Penulis: Allan Fatchan Gani Wardhana, S.H., M.H.

Dosen Fakultas Hukum UII, dari Departemen Hukum Tata Negara

Jakarta – Kesimpulan Rapat Dengar Pendapat Komisi II DPR dengan Menteri Dalam Negeri, KPU, Bawaslu, dan DKPP pada 30 Maret kemarin yaitu sepakat menunda Pilkada 2020 serta meminta kepada pemerintah untuk segera menyiapkan payung hukum berupa Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perppu). Selain itu, Komisi II DPR meminta kepada seluruh kepala daerah yang akan melaksanakan Pilkada Serentak untuk merealokasi dana Pilkada 2020 yang belum terpakai untuk penanganan pandemi Covid-19.

Pilihan payung hukum Perppu tampaknya lebih dipilih karena praktis dan memiliki konstitusionalitas yang didasarkan pada Pasal 22 UUD 1945, bahwa dalam keadaan gentina Presiden berhak mengeluarkan Perppu. Situasi kegentingan ini memang nyata adanya karena pandemi Covid-19 telah meluluhlantakkan aktivitas pemerintahan dan masyarakat, serta banyak daerah-daerah yang akan menyelenggarakan pilkada terjangkit Covid-19.

Situasi genting berikutnya juga karena Pasal 206 ayat (1) UU Pilkada mengatur bahwa Pilkada 2020 harus dilaksanakan pada bulan September, sehingga membutuhkan payung hukum yang cepat untuk mengubah aturan tersebut dengan mengatur penundaan pilkada.

Pernah Ditunda

Dalam lintasan sejarah, penyelenggaraan pilkada pernah ditunda di beberapa wilayah. Pilkada 11 kabupaten dan 3 kota di Aceh pada 2005 pernah ditunda karena saat itu Aceh sedang fokus pada proses penanggulangan pascabencana gempa dan tsunami pada 2004 Kemudian kada Kota Yogyakarta 2006 ditunda karena terjadi gempa bumi 1,5 bulan sebelum pilkada.

Kini dalam kondisi pandemi Covid-19, setidaknya opsi menunda pilkada adalah pilihan yang rasional yang justru kemudian menjadi perdebatan ialah sampai kapan pi kada di tunda? Ada 3 opsi yang berkembang berkaitan dengan pelaksanaan pemungutan suara Opsi pertama dilakukan 9 Desember 2020 (ditunda 3 bulan), opsi kedua dilakukan 17 Maret 2021 (di tunda 6 bulan), dan opsi ketiga dilakukan 29 September 2021 (ditunda setahun).

Dalam perkembangan, opsi ketiga cenderung lebih dipilih karena relatif waktu persiapannya panjang serta belum terkonfirmasi secara pasti sampai kapan pandemi ini akan berakhir.

Opsi Baru

Tiga opsi di atas belum final dan masih memungkinkan adanya opsi baru Jika pilihannya hanya tiga opsi di atas, maka relevan untuk memunculkan opsi baru yaitu menunda Pilkada 2020 dan kemudian melaksanakannya pada 2024 Ada beberapa pertimbangan.

Pertama, para calon kepala daerah baik yang baru pertama maju maupun incumbent baik yang berasal dari jalur partai politik maupun jalur perseorangan akan berhitung ongkos politik serta program kerja Jika pilkada dilaksanakan pada 2021, berarti kepala daerah dan wakil kepala daerah terpilih hanya akan menjabat kurang lebih sekitar 2,5 tahun karena pada 2024 akan digelar Pilkada Serentak berbarengan dengan Pemilu Presiden dan Pemilu Legislatif.

Dengan biaya politik yang mahal, calon kepala daerah bisa jadi akan menganggap tidak sepadan dengan masa jabatan yang singkat Selain itu kepala daerah dan wakil kepala daerah juga tidak dapat optimal menjalankan program kerjanya dengan masa jabatan yang singkat.

Kedua, merujuk Pasal 162 ayat (1) dan ayat (2) UU Pikada mengatur bahwa kepala daerah dan wakil kepala daerah memegang jabatan selama 5 (lima) tahun terhitung sejak tanggal pelantikan Dengan aturan tersebut seharusnya kepala dan wakil kepala daerah terpilih (asal tidak terjerat kasus hukum mendapatkan haknya selama ima tahun Selain itu, juga akan berdampak hukum lain terutama bagi penghitungan masa jabatan.

Jika membaca politik hukum UU Pikada, satu periode jabatan itu terhitung 5 tahun Artinya kalau hanya menjabat 2,5 tahun dapat dianggap belum satu periode.

Ketiga, jika pilkada tetap dilaksanakan pada 2021, maka hanya berselang 3 tahun setelahnya yaitu pada 2024 akan digelar pilkada lagi Artinya dalam jangka waktu 3 tahun akan ada dua kal penyelenggaraan pilkada Tentu saja hal ini akan memboroskan anggaran ini belum termasuk biaya sosial yang harus ditanggung seperti adanya gesekan pendukung antar calon, potensi konflik horizontal, serta banyaknya gugatan sengketa hasil pikada ke Mahkamah Konstitusi.

Dengan tiga pertimbangan di atas, maka pemerintah harus segera mengeluarkan Perppu yang menunda pelaksanaan Pilkada 2020 dan menyelenggarakannya pada 2024 Terlebih kita semua telah menyepakati bahwa pemungutan suara serentak nasional dalam Pemilhan Kepala dan Wakil Kepala Daerah (baik provinsi maupun kabupaten/kota) di seluruh Indonesia dilaksanakan pada November 2024.

Adapun untuk mengisi kekosongan jabatan kepala daerah dan wakil kepala daerah yang masa jabatannya berakhir pada 2020, maka dapat diangkat Penjabat Kepala Daerah (Pelaksana Tugas) sampai dengan terpilihnya kepala dan Wakil Kepala Daerah melalui Pemilihan Serentak Nasional pada 2024.

Terkait kekhawatiran sejumlah pihak bahwa Penjabat Kepala Daerah minim kewenangan, hal ini sudah terbantahkan secara hukum Dalam Pasal 9 Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 74 Tahun 2016 telah diatur bahwa Pelaksana Tugas Kepala Daerah dapat menetapkan APBD menetapkan kebijakan, menjaga netralitas ASN, serta mengangkat atau memberhentikan pejabat sesuai peraturan perundang-undangan D samping itu, Pelaksana Tugas yang nantinya dipilih haruslah yang memiliki kompetensi dan integritas.

 

Tulisan ini sudah dimuat dalam rubrik detikNews,  06 April 2020.

Penulis: Ayunita Nur Rohanawati, S.H., M.H.
Dosen Fakultas Hukum Universitas Islam Indonesia (FH UII), Departemen Hukum Administrasi Negara

 

INDONESIA — juga sekitar 200 negara lain — menghadapi ancaman global pandemi corona virus disease 2019 (Covid-19). Bukan hanya dampak kesehatan, namun seluruh sektor termasuk perburuhan di Indonesia, terkena dampak. Kebijakan work from home ( WFH) tentu berpengaruh terhadap kondisi jalannya suatu usaha yang juga berdampak pada situasi perburuhan di lapangan. Bahkan kebijakan dan imbauan pemerintah untuk WFH dan social distancing juga tidak serta merta dapat dilaksanakan sepenuhnya. Pada jenis-jenis pekerjaan tertentu yang membutuhkan kontinuitas dalam proses produksinya.

Pandemi menyerang berbagai lini kehidupan. Di Indonesia, roda perekonomian semakin melambat, permintaan akan barang dan jasa di masyarakat tentu berkurang yang berimbas pada menurunnya faktor produksi. Permintaan yang menurun tentu mempengaruhi modal yang pasti angkanya mengalami penurunan secara signifikan. Tenaga kerja sebagai motor penggerak dalam proses produksi keberadaannya semakin lemah. Karena dampak dari pandemi bermuara pada ketidakmampuan pemberi kerja dalam membayar upah dalam kondisi pandemi.

