Oleh: Rangga Yudha Leonspatra – 24410509

Mahasiswa Program Studi Hukum Program Sarjana Reguler Fakultas Hukum Universitas Islam Indonesia

Kebijakan yang berhubungan dengan kesejahteraan guru merupakan salah satu isu yang sering diperbincangkan di Indonesia. Hal ini disebabkan karena profesi guru dilihat sebagai suatu pekerjaan yang memiliki nilai dan status sosial yang tinggi, serta mampu memenuhi kebutuhan sehari-hari dari segi ekonomi. Namun, pada kenyataannya, kondisi tersebut belum dirasakan oleh para guru honorer (Siahaan & Meilani, 2019). Menurut Peraturan Pemerintah Nomor 48 Tahun 2005 dan Peraturan Pemerintah Nomor 56 Tahun 2012, para guru honorer dikategorikan sebagai bagian dari tenaga honorer. Dalam Pasal 1 peraturan ini, dijelaskan bahwa guru honorer adalah individu yang diangkat oleh Pejabat Pembina Kepegawaian atau pejabat lainnya dalam pemerintahan untuk melaksanakan tugas tertentu dalam instansi pemerintah. Pendapatan atau gaji mereka pun menjadi beban pada anggaran APBN (Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara) atau APBD (Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah) (E-ujian, 2024).

Dalam sebuah platform berita online, diungkapkan bahwa guru honorer belum memiliki hak yang setara dengan Pegawai Negeri Sipil (PNS), baik dari sisi gaji, tunjangan, maupun jaminan sosial. Salah satu perbedaan paling mencolok antara PNS dan honorer adalah soal gaji. Hal ini menciptakan kesenjangan yang nyata dalam besaran gaji yang diterima oleh guru honorer dibandingkan dengan guru yang berstatus PNS. Gaji PNS telah diatur dalam Peraturan Pemerintah Nomor 15 Tahun 2023 yang mengatur tentang Gaji Pokok Pegawai Negeri Sipil, sementara gaji honorer masih belum adanya standarisasi regulasi yang memberikan jaminan kesejahteraan dan gaji yang pasti sehingga cenderung berbeda tiap wilayah, sekolah, dan jenis pekerjaan. Sebagai ilustrasi, gaji PNS golongan I-A pada tahun 2023 berkisar antara Rp1.685.700 hingga Rp2.901.400 per bulan, sedangkan nasib guru honorer tergantung pada daerah tempat mereka mengajar, jumlah jam mengajar, dan alokasi anggaran dari pemerintah. Diketahui bahwa guru honorer di kota besar seperti Jakarta bisa mendapatkan gaji sekitar Rp1,5 juta hingga Rp2 juta per bulan. Di sisi lain, di daerah yang lebih terpencil, seorang guru honorer  hanya menerima Rp500 ribu hingga Rp1 juta per bulan. Ini menggambarkan betapa tidak stabilnya gaji yang diterima oleh guru honorer (Bimbel CPNS 2025, 2025). 

Berdasarkan hasil survei Lembaga Institute For Demographic and Poverty Studies (IDEAS) dan Dompet Dhuafa, sebanyak 74,3% responden guru honorer atau kontrak memiliki penghasilan di bawah Rp2 juta per bulan. Dari kelompok tersebut, 20,5% di antaranya masih digaji di bawah Rp500 ribu per bulan. Muhammad Anwar selaku peneliti IDEAS menilai, upah tidak layak yang didapatkan mayoritas responden atau 74,3% itu sama seperti atau bahkan kurang dari Upah Minimum Kabupaten-Kota (UMK) paling kecil se-Indonesia, yaitu Kabupaten Banjarnegara yang sebesar Rp2,03 juta. Hal ini menunjukkan bahwa di daerah dengan biaya hidup terendah sekalipun para guru terutama guru honorer masih harus berjuang untuk memenuhi kebutuhan hidupnya (Santika, E, 2024). 

Ketidakpastian mengenai masa depan para guru honorer dipengaruhi tidak hanya oleh kondisi ekonomi, tetapi juga oleh sistem hukum yang ambiguitas dan saling bertentangan. Undang-Undang Nomor 14 Tahun 2005 tentang Guru dan Dosen seharusnya menjadi fondasi hukum yang kokoh untuk menjamin kesejahteraan para pendidik. Pasal 14 Ayat (1) huruf a dalam undang-undang ini menyatakan dengan tegas bahwa setiap guru berhak menerima penghasilan lebih dari sekadar kebutuhan hidup minimum serta jaminan sosial. Pasal 1 Ayat 1 menjelaskan tentang “guru” berdasarkan fungsi mereka sebagai pendidik, terlepas dari status pekerjaan mereka. Dalam konteks idealnya, ini berarti bahwa jaminan kesejahteraan seharusnya berlaku untuk semua individu yang menjalankan tugas sebagai guru profesional dan memenuhi kriteria yang ada. Namun, janji ini hanya terpenuhi untuk guru yang berstatus ASN (PNS dan PPPK). Mengambil contoh dari kondisi kesejahteraan guru honorer di kota Semarang, guru yang berstatus PPPK mendapatkan jaminan sosial sesuai dengan ketentuan Pasal 106 Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2014 tentang Aparatur Sipil Negara. Pasal ini menekankan bahwa PPPK berhak atas proteksi yang mencakup jaminan hari tua, jaminan kesehatan, kecelakaan kerja, kematian, dan bantuan hukum. Di sisi lain, guru honorer di Kota Semarang hanya mendapatkan jaminan kesehatan melalui program pemerintah kota Semarang, yaitu Universal Health Coverage (UHC). Untuk jaminan sosial lainnya, seperti jaminan hari tua dan jaminan kecelakaan kerja, guru honorer di Kota Semarang tidak memiliki akses, dan untuk jaminan kematian, mereka hanya menerima kompensasi berupa uang kematian. Selain itu, jaminan perlindungan hukum bagi guru honorer diatur dalam kontrak kerja yang disepakati antara setiap guru honorer dan kepala sekolah, yang berada di bawah pengawasan Dinas Pendidikan Kota Semarang (Safitri, R & Sonhaji, 2022). Hal ini menunjukkan bahwa dengan perannya yang penting dalam membangun sumber daya manusia yang berkualitas, seharusnya guru honorer berhak mendapatkan jaminan kesejahteraan yang menyeluruh, agar terciptanya ekosistem yang seimbang dalam dunia pendidikan. 

Pemerintah perlu berperan aktif dalam memastikan kesejahteraan para guru dengan cara mendistribusikan gaji secara adil dan merata. Gaji untuk seorang guru honorer sangat rendah, sehingga sulit untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari di zaman sekarang, terutama jika tidak memiliki pekerjaan tambahan (Amanah, S, dkk, 2022). Selain itu, pemerintah perlu meningkatkan dan menetapkan standar gaji dengan cara menyusun regulasi yang mengatur gaji minimum untuk guru honorer. Namun, penghasilan guru honorer harus disesuaikan dengan ketentuan Upah Minimum Regional (UMR) atau gaji yang berlaku di lokasi tempat mereka mengajar (Saputra, M, dkk, 2023). Dengan langkah ini, berinvestasi pada martabat, kepastian, dan kesejahteraan guru honorer bukanlah sekadar pengeluaran, tetapi merupakan hal yang sangat penting untuk membangun sistem pendidikan nasional yang berkualitas, adil, dan menyeluruh. Ini merupakan investasi strategis terpenting dalam mencapai tujuan luhur konstitusi untuk mencerdaskan kehidupan bangsa dan menggapai masa depan Indonesia yang lebih cerah.

Oleh: Firdoos Khan – 23410877

Students of the Undergraduate Law Study Program International Program Faculty of Law, Islamic University of Indonesia

The barbaric act of enforced disappearance, in which state agents take people into custody and then deny detaining them, is still being used as a chilling weapon of terror and a powerful violation of international law (United Nations General Assembly, 2006). Recent reports from UN human rights bodies include the review of 689 cases from 41 countries by the Working Group on Enforced or Involuntary Disappearances (WGEID) at its 135th session in January 2025 (Office of the High Commissioner for Human Rights, 2025).. There is an advanced legal structure to combat this crime, but in the real world, it is hindered by political self-interest and a lack of enforcement authority, as well as the yawning chasm that separates legal theory from hard reality for the families of the victims. At its heart, the problem is not a paucity of rules but a catastrophe of will enforce them.

The major legal tool is the Convention on the Protection of All Persons against Enforced Disappearance (CPED). This treaty is strong in theory. It characterizes forced disappearance as a transnational offense; requires states to investigate and charge the perpetrators; and assures the families of the truth (Decaux, 2011). Its most powerful weapon is that of universal jurisdiction, permitting any country to prosecute a perpetrator found on its territory, to deny any refuge to him (United Nations, 2006, Arts. 9 & 13). This is supported by the ICC, under which disappearances may be prosecuted as a crime against humanity (International Criminal Court, 2011). However, this entire system rests on shaky ground, relying on state consent. The CPED is a highly ineffective tool against the very states who use this tactic the most; as of 2025 there are only 77 states party, and major powers such as China, the United States, and Russia are outside its grasp, openly focusing on sovereignty over human rights (United Nations Treaty Collection, 2025). The law, therefore, doesn’t apply to those who have their hand up.

