi tersebut. Dengan adanya lembaga ad hoc ini, diharapkan implementasi RUU Perampasan Aset dapat berjalan lebih efektif, transparan, serta menghindari konflik kewenangan yang dapat menghambat proses penyidikan dan penegakan hukum.

Daftar Pustaka

PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN

Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1999, Tambahan Lembaga Negara Nomor.3874.

Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2010 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang, Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2010, Tambahan Lembaran Negara Nomor. 5164.

Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2019 tentang Perubahan Kedua Atas Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2019, Tambahan Lembaran Negara Nomor. 6409.

JURNAL

Arianto, Andhie Fajar. (2024). Peran Lembaga Penegak Hukum Dalam Proses Perampasan Aset, Jurnal USM Law Review, Vol. 7, No. 3, 1609-1610.

Astaman. (2023). Tindakan Penyelidikan Kepolisian Terhadap Pengembalian Kerugian Keuangan Negara Terkait Dugaan Tindak Pidana Korupsi, Indonesian Journal of Legality of Law, Vol. 6, No. 1.

Afandi. (2018). Profesionalisme Penegak Hukum Terhadap Penetapan Tersangka Setelah Putusan Praperadilan Yang Menyatakan Tidak Sahnya Penetapan Tersangka, Jurnal Bina Mulia Hukum, Vol. 2, No.2.

Daenunu, Annisa. (2023). Analisis Batas Kewenangan Antara Penyidik Kepolisian Republik Indonesia dan BNN Dalam Melakukan Koordinasi Penyidikan Kasus Tindak Pidana Narkotika, Jaksa: Jurnal Kajian Ilmu Hukum dan Politik, Vol.1, No.4.

Lutfi, Khoirur Rizal dan Retno Anggoro Putri. (2020). Optimalisasi Peran Bantuan Hukum Timbal Balik Dalam Pengembalian Aset Hasil Tindak Pidana Korupsi, Undang: Jurnal Hukum,Vol.  3, No.1.

Saputro, Heri Joko dan Tofik Yanuar Chandra. (2021). Urgensi Pemulihan Kerugian Keuangan Negara Melalui Tindakan Pemblokiran Dan Perampasan Aset Sebagai Strategi Penegakan Hukum korupsi, Mizan: Jurnal of Islamic Law, Vol.5, No. 2. 

Tanjung, Zikril Akbar. (2024). Perampasan Aset Pelaku Tindak Pidana Korupsi, National Journal of Law, Vol. 8, No.1.

Oleh: Wahyu Nurindah Kharisma – 22410756

Mahasiswa Program Studi Hukum Program Sarjana Fakultas Hukum Universitas Islam Indonesia

Pendahuluan 

Kemajuan teknologi pada era modern ini menjadi sebuah keberuntungan sekaligus menjadi sebuah kesialan peradaban dunia, pasalnya di era digital ini membuat dunia semakin chaos karena banyak masyarakat/penduduk yang belum menguasai dasar-dasar kebenaran media digital, namun disisi lain bagi masyarakat/penduduk yang bisa menguasai media digital ini juga turut andil dalam membuat kekacauan di dunia karena mereka cenderung memanfaatkan media digital ini untuk hal-hal yang negatif. Hal-hal negatif di sini contohnya  menggunakan media digital untuk penipuan online, perdagangan organ manusia dengan membuat dark web, menghack `situs instansi Pemerintahan/Bank, dan kasus yang paling menonjol dan menjadi darurat bagi Negara kita saat ini adalah maraknya judi online terutama di kalangan pemuda Indonesia. Dilansir dari Kompas.com, menurut Menteri Koordinator Bidang Politik, Hukum, dan Keamanan (Menko Polhukam) Hadi Tjahtanto mengatakan terdapat 2,37 juta Warga Negara Indonesia yang menjadi korban dari judi online. Terdapat 2% pemain dengan total 80.000 penduduk usia di bawah 10 tahun, terdapat 11% pemain dengan total kurang lebih 440.000 penduduk usia 10-20 tahun, kemudian sebanyak 13% pemain dengan total 520.000 penduduk berusia 21-30 tahun, dan persentase tertinggi diduduki oleh pemain dengan rentang usia 30-50 tahun yaitu sejumlah 40% dengan total 1.640.000 penduduk. Dari data kasus judi online di atas disimpulkan oleh Menko Polhukam bahwa 80% pemain tersebut merupakan penduduk kalangan menengah ke bawah.