Tanggal 17 Maret 2020 Menteri Ketenagakerjaan Republik Indonesia mengeluarkan Surat Edaran Nomor M/3/HK.04/III/2020 tentang Perlindungan Pekerja/Buruh dan Kelangsungan Usaha dalam Rangka Pencegahan dan Penanggulangan Covid-19. Pada intinya berisi pencegahan penyebaran dan penanganan Covid-19 di lingkungan kerja
serta pelindungan pengupahan bagi pekerja dalam kondisi pandemi. SE tersebut sejalan dengan Pasal 93 ayat (2) Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan (UUK) tepatnya Pasal 93. Bahwasanya pengusaha tetap diberi kewajiban membayar upah dalam hal pekerja sakit sehingga tidak dapat melakukan pekerjaan.
Namun dalam situasi yang berkembang saat ini, terjadi peningkatan Pemutusan Hubungan Kerja (PHK) yang dilakukan secara sepihak oleh pengusaha karena ketidakmampuan membayar upah pekerja. Pekerja tidak dapat menuntut banyak karena situasi dan kondisi dalam ketidakjelasan kapan berakhir. Dampak dari PHK sepihak ini semakin meningkatkan jumlah pengangguran di Indonesia. Tak ghanya pada sektor formal, dampak pandemi ini sangat dirasakan pekerja informal yang notabene tidak memiliki hubungan dengan siapapun.

Tak kalah mirisnya kondisi pekerja informal yang semakin lesu dari hari ke hari sejak di berlakukannya WFH dan imbauan social distancing. Bagi pengemudi ojek, hanya satu dua orang atau bahkan sama sekali tidak ada penumpang. Bagi pemilik warung makan, hiruk-pikuk pembeli di warung makan sudah tidak ada lagi. Setiap harinya berusaha mengurangi porsi jualan yang berujung pada tutupnya warung makan, padahal di satu sisi uang kontrakan warung harus tetap dibayar. Penjual-penjual kecil yang menjajakan dagangannya di tempat wisata ternyata tidak ada lagi wisatawan yang menyambanginya. Sungguh pemandangan yang membuat trenyuh.

Relasi perburuhan Indonesia melibatkan pemerintah di dalamnya, terutama dalam kondisi pandemi seperti saat ini. Dalam Pembukaan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia 1945 disebutkan bahwasanya pemerintah memiliki kewajiban untuk melindungi segenap Bangsa Indonesia dan menjaminkan kesejahteraan bagi rakyat Indonesia. Sejauh mana peran pemerintah dalam relasi perburuhan dalam situasi seperti sekarang ini? Menjadi tanda tanya besar melihat kondisi perburuhan di lapangan yang semakin tak menentu.

Saat ini yang dibutuhkan para pekerja di Indonesia adalah jaminan kesejahteraan berupa terpenuhinya kebutuhan sehari-hari, obat-obatan serta kemudahan memperoleh fasilitas kesehatan. Pascapandemi ini berakhir diharapkan akan ada jaminan bagi pekerja untuk mempertahankan pekerjaan serta memperoleh pekerjaan (kembali) guna keberlangsungan hidup pekerja dan keluarganya. Suatu harapan besar masyarakat Indonesia khususnya pekerja di Indonesia tentang langkah tegas pemerintah dalam menghadapi permasalahan ini. Ada hak-hak pekerja yang perlu diperhatikan dan dilindungi pemerintah sebagai pemangku kewajiban perlindungan pekerja dalam relasi perburuhan di Indonesia.

Tulisan ini sudah dimuat dalam rubrik Analisis KR, 4 April 2020.

Penulis: Ayunita Nur Rohanawati, S.H., M.H.
Dosen Fakultas Hukum Universitas Islam Indonesia (FH UII), Departemen Hukum Administrasi Negara

AWAL 2020 mencuat kabar adanya mogok kerja yang dilakukan pekerja PT AFI, produsen es krim. Aksi dilakukan karena beberapa hal. Di antaranya tahun 2019 ada tingkat keguguran dan kematian bayi sebanyak kurang lebih 20 kasus. Mencuatnya kembali kasus terkait tidak terpenuhinya alat-alat keselamatan dan kesehatan kerja di perusahaan. Serta terlalu ketatnya waktu kerja yang terbagi atas shift. Padahal, 2017 menjadi saksi bisu mogok kerja yang dilakukan perusahaan tersebut. Karena banyaknya jumlah pekerja yang mengalami kecelakaan kerja akibat tidak diberikannya alat-alat keselamatan kerja dalam bekerja.

Sebagaimana diatur Pasal 78 Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan atau yang lebih dikenal dengan UUK, buruh yang sedang hamil dilarang untuk dipekerjakan pada shift malam. Hal ini berkaitan dengan kondisi kesehatan. Sebab perempuan hamil membutuhkan perhatian yang lebih terkait dengan kondisi kesehatannya. Ini terkait ada janin yang sedang tumbuh di dalam rahimnya.

Regulasi Perburuhan

Wacana pemerintah untuk membuat regulasi dengan mekanisme omnibus law dengan salah satu RUU yang masuk adalah RUU Cipta Kerja, bertentangan dengan kondisi perburuhan Indonesia saat ini. Jika benar nantinya RUU Cipta Kerja ini disahkan, tak ada lagi tempat buruh menaikkan posisi tawarnya di depan pengusaha. Selain posisi pemerintah lemah pada regulasi ini, RUU Cipta Kerja menghapus sanksi pidana bagi pengusaha.

Jika pembiaran terhadap ketidakadilan ada di lapangan, apakah efektif sebuah regulasi disusun dengan posisi berat sebelah? Belum diberlakukan RUU tersebut, ternyata masih ada kondisi perburuhan yang masih jauh dari kata adil dan sejahtera. Bagaimana jika benar adanya RUU itu nantinya disahkan? Keseimbangan posisi antara buruh dan pengusaha dalam perjanjian kerja hanyalah semu belaka.

Sejatinya, buruh bekerja untuk memperoleh penghidupan yang layak demi menyejahterakan keluarganya. Hanya saja, praktik di lapangan dalam bekerja, tujuan buruh untuk mencapai kedua tujuan tersebut masih ada yang mengalami kesukaran. Dalam proses ini sangat diperlukan itikad baik dari pengusaha dalam memberi kerja serta kesadaran pengusaha akan tujuan Hubungan Industrial Indonesia yang sejalan dengan Pasal 27 ayat (2) Undang-Undang Dasar NRI Tahun 1945 yaitu Warga Negara Indonesia berhak untuk memperoleh pekerjaan dan penghidupan yang layak.

Perempuan Buruh

Bukan kali pertama di Indonesia permasalahan perempuan buruh terenggut haknya untuk hamil dan melahirkan secara damai. Angan-angan menimang anak seketika runtuh dengan berbagai kondisi kerja yang dialami sehingga harus mengikhlaskan kehilangan janin dan bayi. Perempuan memang tidak memiliki kedudukan utama sebagai pencari nafkah dalam keluarga, namun ada kondisi-kondisi yang mengharuskan perempuan mengambil peranan untuk bekerja dan memperoleh penghasilan.

Dalam UUK ketentuan perlindungan bagi buruh perempuan yang melahirkan sudah tertera di sana dengan sangat jelas. Perlindungan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 82 ayat (1) UUK yang menyebutkan bahwasanya buruh perempuan memiliki hak istirahat melahirkan selama 3 bulan, kemudian berlanjut pada kewajiban pengusaha untuk mengikutsertakan pekerjanya pada jaminan sosial di mana berkaitan erat dengan cakupan biaya melahirkan. Selain itu berlanjut pada hak si jabang bayi berupa tunjangan anak yang juga menjadi komponen gaji yang berhak didapatkan buruh tersebut.

Kondisi itukah yang melatarbelakangi pengusaha memberikan beban kerja yang semakin berat pada buruh perempuan yang hamil sehingga mengakibatkan kematian janin dan bayi dalam kandungan, demi menghindari tumpukan kewajiban-kewajiban bagi pengusaha yang berdampak pada kondisi keuangan perusahaan? Bukankah Indonesia telah mengatur dengan indahnya dalam hitam di atas putihnya pada Pasal 28A UUD NRI 1945 tentang jaminan hak hidup warga negara?

