Abdul Haris Semendawai: Nakhoda LPSK RI Dua Periode
“Dari proses interaksi dan diskusi semasa kuliah, terbentuk dalam dirinya naluri kepedulian terhadap sesama. Baginya, hidup bukanlah untuk diri sendiri, tapi juga untuk masyarakat”
ABDUL HARIS SEMENDAWAI merupakan satu dari beberapa alumni Fakultas Hukum Universitas Islam Indonesia (FH UII) yang pernah menjadi pucuk pimpinan suatu lembaga negara di Indonesia. Kesadaran akan arti penting kepedulian terhadap masyarakat yang terzolimi, mengantarkannya pada satu posisi penting dalam penegakan hukum di negeri ini. Tahun 2008 silam, Semendawai terpilih sebagai Ketu.
Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK) Republik Indonesia. Ia adalah orang pertama yang memimpin lembaga tersebut. Periode pertama itu berakhir pada 2013 yang lalu, namun Semendawai tetap aktif sebagai Ketua LPSK setelah kembali terpilih untuk periode 2013 hingga 2018 mendatang.
Mengemban amanah seperti ini tidak pernah terlintas di benak Semendawai sebelumnya. Ia bahkan tidak terpikir mendaftarkan diri ketika proses penerimaan komisioner LPSK periode pertama itu dibuka. Justru, dorongan dari kawan-kawanlah yang membuatnya yakin mengajukan berkas pendaftaran. Akan halnya pada periode kedua, Semendawai yang berniat tidak lagi mengikuti seleksi, kembali mendapat dorongan besar dari berbagai kalangan, termasuk rekan-rekan alumni UII. Hasilnya, Semendawai malah mendapat suara mutlak di DPR, hal yang ia anggap sebagai pengakuan atas kinerja yang telah dilakukan sebelumnya.
Proses Pembentukan Karakter
Laki-laki kelahiran Ulak Baru, Oku Timur, Sumatera Selatan, 28 September 1964 ini adalah seorang perantau. Sejak mengenyam pendidikan di SMP Xaverius, Semendawai sudah lebih banyak menghabiskan harihari di Desa Gumawang, sekitar 60 km dari desanya Ulak Baru. Kondisi memang menuntut Semendawai, karena di kampungnya itu hanya ada SD saja. SMP Xaverius sendiri, satu dari dua SMP yang ada, merupakan sekolah Nasrani yang mantap ia pilih karena dinilai terbaik di Gumawang saat itu. Setiap Sabtu sore, anak pengusaha angkutan desa ini biasanya pulang ke rumah dengan mendayung sepeda ontelnya.
Tinggal di Desa Gumawang membuatnya berinteraksi dengan banyak orang luar Palembang, karena merupakan desa transmigran yang dihuni mayoritas penduduk asal Jawa. Semendawai banyak mendapat cerita tentang kehidupan dan suasana pendidikan di Jawa, yang akhirnya lalu keinginannya merantau ke sana. Yogyakarta kemudian menjadi pilihannya, karena selain telah dikenal sebagai kota pelajar, kakak Semendawai juga telah kuliah di sini sebelumnya. Beruntung, sang ayah pun mendukung keinginan Semendawai.
Di kota pelajar, anak keempat dari 10 bersaudara ini diterima di SMAN 2 Godean. Baru saja aktif sekolah, ia telah merasakan suasana berbeda dengan sekolah di kampung halaman. Kualitas pendidikan yang lebih baik plus beragam kegiatan sekolah yang dapat diikuti, menjadikan pemikiran pria 50 tahun ini sudah mulai terbuka ketika itu. Semendawai yang semasa sekolah aktif di Teater Kertas, bahkan telah mantap menempuh kuliah di bidang hukum, kelak setelah tamat sekolah. Niat ini sebenarnya berbeda dengan keinginan ayahnya yang menginginkan anak keempatnya itu masuk Fakultas Ekonomi.
Benar saja, lulus sekolah pada tahun 1984, Semendawai langsung mendaftar kuliah. Ada dua kampus yang menjadi orientasinya saat itu, Fakultas Hukum UGM dan Fakultas Hukum UII. Namun setelah ikut ujian masuk, ia tidak lulus di UGM sementara di UII dinyatakan diterima. Ia sangat bahagia, meskipun uang pembangunan yang dibayar cukup mahal baginya. Di lain pihak, Semendawai sendiri sudah cukup akrab dengan kampus bersejarah ini sejak sekolah. Selain memiliki teman mahasiswa UII yang satu kos dengannya, sejak SMA ia juga sudah sering membaca Majalah Muhibbah, produk lembaga pers mahasiswa (LPM) UII.