Fenomena judi online merupakan suatu bentuk permasalahan sosial yang telah ada sejak zaman dahulu. Hal ini selain bertentangan dengan norma sosial dalam masyarakat, perjudian juga memberikan dampak buruk dalam kehidupan pribadi maupun kelompok masyarakat. Hingga sekarang seiring berkembangnya zaman dan banyaknya pengguna alat elektronik berbasis internet, perjudian yang dahulu kala dilakukan secara manual sekarang di ekstrak menjadi Perjudian online. Perjudian Online adalah  permainan yang dilakukan menggunakan uang sebagai taruhan dengan ketentuan permainan serta jumlah taruhan yang ditentukan oleh pelaku perjudian online serta menggunakan media elektronik dengan akses internet sebagai perantara.

Pemerintah dalam fungsinya sebagai pengawasan sosial (social control) telah menetapkan aturan-aturan mengenai perjudian dalam Peraturan Perundang-undangan yaitu di antaranya terdapat dalam Pasal 303 KUHP dan Pasal 303 bis Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP), sedangkan sanksi pidananya diperberat dalam Pasal 2 ayat (1), ayat (2), ayat (3) Undang-undang Nomor 7 Tahun 1974 tentang Penertiban Perjudian. Sedangkan kebijakan Pemerintah pada Perjudian Online diatur dalam Ketentuan Pasal 27 ayat (2) dan Pasal 45 ayat (1) Undang-undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik.

Lantas yang menjadi permasalahan di sini bukanlah Dasar Hukum untuk mengadili perkara judi online tersebut, tetapi bagaimana usaha Pemerintah sekaligus bagaimana peran masyarakat untuk memberantas dan mencegah problematik judi online ini sehingga Indonesia tidak semakin chaos karena permasalahan judi online. Dalam hal ini penulis memutuskan untuk membahas bagaimana Optimalisasi Peran Pemerintah dan Masyarakat dalam Pemberantasan Kasus Judi Online di Era Digitalisasi.

Pembahasan 

Urgensi dilakukannya pemberantasan terhadap maraknya kasus judi online

Pada dasarnya perjudian ataupun judi online atau apapun bentuknya sudah dilarang oleh Pemerintah bahkan sejak dahulu kala. Kemudahan akses internet merupakan penyebab utama semakin maraknya judi melalui situs online saat ini di Indonesia. Judi online merupakan persoalan serius yang membutuhkan perhatian tersendiri atau khusus dari Pemerintah Indonesia. Pasalnya apabila dibiarkan begitu saja hal ini akan menjadikan Negara krisis SDM, karena aktor utama dari judi online ini adalah para pemuda-pemuda Indonesia yang sebenarnya dibebani tanggung jawab untuk memajukan dan mewujudkan cita-cita Bangsa Indonesia. Namun faktanya mereka sekarang hancur dan bahkan bisa dianggap minim semangat untuk memajukan dan mewujudkan cita-cita Bangsa Indonesia hanya karena kecanduan judi online.

Namun perlu diingat meskipun pemberantasan judi online ini dianggap urgensi dan harus segera diberantas oleh negara, tetapi pemberantasan judi online di Indonesia cukuplah berat karena situs atau aplikasi yang terus bermunculan dengan nama yang berbeda meskipun aksesnya telah ditutup oleh KOMINFO. Hal ini menjadikan tantangan tersendiri bagi Pemerintah agar memberikan perhatian khusus terhadap pemberantasan judi online tersebut.

Peran Pemerintah dan masyarakat guna mendukung pelaksanaan pemberantasan kasus judi online 

Menurut Hardiyanto Kenneth dalam tesisnya, yang berjudul “Tindak Pidana Perjudian Online Melalui Media Internet”, terdapat 2 faktor lain yang melatar belakangi perkembangan judi online di Indonesia yaitu upaya preventif yang dilakukan Pemerintah masih minim, hal ini dapat dilihat dari terdapat ribuan situs judi online yang masih beroperasi dimana mereka secara terang-terangan memasang iklan pada mesin pencarian. Dan yang kedua kemudahan akses fasilitas perbankan saat ini disalahgunakan pelaku judi online untuk melakukan transaksi judi online itu sendiri.