This enforcement gap is brilliantly displayed in the stark contrast between the various international cases. The Inter-American Court’s 2011 Gelman v. Uruguay case shows how the system operates. The court forced Uruguay to look at its past, overturn its amnesty laws and compensate for arrests that took place during their dictatorship, showing that regional pressure works (Inter-American Court of Human Rights, 2011). But this success is the exception not the rule. The case of Syria is the rule. An estimated hundred thousand people disappeared into state prisons after the conflict broke out there (UN Committee on Enforced Disappearances, 2023). The international response has been a spectacular failure. The ICC is paralyzed because the UN Security Council, where Russia and China have veto power, has blocked any referral for investigation. This is not a legal failure but a raw political one, where geopolitical reality explicitly protects mass murderers and torturers from any accountability (Human Rights Watch, 2024). The law is present, but completely negated by power politics is indifferent.

It is not enough to rely on international treaties and courts of justice because the latter depend on a flawed system where the most powerful criminals can walk free. The most practical way is to come up with ways of working around those governments that will not cooperate. Some examples: sanctions go directly against individuals as shown by blocked property of Syrian and Venezuelan officials introduced by the European Union. In this way an immediate personal punishment can be delivered without waiting for global agreement or court action. This is a direct form of economic pressure. Groups of local activists formed by the families of victims, such as FEDEFAM, are equally important. They help give up evidence, publicly hold governments to account and stop victims from being forgotten, doing this basic work that governments often refuse to do. One significant success story is FEDEFAM’s role in Chile, where their continued advocacy and collection of evidence led to the reopening of several cold cases from the Pinochet era, eventually resulting in several convictions. This illustrates the concrete impact that local activism can have, providing a model of citizen leverage that can be emulated elsewhere.

In conclusion, enforced disappearance has been appropriately identified in international law as a heinous crime and given a legal form in the search for justice. But in the worst cases, it doesn’t really stop it. It’s not that the laws are no good, but powerful nations can keep them from being enforced with their veto on the U.N. Security Council and many won’t sign on to the agreements at all. We cannot just wait until the international politics change, because of this. Instead, we need to deploy other tools more aggressively: empowering national courts to prosecute perpetrators found in their countries, employing targeted sanctions to freeze assets and limit travel, and vigorously supporting the grassroots organizations that fight for victims daily. A network of courts, activists, and financial watchdogs could create an accountability network that can apply sustained pressure from multiple angles. Real justice won’t happen solely through a far-off international court; it will be made real by sustained pressure and action where the crimes are taking place.

Oleh: Dhanindra Hanif Trisnanda – 23410395

Mahasiswa Program Studi Hukum Program Sarjana Reguler Fakultas Hukum Universitas Islam Indonesia

Thomas Trikasih Lembong atau yang lebih dikenal dengan nama Tom Lembong adalah mantan Menteri Perdagangan Indonesia dan Kepala BKPM di era pemerintahan Presiden Joko Widodo. Pada tahun 2024, Tom Lembong terjerat namanya dalam kasus korupsi. Tom ditetapkan sebagai tersangka dan ditahan oleh Kejaksaan Agung pada tanggal 29 Oktober 2024 atas dugaan tindak pidana korupsi kegiatan importasi gula (Hukumonline, 2025). Kasus ini langsung mendapat atensi dari masyarakat luas. Banyak yang menilai bahwa Tom Lembong sebenarnya tidak bersalah dan kasus ini merupakan kriminalisasi politik mengingat sebelumnya Tom adalah bagian dari tim pemenangan pasangan Anies Baswedan dan Muhaimin Iskandar (Kompas.com, 2025). Publik juga menilai proses peradilan dari Tom memiliki banyak kejanggalan. Ari Yusuf Amir selaku penasehat hukum Tom mengungkap setidaknya ada 27 kejanggalan yang terjadi dalam proses peradilan ini (Hukumonline, 2025). Salah satu kejanggalan yang paling disorot oleh publik adalah tidak adanya atau tidak dapat dibuktikannya itikad jahat atau mens rea yang dimiliki oleh Tom Lembong.

Kasus korupsi Tom Lembong bermula saat Tom yang saat itu menjabat sebagai Menteri Perdagangan menerbitkan izin impor gula pada bulan Oktober 2015. Tom menerbitkan izin tersebut untuk mengganti gula yang dipinjam dari PT Angels Products yang digunakan untuk operasi pasar. Operasi pasar tersebut diperintahkan langsung oleh Presiden karena menipisnya stok dan kenaikan harga di daerah. Masalah lain muncul ketika Tom mengizinkan impor gula mentah (GKM) kepada PT PPI yang kemudian PT PPI bekerja sama dengan delapan perusahaan rafinasi swasta untuk kemudian mengolah gula kristal mentah tersebut menjadi gula kristal putih (GKM). Pemberian izin-izin tersebutlah yang menyebabkan terseretnya nama Tom Lembong ke dalam kasus ini. Jaksa menilai kebijakan pemberian izin tersebut telah menyebabkan kerugian negara dan telah memperkaya pihak lain. Dalam pandangan jaksa, izin tersebut dikeluarkan pada saat kondisi negara sedang surplus gula merujuk pada rapat koordinasi pada Mei 2015 (Hukumonline, 2025)

Namun dalam faktanya, surplus gula yang disebut pada bulan Mei tersebut hanya bersifat sementara dan hanya cukup untuk tiga bulan. Tom Lembong sebagai Menteri Perdagangan saat itu menerbitkan izin-izin tersebut sebagai bentuk kebijakan untuk mengantisipasi krisis gula yang akan datang. Dengan kata lain, Tom dalam membuat kebijakan impor gula ini hanya menjalan tugasnya sebagai Menteri Perdagangan saat itu (Novel Baswedan, 2025). Tidak ada niat dari diri Tom untuk menguntungkan diri pribadi maupun pihak lain dalam pembuatan kebijakan tersebut. Tim kuasa hukum Tom Lembong, Zaid Mushafi, dalam podcast di kanal YouTube milik Novel baswedan menjelaskan bahwa PT PPI, sebuah badan usaha milik negara, yang memilih delapan perusahaan kilang gula swasta untuk bekerja sama. Tom sama sekali tidak ikut campur dalam pemilihan delapan perusahaan itu dan tidak pernah sekalipun berkomunikasi dengan perusahaan-perusahaan tersebut baik itu secara langsung maupun tidak langsung. Selain itu, tidak pula ditemukan fakta bahwa Tom menerima keuntungan pribadi dari kebijakan yang telah dibuatnya tersebut (Novel Baswedan, 2025). 

Dalam hukum pidana dikenal dua unsur utama tindak pidana, yaitu actus reus dan mens rea (Moeljatno, 2009). Actus reus adalah tindakan atau perbuatan nyata yang melanggar hukum, yang menjadi syarat utama dalam pembuktian tindak pidana selain unsur niat (mens rea). Actus reus tidak cukup untuk menjerat seseorang dalam hukum pidana tanpa adanya mens rea, yaitu sikap batin atau niat jahat. Keduanya harus ada secara bersamaan untuk memenuhi unsur suatu tindak pidana (Hakim, 2020). Mens rea merupakan istilah dari hukum pidana yang berasal dari bahasa Latin yang berarti “pikiran yang bersalah.” Dengan kata lain, mens rea adalah kondisi mental, niat, atau sikap batin seseorang ketika melakukan suatu tindak pidana (Qadlawoffice.com, n.d.). Pembuktian adanya Mens Rea pada pelaku pelanggaran tindak pidana sangat penting dalam proses peradilan (Aris Munandar, n.d.). Mens rea merupakan unsur batiniah (subjektif) dalam suatu tindak pidana, yang membedakannya dari actus reus sebagai unsur lahiriah (objektif). Unsur subjektif inilah yang menentukan apakah suatu perbuatan tergolong dilakukan dengan sengaja, karena kelalaian (culpa), atau tanpa adanya niat jahat sama sekali. Tanpa adanya pembuktian unsur mens rea, sistem hukum berpotensi menjatuhkan hukuman kepada individu yang sebenarnya tidak memiliki niat atau kesadaran untuk melakukan tindak pidana. Ketidakhadiran mens rea dapat menjadi alasan seseorang tidak dapat dimintai pertanggungjawaban pidana karena tidak terdapat unsur kesengajaan atau kesalahan dalam perbuatannya. 

Dalam hukum pidana, terdapat asas geen straf zonder schuld yang artinya tiada pidana tanpa kesalahan (Moeljatno, 2009). Dengan kata lain seseorang tidak mungkin dijatuhi pidana jika dia tidak melakukan tindak pidana. Untuk membuktikan kesalahan itu sendiri, perlu dibuktikan adanya perbuatan melawan hukum (actus reus) yang dibersamai dengan niat jahat (mens rea). Jika demikian, maka menurut asas ini Tom Lembong seharusnya tidak dapat dipidana karena mens rea dari Tom tidak dapat dibuktikan di persidangan, mengingat tidak ada keuntungan pribadi yang diambil oleh Tom dalam membuat kebijakan impor gula ini dan Tom juga tidak berniat untuk menguntungkan pihak lain. Tom murni hanya menjalankan tugasnya sebagai Menteri Perdagangan saat itu dalam membuat kebijakan impor gula tersebut. Dengan demikian, jika unsur kesalahan tidak dapat dibuktikan di pengadilan, terutama dalam bentuk niat jahat atau kepentingan pribadi, maka pemidanaan terhadap Tom Lembong akan bertentangan dengan asas geen straf zonder schuld.