Tulisan ini sudah dimuat dalam rubrik Opini, Koran Kedaulatan Rakyat, 14 Maret 2020.

 

 

Penulis: Dr. Idul Rishan, S.H., LL.M

Dosen Fakultas Hukum Universitas Islam Indonesia (FH UII), Departemen Hukum Tata Negara

Suara keras Fraksi Partai Demokrat terhadap skandal Jiwasraya semakin tajam ke arah pembentukan Pansus hak angket. Intensitas tekanan itu menguat setelah perusahaan “pelat merah” tersebut diperkirakan mengalami kerugian fantastis lebih dari 10 Triliun. Upaya Demokrat menggulirkan hak angket Jiwasraya bisa jadi disebabkan oleh dua logika yang saling bertautan. Jikalau meletakkan ini dalam kerangka logika hukum, maka skandal Jiwasraya harus dibuka secara terang di hadapan publik. Penyelidikan itu semata-mata dilakukan untuk menilai apakah persoalan ini murni akibat urusan bisnis, ataukah akibat kelalaian pemerintah. Namun jikalau meletakannya dalam kerangka politik, bisa jadi ini bentuk perlawanan Demokrat terhadap rezim. Pasalnya, Jokowi sempat mengungkapkan bahwa kerusakan di perusahaan itu telah terjadi sejak satu dekade lalu. Spekulasi politik demikian tentu tidak bisa diabaikan. SBY tak mau kehilangan momentum untuk memperbaiki citranya. Terlepas dari spekulasi itu, hal mendasar yang perlu direspons ialah seberapa relevankah angket untuk mengupas skandal di Jiwasraya ?

Jika menyemai kembali fungsi pengawasan politik parlemen, hak angket merupakan konsekuensi logis untuk menormalkan keterpisahan relasi eksekutif-legislatif dalam sistem presidensial. Dalam praktik kenegaraan, hak angket tumbuh dan berkembang dalam tradisi politik yang mengagungkan pentingnya kontrol parlemen terhadap pemerintah. Parlemen hadir sebagai “watcher” atas segala kebijakan yang diambil dan sedang  dilaksanakan pemerintah. Kebutuhan pengawasan melalui hak angket menjadi kian penting untuk menyelidiki kebijakan strategis pemerintah yang dinilai bertentangan dengan hukum positif dan berdampak secara luas. Dalam analisis Burke, ketika presiden kembali terpilih di periode kedua, pengawasan politik parlemen berada pada puncak ekskalasi. (John Burke:2009). Burke mengambil sampel pemerintahan di U.S. Data menunjukan, hasil penyelidikan parlemen di periode kedua pemerintahan kerap berujung pada pintu pemakzulan. Periode kedua kerap memunculkan banyak skandal, korupsi, dan melemahnya sektor ekonomi. Dalam tradisi perpolitikan U.S., para akademikus juga menyebutnya dengan istilah kutukan periode kedua “the second terms curse”.

Sekiranya cukup relevan dengan kondisi saat ini. Di awal periode kedua pemerintahan, Jokowi dihujam begitu banyak kritik dan skeptisme publik. Tak salah jika parlemen memainkan peran penting sebagai penyeimbang untuk melakukan penyelidikan atas kebijakan-kebijakan pemerintah yang berdampak secara luas. Namun cukup ironis. Berbicara hak angket DPR merupakan sesuatu yang sifatnya utopis. Peran DPR dalam melaksanakan fungsi pengawasan telah terdistorsi sejak awal. Budaya kepartaian yang buruk, menyebabkan partai politik di parlemen diikat bukan atas kesamaan preferensi kebijakan, melainkan melalui ikatan pragmatisme. Koalisi diikat melalui basis take and gift hanya untuk memaksimalkan kekuasaan “office seeking” (Burhanudin Muhtadi:2019). Di periode pertama pemerintahan Jokowi-JK, langkah untuk melakukan interpelasi dan angket kerap menuai kebuntuan. Sebut saja usulan pembentukan pansus terhadap kenaikan harga bahan bakar minyak, pengangkatan dan pemberhentian Arcandra Tahar sebagai Menteri Energi Sumber Daya Mineral, justru direduksi dengan kekuatan mayoritas pendukung pemerintah di DPR. Satu-satunya yang lolos pada tingkat Pansus ialah angket terhadap KPK. Begitu banyak energi yang telah terkuras namun hasilnya juga absurd.

Selain soal syarat formil yang tidak mudah, substansi angket cenderung gembos dan tak terpakai (useless). Angket akan kencang di awal namun lama kelamaan akan mengalami pembusukan. Jokowi telah mengunci sekuritas politik dengan koalisi gemuk di DPR. Hanya PKS dan PAN yang sejauh ini konsisten memainkan peran oposisi. Itupun hanya menguasai 16.4% suara di DPR. Sisanya Partai Demokrat yang memiliki persentase kursi sekitar 9.4%. Sementara 75% kursi dikuasai oleh partai koalisi pemerintah. Relasi Presiden dan DPR “blended” sehingga roda pengawasan politik cenderung tidak objektif bahkan macet. Sekalipun PKS, PAN, dan Demokrat berada pada poros oposisi, hasil angket akan digembosi pada tingkat paripurna. UU MD3 mensyaratkan keputusan politik hak angket terhadap Jiwasraya harus diambil lebih dari 1/2 jumlah anggota DPR dan keputusan diambil dengan persetujuan lebih dari 1/2 jumlah anggota DPR yang hadir.

Gagalnya usul interpelasi, angket, ataupun menyatakan pendapat DPR tentu tidak akan lepas dari peran lobi yang dilakukan pemerintah kepada parpol koalisi di DPR. Sikap partai yang cenderung akan membenarkan semua keinginan pemerintah, tidak lebih dari sebuah pilihan untuk tetap bertahan pada jalur kekuasaan. Gagalanya fungsi pengawasan melalui hak angket menjadi penanda bahwa koalisi kepartaian bisa mempermainkan dan menegasikan logika publik. Demokrasi membusuk. Persis seperti preskripsi yang dituliskan Chomsky. Cara instan untuk mengunci sekuritas politik ialah dengan cara membeli “mereka” (Noam Chomsky:2016). Peran dan objektivitas DPR sebagai sebagai pengawas melemah akibat tawaran jabatan, bantuan, imbalan, dan juga bisa jadi karena bisnis.

Tulisan ini pernah dimuat dalam rubrik Pendapat, KORAN TEMPO, 10 Februari 2020.

Penulis: Nurmalita Ayuningtyas Harahap, S.H., M.H.

Dosen Fakultas Hukum Universitas Islam Indonesia (FH UII), Departemen Hukum Hak Administrasi Negara

RADIKALISME kini menjadi satu hal yang sangat disoroti di lingkungan Aparatur Sipil Negara (ASN), baik Pegawai Negeri Sipil (PNS) maupun Pegawai Pemerintah dengan Perjanjian Kerja (PPPK). ASN yang berfungsi sebagai pelayan publik memiliki kewajiban untuk menjaga loyalitasnya kepada UUD 1945 dan ideologi Pancasila. Namun meningkatnya temuan terhadap kasus ASN yang melakukan penyimpangan terhadap UUD 1945 dan ideologi Pancasila ini ditindaklanjuti pemerintah untuk mengeluarkan keputusan bagi pencegahan bagi radikalisme tersebut. Disamping itu juga terdapat layanan online yang berupa portal pengaduan PNS yang terlibat radikalisme dan pembentukan satgas penanganan radikalisme ASN.

