Pemilihan umum serentak sebentar lagi. Pada tanggal 17 April 2019 rakyat Indonesia akan terfasilitasi hak pilihnya, baik Presiden-Wakil Presiden, Dewan Perwakilan Daerah (DPD), Dewan Perwakilan Rakyat (DPR), serta Dewan Perwakilan Rakyat Derah (DPRD), Provinsi dan Kabupaten/Kota. Begitu pentingnya pemilihan kepemimpinan Indonesia ini, penting mengingat kembali bagaimana praktek pemenuhan hak pilih difabel dalam kontestasi pemilihan telah lewat, sekaligus mempertanyakan bagaimana kesiapan Komisi Pemilihan Umum (KPU) yang beberapa hari lalu telah melakukan simulasi pemungutan suara.

Pada tahun 2014, Sasana Inklusi dan Gerakan Advokasi Difabel  (SIGAB) melakukan monitoring pemilu dan menemukan beberapa catatan penting, pertama, di lapangan ditemukan kondisi tidak pekanya Kelompok Penyelenggara Pemungutan Suara (KPPS) dan berdampak pada perlakuan yang tidak tepat untuk pemilih difabel. Hal itu terlihat dari desain tempat pemilihan yang tidak aksesibel dan para petugas yang tidak dapat berinteraksi dengan selayaknya. Kedua, form yang berisi pernyataan pendamping pemilih, terabaikan. Petugas KPPS hanya membantu pencoblosan difabel netra sehingga tidak terjamin hak pilihnya yang bebas dan rahasia. Ketiga, beberapa pemilih difabel harus merangkak ke lokasi TPS karena tempat pemilihannya yang bertangga, licin, dan terdapat selokan tanpa titian. Keempat, pemilihan yang rahasia juga tidak terjamin karena lokasi TPS yang bilik suaranya berdekatan satu sama lain, desain bilik suara yang tanpa sekat, TPS berada di lorong pemukiman yang sempit, dan meja pencoblosan di bilik suara tidak kokoh, padahal pemilih difabel daksa tertentu membutuhkan tumpuan berpengangan, ditambah lagi desain kotak suara yang terlalu tingi dan tidak terjangkau pemilih difabel daksa. Kelima, di lokasi pemilihan difabel banyak yang tersudutkan karena kerap menjadi tontonan.

Monitoring yang dilakukan SIGAB memperlihatkan betapa belum jelasnya pemenuhan hak pilih difabel pada tahun 2014. Bahkan, pada saat itu sekelompok difabel netra atas nama Suhendar, Yayat Ruhiyat, Yuspar dan Wahyu mengajukan judicial review Pasal 142 ayat (2) Undang-Undang No. 8 tahun 2012 tentang Pemilihan Umum Anggota DPR, DPD dan  DPR ke Mahkamah Konstitusi, yang intinya mempermasalahkan Pasal 142 ayat (2) karena tidak memasukkan frase ‘template braile’ yang berakibat difabel netra tidak dapat memilih secara fair di pemilihan anggota DPR dan DPRD Provinsi dan Kabupaten/Kota. Para pemohon menyatakan bahwa Pasal 142 ayat (2) bertentangan dengan Pasal 28I ayat (2) UUD 1945 yang menyatakan bahwa setiap orang berhak bebas dari perlakuan yang bersifat diskriminatif atas dasar apapun dan berhak mendapatkan perlindungan terhadap perlakuan yang bersifat diskriminatif.

Tidak dipenuhinya template braile dalam pemilu 2014 bagi difabel netra berakibat pada pelanggaran hak pilih difabel, khususnya hak pilih yang semestinya bebas dan rahasia. Situasi tersebut kemudian mendorong sebagian komunitas difabel netra melakukan uji materi di Mahkamah Konsitusi. Dan pada sisi yang lain, difabel secara umum memberikan catatan serius betapa sarana prasana penyelengaraan pemilu masih belum aksesibel dan petugas layanannya belum memahami etiket beriteraksi dengan warga difabel.

Pemilu Saat ini

Setelah melihat kenyataan penyelenggaraan pemilu yang telah lewat, bagaimanakah jaminan hukum pemenuhan hak memilih difabel saat ini? Pasal 356 ayat (1) Undang-Undang No. 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum berbunyi, “Pemilih disabilitas netra, disabilitas fisik, dan yang mempunyai halangan fisik lainnya pada saat memberikan suaranya di TPS dapat dibantu oleh orang lain atas permintaaan pemilih.” Pada ayat (2) berbunyi, “Orang lain yang membantu Pemilih dalam memberikan suara sebagaimana dimaksud pada ayat (1) wajib merahasiakan pilihan Pemilih.” Aturan serupa termaktub pada Pasal 364 yang mengatur pemilih difabel yang memberikan suaranya di TPSLN.

Norma yang spesifik mengatur tentang pemilu di atas memperlihatkan betapa perumus Undang-Undang No. 7 Tahun 2017 belum memahami bagaimana pemenuhan hak pilih difabel semestinya difasilitasi dalam rumusan norma yang sesuai dengan tuntutan komunitas warga difabel. Bahkan Undang-Undang tersebut mengulang pendekatan lama yang bersifat charity, di mana difabel masih perlu dibantu dan dikasihani dalam pencoblosan. Pendekatan ini sudah tidak relevan karena sudah tidak sesuai dengan pendekatan human rights yang diatur dalam Undang-Undang No. 8 Tahun 2016 tentang Penyandang  Disabilitas dan Undang-Undang No. 19 Tahun 2011 tentang Pengesahan Konvensi Hak-Hak Penyandang Disabilitas.

Terlepas dari titik lemah Undang-Undang No. 7 Tahun 2017, beberapa hal yang harus dikawal adalah komitmen Komisi Pemilihan Umum (KPU) untuk memastikan agar penyelenggaraan pemilihan umum serentak pada tahun  ini tidak mengulang kesalahan pemilu-pemilu sebelumnya, dimana warga difabel terlanggar hak dengan sedemikian rupa. Karena itu, penulis mengapresiasi komitmen beberapa komisioner anggota KPU, semisal KPU DIY yang meminta tempat pemungutan suara agar didesain akses bagi difabel. Bahkan dalam satu kesempatan, salah seorang anggota Dewan Kehormatan Penyelenggara Pemilu (DKPP) telah menyatakan agar penyelenggaraan pemilu tahun ini tidak diskriminatif kepada difabel. Karena dari 13 etika penyelenggaraan pemilu, salah satunya adalah mandate agar Penyelenggara Pemilu wajib memastikan aksesibilitas pemilu, yaitu tersedianya sarana prasarana yang memudahkan bagi semua orang, salah satunya bagi warga difabel.

