Penulis: M. Syafi’ie, S.H., M.H.
Dosen Fakultas Hukum Universitas Islam Indonesia (FH UII), Departemen Hukum Tata Negara
Direktur Pendidikan dan Advokasi Pusham UII
Beberapa topik pada debat calon presiden (capres) masih ramai diperbincangkan. Salah satunya, pernyataan capres Anies Baswedan yang mengungkap bahwa kebebasan berpendapat dan indeks demokrasi di Indonesia menurun. Bahkan, pemerintah dinilai kerap menggunakan pasal-pasal karet dalam UU ITE untuk memidanakan pihak-pihak yang mengkritisi kekuasaan.
Pernyataan itu menjadi diskusi menarik di kalangan komunitas, bahkan kedua kubu beradu data perihal kondisi demokrasi di Indonesia. Partisan Anies misalnya merujuk pada data indeks demokrasi versi Economist Intelligence Unit (EIU) yang menyatakan bahwa skor indeks demokrasi di Indonesia tergolong cacat (flawed democracy).
Skor indeks demokrasi Indonesia bisa dikatakan tidak full democracy, tetapi belum jatuh pada skor hybrid regime dan authoritarian. EIU dikelola Economist Group yang rutin menilai kondisi demokrasi di ratusan negara dunia yang didasarkan pada lima indikator, yaitu proses pemilu dan pluralisme politik, tata kelola pemerintahan, tingkat partisipasi politik masyarakat, budaya politik, dan kebebasan sipil.
Pada sisi yang lain, partisan pemerintah yang diwakili Prabowo Subianto merujuk pada data Badan Pusat Statistik (BPS) yang menyatakan bahwa tingkat demokrasi di Indonesia masuk dalam kategori baik. Bahkan, menurut BPS, indeks demokrasi Indonesia (IDI) selama tiga tahun terakhir mengalami kenaikan sejak 2020. IDI sendiri merupakan angka yang memperlihatkan tingkat perkembangan demokrasi di Indonesia yang substansi, metode, dan pelaksanaan olah datanya dijalankan secara kolaboratif oleh BPS, Bappenas, Kemenko Polhukam, Kemendagri, serta pemerintah daerah.
Data siapakah yang paling benar? Sebagai pembaca yang kritis, tentu kita akan melacak lebih detail dan memaknai secara substantif kualitas demokrasi yang dirasakan langsung oleh rakyat hari ini. Apalagi, menurut V-Dem Institute dalam Democracy Report 2023, sebanyak 43 persen jumlah populasi dunia saat ini hidup di negara-negara yang mengalami kemunduran demokrasi.
Bahkan, tingkat demokrasi secara global pada 2022 terdegradasi ke level yang sama dengan demokrasi pada 1986. Situasi itu ditandai, antara lain, dengan represivitas pemerintah terhadap masyarakat sipil, kebebasan berekspresi menurun, meningkatnya sensor pemerintah terhadap media, dan memburuknya kualitas pemilu. Indonesia dalam 10 tahun terakhir menurut laporan itu juga mengalami penurunan demokrasi bersama negara-negara Asia-Pasifik yang lain seperti Kamboja, Afghanistan, India, Bangladesh, Hongkong, Myanmar, Filipina, dan Thailand.
Substansi Demokrasi
Secara kebahasaan, demokrasi berasal dari kata demos yang berarti pemerintahan dan kratos yang berarti rakyat. Demokrasi dapat dimaknai sebagai pemerintahan rakyat yang dalam makna lain diartikan sebagai daulat rakyat dalam pemerintahan suatu negara. Cara pandang kedaulatan rakyat merupakan antitesis dari konsep negara yang dikuasai secara tunggal oleh raja, pemimpin agama, dan atau bentuk pemerintahan yang dijalankan dengan cara tiran, aristokrasi, dan atau oligarki.
Demokrasi setidaknya memiliki tiga nilai prinsip, yakni keadilan, kesetaraan dan persamaan hak, serta kebebasan dan kemerdekaan. Secara konseptual, demokrasi bisa dibaca secara substantif dan prosedural. Demokrasi substantif menghendaki demokrasi secara hakiki, yaitu demokrasi dinilai tegak dengan nilai atau budaya yang memungkinkan rakyat berdaulat dengan sesungguhnya. Kehidupan sosial bernegara memperlihatkan budaya saling menghormati, toleransi, anti kekerasan, serta tumbuhnya kebijakan yang berkeadilan sosial yang berdampak pada kesejahteraan yang merata.
Sementara itu, demokrasi prosedural menghendaki demokrasi pada level prosedur. Yaitu, adanya aturan atau prosedur formal yang mengandung nilai-nilai demokrasi yang aturannya bersifat nondiskriminasi, imparsial, dan independen.
Pertanyaan Kunci
Merujuk pada konsep demokrasi, apakah negara Indonesia sudah memenuhi kualifikasi sebagai negara demokrasi dan bagaimana kualitasnya? Secara konstitusional, Indonesia memilih demokrasi sebagai bentuk pemerintahannya. Pada Pasal 1 Ayat (2) UUD 1945 dinyatakan bahwa kedaulatan berada di tangan rakyat dan dilaksanakan menurut Undang-Undang Dasar.
Pertanyaan pentingnya lebih pada kualitas demokrasi itu sendiri, yaitu sejauh mana kedaulatan rakyat dijaga dan dihormati oleh penyelenggara pemerintahan? Seberapa jauh aktivitas dan keputusan politik pemerintahan melibatkan rakyat sebagai pemegang kedaulatan? Dan, sejauh mana setiap warga negara memiliki kedudukan yang sama di hadapan hukum?
Pertanyaan tersebut seiring dengan situasi keprihatinan terkait semakin renggangnya hubungan rakyat dengan wakil-wakil rakyat dan semakin renggangnya hubungan rakyat dengan pemerintahan yang dalam banyak hal mengesahkan regulasi yang tidak sejalan dengan pikiran dan tuntutan rakyat. Regulasi yang dikritisi misalnya UU Cipta Kerja, revisi UU KPK, revisi UU Mahkamah Konstitusi, UU Ibu Kota Negara (IKN), dan beberapa regulasi lain yang proses pembuatannya minim partisipasi dan secara substansi mempertebal aristokrasi dan oligarki yang menggerogoti pemerintahan.
Catatan lainnya terkait demokrasi Indonesia saat ini ialah semakin menguatnya intervensi kekuasaan terhadap kebebasan berpendapat dan pada sisi yang lain terjadi kriminalisasi terhadap para pembela hak asasi manusia. Amnesty International misalnya mencatat bahwa sedikitnya 328 kasus serangan fisik dan digital terjadi dan setidaknya 834 korban dalam periode Januari 2019 hingga Mei 2022. Beberapa aktivis pembela demokrasi dan HAM, di antaranya Haris Azhar dan Fatia Maulidiyanti, saat ini sedang diadili karena mendiskusikan hasil penelitian kasus Intan Jaya. Ada banyak kasus kriminalisasi yang kita bisa baca menjadi pertanda buruknya sistem demokrasi saat ini. Demokrasi Indonesia mengalami regresi, melorot, dan mundur yang hampir menyerupai represi rezim Orde Baru.
Tulisan ini telah dimuat dalam Koran Jawa Pos, 21 Desember 2023.