Dalam putusannya, majelis hakim telah memutuskan bahwa Tom terbukti bersalah dan menjatuhkan pidana penjara 4,5 tahun dan denda Rp 750 juta. Namun, dalam pertimbangannya hakim mengakui tidak terdapat bukti langsung mengenai keuntungan pribadi yang diperoleh Tom. Hakim lebih menekankan pada adanya kelalaian dan keputusan yang dianggap merugikan keuangan negara. Jika dianalisis dari sudut pandang dualisme actus reus dan mens rea, perbuatan mengeluarkan izin impor gula dapat dikategorikan sebagai actus reus. Namun, apakah terdapat mens rea? Bukti di persidangan menunjukkan Tom tidak menerima gratifikasi atau keuntungan langsung, sehingga sulit dibuktikan adanya niat jahat. Jika demikian, maka pemidanaan lebih dekat pada penilaian terhadap kebijakan yang salah (policy fault), yang secara teoretis lebih tepat dikualifikasikan sebagai pelanggaran administratif, bukan tindak pidana korupsi.

Oleh sebab itu, penulis berpendapat bahwa Tom Lembong sebenarnya tidak dapat dipidana atas kasus tindak pidana korupsi karena unsur actus reus tidak dibersamai dengan adanya unsur mens rea yang bahkan pada akhirnya unsur mens rea tersebut tidak dapat dibuktikan. Pemidanaan terhadap Tom justru menimbulkan pertanyaan dalam penerapan asas hukum pidana, khususnya asas geen straf zonder schuld. Jika terdapat kesalahan dalam kebijakan, semestinya hal tersebut dikategorikan sebagai pelanggaran administratif, bukan pidana korupsi.

Oleh: Hadiid ’Adn Wana Santosa – 23410810

Mahasiswa Program Studi Hukum Program Sarjana Reguler Fakultas Hukum Universitas Islam Indonesia

Perubahan definisi Badan Usaha Milik Negara (BUMN) dalam UU No. 1 Tahun 2025 dilatarbelakangi oleh kebutuhan untuk menyesuaikan pengelolaan BUMN dengan perkembangan ekonomi dan tata kelola perusahaan yang lebih modern dan efisien. Perubahan ini mencakup pergeseran makna kekayaan BUMN, perluasan kriteria BUMN, serta penyesuaian terhadap pertanggungjawaban direksi BUMN. Pengesahan Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2025 tentang Badan Usaha Milik Negara (UU BUMN) menjadi tonggak penting dalam pembaruan sistem hukum korporasi negara. Di tengah tuntutan globalisasi ekonomi dan persaingan bisnis yang semakin tajam, BUMN dituntut untuk tidak hanya menjalankan fungsi sosial, tetapi juga menjadi aktor bisnis yang kompetitif dan profesional. UU No. 1 Tahun 2025 membawa perubahan paradigma yang signifikan dalam tataran hukum korporasi negara, khususnya dalam pengeloaan risiko dan pertanggungjawaban atas kerugian negara. Sedikitnya ada 11 (sebelas) substansi pokok yang diatur dalam UU No. 1 Tahun 2025 salah satunya Business Judgement Rule (BJR). Pasal 9F dan Pasal 9G UU No. 1 Tahun 2025 mengadopsi doktrin BJR ke dalam UU No. 1 Tahun 2025 yang sebelumnya hanya diatur secara implisit dalam UU No.40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas dan Peraturan Pemerintah No.23 Tahun 2022 tentang Perubahan atas Peraturan Pemerintah No.45 Tahun 2005 tentang Pendirian, Pengurusan, Pengawasan, dan Pembubaran BUMN. Dalam Doktrin BJR direksi tidak dapat dimintakan pertanggungjawaban hukum secara pribadi atas keputusan yang telah diambilnya sekalipun keputusan tersebut menimbulkan kerugian bagi perusahaan selama keputusan tersebut dilakukan dengan itikad baik (good faith). (Wijayati, Berutu, & Sitohang, 2025, pp. 268-269)

Business Judgment Rule adalah prinsip hukum yang berasal dari praktik hukum korporasi di Amerika Serikat. Prinsip ini memberikan perlindungan bagi direksi dari tanggung jawab hukum atas keputusan bisnis yang berakhir buruk, selama keputusan tersebut diambil dengan iktikad baik, kehati-hatian, dan tanpa konflik kepentingan. Menurut Yahya Harahap, BJR bertujuan untuk memastikan bahwa pengadilan tidak mencampuri ranah manajerial korporasi selama tindakan direksi dilakukan sesuai prinsip kehati-hatian dan dalam kerangka tujuan korporasi. (Harahap, 2016) Penerapan BJR memberikan keleluasaan bagi direksi untuk mengambil risiko bisnis dalam batas-batas profesionalitas yang wajar. Konsep Business Judgment Rule merupakan konsep dari sistem hukum Common Law yang diadopsi oleh Indonesia lebih tepatnya dalam UUPT, Pasal 97 ayat 5 UUPT mengatur bahwa anggota direksi terbebas dari tanggung jawab akibat kerugian yang dialami perseroan, hal tersebut tercatut pada klausul Pasal 97 ayat 3 apabila dapat membuktikan: 1) Kerugian timbul bukan karena kesalahan atau kelalaiannya. 2) Telah melakukan pengurusan dengan itikad baik dan kehati-hatian untuk kepentingan dan sesuai dengan maksud dan tujuan Perseroan Terbatas. 3) Tidak mempunyai benturan kepentingan baik langsung maupun tidak langsung atas tindakan pengurus yang mengakibatkan kerugian. 4) Telah mengambil tindakan untuk mencegah timbul atau berlanjutnya kerugian tersebut. (Noer & Handoko, 2023, p. 1400) Dalam menjalankan kepengurusannya, Direksi memiliki BJR. BJR timbul akibat dari telah dilaksanakannya prinsip fiduciary duty dari seorang direksi yaitu prinsip duty of skill and care maka kesalahan yang timbul setelah dijalankannya prinsip ini memperoleh konsekuensi direksi mendapat pembebasan tanggungjawab secara pribadi bila terjadi kesalahan dalam keputusannya. Fiduciary duty di Indonesia dapat dilihat dalam Pasal 1 angka 5 dan Pasal 97 ayat (2) UU No. 40 Tahun 2007 dan Pasal 1 angka 9 UU No. 1 Tahun 2025 yang mengatur bahwa dalam melaksakan tugasnya direksi wajib menjalankannya sesuai dengan kepentingan perseroan, sesuai dengan maksud dan tujuan perseroan, sesuai dengan anggaran dasar disertai itikad baik dan penuh tanggungjawab (yang dimaksud dengan penuh tanggung jawab adalah memperhatikan perseroan dengan saksama dan tekun). (Wijayati, Berutu, & Sitohang, 2025, p. 273) Fiduciary duty ini sangat penting bagi anggota Direksi karena memastikan bahwa mereka selalu bertindak sesuai dengan kepentingan perusahaan. Dengan demikian, mereka dapat menjaga integritas perusahaan, meningkatkan kepercayaan stakeholder, dan melindungi kepentingan semua pihak yang berkepentingan dengan perusahaan. (33, 2024)

Salah satu pasal penting dalam UU No. 1 Tahun 2025 adalah Pasal 9F yang secara eksplisit mengadopsi prinsip Business Judgment Rule (BJR). Dalam pasal tersebut disebutkan bahwa direksi dan dewan komisaris BUMN tidak dapat diminta ganti kerugian atas kerugian investasi sepanjang keputusan bisnis tersebut diambil berdasarkan pertimbangan yang rasional, tanpa kepentingan pribadi, dan dengan iktikad baik untuk kepentingan perusahaan. (Riyandanu, 2025) Hal ini secara normatif memberikan kepastian hukum dan mendorong profesionalisme dalam pengambilan keputusan bisnis di tubuh BUMN.

Keberadaan pasal ini telah mendorong transformasi tata kelola BUMN agar setara dengan praktik korporasi swasta. Pasalnya, selama ini banyak keputusan direksi yang enggan diambil karena khawatir akan berujung pada tuntutan hukum, meskipun keputusan tersebut berlandaskan analisis bisnis yang logis. Dengan perlindungan hukum BJR, direksi lebih leluasa menjalankan aksi korporasi seperti ekspansi, merger, akuisisi, maupun diversifikasi usaha, tanpa ketakutan akan konsekuensi pidana jika hasilnya merugi.

Penerapan prinsip BJR dalam UU No. 1 Tahun 2025 ini memberikan dampak yang signifikan terhadap praktik aksi korporasi di lingkungan BUMN. Keputusan-keputusan penting seperti investasi besar, pembentukan anak usaha, akuisisi, dan restrukturisasi dapat dilakukan dengan lebih progresif. Dalam praktiknya, selama keputusan tersebut didukung oleh kajian yang memadai dan tidak melanggar prinsip GCG (Good Corporate Governance) maka perlindungan BJR berlaku.

Namun, penerapan prinsip ini tetap harus diawasi dengan ketat. Tanpa standar penilaian yang obyektif, prinsip BJR bisa disalahgunakan untuk melindungi keputusan yang tidak bertanggung jawab. BJR kerap disalahgunakan oleh direksi untuk menutupi itikad buruk atau kelalaian berat. Direksi dapat berdalih bahwa kerugian yang timbul hanyalah konsekuensi wajar dari dinamika bisnis, padahal kerugian tersebut sesungguhnya merupakan akibat dari tindakan yang tidak transparan, konflik kepentingan, atau penyalahgunaan wewenang. BJR tidak boleh dijadikan dalih pembenaran atas kerugian yang diakibatkan oleh tindakan direksi yang beritikad buruk. Perlindungan hukum yang diberikan BJR bukanlah perisai absolut, melainkan bersyarat. Direksi harus mampu membuktikan bahwa keputusan diambil dengan niat tulus, informasi memadai, dan tanpa konflik kepentingan. Jika tidak, maka BJR gugur, dan direksi wajib bertanggung jawab secara pribadi. Oleh karena itu, penting adanya peran aktif dari auditor independen, dewan pengawas, dan lembaga peradilan untuk menguji penerapan prinsip BJR secara substantif, bukan hanya formal.

