HUKUMAN KEBIRI DAN PELANGGARAN HAM
Jamaludin Ghafur[1]
Sejak pemberitaan tentang meninggalnya Yuyun seorang siswi SMPN 15 di Bengkulu akibat diperkosa oleh 14 pemuda, kasus demi kasus pemerkosaan dan pelecehan seksual yang tidak jarang berujung pada kematian korban terus bermunculan ke permukaan dan hampir terjadi diseluruh daerah di nusantara. Fenomena ini menyadarkan kita bahwa Indonesia sedang darurat kekerasan seksual utamanya terhadap anak sehingga negara perlu mengambil tindakan tegas untuk mencegahnya.
Menyikapi hal tersebut, Presiden Jowowi secara sigap telah mengambil langkah cepat guna mencegah meluasnya kejahatan serupa. Salah satunya dengan mengeluarkan peraturan pemerintah penggati undang-undang (perpu) Nomor 1 Tahun 2016 tentang Perubahan Kedua Atas Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak. Perpu ini mengatur antara lain mengenai: (1). Pidana pemberatan berupa tambahan pidana penjara paling singkat 10 tahun dan paling lama 20 tahun; (2). Ancaman hukuman seumur hidup; (3). Hukuman mati dan tindakan lain bagi pelaku. Di dalam perpu, juga dimasukan tambahan pidana alternatif berupa pengumuman identitas pelaku, kebiri kimia, dan pemasangan alat deteksi elektronik. Kehadiran perpu ini diharapkan dapat membuat efek jera bagi para pelaku kejahatan seksual dan memberikan rasa ‘ngeri’ kepada setiap orang sehingga tidak melakukan kejahatan serupa.
Sekalipun hampir seluruh masyarakat Indonesia setuju indonesia sedang darurat kejahatan seksual anak, namun respon masyarakat beragam atas perpu tersebut. Sebagian sangat mendukung, sebagian lainnya menentang dengan argumentasi bahwa beberapa bentuk hukumannya seperti hukuman mati dan hukum kebiri dianggap bertentangan dengan HAM pelaku kejahatan. Bahkan, Ikatan Dokter Indonesia (IDI) secara terbuka menyatakan tidak akan melakukan suntik kebiri karena dianggap bertentangan dengan kode etik kedokteran.
Memaknai Hak Asasi Manusia
UUD 1945 telah memuat pengaturan HAM secara komprehensmasyarakat demokratis.if. Pengaturan dan Perlindungan HAM menjadi sangat penting karena menyangkut hakekat manusia itu sendiri. Artinya, seseorang tidak akan menjadi manusia seutuhnya jika hak-hak dasarnya sebagai manusia tidak dilindungi. Namun yang perlu dipahami bahwa segala sesuatu tidak bersifat mutlak termasuk HAM itu sendiri. Dalam kondisi tertentu negara boleh membatasi, mengurangi bahkan mencabut HAM yang melekat kepada seseorang berdasarkan hukum. Hal ini sesuai dengan bunyi Pasal 28J UUD 1945 bahwa, (1) Setiap orang wajib menghormati hak asasi manusia orang lain dalam tertib kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara. (2) Dalam menjalankan hak dan kebebasannya, setiap orang wajib tunduk kepada pembatasan yang ditetapkan dengan undang-undang dengan maksud semata-mata untuk menjamin pengakuan serta penghormatan atas hak dan kebebasan orang lain dan untuk memenuhi tuntutan yang adil sesuai dengan pertimbangan moral, nilai-nilai agama, keamanan, dan ketertiban umum dalam suatu
Kepentingan Umum (Hak Publik) dan Kepentingan Individu (Hak Individu)
Memberikan hukuman yang seberat-beratnya bagi pelaku kejahatan seksual tentu dimaksudkan untuk melindungi siapa saja yang berpotensi menjadi korban dan masyarakat secara luas, namun demikian bentuk hukuman tersebut pasti akan berpotensi melanggar hak-hak pelaku. Idealnya, perlindungan atas hak individu dan hak masyarakat seharusnya saling melengkapi dan tidak untuk saling dipertentangkan. Namun demikian, jika terjadi situasi dilematik dimana kepentingan individu bertentangan dengan kepentingan publik maka harus diambil pilihan.
William D. Ross seorang filsuf moral mengajarkan asas prima facie untuk keluar dari situasi dilematik yang demikian (Sidharta, 2006). Berdasarkan asas prima facie itu, jika dua nilai yang berada pada tataran yang sama, misalnya sama-sama fundamental, saling berhadapan maka harus memilih salah satu dari dua nilai untuk didahulukan dari nilai yang lainnya. Dalam hal harus memilih antara nilai kepentingan umum dan nilai kepentingan individu, maka berdasarkan pertimbangan utilitarianistik (manfaat), harus dipilih nilai kepentingan umum. Berdasarkan pilihan itu, maka pelaksanaan dan perlindungan nilai kepentingan individu (hak-hak individu) harus disesuaikan agar kepentingan umum dapat terwujud. Dengan sendirinya, maka pelaksanaan dan perlindungan hak-hak individu itu akan terkesampingkan atau terkurangi. Landasan konstitusionalnya adalah Pasal 28J ayat (2) UUD 1945 sebagaimana disebutkan di atas.
Berdasarkan asas prima facie itu, maka pengesampingan atau pembatasan hak-hak individu itu tidak berarti meniadakan hak-hak individu terkait. Pengesampingan atau pengurangan hak-hak individu berdasarkan pertimbangan utilitarianistik dapat dibenarkan sejauh hal itu memang sungguh-sungguh diperlukan untuk memungkinkan nilai yang dipilih untuk didahulukan, yakni kepentingan umum, dapat terwujud. Pada posisi itulah, maka perpu dibenarkan karena untuk melindungi sendi-sendi kepentingan umum yang kuota nilainya lebih besar.
[1] Penulis adalah Dosen Hukum Tata Negara dan Peneliti pada Pusat Studi Hukum dan Konstitusi (PSHK) FH UII. Kandidat Doktor FH UI Jakarta.