Pada bulan November tahun ini, terdapat 11 lembaga negara yang menandatangani Surat Keputusan Bersama (SKB) tentang Penanganan Radikalisme bagi ASN. Jika ditilik isi dari SKB tersebut salah satu ketentuannya menyatakan bahwa, salah satu pelanggaran adalah apabila ASN menyampaikan pendapat baik lisan maupun tertulis dalam format teks, gambar, audio. atau video melalui medsos yang bermuatan ujaran kebencian terhadap Pancasila, UUD 1945, Bhinneka Tunggal Ika. Pancasila, dan Pemerintah. Sebenarnya pada Pasal 3 angka 3 dalam Peraturan Pemerintah No 53 Tahun 2010 tentang Disiplin PNS menyatakan bahwa, Pegawai Negeri Sipil harus setia dan taat sepenuhnya kepada Pancasila. UUD 1945, Negara Kesatuan Republik Indonesia, dan Pemerintah. Jadi dapat dikatakan apabila ASN melakukan ketentuan yang ada di dalam SKB tersebut ini berarti ASN melakukan pelanggaran disiplin.

Di Peraturan Pemerintah tersebut dinyatakan sanksi bagi ASN yang melanggar kewajiban tersebut adalah berupa disiplin ringan, sedang dan berat. Karenanya, sanisi berat bisa didapatkan ASN tersebut yaitu berupa pemberhentian baik dengan hormat maupun dengan tidak hormat. Namun, yang sebenarnya perlu diperhatikan bahwa perlu kehati-hatian dalam memutuskan ASN apakah telah melanggar ketentuan dalam SKB tersebut atau tidak. Misalnya, jika dikorelasikan dengan ketentuan pelanggaran karena ASN melakukan ujaran kebencian melalui medsos kepada pemerintah Ujaran Kebencian terhadap pemerintah ini dapat menimbulkan ambiguitas dan ketidakpastian Hukum kan tidak diatur secara restriktif dan rinc oleh pemerintah, seperti apa muatan yang mengandung ujaran kebencian kepada pemerintah. Terlebih aduan online yang diperbuat ASN.

Sebenarnya pengawasan secara preventif agar ASN tidak terpapar radikalisme lebih dapat dimaksimalkan Pemerintah, bahkan sejak masih menjadi calon ASN. Contohnya CASN melalui Pelatihan Prajabatan. Adapun di dalam Peraturan Pemerintah No 11 Tahun 2017 dinyatakan bahwa, Pendidikan dan Pelatihan Terintegrasi yang selanjutnya disebut Pelatihan Prajabatan adalah proses pelatihan untuk membangun integri tas moral, kejujuran, semangat dan mativasi nasionalisme dan kebangsaan, karakter kepribadian yang unggul dan bertanggung jawab, dan memperkuat profesionalisme serta kompetensi bidang bagi calon PNS pada masa percobaan.

Selain itu, dalam pengangkatan dalam jabatan tertentu di lingkungan instansi pemerintah, seorang PNS harus memenuhi beberapa kompetensi tertentu yang terkait dengan wawasan kebangsaan Pasal 54 Peraturan Pemerintah No 11 Tahun 2017. jika seorang PNS akan diangkat dalam jabatan administrator, maka harus memiliki kompetens! soglal kultural sesuai standar kompeten sl yang dibuktikan berdasarkan hasil evaluasi oleh tim penilai kinerja PNS di instansinya.

Pasal 1 angka 15 disebutkan bahwa antara lain, Kompetensi Sosial Kultural diukur dari pengalaman kerja berkaitan dengan masyarakat majemuk dalam hal agama, suku, dan budaya sehingga memiliki wawasan kebangsaan. Kompetensi Sosial Kultural adalah pengetahuan, keterampilan dan sikap/perilaku yang dapat diamati, diukur, dan dikembangkan terkait dengan pengalaman berinteraksi dengan masyarakat majemuk dalam hal agama, suku dan budaya, perilaku, wawasan kebangsaan etika, nilai-nilai, moral, emosi dan prinsip yang harus dipenuhi oleh setiap pemegang jabatan untuk memperoleh hasil kerja sesuai dengan peran, fungsi dan jabatan.

Maka, keberadaan Salgas Antiradikalisme ASN jangan menjadi suatu yang sia-sia. Sebab sebenarnya sebelum dibentuk salgas tersebut, pemerintah dapat mengoptimalkan kinerja pengawas internal maupun Komisi Aparatur Spill Negara (KASN) sebagai pengawas ekstemal. Karenanya, Ini yang baik dari pemerintah untuk memberantas radikalisme pertu dukungan dari ber bagai pihak, terutama kesadaran ASN tersebut.

Tulisan ini telah dimuat dalam Anaslisis KR, Koran Kedaulatan Rakyat, 7 Desember 2019.

Penulis: Dr. Idul Rishan, S.H., LL.M

Dosen Fakultas Hukum Universitas Islam Indonesia (FH UII), Departemen Hukum Tata Negara

Presiden Jokowi telah menegaskan bahwa wacana tiga periode masa jabatan presiden jelas akan menjadi jebakan baginya. Ia juga menambahkan bahwa wacana mengembalikan pemilihan presiden melalui MPR ibarat sebuah ilusi. Sebagai presiden yang dipilih secara langsung, ia  menegaskan komitmennya untuk menjaga denyut demokrasi. Bola liar amandemen UUD akan menjadi ujian bagi presiden dalam mengendalikan manuver partai koalisi di parlemen.   Gejala ini persis dialami pemerintahan SBY di periode kedua. Bahwa “koalisi gemuk” belum tentu dapat menjamin stabilitas pemerintahan. Realitasnya, political good will presiden bisa jadi akan terus bersebrangan dengan political interest partai pendukung di parlemen. Termasuk dalam menyikapi wacana amandemen kelima UUD.

Amandemen Ke-5

Sampai dengan tulisan ini dibuat, belum tampak roadmap dari pemerintah atas materi dan cara perubahan yang akan diusung. Tepatnya, wacana ini masih menjadi konsumsi para elit partai politik (parpol) yang cenderung mewakili warna kepentingannya masing-masing. Alih-alih menjadi sarana untuk membatasi kekuasaan, wacana amandemen konstitusi dikhawatirkan berubah menjadi alat untuk memperluas daya kekuasaan. Sebagai norma dasar bernegara, amandemen UUD wajib disandarkan pada nilai moralitas konstitusi (moral reading). Bahwa perubahan UUD bukan hanya aktivitas pembentukan norma, tetapi juga menyangkut etika, moral, dan semangat pembatasan kekuasaan (Ronald Dworkin:1996). Sejalan dengan teorisasi Dixon bahwa praktik perubahan konstitusi wajib disandarkan pada pembatasan atas materi dan aturan main perubahannya (Rosalind Dixon :2011).

Satu hal yang tak boleh luput diperhatikan oleh pemerintah dalam wacana amandemen kelima UUD. Bahwa kondisi kebutuhan perubahan UUD di era transisi politik dan era saat ini jelas memiliki sifat dan pendekatan yang berbeda. Disadari atau tidak, UUD yang diubah empat kali direntang waktu tahun ’99-02 ialah perubahan yang dilakukan secara insidentil (by accident). Preposisi di atas dibangun atas dua studi berbobot yang pernah dilakukan Denny Indrayana dan Valina S. Subekti (2008) atas praktik perubahan UUD di masa transisi.

Akibat kerusakan sosial dan politik yang ditimbulkan pada tahun ‘98, perubahan UUD saat itu tidak didasarkan roadmap atau kedalaman cetak biru yang mumpuni. Dibuat secara tergesa-gesa, dan proses pembahasannya dipaksakan selesai pada tahun 2001-2002. Hampir tak ada guidance pada saat itu. Satu-satunya konsep perubahan hanya didasarkan pada lima kesepakatan dasar.  Tidak mengubah pembukaan, mempertahankan NKRI, perkuat sistem presidensil, meniadakan pasal penjelasan, dan perubahan dilakukan secara adendum.

Kondisi demikian dapat dimaklumi. Sebab, secara konseptual Wheare menuliskan bahwa perubahan insidentil bisa saja dilakukan akibat kondisi mendesak (some primary forces) seperti rezim kolaps dan krisis sosial (K.C. Wheare: 2005). Menariknya studi Indrayana mencatatkan, bahwa meskipun dibuat dengan proses yang kacau, namun hasilnya jauh lebih demokratis (Denny Indrayana:2005). Ada prinsip konstitusionalisme yang kuat dalam hasil perubahan UUD. Pembatasan kekuasaan menjadi nafas perubahan UUD, sehingga seluruh cabang-cabang kekuasaan bergerak dengan prinsip saling imbang dan saling kontrol (checks and balances).