Meskipun prinsip BJR memberikan angin segar dalam pengambilan keputusan bisnis BUMN, terdapat sejumlah tantangan lainnya dalam penerapannya. Dalam prakteknya, sudah banyak Direksi dan pejabat struktural BUMN yang menjadi pesakitan karena tersandung kasus korupsi terkait dengan abainya penerapan Business Judgment Rule. Sayangnya masih banyak dari mereka tersebut tidak bisa membela diri secara maksimal karena tidak bisa membuktikan telah menjalankan Business Judgment Rule BUMN secara baik dan benar, sehingga harus menanggung akibatnya sebagai terpidana, bahkan tidak sedikit yang harus membayar ganti kerugian dan disita asetnya untuk negara. Hal ini juga makin diperparah karena menunjuk advokat yang tidak paham akan Business Judgment Rule BUMN.

Dalam praktik pembelaan di pangadilan, Business Judgment Rule sering kali disalahpahami oleh advokat sebagai ”murni” Business Judgment. Padahal penekanannya adalah ”aturan”-nya bukan kepada keputusan bisnisnya. Padahal, ini adalah standar peninjauan yudisial, hanya memerlukan sedikit peninjauan keputusan bisnis. Kesalahpahaman ini sering dilakukan oleh advokat ketika melakukan pembelaan atas kliennya, baik disengaja maupun tidak. (M. Branson, 2002)

Business Judgment Rule memiliki banyak sisi. Paling umum, Business Judgment Rule bertindak sebagai anggapan yang mendukung tindakan manajer perusahaan. Lebih kuat lagi, aturan tersebut menyediakan Pelabuhan yang aman yang membuat direktur dan tindakan mereka tidak tersingkir jika prasyarat tertentu telah dipenuhi. Dalam litigasi, aturan tersebut adalah sarana untuk melestarikan sumber daya yudisial, sehingga memungkinkan pengadilan untuk tidak terperosok dalam mengulangi Keputusan yang secara inheren subyektif dan tidak sesuai untuk para hakim. Yang terakhir, aturannya adalah implementasi hukum dari kebijakan ekonomi secara luas. (Zulmawan, 2025, p. 77)

Masih terbatasnya pemahaman aparat penegak hukum mengenai prinsip ini berpotensi menimbulkan kriminalisasi atas keputusan bisnis yang sebenarnya rasional. BUMN harus membangun dokumentasi keputusan yang kuat dan transparan, agar dapat membuktikan bahwa keputusan telah diambil secara profesional dan tanpa konflik kepentingan.

Untuk itu diperlukan pelatihan khusus kepada aparat kejaksaan, BPK, KPK, dan lembaga lain agar memiliki perspektif yang sama tentang batas-batas intervensi hukum dalam ranah keputusan bisnis. Selain itu, penting untuk menyusun pedoman teknis pelaksanaan BJR sebagai acuan bagi manajemen BUMN.

Business Judgment Rule dalam UU No. 1 Tahun 2025 tentang BUMN merupakan kemajuan hukum yang penting dalam konteks penguatan tata kelola korporasi negara. Dengan memberikan perlindungan hukum terhadap keputusan bisnis yang rasional dan beritikad baik, prinsip ini mendorong keberanian dan profesionalisme dalam pengambilan keputusan strategis. Namun demikian, implementasi BJR harus didukung oleh sistem pengawasan yang kuat, edukasi hukum yang merata, dan komitmen untuk menjaga integritas proses bisnis. Jika dijalankan dengan benar, BJR akan menjadi instrumen kunci dalam mendorong BUMN sebagai motor penggerak ekonomi nasional yang sehat dan adaptif.

Oleh: Bagus Putra Handika Pradana – 23410912

Mahasiswa Program Studi Hukum Program Sarjana Fakultas Hukum Universitas Islam Indonesia

Dalam buku Theory of Political Trial yang ditulis Ronald Stinson Political trial atau biasa disebut peradilan politis adalah proses penyelesaian persoalan hukum atau biasa disebut sidang pengadilan yang dilaksanakan dengan motif atau tujuan yang bersifat politik. Di waktu persidangan, terdakwa biasanya diadili bukan seakan-akan karena melakukan tindak pidana dalam arti hukum biasa, namun karena alasan yang berkaitan dengan politik, seperti oposisi akibat penolakan terhadap kebijakan pemerintah atau seseorang yang sedang berkuasa. Peradilan politik bertujuan untuk menyingkirkan, mendiskreditkan, dan menekan lawan politik, sehingga sidang yang dipimpin oleh para hakim tersebut lebih berfungsi sebagai alat politik daripada proses keadilan yang mengutamakan prinsip keadilan, integritas, dan akuntabilitas (Haris Fadhil, 2025). 

Berkaitan dengan hal tersebut, akhir-akhir ini publik digemparkan dengan vonis eks Menteri Perdagangan (Mendag) Thomas Trikasih Lembong atau sering disebut Tom Lembong karena terdapat kejanggalan-kejanggalan di setiap proses persidangannya, pakar Hukum Tata Negara Feri Amsari menyatakan proses hukum terhadap Tom Lembong dianggap mempunyai karakteristik sebagai political trial atau peradilan politis. Menurutnya, hal ini menunjukkan bahwa perkara ini lebih bernuansa muatan politik kekuasaan dibanding penegakan hukum (Chandra Iswarno, 2025).

Feri menyebutkan bahwa istilah political trial merujuk pada pratik pemanfaatan penegak hukum untuk membungkam oposisi politik atau mereka yang aktif menyuarakan kritik terhadap kekuasaan. Praktik semacam ini sering kali digunakan sebagai bentuk unjuk kekuasaan atau show of power yang bertujuan melemahkan lawan politik melalui legitimasi peradilan. Sudah menjadi pengetahuan umum bahwa sebelum kejadian tersebut Tom Lembong aktif menyampaikan kritik terhadap sejumlah agenda strategis pemerintah, termasuk soal perencanaan dan dampak ekonomi dari pembangunan Ibu Kota Negara (IKN) (Akmal Fauzi, 2025). 

Akan tetapi, dalam konteks political trial dalam kasus pak Tom Lembong  yang paling disorot publik adalah adanya unsur jahat atau mens rea, dalam berbagai sistem hukum keberadaan niat jahat menjadi syarat mutlak untuk menetapkan seseorang bersalah secara pidana. Apabila unsur niat jahat tersebut tidak terpenuhi, maka secara prinsip tidak dapat dikenakan sanksi pidana. Lebih lanjut, prinsip-prinsip hukum harus tetap dijaga agar tidak disalahgunakan sebagai alat pembalasan politik. Oleh karena itu, jika terdapat praktik yang menyimpang dari prinsip keadilan hukum justru bisa merusak fondasi demokrasi dan memperlemah kepercayaan publik terhadap sistem peradilan (Tri Indriwati, 2025). 

Walaupun Tom Lembong dinilai terbukti melanggar Pasal 2 ayat (1) Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (UU Tipikor) juncto Pasal 55 ayat 1 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana. Akan tetapi, telah dijelaskan oleh kuasa hukumnya Zaid Musafi bahwa kebijakan impor gula telah diafirmasi oleh mantan Presiden Jokowi pada 2015-2016. Ia menilai kebijakan impor gula tersebut telah beralih sepenuhnya menjadi tanggung jawab Presiden. Dengan demikian, penetapan Tom Lembong sebagai tersangka korupsi impor gula tidak sah (Nur Jamal, 2025).

Pada tanggal 21 bulan November 2024 waktu diwawancarai CNN Indonesia Tom menjelaskan bahwa “saya senantiasa menguatamakan kepentingan masyarakat dan menjalankan perintah presiden sebagai koordinator dalam institusi, termasuk ketika saya menjabat sebagai menteri perdagangan, saya sering berkonsultasi dengan beliau, melalui formal dan informal termasuk mengenai impor. Pada Kamis 6 Maret 2025 berlangsung sidang perdana di Pengadilan Tipikor Kelas 1A Jakarta Pusat, Tom Lembong didakwa merugikan keuangan negara hingga 515 miliar (Ahmad Sahid, 2025). 

Jaksa Penuntut Umum (JPU) menjelaskan jumlah kerugian tersebut merupakan bagian dari kerugian keuangan negara yang totalnya mencapai sebesar Rp 578 Miliar di kasus impor gula, jumlah kerugian negara tersebut berdasarkan Laporan Hasil Audit Penghitungan kerugian keuangan negara atas dugaan tindak pidana korupsi dalam kegiatan importir gula di Kementerian Perdagangan Tahun 2015 s.d. 2016 Nomor: PE.03/R/S-51/D5/01/2025 tanggal 20 Januari 2025 dari BPKP RI (Yogi Pardamaen, 2025). 

Akan tetapi, keadilan tidak berpihak kepada Tom Lembong, ia dituntut tujuh tahun penjara. Menurut JPU, sikap tak bersalah Tom Lembong menjadi poin pemberat dalam tuntutan tersebut. Hal memberatkan yaitu terdakwa tidak merasa bersalah dan tidak menyesali perbuatannya, keadaan memberatkan lain yaitu perbuatan Tom tidak mendukung program pemerintah dalam rangka penyelenggaraan negara yang bersih dan bebas dari Korupsi, Kolusi, dan Nepotisme (KKN). Tom mengaku kecewa atas tuntutan tujuh tahun penjara dan tidak menemukan fakta persidangan yang dimuat dalam surat tuntutan (Garudea Prabawati, 2025).