Mengenali Hambatan

Memenuhi hak pilih difabel, pertama-tama yang harus dipahami Penyelenggara Pemilu adalah hambatan difabel. Secara umum, difabel ada yang mengalami hambatan penglihatan, ada yang mengalami hambatan pendengaran, hambatan mobilitas, komunikasi, mengingat dan berkonsentrasi, serta ada yang memiliki hambatan perilaku dan emosi. Dari hambatan tersebut, kewajiban yang harus dilakukan Penyelenggara Pemilu diantaranya adalah memastikan agar disediakan template braile untuk pemilih difabel netra, tempat pemilihan harus didesain aksesibel atau memudahkan bagi pemilih yang memiliki hambatan bergerak atau bermobilitas, dan di tempat pemilihan umum semestinya juga disediakan penerjemah bahasa isyarat untuk kepentingan difabel tuli atau orang pada umumnya yang memiliki hambatan untuk berkomunikasi. [18 Maret Sindo 2019]

M. Syafi’ie, S.H., M.H.
(Dosen Fakultas Hukum UII,  Peneliti SIGAB dan Pusham UII)

“maka dirikanlah sholat, sesungguhnya sholat itu adalah kewajiban yang telah ditentukan waktunya atas orang-orang yang ber-Iman (Ani-Nisa ayat 103)”

Teknologi di era 4.0 sedang disosialisasi sedemikian rupa oleh pemerintah Repubik Indonesia untuk menjawab tantangan globalisasi yang selalu berkembang sangat cepat. Salah satu ciri sudah memasuki era 4.0 adalah pemanfaatan teknologi yang sudah menjadi alat penunjang atau sarana dalam kehidupan sehari-hari. Bahkan pemanfaatan teknologi ini dapat saja menjadi sebuah industri baru pada era ini. Satu dari beberapa ciri zaman di era teknologi 4.0 adalah adalah penggunaan aplikasi-aplikasi modern yang menjadi sarana untuk kemudahan hidup manusia. Aplikasi ini digunakan sebagai shortcut (jalur pintas) problem-problem atau masalah-masalah yang terjadi didalam kehidupan sehari-hari menjadi lebih mudah atau bahkan praktis.

Perkembangan ilmu falak di Indonesia saat ini seimbang dengan penggunaan sarana teknologi. Teknologi dapat menjadi alat bantu dalam menghitung, menentukan, bahkan mempermudah dalam melakukan ibadah shalat. Semakin berkembangnya teknologi tentunya dapat semakin menambah keakuratan dalam membantu perkembangan ilmu falak khususnya pada konteks penghitungan waktu shalat. Keakuratan tersebut tentunya harus ditunjang dengan data, dan kepastian lokasi titik bujur tempat, zona waktu dan lintang tempat sesuai daerah masing-masing tempat. Saat ini aplikasi tentang penerapan falak sudah banyak di buat di Indonesia, bahkan beriringan dengan kementerian agama pun turut mengeluarkan waktu-waktu yang tepat terkait awal pelaksanaan sholat.

Dalam penentuan waktu-waktu awal pelaksanaan sholat, pemerintah perlu kiranya memperhatikan lokasi-lokasi di tiap daerah secara rinci. Hal ini kembali kepada kepastian dari titik lokasi masing-masing masjid. Mengingat perbedaan titik lokasi saja sudah mampu menimbulkan perbedaan waktu awal sholat. Gambaran itu sudah tertuang pada sumber jadwal sholat berdasarkan sistem informasi manajemen bimas islam Kementerian Agama Republik Indonesia. Dasar penentuan waktu tersebut menggunakan rumus kordinat lokasi seperti : garis bujur (latitude), garis lintang (longtitude), ketinggian lokasi dari permukaan laut (height) dan zona waktu (Z). Untuk memudahkan penentuan waktu sholat yang berbeda-beda lokasi dimana perbedaan itu berbasis pada letak lokasi baik itu karena perbedaan bujur dan lintang, maka perlu kiranya penggunaan teknologi hadir sebagai solusi.

Beberapa teknologi aplikasi saat sudah mampu menunjukkan keberadaan dan awal waktu sholat yang tepat, tetapi apakah waktu-waktu tersebut sudah di tashih oleh lembaga yang berwenang ?, apabila sudah ditashih apakah waktu-waktu itu sudah akurat ? terkoneksi dari masing-masing zona tempatnya ? Untuk menjawab itu semua perlu sinergi peran antara lembaga terkait ilmu falak dan  teknologi baik dari unsur perguruan tinggi dan pemerintah serta peran aktif masyarakat antara lain : (1) peran pemerintah dalam menentukan kebijakan pengaturan jadwal sholat yang berbasis pada titik-titik lokasi masing-masing masjid. Hal ini diyakini bahwa titik-titik masjid pada tiap daerah itu mempunyai perbedaan waktu walaupun sedikit. (2) perguruan tinggi berperan untuk mengkaji dan meyakinkan kepada masyarakat bahwa teknologi perlu digunakan walaupun itu berkaitan dengan ibadah. Pengkajian tentang peran teknologi informasi dalam ilmu falak perlu dijembatani oleh pendekatan-pendekatan ilmiah. Disamping itu perguruan tinggi merupakan rumah inovasi yang akan mendampingi pemerintah didalam menjawab problem keumatan. (3) melalui masyarakat perkembangan teknologi dan penerapan waktu sholat ini diimplementasikan. Masyarakat sebagai stakeholder dari teknologi serta pengguna kajian ilmu falak perlu mendapatkan benang merah manfaat dari teknologi. Jangan sampai dengan adanya teknologi dalam ibadah itu ditolak oleh masyarakat karena teknologi dianggap hal bid’ah, melainkan dengan adanya teknologi justru membawa pada masyarakat untuk rajib ibadah.

Umat islam di Indonesia harus dapat mengambil manfaat dari adanya perkembangan teknologi saat ini, khususnya digunakan untuk kepentingan yang dapat lebih mendekatkan diri pada sang pencipta Allah SWT. Dalam hal ini teknologi harus dirancang untuk dapat memudahkan umat islam dalam beribadah, mendekatkan diri pada Allah SWT, dan disebarkan untuk kemaslahatan dan manfaat bagi umat islam yang lain.

Kegiatan seminar nasional keislamaan dengan tema “mengembangkan ilmu falak berbasis pada teknologi di era 4.0 : peluang dan tantangannya ini sengaja dirancang untuk diselenggerakan oleh Universitas Islam Indonesia ,Kementerian Agama Kabupaten Sleman, dan Lembaga Teknindo dalam rangkat memberikan pengetahuan tentang peluang dan tantangan dalam hal perkembangan ilmu falak di era 4.0.