Kondisinya tentu jauh berbeda dengan saat ini. Usul perubahan tentu tidak bisa muncul secara insidentil seperti di tahun ‘99. Apalagi konstruksi norma pada Pasal 3 ayat (1) UUD menentukan bahwa MPR mempunyai kewenangan untuk “mengubah dan menetapkan” UUD. Konsekuensinya, secara elektoral parpol akan menjadi penyumbang terbesar atas arah politik hukum amandemen kelima UUD. Analisis Crouch menjadi relevan untuk dipertimbangkan. Bahwa kompromi politik dan kepentingan partai masih akan mendominasi proses perubahan UUD (Harold Crouch:2010). Apalagi kekuatan politik pemerintah saat ini ditopang dengan koalisi gemuk alias mayoritas partai politik. Namun jika melihat konstruksi norma pada Pasal 37 UUDN RI, “playmaker” perubahan UUD ada pada kuasa MPR. Bola akan berada di tangan MPR bukan di tangan presiden. Perlu tidaknya perubahan itu dilakukan, semua ada di tangan elit parpol. Sebagai pemegang kedaulatan, rakyat akan menjadi wasit atas wacana amandemen kelima.

Dengan peta politik demikian, maka sirkulasi antara elit parpol dan publik harus dibuka. Sejalan dengan pemikiran Mahfud bahwa  karakter produk hukum akan ditentukan oleh tipe konfigurasi politiknya (Mahfud MD:1993).  Jika partisipatif, maka akan menghasilkan produk hukum yang responsif. Namun sebaliknya. Jika elitis, maka karakter produk hukumnya akan bersifat menindas. Tentu pertanyaan yang kemudian muncul ialah, seberapa seriuskah geliat parpol menjaring aspirasi publik dalam mengusung amandemen kelima ? Pada titik ini, tentu dibutuhkan feasibility study yang disertai dengan kedalaman cetak biru terhadap materi muatan yang diusulkan untuk diubah, ditambah atau dipertahankan. Hal  itu dibutuhkan sebagai syarat formil, guna melihat akseptabilitas  publik atas pentingnya kebutuhan perubahan itu dilakukan. Dengan kata lain, jika amandemen kelima benar-benar akan digulirkan, pendekatannya tentu tidak lagi dilakukan secara “by accident” melainkan dilakukan secara “by design”. Memperhatikan kematangan konsep, cara, dan daya guna perubahannya. Jika tidak, maka wacana amandemen kelima  ini akan terus menggelinding laiknya bola liar.

Tulisan ini sudah dimuat dalam Kedaulatan Rakyat, 6 Desember 2019.

Penulis: M. Syafi’ie, S.H., M.H.

Dosen Fakultas Hukum Universitas Islam Indonesia (FH UII), Departemen Hukum Tata Negara

Pemerintah Yogyakarta sedang mempersiapkan revisi Perda No. 4 Tahun 2012 tentang Perlindungan dan Pemenuhan Hak-Hak Penyandang Disabilitas. Inisiatif ini merupakan keniscayaan karena di level nasional sudah berlaku Undang-Undang No. 8 Tahun 2016 tentang Penyandang Disabilitas. Pada sisi yang lain, Perda No. 4 Tahun 2012 masih mencantumkan Undang-Undang No. 4 Tahun 1997 tentang Penyandang Cacat yang notabene tidak berlaku.

Di masa lalu, Perda No. 4 Tahun 2012 diapreasi banyak pihak, bahkan dicontoh daerah-daerah lain yang juga membuat peraturan serupa yang harapannya dapat mendorong pemenuhan hak-hak kaum difabel yang selama ini terus menerus termarginalkan. Kehadiran peraturan disabilitas semacam pembuka harapan di tengah peminggiran struktural yang terjadi.

Nasib difabel dalam banyak hal bergantung pada perbaikan kebijakan politik kenegaraan, salah satunya ialah regulasi yang menjamin secara penuh hak-hak difabel, dan memastikan pengawasan dan pemberian sanksi kepada pihak yang melakukan pelanggaran. Dalam konteks ini, Perda 4 Tahun 2012 telah cukup baik menampung hak-hak difabel, tetapi pada sisi yang lain masih lemah dalam pengawasan dan implementasinya. Revisi Perda menjadi momentum memperbaiki titik lemah tersebut.

Dalam hukum, ada asas lex superior derogate legi inferiori yang bermakna bahwa Undang-undang yang dibuat penguasa yang lebih tinggi mempunyai derajat yang lebih tinggi. Jika ada yang bertentangan, tidak sederajat dan mengatur obyek yang sama, maka yang berlaku adalah Undang-undang yang lebih tinggi. Juga ada asas lex posterior derogat legi priori yang bermakna bahwa Undang-Undang yang berlaku kemudian membatalkan Undang-Undang terdahulu, sejauh undang-undang tersebut mengatur obyek yang sama.

Merujuk dua asas di atas, ada kewajiban bagi pemerintah Yogyakarta untuk melakukan harmonisasi revisi Perda No. 4 Tahun 2012. Substansi norma yang obyeknya sama semestinya tidak bertentangan dengan Undang-Undang No. 8 Tahun 2016 tentang Penyandang Disabilitas dan Undang-Undang No. 19 Tahun 2011 tentang Pengesahan Konvensi Mengenai Hak-Hak Penyandang Disabilitas. Revisi Perda harus menyesuaikan dengan norma yang lebih tinggi dan mengatur lebih kongkrit agar pemenuhan hak-hak difabel dapat bisa diwujudkan di daerah.

Secara umum, terjadi disharmoni Perda No. 4 Tahun 2012 dengan Undang-Undang No. 8 Tahun 2016, pertama, beberapa prinsip yang disebutkan dalam Undang-Undang belum masuk ke dalam Perda. Kedua, pemaknaan ragam disabilitas yang berbeda. Ketiga, ada beberapa hak yang diatur dalam Undang-Undang belum dimasukkan ke dalam Perda, bahkan dalam beberapa bagian berbeda ketentuan. Keempat, ada disharmoni model pengawasan antara Perda dan Undang-Undang.

Salah satu contoh disharmoni terkait ketentuan kuota pekerja difabel. Pada Pasal 53 ayat (1) Undang-Undang No. 8/2016 dinyatakan bahwa Pemerintah, Pemerintah Daerah, Badan Usaha Milik Negara, dan Badan Usaha Milik Daerah wajib mempekerjakan paling sedikit 2 % Penyandang Disabilitas dari pegawai atau pekerja. Sedangkan Perda No. 4/2012, kuota paling sedikit hanya 1%

Aturan penting yang harus dikuatkan dalam revisi Perda Disabilitas ialah terkait Lembaga Pengawas pemenuhan hak-hak difabel. Lembaga ini fundamental, karena substansi hak yang diatur sedemikian rupa dalam peraturan tidak akan bergerak  tanpa pengawasan yang ketat dan proses pemberian sanksi yang jelas terhadap pihak-pihak yang melakukan pelanggaran hak-hak difabel.

Lembaga Pengawas ini kalau dalam Undang-Undang disebut Komisi Nasional Disabilitas, di mana kelembagaannya bersifat non struktural dan independen. Sifat kelembagaan ini menjadi penegasan bahwa Komisi ini harus berada di luar struktur eksekutif dan independen baik kelembagaan dan anggotanya. Kandidat komisioner lembaga ini pun semestinya dilakukan secara terbuka dan orang-orangnya tidak terikat dengan struktur pemerintahan.