Masuk ke Fakultas Hukum UII terasa lebih mencerahkan. Semendawai memang belum aktif berorganisasi di tahun pertamanya. Namun, saat itu FH UII telah memiliki sistem pembinaan bagi mahasiswa baru yang terbilang sudah mapan. Bentuknya, para mahasiswa baru dibentuk dalam kelompok-kelompok dengan satu orang mahasiswa lebih senior sebagai pembina. Selama dua semester pertama, kelompok Semendawai berturutturut dibina oleh Suparman Marzuki, Ketua Komisi Yudisial RI saat ini, dan Ifdhal Kasim, bekas Ketua Komnas HAM RI.
Dalam rangka pembinaan itu, seminggu sekali ada pertemuan kelompok di masjid untuk mengaji dan berdiskusi. Berbagai macam tema dibicarakan dalam pertemuan itu. Mulai dari keislaman, sampai persoalan sosial masyarakat. Proses pembinaan ini memberi pengaruh besar bagi Semendawai. Pemikirannya semakin terbuka terhadap kondisi yang dialami masyarakat secara luas. Ia pun mulai aktif berorganisasi, baik intra maupun ekstra kampus.
Saat itu, suami Aida Milasari ini adalah aktivis pers dan sekaligus aktivis pergerakan. Di bidang pers, Semendawai pernah menjadi bagian dari LPM Keadilan (tingkat fakultas) di divisi keredaksian, dan di LPM Himmah (tingkat pusat) sebagai Ketua Divisi Penelitian dan Pengembangan. Memasuki tahun ketiganya, Semendawai juga aktif di Badan Perwakilan Mahasiswa (BPM). Sementara di organisasi ekstra, ia adalah aktivis di Himpunan Mahasiswa Islam (HMI). Ia juga turut mengembangkan pers lembaga ini dengan aktif di Lembaga Pers Mahasiswa Islam (LAPMI) HMI Cabang Yogyakarta.
Aktif di beberapa organisasi itu menjadikan interaksi Semendawai dengan pihak luar kampus semakin luas, terutama sesama aktivis kampus. Mereka sering dipertemukan tidak saja oleh kegiatan-kegiatan yang bersifat pengembangan diri atau organisasi, melainkan juga oleh kasus-kasus yang menyinggung rasa keadilan masyarakat. Kasus Kedung Ombo di Boyolali dan perampasan tanah masyarakat untuk pembangunan pabrik Olefin di Cilacap, adalah dua kasus besar yang didampingi Semendawai dan kawan-kawan sampai ke DPR Pusat. Sering bersentuhan dengan kasus ketidakadilan yang dirasakan masyarakat menghasilkan satu pegangan hidup bagi Semendawai, bahwa hidup tidak semata-mata untuk diri sendiri, tetapi juga untuk memikirkan masyarakat.
Tidak jauh berbeda dengan aktivis mahasiswa umumnya, berbagai kegiatan yang ia ikuti lalu berdampak pada presensi kuliah. Begitupun, kualitas keilmuan para aktivis pada masa itu tidak bisa dipandang sebelah mata. Semendawai sendiri adalah satu aktivis mahasiswa yang 6 Alumni Fakultas Hukum UI yang Menginspirasi Alumni Fakultas Hukum UI yang Menginspirasi 7 akrab dengan buku dan paling senang berdiskusi. Di kelas, ia bahkan sempat di-blacklist seorang dosen karena terlalu sering mendebat. Maka tidak heran kalau indeks prestasinya cukup rendah meski dengan masa studi yang terbilang normal (6 tahun). Semendawai baru mulai fokus menyelesaikan kuliahnya ketika ada desakan dari keluarga agar segera menyelesaikan studi. Satu hal yang diyakininya saat itu adalah bahwa indeks prestasi dan masa studi bukanlah ukuran keberhasilan, melainkan lebih pada kemampuan pribadi seseorang.
Tamat dari FH UII pada tahun 1991, kegiatan advokasi yang telah diakrabinya sejak mahasiswa terus berlanjut, namun dengan status berbeda: sebagai pengacara. Bersama kawan-kawan, ia membentuk Lembaga Kajian Hak-Hak Masyarakat (LEKHAT), sebagai wadah diskusi dan penanganan kasus-kasus yang dihadapi masyarakat, secara prodeo. Aktif selama dua tahun di lembaga ini, Semendawai sempat membuka kantor di Solo bersama beberapa kawan. Tapi, lembaga ini hanya bertahan setahun sebelum akhirnya bubar.
Tahun 1994, Semendawai kembali ke Yogyakarta dan aktif sebagai pengacara di Titi R Danumiharjo Lawfirm hingga 1998. Saat itu, kantor hukum ini adalah tempat bertemunya para pengacara, terutama yang berdomisili di Yogyakarta. Kondisi ini pula yang menjadikan Semendawai lalu mendapat banyak pengalaman menangani kasus hukum, di samping jaringan dengan teman sejawan juga menjadi semakin luas. Mereka membentuk perkumpulan pengacara muda bernama Yogyakarta Young Lawyers Club (YLC), terinspirasi dari ILC di Jakarta. Di YLC Semendawai dkk sempat menangani kasus-kasus yang merugikan masyarakat dengan memberikan layanan secara probono.