 

Pernah diterbitkan di Media Massa di Yogyakarta
Umar Haris Sanjaya, S.H., M.H. Dosen Muda FH UII yang juga sedang studi lanjut Program Doktor UNAIR dan
Kepala Divisi Pengembangan DPPAI UII / Dosen Fakultas Hukum UII

Penulis: Dr. Idul Rishan, S.H., LL.M

Dosen Fakultas Hukum Universitas Islam Indonesia (FH UII), Departemen Hukum Tata Negara

 

Jika mencermati hasil perubahan UU KPK (UU Nomor 19 tahun 2019), maka arah politik hukumnya jelas. Mengubah simpul kelembagaan KPK dari lembaga independen, menjadi lembaga pemerintah. Dalam Pasal 3 revisi UU KPK disebutkan bahwa, “Komisi Pemberantasan Korupsi adalah lembaga negara dalam rumpun kekuasaan eksekutif yang dalam melaksanakan tugas dan wewenangnya bersifat independen dan bebas dari pengaruh kekuasaan manapun”. Tegasnya, pasal a quo dapat dikatakan sebagai “jantung” atas hasil perubahan UU KPK. Melalui ketentuan tersebut, tak ubahnya KPK sebagai mandataris Presiden.

Mengingat secara hierarkis kelembagaannya berada di bawah kuasa presiden, maka KPK berwarna eksekutif. Tak heran jika manajemen kepegawaian di KPK wajib bercorak eksekutif. Mulai dari status penyidik, sampai dengan promosi mutasi yang tunduk pada regulasi Aparatur Sipil Negara. Bukan hanya soal kepegawaian, kehadiran Pasal 3 juga menginisiasi lahirnya pasal-pasal lain yang menyangkut Dewan Pengawas. Perangkat ini mempunyai kewenangan yang superior, bahkan dibekali kuasa “pro justisia”. Bila tak ada aral membentang, perangkat inipun akan dibentuk melalui kuasa presiden. Meskipun dalam pasal a quo diberikan “irah-irah” independen dalam melaksanakan tugas dan wewenangnya, kenyataannya sulit untuk dibenarkan. Relasi kuasa yang bersifat vertikal dengan presiden, cenderung membuat KPK berayun menjadi ‘depeden’.

Cabang Ke-4

Dalam perkembangannya, revisi UU KPK menjadi simbol dekadensi terhadap praktik demokrasi di Indonesia. Betapa tidak, dibentuknya KPK merupakan kritik atas lemahnya independensi Kepolisian dan Kejaksaan dalam pemberantasan tindak pidana korupsi. Mengingat Kepolisian dan Kejaksaan secara hierarkis berada di bawah kuasa eksekutif, maka KPK hadir sebagai lembaga independen. Baer menuliskan bahwa kehadiran lembaga independen muncul sebagai trigger atas cara kerja lembaga konvensional yang dinilai tak lagi efektif (Susan Baer:1988). Tesis Baer diperkuat oleh Ackerman yang menyatakan bahwa lembaga independen merupakan gejala otokritik terhadap pemisahan kekuasaan secara konvensional antara eksekutif, legislatif, dan yudikatif. Ackerman melihat kecenderungan Amerika yang telah mengadopsi pemisahan kekuasaan berdasar empat cabang yakni eksekutif, legislatif, yudisial dan organ independen (Bruce Ackerman:2000). Demikian halnya selepas transisi politik bergulir di Indonesia.  Studi Mochtar  mencatatkan bahwa ketidakpercayaan publik terhadap lembaga negara yang telah ada, mendorong lahirnya lembaga independen untuk melaksanakan tugas dan diidealkan memberikan kinerja baru yang lebih terpercaya (Zainal Mochtar:2016).

Dengan menempatkan KPK di bawah kuasa Presiden, justru menjadi sangat kontraproduktif terhadap respon percepatan kebutuhan demokrasi. Sudah menjadi rahasia umum, korupsi di sektor eksekutif menjadi agenda yang tak luput dari kinerja KPK selama ini. Suap di pelbagai sektor kementerian, hingga korupsi kepala daerah seolah menjadi penanda bahwa kekuasaan eksekutif menjadi anasir yang terus memberikan ancaman dari perilaku elit politik. Bisa dibayangkan, sebagai institusi yang berada di bawah kuasa presiden, KPK bisa terjebak pada konflik kepentingan. Bahkan, studi berbobot yang pernah dilakukan Madril menjadi sangat menarik. Madril mencatatkan tak ada lembaga di bawah kuasa presiden yang kinerja dan prestasinya baik dalam memberantas korupsi. Sebagai contoh Badan Pengawas Kegiatan Aparatur Negara (Bapekan) di bawah Soekrano dan Operasi Tertib (Opstib) di bawah Soeharto (Oce Madril:2018).

Penafsiran MK

Kembali dalam perdebatan pembentukan Pasal 3. Dalam beberapa jajak pendapat media cetak dan elektronik, pembentuk undang-undang mengklaim bahwa politik hukum Pasal 3 perubahan UU KPK merupakan tindak lanjut atas putusan MK Nomor 36/PUU-XV/2017. Bila kembali membuka riwayat putusan MK, ada empat putusan lainnya yang juga memberikan penafsiran atas kedudukan dan independensi kelembagaan KPK. Di antaranya,  Putusan No 012-016-019/PUU-IV/2006, Putusan No 37-39/PUU-VIII/2010, Putusan No 5/PUU-IX/2011dan Putusan No 49/PUU-XI/2013. Empat putusan sebagaimana disebutkan di atas berada pada satu nafas yang sama. Bahwa KPK merupakan lembaga independen, dan mempunyai sifat penting dalam struktur kekuasaan negara. Membaca kondisi demikian, lantas putusan mana yang harus diikuti ? hemat penulis, putusan 36/PUU-XV/2017 tidak sepenuhnya dapat dijadikan alasan pembenar pembentukan Pasal 3 perubahan UU KPK.

Ada dua alasan yang mendasari. Pertama, perkara ini tidak menguji pasal-pasal dalam UU KPK terhadap UUD, melainkan  menguji Pasal 79 ayat (3) UU MD3 terhadap Pasal 28D ayat (1) UUDN RI Tahun 1945. Ihwal pengajuan perkara ini semata-semata untuk memperluas kewenangan DPR untuk melaksanakan fungsi pengawasan melalui hak angket, bukan dalam konteks perubahan format kelembagaan KPK. Mengingat KPK melaksanakan fungsi-fungsi eksekutif, hak angket dapat digulirkan sepanjang tidak mendistorsi fungsi penyelidikan, penyidikan dan penuntutan. Kedua, dalam teori interpretasi konstitusi, Strauss mempopulerkan penafsiran “living constitution”. Strauss menuliskan bahwa dalam konteks penemuan hukum,  majelis hakim dimungkinkan mengubah pendiriannya atas putusan-putusan sebelumnya, sepanjang menyebutkan alasan perubahan dalam amar putusannya (David A Strauss:2011). Dalam Putusan No 36/PUU-XV/2017, tak ada satupun alasan di dalam amar putusan (ratio decidendi) yang menegaskan bahwa majelis mengubah pendiriannya atas empat putusan terdahulu. Sehingga dengan menempatkan KPK di bawah kuasa Presiden, pembentuk undang-undang cenderung bersandar pada basis teoritik yang ringkih. Mencermati sejumlah pertimbangan di atas, tentunya pasal 3 perubahan UU KPK menjadi materi yang laik diujikan di Mahkamah Konstitusi.

