Penulis: M. Syafi’ie, S.H., M.H.
Dosen Fakultas Hukum Universitas Islam Indonesia (FH UII), Departemen Hukum Tata Negara
Direktur Pendidikan dan Advokasi Pusham UII
DPR mendadak menggelar rapat membahas tentang revisi Undang-Undang Pilkada. Rapat ini merupakan respon yang sangat cepat menyikapi dua putusan Mahkamah Konstitusi yang cukup menggembirakan publik. Putusan Mahkamah Konstitusi yang dibacakan pada Selasa, 20 Agustus itu seperti memberi angin segar bagi alam demokrasi, dan pada sisi yang lain mengagetkan elit oligarkhi kekuasaan yang telah membangun siasat panjang yang salah satunya terlihat dalam pencalonan Gubernur dan Wakil Gubernur Daerah Khusus Jakarta (DKJ) dan beberapa kandidat kunci yang telah disiapkan dalam pilkada serentak tahun ini.
Putusan pertama Mahkamah Konstitusi terkait syarat pencalonan kepala daerah dari jalur partai politik terkait dengan ambang batas (threshold). Mahkamah Konstitusi menyatakan bahwa Pasal 40 ayat (1) UU No. 10 Tahun 2016 tentang Pemilihan Kepala Daerah inkonstitusional bersyarat. Dampaknya, syarat pencalonan kepala daerah yang sebelumnya mewajibkan partai politik atau gabungan partai politik memiliki sekurang-kurangnya 20% kursi di DPRD atau 25% dari akumulasi perolehan suara sah dalam pemilu anggota DPRD di daerah tersebut, kini hanya didasarkan pada hasl perolehan suara sah dalam pemilu DPRD. Keputusan ini membuka peluang partai-partai kecil dapat mencalonkan kandidat kepala daerah tanpa harus berkoalisi dengan partai lain.
Putusan Mahkamah Konsitusi kedua yang tidak kalah menarik terkait dengan pemaknaan syarat usia pencalonan kepala daerah. Mahkamah Konstitusi memutuskan bahwa persyaratan usia minimum harus dipenuhi calon kepala daerah dan calon wakil kepala daerah ketika mendaftarkan diri sebagai calon. Titik penentuan usia minimum dimaksud dilakukan pada proses pencalonan yang bermuara pada penetapan calon kepala daerah dan calon wakil kepala daerah. Putusan Mahkamah Konsitusi ini memberikan penetapan bahwa syarat usia dihitung sejak penetapan pasangan calon kepala daerah, bukan sejak pelantikan sebagaimana dalam putusan Mahkamah Agung sebelumnya.
Ihwal gawat setelah putusan Mahkamah Konstitusi adalah sikap Baleg DPR, dimana institusi ini melawan terhadap putusan Mahkamah Konstitusi dengan melakukan beberapa revisi terhadap UU Pilkada. Pertama, terkait perubahan Pasal 7 ayat 2 huruf E UU Pilkada, Panja Baleg DPR merumuskan batas usia calon Gubernur dan Wakil Gubernur minimal 30 tahun terhitung sejak pelantikan pasangan calon terpilih dengan merujuk pada putusan Mahkamah Agung dan menyimpangi putusan Mahkamah Konstitusi. Sedangkan terkait Pasal 40 UU Pilkada yang mengatur tentang ambang batas (threshold), Panja Baleg DPR merumuskan revisi Undang-Undang bahwa ambang batas pencalonan sebesar 6,5 sampai 10% suara sah hanya berlaku bagi partai politik non kursi di DPRD, dan untuk ambang batas pencalonan bagi partai politik kursi di DPRD adalah sebesar 20% dari jumlah kursi di Dewan atau 25% dari perolehan suara yang sah.
Sesuai jadwal, DPR berencana akan segera menggelar rapat paripurna dan secepat mungkin mengesahkan rancangan perubahan keempat Undang-Undang Pilkada. Sikap gawat Baleg DPR ini mengundang protes dan menciptakan keprihatinan luar biasa. Masyarakat yang memiliiki media sosial tergerak memposting gambar garuda dengan latar belakang warna biru, dengan tulisan “peringatan darurat”. Postingan darurat bernengara ini membesar, trending, dan organisasi masyarakat sipil mulai berkonsolidasi untuk melakukan aksi serentak melawan arogansi sikap DPR yang dianggap menciderai konstitusi, semangat negara hukum, dan dinilai mementingkan transaksi kekuasaan politik semata.
Peringatan Darurat
Postingan gambar burung garuda dengan pesan “peringatan darurat” memberi pesan kepada kita semua bahwa negara Indonesia saat ini sedang tidak baik-baik saja. Postingan ini tentu didasari oleh kegelisahan yang cukup panjang dari catatan perilaku aktor-aktor oligarkhi yang bermain dengan sedemikian banal, khususnya praktik penggunaan kekuasaan untuk membangun dinasti politik sebagaimana dalam pemilihan Presiden-Wakil Presiden dan hasilnya begitu benderang terlihat saat ini. Konstitusi yang dijunjung tinggi dipermainkan, aturan bersama diterobos dengan kesewenang-wenangan, dan aparat hukum diperalat untuk mendukung kepentingan kekuasaan yang menyimpang.