Hijrah ke Jakarta
Lama beraktivitas di kota pelajar, Semendawai kemudian melanjutkan aktivitas advokasinya di ELSAM (Lembaga Studi dan Advokasi Masyarakat), Jakarta pada 1998. Semendawai banyak melakukan advokasi policy di lembaga ini. Ia pernah terlibat dalam Komisi Penyelidik Pelanggaran Hak Asasi Manusia (KPP HAM) untuk Penghilangan Orang Secara Paksa yang disponsori oleh Komnas HAM, Koalisi NGO untuk Perbatasan, Judicial Review KKR, Koalisi Rakyat untuk Hak atas Air, Aliansi Reformasi KUHP, dan Koalisi Perlindungan Saksi. Keputusan pindah ke ibukota membawa dampak positif dalam pengembangan karir Semendawai. Sekitar dua tahun aktif sebagai pengacara di ELSAM, ia diangkat menjadi Koordinator Divisi Pelayanan Hukum.
Ketika aktif di LSM ini pula, Semendawai melanjutkan studi magisternya di Northwestern University School of Law, Chicago setelah mendapat beasiswa Fulbright. Lalu pada tahun 2007, ia sempat menjabat sebagai Deputi Direktur Program ELSAM sampai akhirnya terpilih menjadi komisioner LPSK pada tahun 2008. Mengemban amanah sebagai pimpinan lembaga negara tidak pernah terlintas di benak Semendawai sebelumnya.
Ketika lowongan sebagai komisioner dibuka pada Agustus 2007, ia bahkan belum berpikir untuk mendaftarkan diri. Bukan karena tidak ingin turut andil memajukan dinamika penegakan hukum di Indonesia, namun berbagai kegiatan yang sudah ada telah dirasa cukup memenuhi kegemarannya di bidang advokasi. Hanya saja, dorongan yang terus menerus datang dari kawan-kawan mulai mengubah pendiriannya, lalu yakin untuk mengajukan berkas pendaftaran. Itu pun dilakukan setelah panitia penerimaan memperpanjang masa pendaftaran. Tahap demi tahap dari proses penerimaan komisioner LPSK ini berhasil ia lalui. 8 Agustus 2008, Semendawai resmi diangkat oleh Presiden RI menjadi salah satu komisioner setelah sebelumnya dilakukan fit dan proper test di DPR. Kemudian, Semendawai terpilih pula menjadi ketua lembaga baru itu melalui pemilihan di tingkat komisioner LPSK.
Kondisi yang tidak jauh berbeda kembali didapati Semendawai ketika masa jabatan sebagai komisioner LPSK berakhir. Pengagum Presiden dan Wakil Presiden pertama RI ini awalnya sudah tidak lagi berniat mengikuti seleksi komisoner LPSK untuk periode berikutnya. Tapi dukungan yang datang kepadanya justru jauh lebih besar dibanding ketika mendaftar periode pertama.
Uniknya, setelah mendaftar dan mengikuti proses seleksi, Semendawai berhasil dan malah mendapat suara mutlak di DPR. Ini kemudian ia anggap sebagai pengakuan atas kinerja yang telah dilakukan sebelumnya. Di bawah kepemimpinan Semendawai, LPSK yang merupakan lembaga baru, memang banyak menyita perhatian setelah menangani beberapa perkara besar. Lembaga ini dinilai sangat aktif memainkan perannya di bidang perlindungan saksi dan korban. Tidak hanya terhadap orang penting yang terlibat kasus pidana, berbagai kasus yang melibatkan masyarakat biasa pun tidak luput dari pantauan lembaga ini.
Pesan Kepada Mahasiswa
Diterima sebagai mahasiswa Fakultas Hukum UII, menjadi awal perjalanan karir Abdul Haris Semendawai di dunia hukum. Baginya, apapun yang didapat di kampus ini ikut andil memberi pengaruh terhadap diri dan karirnya hingga saat ini. Ia meyakini hal tersebut juga terjadi kepada semua alumni FH UII lain yang pernah menduduki jabatan di lembaga negara. Atas dasar itu pula, alumni FH UII tahun 1991 ini menyatakan kebanggaannya bisa mengenyam studi di kampus ini, hal yang sama ia harapkan muncul di benak setiap mahasiswa yang berhasil diterima. Peningkatan kualitas keilmuan dan kemampuan praktis memang menjadi hal mutlak terus dilakukan, namun keyakinan terhadap tempat belajar juga penting. “UII adalah kampus bersejarah yang telah melahirkan banyak tokoh di Indonesia. Perlu ada keyakinan bahwa menjadi mahasiswa UII menjadi semacam tiket untuk sukses, sehingga bisa menjadi modal kepercayaan diri”, katanya dalam satu wawancara dengan
Diambil dari Buku Alumni Fakultas Hukum UII yang Menginspirasi, November 2014.