 

Tulisan ini pernah dimuat dalam rubrik Pendapat, KORAN TEMPO, 5 November 2019.


Penulis: Dr. Idul Rishan, S.H., LL.M

Dosen Fakultas Hukum Universitas Islam Indonesia (FH UII), Departemen Hukum Tata Negara

 

Jika hasil revisi Undang-Undang Komisi Pemberantasan Korupsi (UU KPK) telah resmi diundangkan, Mahkamah Konstitusi (MK) akan menerima sejumlah permohonan pengujian dari berbagai pihak. Mungkin, mulai dari kelompok akademisi, pegiat antikorupsi, sampai dengan tokoh masyarakat. Meskipun permohonan diajukan dari golongan yang beragam, substansi kerugian konstitusionalnya akan sama. Memohon kepada majelis hakim, agar pasal-pasal revisi UU KPK dinyatakan inkonstitusional dan tidak lagi memiliki kekuatan hukum   secara mengikat. Dalam logika penulis, pengujian revisi UU KPK bukan perkara yang mudah. Meskipun hasil revisi mendapatkan tekanan publik secara masif, pandangan majelis hakim belum tentu sejalan dengan kelompok mayoritas yang menolak revisi UU KPK. Ada sejumlah tantangan yang perlu diperhatikan bagi para pemohon, termasuk dalam membangun logika kerugian konstitusional di MK.

 

Logika Pengujian

Dalam logika pengujian, ada dua alasan yang menjadi basis utama pengujian undang-undang di MK. Pertama, ialah alasan formil. Melihat keabsahan prosedur pembentukan rancangan undang-undang itu dilakukan. Kemudian kedua, ialah alasan materil. Melihat kesesuaian materi muatan undang-undang terhadap norma yang lebih tinggi (dalam hal ini UUD). Secara formil, proses pembentukan revisi UU KPK dinilai cacat formil karena dikebut hanya dalam tiga belas hari, dan tidak berada pada daftar prioritas prolegnas. Tidak heran jika para pegiat antikorupsi menyebut bahwa pembentukan dan pembahasan revisi UU KPK cenderung dilakukan secara “ugal-ugalan”. Minus partisipasi, naskah akademik yang tidak transparan, dan tajam akan kepentingan parpol. Jika merujuk UU Nomor 12 Tahun 2011 Tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan, Pasal 45 mensyaratkan setiap RUU baik dari DPR dan Presiden disusun berdasarkan program legislasi nasional. Di samping itu, Pasal 44 juga mengatur bahwa  setiap RUU yang diusulkan wajib disertai dengan naskah akademik. Namun perlu diperhatikan.  Di saat yang sama, akhir masa bakti anggota DPR 2014-2019 juga mengesahkan revisi UU Pembentukan Peraturan Perundang-undangan. Dalam revisi UU yang baru, diatur dalam Pasal 23 ayat (2) bahwa dalam keadaan tertentu DPR atau Presiden dapat mengajukan RUU di luar Prolegnas. Dengan alasan keadaan luar biasa, konflik, bencana alam, atau keadaan tertentu lainnya, yang memastikan adanya urgensi nasional. Kehadiran pasal ini, membuka ruang bagi DPR dan Presiden,  untuk mengusulkan dan membahas secara cepat RUU atas alasan kondisi tertentu. Konsekuensinya, hal ini akan membawa tantangan baru bagi pemohon atas dalil-dalil formil yang akan diajukan di MK.

Selain tantangan pada asepk formil, para pemohon juga akan dihadapkan dengan sejumlah tantangan pada aspek materil. Para pemohon akan dihadapkan pada situasi yang tidak mudah, mengingat KPK tidak memperoleh legitimasi kewenangan secara langsung berdasarkan UUD. Ia dibentuk berdasarkan UU, yang pada prinsipnya merupakan sebuah kebijakan politik hukum terbuka (open legal policy). Sifat pengujian di MK tentu akan bersandar pada kesesuaian norma lebih rendah terhadap norma yang lebih tinggi. Dalam yurisprudensi MK, ada empat putusan yang menyatakan bahwa meskipun KPK dibentuk berdasarkan UU, tetapi KPK mempunyai sifat penting dalam struktur ketatanegaraan (constitutional importance).  Sebagaimana tertuang dalam Putusan No 012-016-019/PUU-IV/2006, Putusan No 37-39/PUU-VIII/2010, Putusan No 5/PUU/IX/2011, dan Putusan MK No 49/PUU-XI/2013. Bahwa KPK merupakan badan-badan lain yang fungsinya berkaitan dengan kekuasaan kehakiman, sebagaimana bunyi Pasal 24 ayat (3) UUDN RI. Tantangan yang kemudian muncul ialah, dalam Putusan terakhir MK No 36/PUU-XV/2017, majelis mengubah pendiriannya dengan menyatakan bahwa KPK bercorak eksekutif, karena alasan melaksanakan fungsi eksekutif. Artinya ini akan menjadi tantangan tersendiri bagi para pemohon untuk membangun silogisme konstitusional, bahwa pasal-pasal kontroversial dalam revisi UU KPK bertentangan dengan UUD. Selain aspek formil materil, tantangan lain yang perlu diperhatikan ialah perihal imparsialitas hakim konstitusi. Dalam prinsip independensi peradilan, para majelis hakim tidak boleh terpengaruh dengan besarnya tekanan publik atas perkara yang disidangkan (Contini & Mohr:2007). Bisa jadi, gelombang penolakan mahasiswa secara masif tidak akan memengaruhi pendirian hakim dalam memeriksa dan memutus perkara. Logika sederhananya, pengujian undang-undang yang menuai begitu banyak penolakan publik, belum tentu bertentangan dengan norma yang lebih tinggi.