Selain lembaga pengawas, problem Perda No. 4/2012 terkait lemahnya ketentuan sanksi, utamanya sanksi yang bersifat administrasi yang mesti diberikan kepada pihak-pihak yang melakukan pelanggaran hak-hak difabel. Praktik  anak difabel ditolak di sekolah, layanan kesehatan tidak ramah difabel, difabel dikucilkan di tempat kerja, dan beberapa yang lain saat ini masih terus terjadi. Pratik pelanggaran terjadi karena memang sistem pengawasan yang  lemah dan belum ada efek jera bagi pihak yang melakukan pelanggaran.

Tulisan ini telah dimuat dalam Analisis KR Koran Kedaulatan Rakyat, 28 November 2019.

Mendiskusikan feminisme selalu akan diawali dengan pembahasan tentang gender. Apa makna keduanya? Gender berasal dari bahasa Inggris yang berarti jenis kelamin (sex). Dalam perkembangan, gender dan jenis kelamin dimaknai secara berbeda. Jenis kelamin dimaknai perbedaan laki-laki dan perempuan secara biologis semata. Sedangkan gender dimaknai sebagai pembagian laki-laki dan perempuan yang dikonstruksi secara sosial maupun kultural, seperti label bahwa perempuan bersifat lemah lembut, emosional, tidak mandiri, dan pasif. Pada sisi yang lain, laki-laki dianggap orang yang kuat, rasional, agresif, mandiri dan eksploratif. Gender yang awalnya hanya konstruksi sosial, dalam praktek terjadi penyimpangan yang salah satunya terlihat dari pola kerja laki-laki dan perempuan, di mana laki-laki bekerja di sektor publik, sedangkan perempuan dikhususkan untuk bekerja di sektor privat

Feminisme lebih progresif lagi, di mana paham ini tidak hanya berisi kritik terhadap sistem patriarkhi, tetapi lebih pada pengakuan dan sikap yang bersifat positif atas kebutuhan kaum perempuan sebagai sebuah kelompok. Dalam hal ini, feminisme bisa didefinisikan sebagai suatu kesadaran akan penindasan dan pemerasan terhadap perempuan dalam masyarakat, di tempat kerja dan dalam keluarga, serta tindakan sadar oleh perempuan maupun laki-laki untuk mengubah keadaan yang tidak adil. Gerakan feminisme merupakan paham yang memperjuangkan kebebasan perempuan dari dominasi laki-laki (Fadlan, 2011).

Sebagai satu respon pada ‘keyakinan bahwa terjadi diskriminasi serius’ benarkah kaum perempuan selama ini diberlakukan tidak adil? Dalam satu studi dikatakan, di banyak negara, termasuk di negara-negara Islam, perempuan secara umum mengalami peminggiran. Di banyak negara, tidak ada jaminan kesetaraan laki-laki dan perempuan di berbagai bidang, baik politik, sosial, ekonomi dan hukum. Di beberapa tempat, perempuan dibatasi hak kepemilikan tanah, mengelola property dan bisnis. Di kawasan sub Sahara Afrika sebagian besar perempuan memperolah hak atas tanah melalui suami atas dasar perkawinan dan hak tersebut hilang saat terjadi perceraian atau kematian sang suami. Di Asia Selatan, rata-rata jumlah jam yang digunakan perempuan bersekolah hanya separuh dari yang digunakan laki-laki. Jumlah anak perempuan yang mendaftar ke sekolah menengah di Asia Selatan hanya 2/3 dari jumlah anak laki-laki. Di negara-negara berkembang, wirausaha yang dikelola perempuan cenderung kekurangan modal, kalah dengan wirausaha yang dikelola laki-laki (Sukron Kamil, 2007)

Di Indonesia, kekerasan terhadap perempuan tidak kalah genting. Komnas Perempuan dalam catatan tahun 2018 menyatakan bahwa terjadi tren kekerasan dari tahun ke tahun, misal tahun 2015 yang berjumlah 321.752 kasus, tahun 2016 terdapat 259.150 kasus, dan pada tahun 2017 meningkat menjadi 346.446 kasus. Bentuk kekerasannya berupa kekerasan ekonomi, kekerasan psikis, kekerasan seksual, kekerasan fisik, eksploitasi pekerja migran, dan trafficking. Spektrumnya berupa kekerasan terhadap perempuan di dunia maya yang mencakup penghakiman digital bernuansa seksual, penyiksaan seksual, perseksusi online dan offline, maraknya situs dan aplikasi online berkedok agama (misal, ayopoligami.com dan nikahsiri.com), ancaman perempuan dengan Undang-Undang ITE, serta kerentanan eksploitasi seksual anak perempuan dan eksploitasi tubuh perempuan di dunia maya.

Merujuk pada Islam dan HAM

Penulis berkeyakinan bahwa Islam memiliki ajaran yang membebaskan. Seperti yang diulas oleh banyak sejarawan, betapa posisi perempuan di masa pra Islam begitu lemah, tidak berharga, dianggap aib, orang tua marah saat mengetahui memiliki anak perempuan, dan selalu berada di bawah subordinasi laki-laki. Setelah Islam datang, posisi perempuan terangkat, dihargai, dan diletakkan sebagai seorang manusia yang bermartabat. Pada waktu itu, perempuan bisa mendapatkan hak waris, bisa menjadi saksi, dan muncul beberapa doktrin agama yang begitu menghargai perempuan seperti surga berada di telapak kaki ibu, orang tua perempuan adalah orang yang paling layak dihormati dibanding dengan orang tua laki, perempuan adalah tiang agama, perempuan tiang negara dan seterunsya.

Dalam ajaran Islam, kita akan sangat mudah menemukan bagaimana relasi laki-laki dan perempuan yang terkonstruksi secara ideal. Terkait hal tersebut, Nasaruddin Umar mengemukakan bahwa banyak ayat-ayat dalam Al-Qur’an yang memperlihatkan doktrin kesetaraan gender. Pertama, prinsip kesetaraan gender merujuk pada realitas laki-laki dan perempuan dalam hubunannya dengan Tuhan, dimana keduanya sama-sama dilihat sebagai seorang hamba. Tugas seorang hamba adalah mengabdi dan menyembah. Dalam hal ini bisa dipahami dari firman Allah, “Dan tidaklah Aku menciptakan jin dan manusia kecuali untuk menyembah-Ku (Qs. Al-Dzariyat : 56). Kapasitas sebagai manusia, laki-laki dan perempuan juga sama, nilai derajatnya sama, yang membedakan kemuliaan seseorang hanya ketaqwaannya (Qs. Al-Hujurot : 13).

Kedua, laki-laki dan perempuan sama-sama diciptakan sebagai khalifah. Firman Allah, “Sesungguhnya Aku hendak menjadikan seseorang khalifah di muka bumi..(Qs. Al-Baqoroh : 30). Ayat ini menurut Nasaruddin Umar tidak menunjukkan pada jenis kelamin tertentu. Laki-laki dan perempuan memiliki fungsi yang sama sebagai khalifah yang akan mempertanggungjawabkan kekhalifahannya di muka bumi.

Ketiga, laki-laki dan perempuan sama-sama mengemban amanah dan menerima perjanjian primordial dengan Tuhan. Saat itu jenis kelamin bayi belum diketahui apakah laki-laki atau perempuan. Oleh karena itu, Allâh telah berbuat adil dan memberlakukan kesetaraan gender dengan terlebih dahulu ia harus menerima perjanjian dengan tuhannya (Qs. Al-A’raf : 172)

Keempat, kesetaraan gender dalam al-Qur’an dapat dilihat dari fakta bahwa antara Adam dan Hawa adalah aktor yang sama-sama aktif terlibat dalam drama kosmis. Kisah kehidupan mereka di surga, karena beberapa hal, harus turun ke muka bumi, menggambarkan adanya kesetaraan peran yang dimainkan keduanya. (Qs. Al-A’raf : 22)

Kelima, sejalan dengan prinsip kesetaraan, maka laki-laki maupun perempuan sama-sama berhak meraih prestasi dalam kehidupannya. Seperti firman Allah, “Barang siapa yang mengerjakan amal sholeh, baik laki-laki maupun perempuan dalam keadaan beriman, maka sesungguhnya akan kami berikan kepadanya kehidupan yang baik.. “ (Qs. An-Nahl : 97)

Berdasar uraian tersebut, dapat dikatakan bahwa Islam memberikan pesan kesetaraan antara laki-laki dan perempuan. Pertanyaannya, bagaimana saat kita ketemu dengan pesan Qur’an dan Hadist yang secara tidak langsung melemahkan posisi perempuan? Quraish Shihab menyatakan bahwa ada beberapa teks yang tercantum dalam Qur’an dan Hadist yang cenderung disalahpahami makna, pesan dan konteksnya. Karena itu, diperlukan bagi ‘seorang pembaca’ untuk memahami dengan baik dan benar dari sebuah ucapan atau redaksi. Menurut Quraish Shihab, pertama, memahami sebuah pesan tidak cukup dengan teks, tetapi penting untuk memahami konteksnya, Qur’an ada asbabun nuzulnya, sedangkan hadist ada asbabul wurudnya. Kedua, penting bagi pembaca untuk memahami kosa kota yang ada. Ketiga, melihat secara umum tuntunan Islam yang menyangkut tema-tema tertentu yang berpolemik, yang salah satunya terkait dengan persoalan gender.