Pemerintah Indonesia saat ini berusaha sekuat tenaga melakukan berbagai upaya dalam memberantas judi online. Dilansir dari CNN Indonesia, Menteri Komunikasi dan Informatika (Menkominfo) Budi Arie Setiadi mengatakan bahwa pemberantasan judi online membutuhkan kerja sama dengan Otoritas Jasa Keuangan (OJK) untuk melakukan pemblokiran rekening, dan pelaporan pada pihak berwenang. Presiden Joko Widodo juga memerintahkan untuk membentuk Satuan Tugas (Satgas) untuk memberantas kasus judi online, yang kemudian ditindaklanjuti melalui Keputusan Presiden Nomor 21 tahun 2024. Selama periode 17 Juli 2023 hingga 23 Juli 2024, Direktorat Pengendalian Aplikasi Informatika telah melakukan pemutusan akses terhadap 2.645.081 konten perjudian online. Kementerian Kominfo juga telah mengajukan pemblokiran atas 573 akun e-wallet dan 6.199 rekening bank yang berkaitan dengan judi online kepada Bank Indonesia dan Otoritas Jasa Keuangan. Mengenai penyusupan konten judi online di situs pemerintah dan lembaga pendidikan, Kementerian Kominfo telah menangani 23.616 sisipan halaman judi di situs pemerintah dan 22.205 di situs lembaga pendidikan. Kementerian Kominfo juga telah mengidentifikasi dan menyerahkan 20.595 kata kunci terkait judi online kepada Google dan 3.961 kata kunci kepada Meta untuk ditangani. Upaya ini menunjukkan komitmen pemerintah dalam memberantas judi online dan melindungi masyarakat dari dampak negatif aktivitas ilegal. Pemerintah saat ini mengklaim bahwa upaya-upaya yang telah dilakukan di atas mampu menurunkan akses masyarakat ke situs judi online sebesar 50%.

Selain peran Pemerintah, pemberantasan dalam kasus judi online ini sendiri juga memerlukan peran dari masyarakat. Dimana tanpa adanya peran dari masyarakat semua upaya ataupun peraturan yang dibuat Pemerintah tidak akan pernah terlaksana dengan baik. Sehingga dibutuhkan sebuah kesadaran hukum sekaligus kesadaran sosial yang cukup tinggi dari masyarakat untuk mengetahui bahwa judi online ataupun perjudian sangat merugikan diri sendiri ataupun kelompok dan Bangsa Indonesia. Pasalnya ketika masyarakat melakukan judi online mereka mengeluarkan uang sebagai bentuk depo untuk taruhan, dan apabila mereka kalah dalam taruhan tersebut maka uang tersebut lenyap atau hangus. Di mulai dari uang yang habis tersebut maka akan berdampak pada emosional, perekonomian dan kesehatan mental.

Dengan berbagai penjelasan dari penulis di atas dapat ditarik kesimpulan bahwa pemberantasan judi online memerlukan perhatian khusus dari Pemerintah untuk menghindari chaos Negara karena maraknya kasus judi online akan menyebabkan pemuda Indonesia krisis SDM dan ekonomi. Pemerintah Indonesia saat ini mengklaim penurunan akses judi online sekitar 50% atas dasar upaya dari dilakukannya pembentukan Satgas berdasarkan Keputusan Presiden Nomor 21 Tahun 2024.  Kemudian dalam hal pemberantasan ini diperlukan juga peran dari masyarakat dengan menumbuhkan terhadap diri sendiri mengenai sebuah kesadaran hukum sekaligus kesadaran sosial agar menghindari judi online yang dapat merusak generasi emas Indonesia sekaligus menghancurkan kesehatan mental dan ekonomi masyarakat Indonesia kedepannya.

DAFTAR PUSTAKA 

  • Peraturan Perundang-undangan

Undang-undang Nomor 7 Tahun 1974 tentang Penerbitan Perjudian.

Undang-undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik.

  • Tesis 

Hardiyanto Kenneth. (2013). Tindak Pidana Perjudian Online Melalui Media Internet.     Jakarta: Perpustakaan Sekolah Tinggi Ilmu Kepolisian (STIK). 

  • Jurnal 

Agus Rodani. (2022). Judi Online, Penyakit Sosial Yang Sulit Diberantas. Direktorat Jenderal Kekayaan Negara. 

  1. Suhendra. (2018). Tinjauan tentang Judi Online. E-Journal Universitas Atma Jaya Yogyakarta. 18. 
  • Berita 

Nirmala Maulana Achmad dan Dani Prabowo. (2024). Ada 2,37 Juta Pelakuk Judi Online, 80.000 di Antaranya Berusia di Bawah 10 Tahun [Berita Online Kompas.com].

tersedia di situs : https://nasional.kompas.com/read/2024/06/19/19141101/ada-237-juta-pelaku-judi-online-80000-di-antaranya-berusia-di-bawah-10-tahun

Tim CNN Indonesia. (2024). Judi Online Jerat 2,7 Juta Warga RI, Mayoritas Anak Muda [Berita Online CNN Indonesia].

tersedia di situs : https://www.cnnindonesia.com/teknologi/20240419204045-192-1088301/judi-online-jerat-27-juta-warga-ri-mayoritas-anak-muda

Handoyo. (2024). Pemerintah Klaim Berhasil Turunkan Akses Masyarakat ke Situs Judi Online Sebesar 50% [ Berita Online Kontan.co.id].

tersedia di situs : https://nasional.kontan.co.id/news/pemerintah-klaim-berhasil-turunkan-akses-masyarakat-ke-situs-judi-online-sebesar-50.