Penalaran Hakim

Terlepas dari segala tantangan yang akan di hadapi para pemohon, hal yang tidak kalah pentingnya ialah mengurai metode penalaran yang akan digunakan para hakim di mahkamah.   Disadari atau tidak, sembilan hakim di MK memiliki preferensi ilmiah yang berbeda-beda. Sebagaimana dituliskan Dahl, bahwa preferensi ilmiah menjadi dasar  keyakinan hakim dalam menjatuhkan vonisnya (Robert Dahl:1963). Tidak heran jika dalam sebuah perkara pengujian undang-undang di MK, adakalanya putusan tidak di ambil secara bulat. Ada yang dissenting, bahkan mungkin ada yang concurrent. Masing-masing akan memiliki basis keyakinan dan interpretasi yang berbeda (Keith E. Whittington:1999). Bagi para penganut judicial restraint, beberapa ketentuan norma undang-undang dan putusan peradilan, menjadi dasar utama menegakkan pertimbangan hukum. Sementara bagi para penganut  judicial activism, hakim bisa saja melampaui beberapa ketentuan tertulis dalam hukum positif. Para hakim bersikap aktif dalam melakukan penemuan hukum. Bahkan tidak menuntut kemungkinan, menghasilkan suatu penerobosan hukum dengan memperhatikan rasa keadilan yang berkembang di masyarakat. Perdebatan dua kelompok itu yang akan mewarnai pertimbangan sembilan hakim konstitusi dalam pengujian revisi UU KPK. Dengan melihat komposisi hakim konstitusi saat ini, penulis merasa bahwa putusan nanti tidak akan jatuh secara bulat.

Tulisan ini pernah dimuat dalam REPUBLIKA, 14 Oktober 2019.

Penulis: Dr. Idul Rishan, S.H., LL.M

Dosen Fakultas Hukum Universitas Islam Indonesia (FH UII), Departemen Hukum Tata Negara

 

Apakah benar, jika Presiden menetapkan Perppu KPK, maka ia berpotensi besar untuk di impeach atau diberhentikan dalam masa jabatannya. Langkah ini kerap dihubung-hubungkan bahwa jika Presiden mengeluarkan Perppu, sama halnya Presiden tak serius dan tak menghormati DPR sebagai pengusul dan pembahas revisi UU KPK.  Bahkan, sebagian politisi menilai jika tidak cermat,  Perppu KPK bisa menjadi “jebakan batman” bagi Jokowi. Alias pintu masuk untuk menggulingkan posisinya sebagai Presiden. Narasi itu telah  berseliwiran di ruang publik. Tatkala menjadi pembenar, bahwa Perppu tidak bisa dikeluarkan karena alasan itu. Tulisan singkat ini, mencoba mendudukan kembali stigma yang berkembang di masyarakat. Memahami kembali apa dan bagaimana Perppu, serta pengaruhnya dengan wacana impeachment.

Perppu

Lazimnya sistem presidensial, kuasa pembentukan Perppu selalu diserahkan kepada Presiden sebagai pemegang kuasa pemerintahan. Jika merujuk konvensi, Perppu dikenal sebagai jalur konstitusional untuk membentuk regulasi secara cepat. Disebut cepat dan sederhana, karena dalam proses pembentukannya, ia tidak perlu mengakomodasi ragam kepentingan partai yang ada di parlemen (Ann Seidman:2002). Tak heran jika Pasal 22 UUDN mengatur bahwa  “Dalam hal ihwal kegentingan yang memaksa, Presiden berhak menetapkan peraturan pemerintah sebagai pengganti undang-undang”. Soal ihwal kegentingan yang memaksa, MK telah memberikan kriteria normatif dalam Putusan Nomor 138/PUU-VII/2009. Melalui interpretasinya, MK menetapkan tiga syarat. Kebutuhan mendesak untuk menyelesaikan masalah secara cepat, kekosongan hukum akibat ketiadaan undang-undang, atau ada namun dianggap tidak memadai, dan keadaan tidak dapat diatasi  dengan prosedur biasa karena akan membutuhkan waktu yang cukup lama. Tiga hal itu telah dilimitasi oleh MK. Namun perlu diingat, ketika putusan di jatuhkan, sembilan hakim konstitusi berada dalam satu paradigma yang sama. Bahwa kegentingan atau kebutuhan yang mendesak, tetap berada pada wilayah subjektivitas Presiden. Tak ada institusi lain yang bisa menilai situasi kegentingan memaksa, kecuali Presiden. Karena sifatnya yang subjektif, maka objektivikasinya, diserahkan pada parlemen. Selaras dengan intensi ayat (2) dan ayat (3) Pasal 22 UUDN. Perppu harus mendapatkan persetujuan DPR dalam persidangan berikutnya untuk menjadi undang-undang. Jika tidak, maka Perppu itu harus dicabut. Intensi pasal tersebut menempatkan DPR sebagai penyeimbang, sekaligus melaksanakan fungsi kontrol terhadap kebijakan presiden (checks and balances). Selain fungsi crosscheck yang bisa dilakukan oleh DPR, MK juga bisa melakukan fungsi korektif melalui kewenangan judicial review.  Kanal-kanal ini tersedia secara konstitusional, untuk menutup sifat abuse presiden dalam menetapkan peraturan. Kembali pada soal Perppu KPK. Mungkin dalam logika awam, “kegentingan yang memaksa” sebagaimana dimaksud dirasa telah cukup. Ada tiga kondisi saat ini yang bisa dijadikan alasan pertimbangan menetapkan Perppu. Pertama, akibat tekanan publik yang terjadi secara masif dan kontinyu, bahkan telah memakan korban jiwa. Kedua, revisi undang-undang KPK yang tidak sejalan dengan cita-cita pemberantasan korupsi. Ketiga, tidak lagi dapat ditangani dengan prosedur biasa, mengingat pembahasan undang-undang akan memakan waktu yang relatif lama. Tetapi sekali lagi, ini soal subjektivitas Jokowi. Jika ia berani mengambil opsi Perppu, rasanya tidak berlebihan bila publik akan menilai Jokowi sebagai presiden, yang memiliki komitmen kuat dalam agenda pemberantasan korupsi.