Salah satu contoh pesan hadist yang sering disalahdipahami menurut Quraish Shihab ialah, “Seandainya aku akan memerintahkan seseorang sujud kepada seorang, niscaya aku perintahkan istri sujud kepada suaminya (HR. AT-Tirmidzi). Hadist ini disahalahpahami bahwa istri harus sepenuhnya patuh kepada suaminya, di mana level kepatuhannya menjadikan seorang perempuan lebur pada kepribadian suami sehingga tidak lagi memiliki hak menolak atau membantah. Ternyata, konteks (asbabul wurud) hadist ini tidak demikian. Diceritakan bahwa sahabat Nabi Mu’adz bin Jabal ketika kembali dari Syam dan menghadap nabi SAW, sang sahabat tersebut sujud kepada Nabi. Lalu Nabi bertanya, “apa ini wahai Mu’adz? Muadz menjawab, “Aku baru saja kembali dari Syam, dan kulihat mereka sujud kepada para rahib dan pendeta-pendetanya. Maka aku pun ingin melakukannya untukmu.” Disinilah Nabi SAW melarangnya hal demikian dengan bersabda, “Janganlah lakukan itu. Kalau seandainya aku memerintahkan seseorang sujud kepada orang lain, niscaya aku akan perintahkan istri sujud kepada suaminya” (HR. Tirmidzi dan Al-Hakim).

Dengan demikian, penjelasan di atas memperlihatkan kepada kita bahwa ajaran Islam sangat mendukung terhadap gerakan gender dan feminisme yang secara umum menuntut perlakuan yang adil antara laki-laki dan perempuan dalam ruang publik dan domestik. Dalam hal ini, ukuran posisi terbaik laki-laki dan perempuan semestinya dinilai dari kompetensi, prestasi, dan kemampuan terbaiknya, serta tidak lagi didasarkan pada semangat yang sekedar status sosial berdasarkan jenis kelamin.

Lebih jauh, ajaran Islam menurut penulis sangat kompatibel dengan norma-norma hukum HAM yang menjamin hak-hak kaum perempuan, diantaranya ialah Konvensi Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi Terhadap Perempuan. Konvensi ini kita ketahui memiliki tiga prinsip penting, yaitu prinsip non diskriminasi, prinsip persamaan (keadilan substantif), dan prinsip kewajiban negara. Secara normatif konvensi ini menjamin hak sipil dan politik perempuan (hak memilih dan dipilih, hak berpartisipasi, hak memegang jabatan dalam pemerintahan, hak kewarganegaraan, dan seterunsya), menjamin hak ekonomi, sosial dan budaya (hak atas pendidikan, hak kerja, hak kesehatan, dan seterusnya), hak persamaan di depan hukum, dan ada mekanisme pelaporan dan pemantauan terkait dengan pemenuhan hak-hak kaum perempuan.

Cukup banyak aturan dan kerjasama yang secara langsung dan tidak langsung saat ini muncul sebagai bagian untuk melindungi hak-hak perempuan, diantaranya Undang-Undang Tentang Penghapusan Kekerasan dalam Rumah Tangga, Mou Komnas Perempuan dan LPSK terkait Perlindungan Saksi dan Korban untuk Kasus-Kasus Kekerasan terhadap Perempuan, Penanganan Terpadu Kasus Kekerasan Terhadap Perempuan, Peraturan Mahkamah Agung tentang Pedoman Mengadili Perkara Perempuan yang Berhadapan dengan Hukum, dan beberapa yang lain. Secara umum, norma hukum dan kesepakatan-kesepakatan tersebut akan mencegah kaum perempuan menjadi korban ketidakadilan sosial. [Sindo, 11 April 2019]

 

Penulis:
M. Syafi’ie, S.H., M.H.

Pemerhati isu HAM dan Islam, Peneliti Pusham UII

Gagasan Menteri Koordinator Bidang Pembangunan Manusia Kebudayaan (Menko PMK) Muhajir Effendy untuk “lebih” memformalkan pembinaan bagi pasangan yang akan melangsungkan perkawinan patut didukung. Mengingat kegiatan semacam pembinaan bagi pasangan yang hendak mencatatkan perkawinan sudah dilakukan oleh Kantor Urusan Agama (KUA) di lingkungan Kementerian Agama lewat praktek bimbingan pranikah, walaupun dalam prakteknya banyak calon pengantin yang tidak memenuhi bimbinga ini. Pembekalan yang diprogramkan oleh Menko PMK ini akan diusahakan untuk dapat dilaksanakan pada tahun 2020. Yaitu program pembekalan pranikah bagi mereka para peserta yang akan melangsungkan perkawinan yang kemudian akan diberikan sebuah sertifikat keikutsertaan pembinaan. Menariknya, program ini akan dibuat dalam model online maupun offline untuk memudahkan akses bagi para peserta pembinaan agar dapat fleksibel mengikuti kegiatan tersebut sehingga peserta yang notabene calon pengantin dapat maksimal menerima materi pembinaan.

Respon masyarakat terhadap upaya pemberlakuan pembinaan ini pun bermacam-macam, sebagian masyarakat menganggap bahwa program ini akan memberatkan masyarakat untuk melangsungkan perkawinan. hal ini timbul karena program pembinaan ini menghadirkan sebuah sertifikat diakhir program sebagai syarat administrasi untuk bisa dicatatkan perkawinannya dan  mendapatkan sertifikat menikah (akta nikah).

Konsep tentang persyaratan administrasi dalam perkawinan diatur pada pasal 2 ayat (2) Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan dimana pasal ini menyatakan bahwa tiap-tiap perkawinan dicatat menurut perundang-undangan yang berlaku. Kata “dicatat” pada pasal tersebut mengandung beberapa persyaratan, tentunya syarat itu berupa syarat administrasi. Sehingga perkawinan baru akan dicatat bila unsur administarasi telah dipenuhi calon pengantin. Seperti contoh yang saat ini diberlakukan syarat administrasi bagi calon mempelai seperti : surat keterangan dari kepala desa, pengantar kecamatan, keterangan mengenai nama, agama, pekerjaan, tempat tinggal, orang tua calon mempelai. Bagi mereka yang dibawah umur maka memerlukan izin tertulis dari orang tua atau bahkan dispensasi dari pengadilan. Bahkan untuk janda atau duda, mereka dituntut untuk menunjukkan surat keterangan kematian atau surat perceraian bila hendak melangsungkan perkawinan berikutnya. Artinya pemberian syarat administrasi dalam perkawinan dapat diberlakukan oleh pemerintah, dengan harapan syarat administrasi tersebut bermanfaat secara substansi untuk perkawinan, tidak susah untuk diakses, dan mudah untuk dipenuhi.