Selanjutnya, pada Jum’at 18 Juli 2025 berdasarkan berbagai pertimbangan, Hakim Pengadilan Tipikor Jakarta Pusat menjatuhkan vonis 4,5 tahun penjara dan denda 750 juta, jika tidak dibayar dendanya maka dapat diganti 6 bulan kurungan, namun hakim tidak membebankan uang pengganti karena Tom tidak menikmati hasil dari korupsi, tetapi setelah adanya putusan hakim, Tom sendiri merasa ada kejanggalan karena hakim mengabaikan kewenangannya sebagai menteri ia menyatakan “janggal atau aneh bagi saya, majelis mengesampingkan wewenang saya sebagai Menteri Perdagangan” (Pavitri Retno, 2025).

Oleh: Najwa Amelia Mumtaz – 22410347

Mahasiswa Program Studi Hukum Program Sarjana Reguler Fakultas Hukum Universitas Islam Indonesia

Pekerja Rumah Tangga (PRT) merupakan jenis pekerjaan yang banyak dilakukan oleh masyarakat di negara berkembang, salah satunya adalah Indonesia. Pasalnya, PRT dianggap sebagai pekerjaan yang tidak membutuhkan keahlian khusus karena termasuk pada jenis pekerjaan domestik (Ilhamullah, 2023). Anggapan tersebut sejalan dengan International Labor Organization Convention (ILO) Number 189 yang mendefinisikan pekerjaan rumah tangga sebagai pekerjaan yang dilakukan di lingkungan rumah, misalnya seperti memasak, mencuci, mengepel, merawat keluarga, berkebun, dan membersihkan rumah. Sebagai jenis pekerjaan domestik, umumnya PRT didominasi oleh perempuan. Situasi tersebut tidak terlepas dari adanya paradigma patriakial yang menempatkan perempuan sebagai penanggung jawab dalam urusan domestik karena anggapan bahwa secara alamiah perempuan terlahir dengan sifat lemah lembut, memelihara, rajin, dan telaten (Sofiani, 2020). 

Jaringan Nasional Advokasi Pekerja Rumah Tangga (JALA PRT) memperkirakan bahwa pada tahun 2022, jumlah PRT di Indonesia mencapai angka 5 juta orang (Andriansyah, 2022). Sebanding dengan itu, tingginya angka PRT juga diikuti pula dengan banyaknya kasus pelanggaran hak-hak PRT maupun kasus kekerasan yang dialami oleh PRT, utamanya bagi PRT perempuan. Data Catatan Tahunan (CATAHU) Komnas Perempuan menunjukkan bahwa selama periode 2019 – 2023 setidaknya terdapat sebanyak 25 kasus yang diadukan ke Komnas Perempuan terkait kekerasan yang dialami oleh PRT (Bincang Perempuan, 2024). Di samping itu, kasus yang dialami oleh PRT berkaitan dengan upah yang tidak dibayarkan hingga pada jam kerja yang berlebihan pun masih marak terjadi. Sutini contohnya, seorang PRT di Yogyakarta selama 6 tahun yang harus bekerja selama 19 jam per hari dan menerima perlakuan kasar hingga penganiayaan dari majikannya (Luviana, 2022). Pelanggaran hak-hak PRT juga dialami oleh Ludiah yang selama bekerja sebagai PRT tidak pernah diberi upah oleh majikannya (Dhewy, 2017). 

Tingginya angka kasus kekerasan dan pelanggaran terhadap hak-hak PRT memiliki keterkaitan erat dengan status PRT yang masih abu-abu (grey area) dalam sistem hukum ketenagakerjaan di Indonesia. Hal ini dilatarbelakangi oleh Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan (UU Ketenagakerjaan) yang hingga saat ini belum secara tegas mengklasifikasikan status PRT sebagai jenis pekerja formal. Pada dasarnya, PRT memenuhi unsur definisi “pekerja” pada Pasal 1 angka (2) UU Ketenagakerjaan yang berbunyi “setiap orang yang bekerja dengan menerima upah atau imbalan dalam bentuk lain”. Lebih lanjut, hubungan antara PRT dengan pemberi kerja memenuhi kriteria hubungan kerja sebagaimana disebutkan dalam Pasal 1 angka 15 UU Ketenagakerjaan, yakni adanya pekerjaan, upah, dan perintah. Kendati demikian, penyebutan frasa “pengusaha” pada definisi “pemberi kerja” dan “hubungan kerja” menyebabkan kekaburan status PRT dalam UU Ketenagakerjaan karena pemberi kerja atau majikan PRT bukanlah “pengusaha” sebagaimana didefinisikan dalam Pasal 1 angka 5 UU Ketenagakerjaan (Sofiani, 2020). 

Ketidakjelasan status PRT sebagai pekerja dalam UU Ketenagakerjaan melahirkan presepsi bahwa PRT diklasifikasikan sebagai jenis pekerja informal. Karakteristik dari pekerja informal adalah pekerjaan yang cenderung bersifat privat atau keperdataan (Anugrah & Ruslie, 2024). Akibatnya, pemerintah sulit melakukan pengawasan terhadap pelaksanaan hubungan kerja antara PRT dan pemberi kerja karena lingkup kerja PRT yang cenderung tertutup dan privat (Organisasi Perburuhan Internasional, 2006.) Selain itu, ketiadaaan keharusan bagi PRT dan pemberi kerja untuk mendasarkan hubungan kerja berdsarkan kesepakatan tertulis sebagaimana diatur dalam UU Ketenagakerjaan berakibat pada banyaknya pelaksanaan hubungan kerja yang didasarkan pada kesepakatan tidak tertulis (Anugrah & Ruslie, 2024). Kondisi tersebut berakibat pula pada sulitnya bagi PRT untuk membuktikan hak-hak mereka ketika terjadi perselisihan atau pelanggaran terhadap hak-hak dasar mereka (Anugrah & Ruslie, 2024). 

Kekaburan status PRT dalam UU Ketenagakerjaan serta kurangnya kepastian hukum bagi PRT menunjukkan bahwa pemerintah belum berupaya secara optimal untuk melaksanakan pelindungan bagi PRT (Nurpradana, 2025). Salah satu penyebab ketidakpastian hukum bagi PRT adalah lambannya proses legislasi untuk merumuskan dan mengesahkan Rancangan Undang-Undang Pelindungan Pekerja Rumah Tangga (RUU PPRT). Pasalnya, pemerintah tidak segera mengesahkan RUU PPRT yang sudah dirumuskan sejak tahun 2004 dan di sisi lain, PRT tidak termasuk sebagai pekerja formal menurut UU Ketenagakerjaan. Hal demikian berakibat pada adanya kekosongan hukum (recht vacuum) terhadap perlindungan hukum bagi PRT, sehingga sangat rentan terjadi kekacauan hukum (rechtsonzekerheid) (Muhammad, 2025). 

Berdasarkan kapasitasnya sebagai regulator dan pengawas dalam hubungan kerja, maka menjadi suatu keharusan bagi negara untuk berperan aktif, mengingat adanya bargaining power position yang menempatkan PRT sebagai pihak yang lemah serta adanya dominasi perempuan selaku kelompok rentan yang menjadi PRT. Jika berbicara dalam aspek hukum ketenagakerjaan, campur tangannya negara menyebabkan terjadinya pergeseran sifat keperataan hukum ketenagakerjaan menjadi hukum publik yang disebut sebagai socialisering process (Saprudin, 2012). Mariam Darus Badrulzman menyebut istilah socialisering process sebagai “proses pemasyarakatan” (vermaatschappelijking) berupa pergeseran sifat hukum perdata ke hukum publik akibat campur tangan pemerintah dalam ranah hukum perdata (Saprudin, 2012). Namun, socialisering process belum tampak jelas terlaksana dalam hubungan kerja PRT dengan pemberi kerja lantaran UU Ketenagakerjaan tidak menjangkau PRT sebagai pekerja formal dan pengaturan mengenai PRT masih minim. Untuk itu, pemerintah perlu segera mengesahan RUU PPRT serta merevisi pasal-pasal yang berpotensi merugikan PRT, sehingga nantinya RUU PPRT diharapkan mampu melindungi dan menjangkau pemenuhan hak-hak dasar PRT (Komnas Perempuan, 2022).

Oleh: Gavran Ziksan – 23410654

Mahasiswa Program Studi Hukum Program Sarjana Reguler Fakultas Hukum Universitas Islam Indonesia

Fenomena migrasi tenaga kerja menjadi bagian tak terpisahkan dari lanskap sosial, ekonomi, dan kebijakan hukum di Indonesia. Ribuan warga negara Indonesia, atau yang dikenal sebagai Pekerja Migran Indonesia (PMI), mempertaruhkan nasib di berbagai belahan dunia dengan harapan mendapatkan kehidupan yang lebih layak dan prospek masa depan yang lebih cerah bagi keluarga mereka di tanah air. Kontribusi ekonomi mereka melalui remitansi tak dapat dipungkiri, menjadi salah satu faktor penting dalam perolehan devisa negara. Namun, di balik narasi keberhasilan dan harapan, tersimpan pula realitas pahit yang kerap menimpa para pekerja ini, yaitu jerat penipuan dan penempatan ilegal yang berujung pada eksploitasi hingga perdagangan orang.