Impeachment

Kemudian soal ancaman impeachment. Ada satu hal yang perlu diingat dalam membedakan ciri sistem parlementer dan ciri sistem presidensial. Dalam sistem parlementer, perdana menteri dapat diberhentikan dalam masa jabatannya akibat kebijakan yang tidak populis. Artinya seorang perdana menteri sangat mungkin di impeach karena alasan politis. Berbeda halnya dengan sistem presidensial. Presiden hanya dapat diberhentikan dalam masa jabatannya karena alasan hukum (Alferd Stephen & Cindy Skach:1993). Sebagaimana telah diatur secara limitatif dalam Pasal 7A UUDN, baik itu perbuatan yang berupa pengkhianatan terhadap negara, korupsi, penyuapan, perbuatan tercela, atau tindak pidana berat lainnya. Selain soal alasan hukum, syarat formil impeachment juga diatur dengan prosedur yang super ketat. Bahkan situasinya akan terasa semakin sulit, bila melihat sistem multipartai ekstrim yang diadopsi selepas era transisi politik. Presiden terpilih akan membangun koalisi mayoritas untuk mendapatkan legitimasi politik yang kuat di parlemen (Djayadi Hanan:2014). Konsekuensi logisnya,  partai-partai pendukung cenderung akan memuluskan kebijakan-kebijakan pemerintah di hadapan parlemen. Termasuk menjaga dan melindungi presiden, dari ancaman pasal impeachment.  Membaca kondisi di atas, tentunya cukup sulit membenarkan bahwa Perppu KPK dapat bermuara pada wacana impeachment. Saat ini, kita hanya membutuhkan keyakinan Presiden untuk mendorong dikeluarkannya Perppu KPK. Para simpatisannya tidak perlu takut dengan wacana impeachment. Begitu juga para anggota DPR yang menilai opsi Perppu tidak begitu tepat untuk dikeluarkan. Saluran konstitusional telah tersedia untuk menilai keabsahan Perppu. Baik itu melalui jalur legislative review di DPR, maupun melalui jalur judicial review di MK.

 

Tulisan ini pernah dimuat dalam rubrik Opini Jawa Pos, 4 Oktober 2019.

 

Penulis: Nurmalita Ayuningtyas Harahap, S.H., M.H.

Dosen Fakultas Hukum Universitas Islam Indonesia (FH UII), Departemen Hukum Hak Administrasi Negara

 

REVISI Undang-Undang Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) telah disahkan DPR, Selasa (17/9) lalu. Sebelumnya, rancangan perubahan Undang-undang No 30 Tahun 2002 tersebut tidak sedikit menuai respons dari masyarakat, baik dalam bentuk kritik maupun dukungan Revisi dilakukan terhadap beberapa pasal-pasal di undang-undang tersebut, antara lain adalah menyangkut perubahan status Pegawai KPK Dimana Pegawai Tetap KPK dialihkan menjadi Pegawai Aparatur Sipil Negara (ASN).

Jika merujuk pada Undang-undang No 5 Tahun 2014 tentang Aparatur Sipil Negara, maka ASN terdiri dari Pegawai Negeri Sipil (PNS) dan Pegawai Pemerintah dengan Perjanjian Kerja (PPPK). Pada draft rancangan perubahan Undang-undang No 30 Tahun 2002 tersebut nantinya diatur bahwa Pegawal Negeri yang dipekerjakan di KPK akan berstatus PNS. Sedangkan Pegawai tetap KPK yang bukan merupakan PNS akan dikategorikan sebagai PPPK

Jika telah beralih status, bagaimana independensi dari Pegawai KPK itu sendiri?

Ditinjau dari hukum kepegawalan, maka ASN merupakan Pegawai Negeri Pegawai Negeri mempunyai ciri khusus, yaitu Hubungan Dinas Publik (DHP) yaitu sifat monoloyalitas kepada Pemerintah. Dalam hubungan ini kemudian melekat hubungan subordinatie antara atasan bawahan (Ridwan dan Nurmalita: Hukum Kepegawaian: 2018) Jika ditilik dari ciri tersebut, otomatis Pegawai KPK yang menjàdi ASN tersebut akan tunduk dan patuh kepada pemerintah atau eksekutif atau yang dapat dikatakan mempunyai hubungan monoloyalitas dengan pemerintah.

Sedangkan di dalam UU No 5/2014 diatur apa yang dinamakan Manajemen ASN. Dalam pasal 52. dinyatakan bahwa Manajemen ASN terdiri dari Manajemen PNS dan Manajemen PPPK. Pada Pasal 55, manajemen PNS antara lain meliputi, pengadaan, mutasi, disiplin, pemberhentian. Begitu juga pada pasal 93, manajemen PPPK antara lain meliputi pengadaan, penilaian kinerja, disiplin dan pemutusan hubungan kerja. Jika nantinya Pegawai KPK berubah status menjadi ASN, maka manajemen sumber daya manusia, yang terdiri dari pengadaan hingga pemberhentian atau pemutusan hubungan kerja menjadi kewenangan dari pemerintah atau eksekutif. Tidak lagi bersifat independen dari lembaga KPK itu sendiri.

Persoalan kemudian, pertama jika berbicara tentang pengadaan, maka selama ini sebenarnya terdapat Peraturan Pemerintah No 63 Tahun 2005 tentang Sistem Manajemen Sumber Daya Manusia Komisi Pemberantasan Korupsi. Di pasal 7 ayat (2) Peraturan Pemerintah menyatakan bahwa, Pegawai Negeri yang telah diangkat menjadi Pegawai Tetap pada Komisi diberhentikan dengan hormat sebagai Pegawai Negeri. Hal ini juga dapat dikatakan agar independensi pegawai KPK tersebut tetap terjaga. Namun dengan peralihan status sebagai Pegawai Negeri, yang kemudian proses penentuan formasi dan rekrutmen akan diambil alih sepenuhnya pemerintah atau eksekutif bukan lagi kewenangan KPK secara penuh.

Kemudian yang kedua, terkait dengan mutasi. Penentuan perpindahan pegawai ini baik tempat maupun jabatannya akan menjadi kewenangan pemerintah atau eksekutif. Hal ini justru akan rentan dengan berbagai macam yang mempengaruhi mutasi tersebut. Ketiga, terkait dengan disiplin dan pemberhentian atau pemutusan hubungan kerja. Pegawai KPK akan tunduk kepada aturan disiplin ASN disamping nantinya masih terdapat aturan tentang disiplin KPK yaitu, Peraturan Komisi Pemberantasan Korupsi No. 10 Tahun 2016 tentang disiplin pegawai dan penasihat KPK, yang nantinya mesti diharmonisasikan dengan aturan disiplin ASN yang saat ini berlaku.

Dengan begitu pengenaan hukuman disiplin jika Pegawai KPK melanggar disiplin dan pemberhentian menjadi kewenangan dari eksekutif atau pemerintah Hal ini pun juga menimbulkan pertanyaan terkait dengan independensi dan bebas dari berbagai macam kepentingan. Meskipun nantinya telah menjadi ASN, besar harapan masyarakat untuk pegawai KPK dapat menjunjung nilai-nilai independensi dan tidak adanya intervensi dari pemerintah jika hal tersebut kemudian dapat memberikan hambatan bagi penegakkan hukum nantinya.