Program pembinaan perkawinan ini tentu dibuat untuk menjawab permasalahan yang timbul dalam suatu hubungan perkawinan yang terjadi di masyarakat. salah satu alasannya diungkapkan oleh Muhajir Effendy adalah untuk menekan angka perceraian di Indonesia. Menekan angka perceraian bukan perkara mudah, mengingat problem dalam perkawinan itu adalah problem yang kompleks. Problem tersebut terdiri dari faktor psikologis, ekonomi, lingkungan, hukum, kesehatan, dan agama. Dari beberapa faktor tersebut diambil contoh seperti perkawinan anak, perkawinan anak ini tidak akan pernah selesai sepanjang lingkungan mendukung ditambah dengan keadaan “darurat” yang menyertainya sehingga hukum ikut mengabulkannya melalui sebuah dispensasi perkawinan. oleh karena itu pembinaan ini sebaiknya ikut andil dalam memberikan wawasan bagi calon penganti baik itu mereka yang secara normal melakukan perkawinan maupun yang didesak karena keadaan darurat.

Program ini hendaknya memperhatikan keterlibatan dengan perguruan tinggi dalam pelaksanaan kegiatan. Sepatutnya pemerintah menggandeng kerjasama dengan perguruan tinggi dalam memberikan pembinaan, pembinaan perkawinan tidak hanya bernilai moral agama saja, melainkan perlu dititikberatkan pada urusan mental calon pengantin dari lembaga psikologi, kesehatan calon pengantin dari sisi kedokteran, serta hak dan kewajiban calon pengantin dari sisi hukum. Artinya pembinaan tidak hanya dilihat pada 1 atau 2 aspek saja melainkan pembinaan yang komprehensif. Oleh karena itu pelaksana program ini kedepan baik itu dinas catatan sipil ataupun kementerian agama melalui KUA atau siapa ditunjuk kedepannya sepatutnya dapat menyamakan persepsi, kurikulum, rencana pembelajaran yang sama bagi semua kalangan pemeluk agama untuk dapat diterapkan dalam pembinaan perkawinan supaya cita-cita negara dalam menekan angka perceraian dapat terwujud.

Harapannya pembinaan yang telah digagas untuk membentuk calon pengantin yang kredible ini dapat berjalan dengan baik di masyarakat sehingga wawasan akan tujuan, manfaat, akibat, serta konsekuensi dari perkawinan dipahami dengan baik oleh masyarakat indonesia, sehingga pembinaan ini juga dapat menjadi “saringan” bagi orang tua yang hendak menikahkan putra-putrinya.

Pernah diterbitkan di Media Massa di Yogyakarta
Penulis:
Umar Haris Sanjaya, S.H., M.H.

Dosen Muda FH UII yang juga sedang studi lanjut Program Doktor UNAIR

Saat ini, pemerintah Yogyakarta sedang mempersiapkan revisi Perda No. 4 Tahun 2012 tentang Perlindungan dan Pemenuhan Hak-Hak Penyandang Disabilitas. Inisiatif ini merupakan keniscayaan karena di level nasional sudah berlaku Undang-Undang No. 8 Tahun 2016 tentang Penyandang Disabilitas. Pada sisi yang lain, Perda No. 4 Tahun 2012 masih mencantumkan Undang-Undang No. 4 Tahun 1997 tentang Penyandang Cacat yang notabene tidak berlaku.

Di masa lalu, Perda No. 4 Tahun 2012 diapreasi banyak pihak, bahkan dicontoh daerah-daerah lain yang juga membuat peraturan serupa yang harapannya dapat mendorong pemenuhan hak-hak kaum difabel yang selama ini terus menerus termarginalkan. Kehadiran peraturan disabilitas semacam pembuka harapan di tengah peminggiran struktural yang terjadi.

Nasib difabel dalam banyak hal bergantung pada perbaikan kebijakan politik kenegaraan, salah satunya ialah regulasi yang menjamin secara penuh hak-hak difabel, dan memastikan pengawasan dan pemberian sanksi kepada pihak yang melakukan pelanggaran. Dalam konteks ini, Perda 4 Tahun 2012 telah cukup baik menampung hak-hak difabel, tetapi pada sisi yang lain masih lemah dalam pengawasan dan implementasinya. Revisi Perda menjadi momentum memperbaiki titik lemah tersebut.

Harmonisasi

Dalam hukum, ada asas lex superior derogate legi inferiori yang bermakna bahwa Undang-undang yang dibuat penguasa yang lebih tinggi mempunyai derajat yang lebih tinggi. Jika ada yang bertentangan, tidak sederajat dan mengatur obyek yang sama, maka yang berlaku adalah Undang-undang yang lebih tinggi. Juga ada asas lex posterior derogat legi priori yang bermakna bahwa Undang-Undang yang berlaku kemudian membatalkan Undang-Undang terdahulu, sejauh undang-undang tersebut mengatur obyek yang sama.

Merujuk dua asas di atas, ada kewajiban bagi pemerintah Yogyakarta untuk melakukan harmonisasi revisi Perda No. 4 Tahun 2012. Substansi norma yang obyeknya sama semestinya tidak bertentangan dengan Undang-Undang No. 8 Tahun 2016 tentang Penyandang Disabilitas dan Undang-Undang No. 19 Tahun 2011 tentang Pengesahan Konvensi Mengenai Hak-Hak Penyandang Disabilitas. Revisi Perda harus menyesuaikan dengan norma yang lebih tinggi dan mengatur lebih kongkrit agar pemenuhan hak-hak difabel dapat bisa diwujudkan di daerah.

Secara umum, terjadi disharmoni Perda No. 4 Tahun 2012 dengan Undang-Undang No. 8 Tahun 2016, pertama, beberapa prinsip yang disebutkan dalam Undang-Undang belum masuk ke dalam Perda. Kedua, pemaknaan ragam disabilitas yang berbeda. Ketiga,  ada beberapa hak yang diatur dalam Undang-Undang belum dimasukkan ke dalam Perda, bahkan dalam beberapa bagian berbeda ketentuan. Keempat, ada disharmoni model pengawasan antara Perda dan Undang-Undang.

Salah satu contoh disharmoni terkait ketentuan kuota pekerja difabel. Pada Pasal 53 ayat (1) Undang-Undang No. 8 Tahun 2016 dinyatakan bahwa Pemerintah, Pemerintah Daerah, Badan Usaha Milik Negara, dan Badan Usaha Milik Daerah wajib mempekerjakan paling sedikit 2 % Penyandang Disabilitas dari pegawai atau pekerja. Sedangkan Perda No. 4 Tahun 2012, kuota  paling sedikit hanya 1%

Pengawasan Lemah

Substansi penting yang harus dikuatkan dalam revisi Perda Disabilitas ialah terkait Lembaga Pengawas pemenuhan hak-hak difabel. Lembaga ini fundamental, karena substansi hak yang diatur sedemikian rupa tidak akan bergerak tanpa pengawasan yang ketat dan proses pemberian sanksi yang jelas terhadap pihak-pihak yang melakukan pelanggaran.

Lembaga Pengawas ini kalau dalam Undang-Undang disebut Komisi Nasional Disabilitas, dimana kelembagaannya bersifat non struktural dan independen. Sifat kelembagaan ini menjadi penegasan bahwa Komisi ini harus berada di luar struktur eksekutif dan independen baik kelembagaan dan anggotanya. Kandidat komisioner lembaga ini pun semestinya dilakukan secara terbuka dan profesional.

Selain lembaga pengawas, problem Perda No. 4 Tahun 2012 terkait lemahnya ketentuan sanksi, utamanya sanksi yang bersifat administrasi yang mesti diberikan kepada pihak-pihak yang melakukan pelanggaran. Praktek anak difabel ditolak di sekolah, layanan kesehatan tidak ramah difabel, difabel dikucilkan di tempat kerja, dan beberapa yang lain saat ini masih terus terjadi. Sistem pengawasan masih lemah dan norma dalam Perda belum memiliki mekanisme penjera bagi para aktor pelangaran [Dimuat di Koran Kedaulatan Rakyat, 28 November 2019]

Raperda Disabilitas oleh M. Syafi’ie, S.H., M.H.
Dosen FH UII, Peneliti SIGAB dan Pusham UII