Permasalahan penempatan PMI secara non-prosedural bukanlah isu baru, namun kompleksitas dan dampaknya terus berkembang. Jaringan sindikat yang terorganisir rapi kerap memanfaatkan minimnya informasi, kerentanan ekonomi, dan harapan besar para calon pekerja migran. Dengan iming-iming gaji fantastis dan proses keberangkatan yang mudah tanpa melalui jalur resmi, mereka menjerumuskan PMI ke dalam situasi yang tidak aman dan melanggar hukum  tidak hanya mencoreng citra perlindungan tenaga kerja Indonesia di mata internasional, tetapi juga menimbulkan kerugian besar, baik secara material, fisik, maupun psikologis, bagi individu dan keluarga yang terdampak. Banyak dari mereka yang akhirnya bekerja di luar sektor yang dijanjikan, tanpa kontrak yang jelas, bahkan menjadi korban kekerasan dan bentuk perbudakan modern.

Perdagangan manusia merupakan salah satu bentuk kejahatan kemanusiaan yang terus berkembang. Batam dan wilayah Kepulauan Riau yang dikenal sebagai pintu gerbang Nusantara menuju Asia Tenggara menjadi salah satu titik rawan yang strategis bagi sindikat perdagangan manusia lintas negara. Letak geografis yang dekat dengan Singapura dan Malaysia menjadikan wilayah ini bukan hanya jalur transit, tetapi juga tujuan praktik perdagangan manusia.

Tulisan ini menyoroti sebuah kasus nyata yang berhasil diungkap di Batam pada Mei 2025. Aparat penegak hukum dari Polsek Nongsa dan Sagulung berhasil membongkar praktik penempatan PMI ilegal yang terstruktur. Pengungkapan ini berawal dari laporan masyarakat yang mencurigai adanya aktivitas pengiriman calon PMI secara non-prosedural di sebuah rumah di Perumahan Azure Gardenia, Batam. Dalam operasi tersebut, polisi mengamankan seorang perempuan berinisial SNI yang diduga menjadi pelaku utama. Di lokasi, petugas menemukan tiga calon PMI perempuan, masing-masing berinisial HH, UF, dan S, yang telah dipersiapkan untuk diberangkatkan ke luar negeri tanpa prosedur resmi. Ketiganya berasal dari Jakarta, Ciamis, dan Pringsewu. Selain pelaku, polisi juga menyita sejumlah barang bukti, termasuk tiga paspor atas nama korban dan tiket pesawat. Kapolsek Sagulung, Iptu Rohandi Parlindungan Tambunan, menegaskan komitmennya dalam memberantas praktik penempatan PMI ilegal. Pelaku dijerat dengan Pasal 81 Jo Pasal 83 Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2017 tentang Perlindungan Pekerja Migran Indonesia.

Indonesia telah mengadopsi kerangka hukum yang kuat untuk melindungi warganya. Undang-Undang No. 21 Tahun 2007 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Perdagangan Orang mendefinisikan perdagangan manusia sebagai segala bentuk tindakan perekrutan, pengangkutan, penampungan, pengiriman, pemindahan, atau penerimaan seseorang yang dilakukan dengan cara kekerasan, ancaman, penipuan, atau penyalahgunaan kekuasaan. Untuk memberikan perlindungan ini, Indonesia mengadopsi beberapa asas penting:

  1. Asas Keterpaduan: Perlindungan PMI harus mencerminkan sinergi antar seluruh pemangku kepentingan.
  2. Asas Persamaan Hak: Calon PMI dan/atau PMI mendapatkan perlakuan, hak, dan kesempatan yang sama.
  3. Asas Pengakuan atas Martabat dan HAM: Perlindungan PMI harus menghormati harkat dan martabat manusia.
  4. Asas Anti-Perdagangan Manusia: Tidak adanya tindakan yang mengarah pada eksploitasi.
  5. Asas Berkelanjutan: Perlindungan PMI harus mencakup seluruh tahapan, mulai dari sebelum, selama, hingga setelah bekerja.

Dalam konteks hukum dan ketatanegaraan, bekerja merupakan hak setiap individu dan warga negara, sebagaimana tertuang dalam Pasal 27 ayat (2) UUD 1945 yang menyatakan bahwa “Setiap warga negara berhak mendapatkan pekerjaan dan penghidupan yang layak”. Data dari Badan Perlindungan Pekerja Migran Indonesia (BP2MI) menunjukkan tingginya jumlah PMI yang ditempatkan di luar negeri. Sepanjang tahun 2024, tercatat 297.434 jiwa pekerja migran ditempatkan di berbagai negara (BP2MI, 2024). Tingginya angka ini membawa manfaat ekonomi, namun di sisi lain, juga meningkatkan risiko. Sepanjang tahun 2024, BP2MI telah menerima sebanyak 1.500 pengaduan dari PMI, dengan pengaduan terbanyak berasal dari Malaysia, Taiwan, Arab Saudi, Hong Kong, dan Kamboja. Untuk mengatasi hal ini, pemerintah telah melakukan berbagai upaya. Imigrasi, sebagai salah satu unsur dalam Satuan Tugas Pencegahan PMI Non-prosedural, memegang peranan penting. Pencegahan dini dilakukan melalui pengawasan dokumen paspor dan pemberangkatan di daerah embarkasi. Tujuannya adalah memastikan paspor tidak disalahgunakan untuk bekerja secara ilegal di negara tujuan.

Pemerintah juga mengeluarkan Surat Edaran Direktur Jenderal Imigrasi Nomor: IMI-0277.GR.02.06 Tahun 2017 tentang Pencegahan Tenaga Kerja Indonesia Non-Prosedural. Surat edaran ini menyoroti maraknya WNI di luar negeri yang menjadi korban Tindak Pidana Perdagangan Orang (TPPO). Selain upaya di dalam negeri, perlindungan PMI juga bergantung pada implementasi hukum internasional. Setiap negara memiliki kewajiban untuk melindungi warga negaranya yang berada di luar negeri, sebuah konsep yang dikenal sebagai perlindungan diplomatik. Prinsip Exhaustion of Local Remedies dan Link of Nationality menjadi landasan dalam memberikan perlindungan ini. Untuk mendukung operasional perlindungan di luar negeri, Indonesia telah membentuk Citizen Service di 24 perwakilan RI di luar negeri.

Pekerja Migran Indonesia memberikan kontribusi signifikan terhadap devisa negara melalui remitansi, namun mereka sering kali menghadapi risiko serius seperti penipuan, penempatan ilegal, eksploitasi, dan perdagangan orang. Kasus yang diungkap di Batam menjadi bukti nyata betapa pentingnya penguatan sistem perlindungan. Perlindungan hukum bagi PMI tidak hanya bergantung pada peraturan domestik, tetapi juga membutuhkan ratifikasi perjanjian internasional. Selain itu, peran aktif masyarakat dan instansi seperti Imigrasi dalam pencegahan dini melalui pengawasan dokumen paspor dan pemberangkatan sangat krusial untuk meminimalkan risiko penempatan ilegal dan perdagangan orang. Pemahaman mendalam terhadap kasus-kasus semacam ini sangat penting sebagai dasar perumusan strategi perlindungan yang lebih efektif, penguatan penegakan hukum, dan edukasi masif bagi masyarakat. Tujuannya adalah untuk memastikan bahwa setiap PMI dapat bekerja dengan aman, bermartabat, dan hak-hak mereka terlindungi secara menyeluruh, baik di tanah air maupun di tanah rantau.

Oleh: Bunga Pratista Nastiti – 24410834

Mahasiswa Program Studi Hukum Program Sarjana Reguler Fakultas Hukum Universitas Islam Indonesia

Di balik dinding rumah-rumah yang terlihat aman, jutaan perempuan dan anak di Indonesia hidup dalam kondisi yang nyaris tidak terdeteksi oleh sistem hukum. Mereka adalah Pekerja Rumah Tangga (PRT), kelompok yang tidak hanya menjalankan aktivitas domestik, tetapi juga menopang kestabilan ekonomi mikro. Mereka membersihkan rumah, menyiapkan makanan, merawat lansia, dan mengasuh anak-anak; tugas-tugas penting yang sering kali diremehkan. Ironisnya, meski kontribusinya vital, negara hampir tidak mengakui keberadaan mereka secara hukum. Tanpa perlindungan hukum yang layak, PRT kerap menjadi sasaran eksploitasi, kekerasan, dan penyiksaan yang terus berulang.

Data dari Jaringan Nasional Advokasi Pekerja Rumah Tangga (JALA PRT) mencatat bahwa hingga 2023, lebih dari 2,5 juta PRT di Indonesia belum mendapatkan perlindungan hukum yang memadai (JALA PRT, 2023). Komisi Nasional Anti Kekerasan Terhadap Perempuan (Komnas Perempuan) juga melaporkan bahwa sepanjang tahun 2023 terdapat 2.503 kasus kekerasan terhadap PRT, menjadikan mereka sebagai salah satu kelompok dengan angka kekerasan tertinggi di ranah domestik (Komnas Perempuan, 2023).

Kondisi ini mencerminkan kelemahan mendasar dalam sistem ketenagakerjaan nasional. Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan yang seharusnya menjadi dasar perlindungan pekerja, justru mengecualikan PRT dari lingkup pengaturannya. Akibatnya, muncul ruang gelap hukum yang membuat hak-hak dasar PRT diabaikan. Suratman (2010) menyebut bahwa tidak adanya regulasi spesifik bagi pekerja informal seperti PRT menempatkan mereka dalam posisi tawar yang lemah. Hubungan kerja yang informal, tanpa kontrak tertulis, tanpa jaminan sosial, dan tanpa perlindungan ketika terjadi pelanggaran, membuat PRT seakan tak terlihat oleh hukum.