Kini diharapkan pula, tugas tim transisi KPK untuk menganalisis poin-poin yang telah disahkan Termasuk perubahan status KPK yang nantinya pun perlu di harmonisasi dan disinkronisasi dengan Peraturan yang menyangkut ASN. Tentu agar independensi tetap ada.

Tulisan ini telah dimuat dalam Anaslisis KR, Kedaulatan Rakyat, 21 September 2019.

 

Penulis: Dr. Idul Rishan, S.H., LL.M

Dosen Fakultas Hukum Universitas Islam Indonesia (FH UII), Departemen Hukum Tata Negara

 

Apakah sudah diperhitungkan rencana amandemen terbatas UUD yang sudah semakin mengkristal pada romantisme GBHN? Adakah studi kelayakan yang telah memberikan preposisi bahwa Sistem Perencanaan Pembangunan Nasional kita bermasalah sehingga tidak relevan lagi untuk digunakan? Seberapa dalam cetak biru yang telah disusun MPR, metode risetnya apa, sehingga GBHN menjadi laik diterapkan kembali sebagai kerangka dasar pembangunan nasional. Sungguhpun sudah dipikirkan secara matang, bagaimana dengan proses dan mekanisme perubahannya?

Sejumlah pertanyaan di atas, mengirimkan pesan bahwan wacana amademen terbatas perlu dikonstruksikan secara komprehensif. Dibangun melalui konsep yang kuat, serta memperhatikan sejumlah ekses yang kemungkinan dapat ditimbulkan. Jika tidak, proyek besar ini bisa kebablasan dan justru menambah sengkarut problem ketatanegaraan.

Dalam ketentuan hukum positif saat ini, beberapa perangkat regulasi pada dasarnya telah mengakomodir arah pembangunan dan haluan bernegara. Misalnya Sistem Perencanaan Pembangunan Nasional (SPPN, UU No 25 Tahun 2004) dan Rancana Pembangunan Jangka Panjang (RPJP UU No 17 Tahun 2007). Bahkan secara lebih detail, arah pembangunan juga diderivasikan lagi melalui Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) yang meliputi pembangunan nasional, bidang, dan wilayah.

Jika hendak memahami arah politik hukum pembangunan nasional pascatransisi politik, sebenarnya tidak terlihat garis demarkasi yang tajam antara politik pembangunan era orde baru dengan politik pembangunan saat ini. Melalui perangkat SPPN, RPJPN, dan RPJMN, pembangunan nasional juga dapat dialkukan secara terukur dan sistematis. Artinya, secara materiil hampir tidak ada pembedaan cara kerja pada model pembangunan bergaya GBHN dengan model SPPN dan RPJP. Setidaknya, titik pembedaan itu hanya pada aspek formalnya saja.

Jika arag pembangunan nasional di era orde baru diterapkan MPR, maka arah pembagunan nasional saat ini ditetapkan Presiden dan DPR melalui kerangka legislasi nasional. Pilihan politik hukum demikian tidak lahir tanpa basis rasionalitas politik yang kuat. Laiknya sebuah silogisme hukum, ada beberapa alasan mengapa GBHN tidak lagi relevan diterapkan pascatransisi politik.

Pertama, soal kesepakatan dasar perubahan UUD di era transisi. Saat itu, semua partai politik sepakat bahwa agenda perubahan UUD dilandaskan pada semangat memperkuat sistem presidensiil (Valina Singka:2008). Dengan mempertahankan model pembangunan melalui GBHN, sistem pemerintahan akan jauh berayun pada gaya parlementer. Seluruh pertanggungjawaban politik akan diserakan ke MPR. Tidak menutup kemungkinan MPR akan kembali menjadi pemegang kendali atas kuasa rakyat.

Kedua, masa jabatan presiden yang limitatif tidak akan kompatibel dengan model pembagunan GBHN. Sebagai sebuah produk politik, upaya perubahan terhadap materi muatan GBHN menjadi sangat mungkin terjadi. Perkembangan koalisi kepartaian sangat dinamis, menyebabkan GBHN menjadi sangat sulit diterima dan diterapkan pada pemerintahan berikutnya.

Ketiga, dengan menerapkan model pembangunan berbasis GBHN, ada berbagai macam implikasi yang ditimbulkan terhadap sistem hukum nasional. Mulai dari posisi tawar GBHN terhadap hierarki perundang-undnagan sampai dengan model pengujian norma hukum yang bisa saja bertentangan dengan GBHN. Membaca sejumlah tantangan di atas, maka keinginan melakukan amandemen terbatas bisa saja melebar menjadi isu yang tak terbatas.

Terlepas dari rentetan panjang yang mungkin biosa ditimbulkan, tidak kalah penting ialah mengawal bagaimana proses pembuatan itu akan dilakukan. Sebuah konstitusi yang demokratis tidak akan mungkin dihasilkan melalui proses politik yang kolutif. Seperti disematkan Bianc, bahwa proses itu akan menentukan hasil perubahan konstitusi. (Bonime Blanc: 1987). Perlu diingat setelah perubahan UUD, MPR merupakan lembaga yang berwenang mengubah dan menetapkan UUD. Ia tak lagi sebatas lembaga yang menetapkan, tetapi juga menjadi bagian dalam proses perubahan UUD. Imbasnya peranan partai politik menjadi sangat dominan.

Dengan peta politik demikian, MPR bisa saja terdistorso dengan konflik kepentingan. Sebab, materi muatan amandemen justru menyangkut kepentingan kelembagaannya sendiri. Ada baiknya proyek besar untuk MPR itu perlu dipertimbangkan kembali. Biar bagaimanapun, konstitusi merupakan norma fundamental. Ia hidup dan berkembang dalam praktik berbangsa dan bernegara. Bukan komoditas kepentingan golongan yang bersifat sektoral.

Penulis: Dr. Idul Rishan, S.H., LL.M

Dosen Fakultas Hukum Universitas Islam Indonesia (FH UII), Departemen Hukum Tata Negara

 

Hampir dipastikan, periode kedua pemerintahan Joko Widodo akan ditopang dengan koalisi “gemuk” di parlemen. Mayoritas partai politik di DPR, akan bahu membahu mensukseskan beberapa program kebijakan yang sudah dicanangkan pada pemerintahan 2019-2024. Dengan koalisi mayoritas, relasi eksekutif dan legislatif diperkirakan akan jauh lebih stabil. Meskipun harus di akui, dukungan mayoritas partai di DPR sebenarnya juga dapat melahirkan ancaman. Bisa di bayangkan, jika mayoritas partai politik di DPR bersekutu dengan pemerintah, maka Presiden tidak hanya menjadi episentrum kekuasaan eksekutif, tetapi juga menjelma sebagai pengendali kekuatan partai-partai politik yang ada di parlemen. Aroma bagi-bagi kekuasaan sudah mulai tercium. Selain soal jatah kabinet, perebutan kursi pimpinan MPR juga menjadi bagian yang tak terpisahkan. Dengan koalisi mayoritas, MPR akan menjadi lembaga strategis dalam masa pemerintahan lima tahun ke depan. Jika koalisi pemerintah benar-benar solid, MPR bisa saja bereksperimen dengan kewenangannya mengubah dan menetapkan UUD.