Catatan penting kondisi kekuasaan sebagaimana rilis beberapa organisasi masyarakat sipil antara lain terlihat dari pembungkaman kritik dengan penggunaan UU ITE, menguatnya represi aparat kemanaan, pengembosan parlemen dengan merangkul lawan-lawan politik, pengendalian partai politik, pembuatan regulasi yang menghilangkan partisipasi bermakna, pembangunan infrastruktur yang menggusur rakyat, pelemahan instituski KPK, hilangnya fungsi check and balances DPR, hutang negara yang terus bertambah dan pada sisi yang lain pemerintah terlihat lemah kemampuannya untuk membayar, serta pembungkaman ormas-ormas dengan pembagian tambang yang tidak tepat.
Postingan “peringatan darurat” oleh berbagai lapisan masyarakat sipil yang utamanya ditujukan kepada DPR menjadi titik paling rendah betapa rakyat tidak memiliki tumpuan sama sekali saat ini. DPR yang notabene dilekatkan dengan fungsi perwakilan (representation) dan pengawasan (control) saat ini telah kehilangan fungsi dan mandatnya. Hak istimewa yang diberikan kepada DPR seperti hak interpelasi, hak angket, hak menyatakan pendapat, hak mengajukan pertanyaan, dan hak menyampaikan usul jarang sekali masyarakat dengar. Kekuasaan eksekutif terlihat digdaya dan tanpa pengawasan yang selayaknya dari institusi DPR. Benar beberapa pihak yang menyatakan bahwa DPR saat ini telah kehilangan ruhnya, konsep pemisahan kekuasaan dan check and balances tidak berjalan, dan kekuasaan legislatif tunduk patuh pada titah kekuasaan eksekutif.
Negara Hukum
Di balik postingan “peringatan darurat” muncul pertanyaan, apakah Indonesia saat ini masih negara hukum (rule of law, rechtsstaat) sebagaimana tercantum dalam konstitusi? Ataukah sudah berubah menjadi negara kekuasaan (machtstaat)? Negara kekuasaan menyatakan bahwa hukum tertinggi dalam negara adalah kehendak penguasa, dan rakyat tidak diberi ruang untuk mengkritisi kekuasaan. Sedangkan negara hukum bermakna bahwa penyelenggaraan pemerintahan dalam negara dijalankan berdasarkan hukum. Unsur penting negara hukum menurut A.V Dicey ialah supremasi aturan-aturan hukum (supremacy of law), tidak adanya kekuasaan yang sewenang-wenang (absence of arbitrary power), kedudukan yang sama di hadapan hukum (equality before the law), dan jaminan terhadap hak asasi manusia dalam perundang-undangan dan keputusan-keputusan pengadilan.
Menurut Frederich Julius Stahl, beberapa unsur penting negara hukum adalah perlindungan hak asasi manusia, pemisahan atau pembagian kekuasaan untuk menjamin hak-hak itu, pemerintahan berdasarkan peraturan perundang-undangan, dan peradilan administrasi dalam perselisihan. Persamaan penting konsep negara hukum menurut A.V Dicey dan dan Julius Stahl adalah adanya perlindungan hak asasi manusia sebagai unsur fundamental negara hukum. Dalam hal ini, tata kelola negara hukum harus memastikan bahwa tindakan dan kebijakan negara tidak boleh sewenang-wenang sehingga menciderai hak-hak masyarat dan demokrasi.
Kita tahu, Mahkamah Konstitusi di Indonesia adalah salah satu lembaga tinggi negara yang melakukan kekuasaan kehakiman yang begitu lekat dengan penjaga kewibawaan negara hukum. Keberadaanya dikasih wewenang besar untuk mengadili pada tingkat pertama dan terakhir. Putusannya bersifat final yang salah satunya untuk pengujian Undang-Undang terhadap Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia. Dalam hal ini, Mahkamah Konsitusi adalah penjaga gawang konsitusi yang notabene merupakan hukum dasar tertinggi negara, karena itu lembaga ini dikenal sebagai the guardian of constitusional, dan juga the final interpreter of constitution. Kewenangan ini cukup strategis untuk menjaga eksistensi negara hukum, semangat demokrasi, dan jaminan perlindungan hak asasi manusia yang kerap dilemahkan oleh kekuasaan eksekutif dan bahkan oleh lembaga legislatif.
Identitas negara hukum Indonesa saat ini sedang mengalami krisis serius dimana ada tarikan taktik yang mendorong tata kelola negara sepenuhnya dikendalikan oleh kekuasaan eksekutif. Aktor-aktor kunci yang berada di cabang kekuasaan yang lain telah ditaklukkan dan menyebabkan independensi dan krisis kelembagaan. Karena itu, dua putusan Mahkamah Konstitusi terakhir sedikit banyak telah menyentak kesadaran publik, ternyata masih ada hakim dan putusannya yang menjaga semangat negara hukum, idealitas demokrasi, dan ketinggian berkonstitusi. Kita tahu dua putusan Mahkamah Konstitusi akan dilawan kekuatan oligakhi kekuasaan, dan kita sudah lihat dengan terang aktor dan institusi perusak konstitusi itu.
Tulisan ini telah dimuat dalam Kompas, 23 Agustus 2024.