Faktanya, kekerasan terhadap PRT bukan hanya potensi, melainkan kenyataan yang mengerikan. Salah satu kasus yang membuka mata publik adalah Kasus Mawar (nama samaran), seorang PRT di Tangerang, membuka mata publik tentang kekejaman yang terjadi di ruang domestik. Ia disiksa oleh majikannya selama satu tahun, disiram air panas, dipukul dengan setrika, dan dikurung. Luka bakar dan trauma psikologis yang dideritanya menunjukkan kegagalan negara dalam melindungi warganya (Kompas.com, 2023). Di tahun sebelumnya, seorang PRT asal Garut disiksa oleh majikannya di Cimahi, Jawa Barat (Detik.com, 2022). Di luar negeri, PRT migran asal Indonesia pun menghadapi kekerasan dan eksploitasi serupa, sebagaimana dicatat oleh Migrant Care (2023).

Padahal, Konstitusi Indonesia secara tegas menjamin hak setiap warga negara atas pekerjaan dan perlakuan yang adil. Pasal 27 ayat (2) dan Pasal 28D ayat (1) UUD 1945 menegaskan bahwa setiap orang berhak atas pekerjaan dan perlindungan hukum. Lebih lanjut, Pasal 28I ayat (1) menjamin kebebasan dari penyiksaan dan perlakuan yang merendahkan martabat manusia. Namun, semua jaminan konstitusional ini akan tetap menjadi janji kosong yang tak bermakna jika tidak diwujudkan secara konkret dalam regulasi teknis yang melindungi kelompok rentan seperti PRT. Trianah Sofiani (2014) menekankan bahwa tanpa perlindungan hukum berbasis hak konstitusional, PRT akan terus menjadi kelompok yang termarjinalkan dan dilupakan.

Sementara itu di tingkat internasional, Konvensi ILO Nomor 189 Tahun 2011 secara eksplisit mengakui PRT sebagai pekerja dengan hak yang setara. Konvensi ini mengatur berbagai aspek penting seperti jam kerja, upah minimum, hak istirahat, jaminan sosial, dan perlindungan dari kekerasan. Sayangnya, hingga kini Indonesia belum meratifikasi konvensi tersebut. Meski demikian, semangat dan prinsip dalam konvensi itu seharusnya bisa menjadi dasar penyusunan kebijakan nasional yang berpihak pada keadilan sosial (ILO, 2011).

Disinilah letak pentingnya pengesahan Rancangan Undang-Undang Perlindungan Pekerja Rumah Tangga (RUU PPRT). RUU ini telah diperjuangkan selama lebih dari dua dekade oleh berbagai organisasi masyarakat sipil, akademisi, dan para PRT itu sendiri. Draf RUU ini mencakup ketentuan fundamental seperti kontrak kerja tertulis, jam kerja yang jelas, upah minimum, hak atas cuti, jaminan sosial, serta mekanisme penyelesaian sengketa. Tak kalah penting, RUU ini juga secara eksplisit mengatur sanksi bagi pelaku kekerasan terhadap PRT (JALA PRT, 2023). Abdul Khakim (2012) menekankan pentingnya hukum ketenagakerjaan yang adaptif terhadap dinamika sosial dan mampu merespons kebutuhan kelompok rentan, sesuatu yang hanya bisa diwujudkan melalui keberanian politik untuk mengesahkan RUU ini.

Pengesahan RUU PPRT bukan sekadar langkah legislatif; ini adalah pernyataan sikap negara terhadap martabat manusia. Ini tentang pengakuan atas hak-hak pekerja yang selama ini diabaikan. Ini tentang menghadirkan keadilan di ruang yang paling aman. Tanpa itu, PRT akan terus menjadi korban kekerasan sistemik yang dibiarkan berulang, tahun demi tahun.

Mendesak pengesahan RUU PPRT adalah mendesak hadirnya negara di sisi warganya yang paling rentan. Ini adalah tuntutan untuk membalik realitas yang selama ini gelap dan menyakitkan menjadi terang yang memberi harapan: bahwa tidak ada lagi yang disiksa diam-diam, dan tidak ada lagi yang tak diakui oleh negara hanya karena mereka bekerja di rumah, bukan di kantor.

Oleh: Farros Ariq Nasandaputra – 21410231

Mahasiswa Program Studi Hukum Program Sarjana Reguler Fakultas Hukum Universitas Islam Indonesia

Kisah fiksi dalam Superman (2025) sesungguhnya merefleksikan realitas sosial-politik dunia, di mana tirani kekuasaan kerap menindas kelompok lemah melalui kontrol informasi dan manipulasi hukum. Film ini menampilkan bagaimana kebenaran dapat dibelokkan oleh mereka yang menguasai media, sehingga suara keadilan dibungkam dan identitas yang berbeda dianggap ancaman. Ancaman terbesar bagi masyarakat bukan lagi sekadar kekuatan fisik, melainkan penindasan yang hadir melalui propaganda, sensor, dan penghapusan hak untuk bersuara. Fenomena ini menggambarkan rapuhnya posisi kelompok lemah yang mudah dikorbankan demi kepentingan segelintir elit, sekaligus menegaskan bahwa pelanggaran hak asasi manusia sering kali terjadi bukan karena hukum absen, melainkan karena hukum dijadikan alat kekuasaan.

Film Superman (2025), yang disutradarai dan ditulis James Gunn serta diproduseri bersama Peter Safran, menandai arah baru bagi karakter Superman dengan menekankan nilai-nilai kemanusiaan dan moral. Kasih sayang dan kebaikan menjadi inti narasi, sebagai respons terhadap versi sebelumnya yang lebih kelam dan keras (Kompas, 2025). Dikisahkan, Clark Kent seorang jurnalis dari planet Krypton yang dikenal sebagai Superman dibesarkan oleh keluarga Kent di Kansas setelah planet asalnya hancur. Ia tumbuh dengan nilai moral kuat, berusaha menjadi pelindung umat manusia sekaligus simbol harapan (Cummings, 2025).

Film ini memperlihatkan konflik batin Superman dalam menghadapi dunia modern yang penuh propaganda, ketidakpercayaan, dan manipulasi politik. Kekuatan dan idealismenya diuji ketika ia berupaya mempertahankan kebenaran di tengah pihak-pihak besar yang berusaha mengontrol narasi publik. Tekanan terhadap jurnalis dan media independen dalam film digambarkan melalui sensor halus hingga ancaman langsung, yang jelas bertentangan dengan prinsip kebebasan berekspresi sebagaimana dijamin dalam Pasal 19 Universal Declaration of Human Rights (UDHR), Pasal 19 International Covenant on Civil and Political Rights (ICCPR), serta Pasal 14 Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia (UDHR Pasal 19; ICCPR Pasal 19; UU No. 39 Tahun 1999, Pasal 14).

Manipulasi informasi oleh pihak dominan dalam film ini mencerminkan praktik nyata di dunia, di mana pengendalian narasi publik menghalangi masyarakat memperoleh kebenaran objektif dan pada akhirnya melemahkan demokrasi. UNESCO dalam World Trends in Freedom of Expression and Media Development Report 2022 juga menegaskan bahwa pola semacam ini mempersempit ruang kebebasan pers sekaligus membuka peluang praktik represif yang berlandaskan opini publik yang telah dimanipulasi (UNESCO, 2022).

Film dibuka dengan aksi Superman yang mengintervensi konflik militer antara dua negara fiktif, Boravia dan Jarhanpur, tanpa mempertimbangkan konsekuensi politik. Aksi tersebut menimbulkan kontroversi global (Pop Culture Maniacs, 2025). Tokoh antagonis utama, Lex Luthor, digambarkan membangun pusat perang informasi digital yang mengendalikan media dan jaringan sosial dari markas rahasia. Ia secara sistematis memproduksi propaganda, bahkan menyusup ke Fortress of Solitude markas Superman  untuk memanipulasi pesan dari orang tua Superman, sehingga seolah Superman dikirim untuk mendominasi Bumi (ScreenRant, 2025).

Situasi ini paralel dengan realitas, misalnya kasus pemecatan Melissa Barrera dari film Scream VII setelah menyuarakan dukungan terhadap Palestina. Peristiwa tersebut memperlihatkan bagaimana kekuasaan dapat membungkam suara kritis melalui kontrol narasi publik mirip dengan strategi Lex Luthor dalam membungkam Superman lewat propaganda. Kedua kasus ini menunjukkan bahwa dukungan terhadap keadilan seringkali dibingkai sebagai ancaman oleh mereka yang menguasai informasi (Newsweek, 2023).

Dalam DC Universe versi James Gunn, korporasi seperti LuthorCorp dan LordTech digambarkan sebagai aktor besar yang mampu menentukan arah kebijakan publik dan mengendalikan media. Mereka tidak selalu digambarkan “jahat” secara inheren, tetapi beroperasi tanpa moral sesuai kepentingan dan ambisi pemimpinnya (West, 2025). Hal ini paralel dengan realitas dunia, misalnya perusahaan teknologi besar (Big Tech) seperti Meta, Google, dan Twitter/X yang kerap dikritik karena membiarkan disinformasi dan ujaran kebencian menyebar. Alih-alih berorientasi pada etika, keputusan mereka sering kali pragmatis demi trafik, keuntungan iklan, atau kerja sama dengan pemerintah otoriter dalam menyensor warganya. Sama seperti Lex Luthor yang memanipulasi opini publik untuk memperkuat legitimasi politik, korporasi digital ini juga berperan besar dalam membentuk persepsi masyarakat global, sehingga publik terjebak dalam narasi yang telah dimanipulasi (Freedom House, Freedom on the Net Report 2023).