 

Minoritas- Mayoritas

Jika hendak menarik isu perdebatan ini dalam ranah konseptual, relasi eksekutif -legislatif menjadi wilayah yang cukup menarik dalam sistem presidensil. Kenyataannya, sistem pemerintahan kita pasca transisi politik, cenderung bergerak secara dinamis. Setidaknya ada dua pola relasi eksekutif-legislatif yang selama ini menjadi basis konvensi kenegaraan dalam sistem multi partai.  Pola pertama, bangunan koalisi dengan corak minoritas. Dalam langgam ini, Presiden tidak mendapatkan dukungan dari sebagian besar partai politik yang ada di parlemen. Pembelahan pemerintahan (divided government) sangat dimungkinkan terjadi karena relasi eksekutif dan legislatif cenderung bersifat konfrontatif. Kondisi ini pernah dialami sendiri oleh Presiden Jokowi-JK di awal-awal masa pemerintahan 2014-2019. Dengan dukungan minoritas, Presiden kesulitan membangun program-program pemerintahan. Kondisi ini semakin diperparah dengan desain UUD pasca amandemen yang memberikan begitu banyak delegasi kewenagan kepada DPR berupa pertimbangan dan persetujuan. Pola kedua, bangunan koalisi dengan corak mayoritas. Pada langgam ini, mau tidak mau, Presiden merangkul mayoritas partai politik untuk bergabung pada koalisi pemerintahan. Sedikit beraroma parlementer, karena relasi eksekutif-legislatif melebur jadi satu. (Alferd Stephen & Cindy Skach:1993). Cara ini dipercaya sebagai alternatif membangun stabilitas pemerintahan. Dengan dukungan mayoritas partai politik, kebijakan-kebijakan pemerintah relatif bisa berjalan mulus di parlemen. Termasuk di dalamnya soal keinginan untuk melakukan amandemen kelima UUD.

Tanpa Kontrol

Dengan bangunan koalisi mayoritas, pintu amandemen konstitusi menjadi sangat terbuka lebar. Siasat amandemen ini bisa dianalogikan seperti lempengan uang koin. Di satu sisi bisa memperkuat percepatan kebutuhan demokrasi, namun disisi lain, bisa menjadi jebakan otoritarianisme. Perlu diingat bahwa  proses perubahan UUD bisa berjalan tanpa kontrol. Jika melihat prosedur dan beberapa syarat formil perubahan UUD, kelembagaan MPR merupakan forum joint session anggota DPR dan anggota DPD. Secara kuorum DPD bisa saja tidak dapat menjadi penyeimbang kekuatan mayoritas partai politik yang ada di DPR. Mengingat berdasarkan jumlah, anggota DPR terdiri dari 575 orang dan anggota DPD hanya sejumlah 136 orang. Sementara Pasal 37 UUD mensyaratkan 1/3 jumlah anggota untuk usul perubahan, dihadiri sekurang-kurangnya 2/3 dan 50% plus satu untuk persetujuan perubahan. Dalam peta politik demikian, perubahan UUD sangat ditentukan pada kekuatan mayoritas partai politik pendukung pemrintah di DPR. Agenda amandemen ini tentu bisa menjadi bola liar, sebab materi perubahan  UUD cenderung bersifat sangat kompromistis. Sebut saja soal gagasan perubahan yang sudah semakin mengkristal pada penguatan kelembagaan MPR dalam menetapkan Garis-Garis Besar Haluan Negara (GBHN).

Komisi Konstitusi

Dengan menyerahkan semata-mata pada kekuatan politik mayoritas, tentu akan menghasilkan kompromi politik yang sangat sektoral. MPR sebagai lembaga yang berwenang mengubah dan menetapkan UUD, sarat terjebak dengan konflik kepentingan. Apalagi jika materi perubahannya menyangkut soal penguatan kelembagaannya sendiri. Jika benar amandemen UUD akan digulirkan pada periode kedua pemerintahan Joko Widodo, ada baiknya memperhitungkan pembentukan Komisi Konstitusi. Badan khusus yang dibentuk secara independen dan bersifat non partisan untuk mengkaji materi perubahan UUD. Belajar dari Spanyol, Filipina dan Thailand, perubahan konstitusinya dilakukan melalui spesial konvensi dengan pembentukan komisi khusus. Langkah ini dibangun agar usulan dan hasil perubahan konstitusi tidak bias dari kekuatan politik pemerintah a quo. (David G. Timbermand,ISEAS:1999). Pentingnya membentuk komisi konstitusi dalam perubahan UUD, pada dasaranya dipengaruhi oleh alasan paradigmatik.  Partai politik berdiri pada basis untuk merebut dan mempertahankan kekuasaaan, sementara konstitusi berpijak pada basis pembatasan kekuasaan. Memberikan peran mayoritas kepada partai politik terhadap perubahan UUD, sama artinya memberikan kesempatan partai politik untuk merebut atau mempertahankan kekuasaannya.  Itu sebabnya agenda perubahan UUD perlu dikaji dengan basis rasionalitas yuridis, sosiologis dan filosofis. Bahwa perubahan itu memang benar-benar dibutuhkan guna membangun percepatan demokratisasi. Jika tidak, gagasan amandemen ini bisa membawa pemerintahan Jokowi-Ma’ruf pada jebakan otoritarianisme.

Tulisan ini sudah dimuat dalam rubrik Pendapat, KORAN TEMPO, 13 Agustus 2019.

KOALISI DAN OPOSISI

Siapa yang menyangka, rekonsiliasi para elit partai pasca pemilu nyatanya tidak hanya soal seruan persatuan, tetapi juga soal kontrak politik baru. Partai-partai yang mendapatkan kursi di DPR, mulai menjalin komunikasi politik dengan Presiden terpilih. Di luar dugaan, partai-partai pendukung capres 02 mulai terlihat rapuh. Read more

Duka Pemilu

Seiring dengan perhitungan real count hasil pemilu, kabar duka terus datang menghampiri ruang-ruang publik. Kali ini bukan soal siapa kalah siapa menang. Bukan juga soal siapa curang dan yang tak curang. Melainkan soal sisi humanisme penyelenggaraan pemilu. Tidak pernah terbayangkan sebelumnya, pemilu serentak dengan lima kotak surat suara telah mengikis tangis bagi para keluarga petugas pemilu. Read more