Lebih jauh, film ini juga menyoroti isu xenofobia. James Gunn menempatkan Kal-El (Superman) sosok asing dari luar bumi  sebagai simbol harapan setelah berhasil berasimilasi dengan masyarakat manusia (Moura, 2025). Narasi ini menantang diskriminasi terhadap kaum “asing” dalam dunia nyata, misalnya krisis pengungsi Suriah dan pencari suaka Rohingya. Di banyak negara Eropa, pengungsi Suriah kerap dipersepsikan sebagai ancaman budaya atau keamanan, meskipun sebagian besar hanya mencari keselamatan. Hal serupa dialami etnis Rohingya yang melarikan diri dari genosida Myanmar; mereka sering ditolak atau dipandang sebagai “beban” di negara tujuan seperti Bangladesh, Malaysia, hingga Indonesia. Padahal, seperti Superman yang akhirnya menjadi sumber kekuatan moral bagi Bumi, kelompok minoritas ini juga berpotensi berkontribusi positif ketika diberi kesempatan berasimilasi. Narasi ini menegaskan bahwa xenofobia dapat dilawan dengan solidaritas dan pengakuan atas kemanusiaan bersama (UNHCR, 2023).

Film Superman (2025) karya James Gunn tidak hanya menghadirkan aksi superhero, tetapi juga memberikan kritik terhadap masalah sosial dan politik dunia saat ini. Lewat sosok Superman, film ini menekankan bahwa tantangan utama masyarakat modern bukan lagi kekuatan fisik, melainkan penyalahgunaan informasi, propaganda, dan kontrol cerita oleh pihak yang berkuasa. Ceritanya terasa dekat dengan kondisi nyata, seperti pembatasan kebebasan pers, dominasi perusahaan digital besar, upaya membungkam suara kritis, dan diskriminasi terhadap kelompok minoritas. Diakhir, Superman (2025) menyampaikan pesan bahwa keadilan dan harapan hanya bisa terwujud jika kebenaran dijunjung tinggi, solidaritas dijaga, dan nilai kemanusiaan ditempatkan di atas kepentingan politik maupun ekonomi.

Oleh: Ahmad Wildan – 24410744

Mahasiswa Program Studi Hukum Program Sarjana Reguler Fakultas Hukum Universitas Islam Indonesia

Dalam keberlangsungan sistem ketatanegaraan, Indonesia sangat memegang erat prinsip Trias Politica dalam pembagian kekuasaan negara ketiga ruang kamar yaitu legislatif, yudikatif, dan eksekutif. Pembagian ini bertujuan untuk menjaga keseimbangan kekuasaan dan menghindari terjadinya dominasi salah satu cabang kekuasaan atas yang lainnya (Kusnardi & Ibrahim, 1988; Asshiddiqie, 2006). Mahkamah Konstitusi (MK), sebagai bagian dari kekuasaan yudikatif, diberikan wewenang dalam melaksanakan pengujian undang-undang terhadap Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 (UUD 1945) tanpa menghasilkan norma baru. Dalam pemikiran Hans Kelsen, MK berperan sebagai negative legislator, yaitu MK hanya memiliki kewenangan untuk menguji dan membatalkan undang-undang, bukan untuk membentuk atau menciptakan norma pengganti (Kelsen, 2007; Asshiddiqie, 2006). Namun dalam praktiknya, peranan ini mulai mengalami pergeseran, sebagaimana juga ditegaskan oleh Mulya (2018), ketika batas antara pembatalan dan penciptaan norma menjadi kabur.

Pergeseran tersebut terlihat jelas ketika putusan-putusan MK tidak lagi sebatas pembatalan pasal undang-undang, namun mulai mengandung substansi kebijakan baru yang berdampak secara langsung terhadap sistem hukum administrasi negara. Hal ini menimbulkan perdebatan di kalangan akademisi dan praktisi hukum, terutama ketika putusan tersebut tidak langsung direspon secara konkret oleh lembaga legislatif. Akhirnya, lahir fenomena yang dikenal sebagai dead letter, yakni putusan pengadilan yang sah secara hukum namun tidak efektif secara praktis karena tidak diimplementasikan (Asshiddiqie, 2006).

Fenomena ini terus lihat jelas dalam dua putusan MK pada tahun 2024, yakni Putusan Nomor 3/PUU-XXII/2024 tentang pendidikan gratis dan Putusan Nomor 135/PUU-XXII/2024 tentang pemisahan Pemilu nasional dan daerah. Kedua putusan ini menuai respon keras dari Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) yang menilai MK telah melampaui kewenangannya dan memasuki ke dalam ruang legislasi yang merupakan fungsi DPR. 

Dalam Putusan Nomor 3/PUU-XXII/2024 menyatakan bahwa pendidikan dasar dan menengah harus diselenggarakan sepenuhnya secara gratis, termasuk pembebasan beban biaya buku, seragam, dan kegiatan ekstrakurikuler. MK mendasarkan keputusannya pada pasal 31 UUD 1945 yang menjamin hak warga negara atas pendidikan. Namun DPR mengkritik bahwa putusan ini telah melangkahi ranah kebijakan fiskal dan teknis yang seharusnya menjadi kewenangan dari legislatif dan eksekutif. Tanpa peraturan turunan dalam bentuk anggaran negara maupun regulasi teknis putusan ini berisiko menjadi norma baru dalam hukum yang tidak dapat dilaksanakan

Demikian pula dalam Putusan Nomor 135/PUU-XXII/2024, MK menyatakan bahwa Pemilu nasional dan Pemilu daerah harus dilaksanakan secara terpisah dengan alasan efektivitas dan aku akuntabilitas politik. MK menilai bahwa pemisahan tersebut dapat merombak dari kualitas demokrasi dan mengurangi kebingungan di kalangan pemilih.

Jika dibandingkan dengan Putusan MK Nomor 102/PUU-VII/2009 terkait Pemilu 2009, kondisinya berbeda karena saat itu MK secara eksplisit membentuk norma baru yang memperbolehkan pemilih menggunakan KTP untuk mencoblos meski namanya tidak tercantum dalam daftar pemilih tetap, karena terdapat situasi mendesak menjelang hari pemungutan suara dan DPR tidak lagi memiliki waktu untuk menyusun legislasi baru, langkah MK dipandang sebagai bentuk tindakan darurat untuk menyelamatkan hak konstitusional warga negara (Asshiddiqie, 2006).

Kedua keputusan tersebut mengindikasikan kecenderungan judicial overreach di mana lembaga peradilan bertindak melebihi kewenangannya dan mengambil peran lembaga lain. MK dinilai bukan hanya bertindak sebagai penguji norm0a, namun juga sebagai pembentuk norma baru. Menurut Jimly Asshiddiqie, penting untuk menjaga etika konstitusional agar tidak terjadi kekacauan antara lembaga negara, ketika MK bersikap terlalu aktif tanpa diimbangi respon dari DPR, maka sistem hukum berada dalam kondisi dilematis: sah secara normatif, namun tidak operasional secara fungsional (Asshiddiqie, 2006; Mulya, 2018).

Meski demikian, sebagian pihak menilai langkah MK adalah bentuk koreksi atas terhadap stagnasi legislasi, ketika DPR dinilai tidak responsif terhadap dinamika masyarakat dan gagal menghadirkan produk hukum yang progresif (Simandjuntak, 2019).  DPR seringkali dinilai tidak responsif terhadap dinamika yang berjalan di masyarakat dan gagal menghadirkan produk hukum yang progresif. Namun, ketergantungan terhadap Judicial Activism bukanlah jawaban dalam jangka panjang. Bila kekosongan hukum terus diisi oleh MK karena kasihnya peranan DPR, maka fungsi legislatif justru akan terpinggirkan dan sistem demokrasi perwakilan menjadi terdistorsi.

Hal yang perlu digarisbawahi dari kondisi. ini adalah bahwa MK tidak seharusnya dengan mudah menciptakan norma baru. Dalam sistem negara hukum yang demokratis, pembentukan norma baru merupakan wewenang lembaga legislatif yang memperoleh legitimasi langsung dari rakyat. MK sejatinya bersifat pasif dan tidak memiliki legitimasi politik untuk menentukan substansi kebijakan hukum, ketika MK mengambil alih peran legislatif tanpa mekanisme representatif, yang dirusak bukan hanya prinsip demokrasi, tetapi juga asas nomokrasi. (Asshiddiqie, 2014; Kusnardi & Ibrahim, 1988).

Selain itu, dialog antar lembaga negara perlu diperkuat. Koordinasi antara MK dan DPR tidak boleh bersifat formalistik, akan tetapi harus dibangun atas dasar saling menghormati tugas dan fungsi masing-masing. DPR perlu memaknai peranannya secara lebih aktif bukan hanya sebagai pembentuk undang-undang tetapi juga sebagai pelaksana putusan Konstitusional. Sementara MK perlu menahan diri agar tidak menjelma menjadi legislator bayangan dalam sistem hukum kita. 

Pada akhirnya, menjaga keseimbangan kewenangan antara MK dan DPR merupakan bagian penting dari membangun negara hukum yang demokratis sesuai dengan prinsip Trias Politica. Keadilan konstitusional tidak hanya terwujud melalui putusan yang progresif, Akan tetapi juga melalui implementasi yang nyata. Jika putusan MK terus mengisi kekosongan hukum karena legislatif tidak menjalankan fungsinya secara maksimal, maka bukan hanya antar lembaga yang tergerus, tetapi juga legitimasi sistem hukum secara keseluruhan. Negara hukum yang sehat menuntut lebih dari sekedar keputusan yang baik tetapi juga komitmen kelembagaan untuk mewujudkannya dalam praktiknya di masyarakat.